Arka membuka berkas dan meletakkannya di atas meja. Tubuh mungil itu dia raih ke dalam pelukannya. Matanya berisyarat ke tiap laporan medis di hadapannya.
"Besok pagi habis bangun tidur, langsung test, ya! Atau mau tes sekarang aja ke Dr. Grace?" "Pasti bakalan negatif lagi. Sekalipun aku gak sakit, aku udah makin tua. Aku bahkan gak berharap bisa jadi ibu lagi, Ka." Arka berusaha tersenyum meskipun hatinya sangat miris. Setelah menyapu pipi basah Lisa, bibirnya mengecup lembut dahi sempit itu. Dia ingin meyakinkan Lisa kalau semuanya akan baik-baik saja. "Maaf karena aku gak bisa jadi suami yang baik. Papaku udah bikin kamu terbebani, ya?" "Gak, papamu benar. Jangan salahkan dia. Dia cuma seorang ayah yang kesepian di usia tuanya. Dia pengen gendong cucu. Tapi aku ..." "Kalau hasilnya negatif juga, kita harus beneran program bayi tabung lagi, atau mungkin surogasi." Arka mengambil berkas itu dan menunjukkan pada Lisa. Wanita itu membaca sekilas dan tak memahami sepenuhnya. "Proses bayi tabung bisa dilakukan lagi. Tapi sekarang kendalanya di rahim kamu. Kalau nyatanya kamu bisa hamil nanti, kamu pasti bakalan direpotin untuk semua obat dan segala perawatan. Kamu bersedia?" "Aku akan lakukan apa pun. Aku akan jaga baik-baik kehamilanku nanti. Lakukan secepatnya, Sayang." "Ya udah, baca-baca dulu berkas ini. Aku mau ke toilet sebentar." Sementara Arka di toilet, Lisa masih mempelajari berkas dan tahapan proses bayi tabung itu. Dia bersyukur Arka masih sabar dan setia sampai detik ini. Bruk! Lisa terkejut saat mendengar suara berisik dari toilet. Dia pun bergegas dan menggedor pintu. "Sayang, kenapa?" cemas Lisa. "Gak, kepeleset doang!!!" Tak lama, Arka muncul sambil mengusap dahinya yang sedikit merah karena membentur sesuatu. "Aih, makanya hati-hati. Matanya ke mana, sih, sampai bisa terpeleset gitu?" "Udah jatuh pun masih juga diomelin. Jahat!" Lisa tersenyum dan menarik lengan Arka agar bisa cepat mengobatinya. Arka duduk di sofa saat sang istri mengambil es untuk kompres. "Makanya, hati-hati!" "Cerewet, ih! Sakit, nih." Lisa sedikit terkekeh. Dia mengobati memar di dahi Arka dengan penuh senyuman. Setelah selesai, dia pun keluar ruangan untuk pergi ke kantin. * "Jadi kapan, kamu akan memberikanku cucu kandung?" Siang itu, keributan selalu terjadi saat Papa Frans bicara dengan Arka terkait tuntutan untuk memiliki anak. "Pa, please." "Sebelum aku mendapat kabar baik, jangan harap aku akan bersikap baik pada Lisa!" Arka pun mendekat dan memegang tangan papanya. "Pa, aku minta maaf. Sekarang Papa maunya gimana? Tolong pahami juga posisiku, Pa. Aku ini seorang suami," pinta Arka. Papa Frans kembali duduk di sofa saat bisa mengendalikan kemarahan Arka. Putranya itu memohon penuh harap. "Apa yang Papa inginkan?" "Ini tahun terakhir dari tempo yang pernah kuberikan, 'kan? Kali ini aku takkan berbaik hati lagi. Arka, kamu ini dokter. Tentu kamu bisa melakukan apa saja untuk istrimu. Dalam setahun ini, aku menerima kabar kehamilan dari Lisa. Kalau tidak, silakan angkat kaki dari rumah ini. Bahkan aku takkan menganggapmu sebagai anak lagi. Mengerti?" Arka terkejut mendengar kecam papanya. Membisu. Papa Frans pergi diikuti oleh Mama Wendi. Lisa pun bingung dihadapkan pada situasi ini. Mendapatkan keturunan, selain karena usaha, tetapi Tuhan-lah yang berkehendak. Bisa apa mereka? "Sayang, ini gimana jadinya?" Arka tak menyahut, berjalan gontai meninggalkan Lisa untuk masuk ke kamarnya. * Arka sengaja pulang cepat untuk lebih menenangkan Lisa. Beberapa hari sejak ultimatum yang diberikan Papa Frans, istrinya itu terlihat murung. Arka bahkan belum berani menyinggung perihal program bayi tabung itu karena takut mengecewakan Lisa. "Ehm!" Suara Arka menyadarkan Lisa. Saat berjalan masuk ke kamar, wanita itu pun bangkit sambil membawa timpukan lipatan yang akan dia masukkan ke lemari. "Udah balik? Masih juga jam sebelas," kata Lisa tanpa berbalik. "Gak ada tugas lagi. Rencananya mau makan siang sama kamu." Arka duduk di kasur dan belum memaksa Lisa untuk duduk di sampingnya. Istrinya itu terlihat sibuk dengan tugasnya, lalu mengambil segelas air untuk dia berikan pada sang suami. "Bisa bicara sebentar?" Lisa mengangguk dan duduk di samping Arka. "Kamu masih belum mau periksa ke dokter, pakai test pack juga gak mau." Lisa menunduk. Tangannya mengerat dan menggesekkan dua ujung kukunya untuk menghapus rasa gugup. "Kita harus lakukan sesuatu. Semua