Share

2. Menjadi Musuh Kerajaan

Zidan dengan cepat berbalik untuk lari, rasa takut menguasai hatinya. Ia tidak tahu siapa yang baru saja meraih tangannya, namun bayangan akan pasukan kerajaan membuatnya panik. Langkahnya yang terseok-seok akibat luka-luka di tubuhnya tak menghalanginya mencoba melarikan diri. Namun tangan yang kuat itu berhasil menangkapnya. Dia membeku. Nafasnya tertahan saat mendengar suara tua dan serak berkata, “Kau mau kemana, dengan tubuh penuh luka seperti itu?” Suara itu berasal dari seorang kakek tua yang sekarang berdiri di hadapannya.

Zidan terpaku, tidak berani bergerak. Ingin rasanya ia melarikan diri, tapi tangan kakek itu memegangnya dengan kuat. Perlahan-lahan, Zidan memutar tubuhnya, berbalik untuk melihat siapa yang telah menghentikannya. Matanya bertemu dengan sosok seorang kakek berusia lanjut, rambutnya memutih, wajahnya penuh kerutan, namun ada kelembutan yang terpancar dari senyumannya. Senyum itu, entah bagaimana, mengusir sebagian rasa takut di hati Zidan.

"Kau takut padaku?" tanya kakek itu sambil melihat Zidan yang tubuhnya gemetar. Kakek itu menyadari bahwa sesuatu yang buruk pasti telah terjadi pada Zidan. Luka-luka di tubuhnya, wajahnya yang penuh ketegangan, semua ini menunjukkan bahwa bocah itu telah melalui banyak hal mengerikan.

"Jangan takut, Kakek tidak akan menyakitimu. Kakek akan mengobati lukamu. Jadi, kau tak perlu takut lagi," kata kakek itu dengan suara tenang, mendekati Zidan perlahan-lahan, berusaha untuk meyakinkannya bahwa dia aman.

Zidan, yang semula ketakutan, perlahan mulai merasa lebih tenang. Suara lembut sang kakek, serta kebaikan yang terlihat jelas dari wajahnya, membuat Zidan percaya bahwa kakek ini tidak akan menyakitinya. Ia merasa seolah-olah orang tua ini adalah satu-satunya manusia yang bisa diandalkan di dunia yang sepertinya telah mengkhianatinya.

Setelah beberapa saat, Zidan akhirnya memutuskan untuk mengikuti kakek itu. Ia masih waspada, tapi setidaknya rasa takut yang melingkupinya sedikit mereda. Mereka mulai berjalan menyusuri jalan setapak yang penuh dengan semak belukar dan dedaunan basah. Zidan melihat sekeliling hutan dengan hati-hati. Di sepanjang jalan, ia melihat banyak tanaman yang ia kenali sebagai tanaman obat. Insting alkemisnya membuatnya tertarik pada tumbuhan-tumbuhan itu, tetapi ia menahan diri untuk tidak bertindak gegabah. Ia tahu bahwa situasi ini masih terlalu samar baginya untuk berbuat lebih dari sekadar mengikuti kakek tersebut.

Setelah berjalan beberapa saat, mereka sampai di sebuah gubuk kecil yang tersembunyi di tengah hutan. Gubuk itu tampak sederhana, dengan dinding kayu yang mulai lapuk dan atap jerami yang nyaris rubuh. Zidan tidak menyangka akan menemukan sebuah bangunan di tengah hutan yang sangat dekat dengan desanya. Terlebih lagi, ia merasa aneh bahwa tak ada orang lain yang mengetahui keberadaan tempat ini, padahal hutan ini tidak jauh dari peradaban.

“Masuklah, Nak,” kata kakek itu dengan suara lembut, sambil membimbing Zidan masuk ke dalam rumahnya.

Zidan menurut dan melangkah masuk ke dalam gubuk yang sederhana itu. Di dalam, suasana terasa hangat meski perabotannya sangat minim. Kakek itu menyuruh Zidan duduk di sebuah bangku kayu tua, lalu mulai mengumpulkan beberapa barang yang tampaknya akan digunakan untuk mengobati luka-luka Zidan.

Kakek itu mulai membersihkan luka-luka di tubuh Zidan dengan perban seadanya, serta mengoleskan ramuan herbal yang tampaknya dibuat dari tumbuhan di sekitar hutan. Melihat bahan-bahan yang digunakan, Zidan bisa menyimpulkan bahwa kakek ini tidak benar-benar mengerti tentang ilmu pengobatan yang lebih canggih. Namun, meski demikian, Zidan tetap menerima niat baik kakek tersebut dengan tulus. Di saat seperti ini, kebaikan apa pun adalah sesuatu yang sangat berarti baginya.

“Terima kasih, Kek,” ucap Zidan pelan sambil menahan rasa sakit. Meski obat yang digunakan sederhana, ada sesuatu yang menenangkan dalam cara kakek itu merawatnya. Ia merasa aman, setidaknya untuk saat ini.

“Tak perlu sungkan. Beristirahatlah. Aku tahu kau sedang terluka, dan kau tidak punya tempat tujuan sekarang, kan?” tanya kakek itu sambil tersenyum, tapi ada sorot mata penuh pengertian di balik senyuman itu.

Zidan terkejut. "Bagaimana kakek bisa tahu?" tanyanya penasaran. Dia tidak memberitahu apa pun tentang dirinya pada kakek ini, tapi kakek itu tampaknya tahu lebih dari yang ia perlihatkan.

“Dari luka-luka yang kau derita, terutama luka bakar itu,” jawab kakek sambil menunjuk bekas luka di lengan Zidan. Luka bakar itu adalah salah satu dari banyak luka yang ia dapat saat desa tempat tinggalnya dihancurkan.

"Luka bakarku?" Zidan bertanya dengan hati-hati, merasa waspada kembali.

Kakek itu mengangguk. “Berita tentang desa Teratai yang dihanguskan sudah menyebar ke mana-mana. Aku tahu kerajaan sedang memburu para alkemis. Dan dari luka-lukamu, aku bisa menebak bahwa kau adalah salah satu dari mereka yang berhasil melarikan diri.”

Zidan menatap kakek itu dengan kaget. “Kakek tahu tentang itu?” bisiknya. “Tapi… kenapa kakek masih menolongku?” Zidan tahu bahwa para alkemis kini dianggap musuh kerajaan. Barang siapa yang menolong mereka, otomatis akan dianggap sebagai musuh kerajaan juga. Ini adalah risiko besar yang diambil kakek ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status