ini demi Farrel juga. Kalau kita berhasil, pasti papa bisa terima kamu seutuhnya," tegur Arka, serius. Lisa mendekat dan bersandar di lengan hangat suaminya itu. Ketakutan terbesarnya saat ini adalah ketika orang-orang yang di sampingnya mungkin akan lelah suatu hari nanti. "Aku belum siap. Maaf, aku takut dengan semua itu." "Takut apanya? Proses bayi tabung masih bisa, 'kan? Tingkat keberhasilannya juga tinggi dan ini bukan hal yang diragukan lagi. Kita akan coba sekali lagi." "Gimana kalau rahimku belum kuat untuk mengandung setelah waktu itu, Ka?" Lisa melepaskan pelukannya dan menatap Arka. Wajah suaminya itu begitu tegas. "Terlalu banyak yang kamu takutkan. Bahkan dicoba aja belum, udah mikir ini-itu. Ini bukan yang pertama kalinya kamu ngomong gitu ke aku. Aku juga capek, Lis, kayak berjuang sendirian doang. Kenapa pesimis gitu?" Lisa tertegun mendengar ketegasan Arka. Suaminya itu meninggalkan kamar dan masuk ke toilet. Yang dikatakan Arka memang benar. Sudah sepuluh tahun terlewati dan Lisa mulai takut kehilangan segalanya sementara dirinya tak bisa memberi apa pun. *Lisa membuka mata saat sebuah kecupan dari sang suami. Pria itu sudah duduk di kasur, tepat di sampingnya."Aku minta maaf karena tadi ngomong kasar sama kamu. Kita harus tetap sama-sama. Jangan takut, aku gak akan ninggalin kamu, Lisa."Lisa segera memeluk pinggang Arka. Kepalanya tenggelam dalam bidang dada sang suami, menikmati irama detak jantung yang berdegup berirama. Sangat hangat."Aku akan berusaha, Ka. Tapi berjanjilah, kalau suatu saat kenyataan buruk itu memang terjadi, berjuanglah untuk bahagia tanpaku. Jangan tinggalkan rumah ini demi aku."Arka melepaskan pelukannya dan menatap mata sedih sang istri. Wanita itu menangis terisak, menyayat hati."Kalau memang itu terjadi, aku gak akan ninggalin kamu!" kata Arka sambil menghapus air mata Lisa.Arka tersenyum. Raut tak peduli terbias dan bangkit dari duduknya. Dia meraih sebotol air dingin dari dalam kulkas dan menenggaknya.Setelahnya, didekatinya meja berkas dan meraih beberapa lembaran penting di sana. Meneliti berkas it
Lisa tersadar dari lamunan. Begitu takut dengan kemungkinan itu, dia pergi meninggalkan rumah. Berhenti tepat di bawah pohon rimbun di sisi jalan, lalu meraih ponsel untuk menghubungi Arka."Kapan kamu pulang?" tanya Lisa."Ya ampun, segitu kangennya. Tanyain dulu, 'udah makan atau belum, Sayang? Lagi apa?' Ih, gak romantis."Lisa tak bicara lagi. Dia mendengar suara tangisan anak kecil dari ponsel. Juga suara tawa Arka yang begitu indah di telinganya."Kamu lagi di mana ini?" tanya Lisa, lagi."Oh, ini aku lagi di bangsal anak rumah sakit Bogor. Lucu-lucu banget anak-anak di sini. Tadi juga main sebentar ke ruang baby, ada bayi kembar. Gemesnya!"Lisa berjalan gontai dan tak bisa menahan kesedihannya lagi. Sudah hampir sepuluh tahun berlalu dan Arka masih tetap merindukan seorang anak.Bibirnya tak berkata apa pun, tetapi Lisa yakin ada sedikit penyesalan di hati Arka. Suaminya itu tak bersalah, dirinya saja yang tak sempurna."Sayang, kayaknya besok siang aku baru bisa balik. Malam
Suara mesin mobil terdengar memasuki pekarangan. Mobil Arka. Dari kamar lantai dua, Lisa menyingkap gorden dan sangat bahagia suaminya itu sudah pulang. Kemarin dia mendapati kabar tentang kehamilannya, tetapi mengabaikan fakta bahwa kandungan itu akan membahayakan dirinya."Welcome, Prince!"Lisa tak berniat keluar untuk menyambut Arka. Dia ingin menikmati sensasi detak bahagianya itu di kamar ini, saksi bersejarah kisah cinta yang panjang. Diraihnya sebuah kotak panjang di atas meja dan tak sabar hendak memberi kado itu pada Arka.Sementara itu di ruang tengah, Arka sudah tiba dan tak mendapati Lisa yang menyambutnya. Hanya Papa Frans dan Mama Wendi yang terlihat santai menikmati makan siang."Sayang, gak ngabarin mau balik siang ini."Arka tersenyum dan menuangkan segelas air untuk ditenggaknya. "Maaf, aku lupa, Ma.""Kamu pasti mengabari Lisa, tapi dia gak kasih tau kita. Ya, 'kan?" Papa Frans menimpali dengan sinis.Papa Frans sangat sarkas. Arka memaklumi saja dan bingung kenapa
Lisa mulai bercerita tentang kejadian kemarin. Dia menggenggam tangan suaminya itu, menutupi rasa gugup karena mungkin akan ada banyak kata-kata bohong yang keluar dari bibirnya."Semalam aku mau ke market, trus aku pusing dan pingsan, untung ada Yuga di sana. Ah iya, kamu gak kenal dia."Lisa menggaruk tengkuknya karena tak pernah bicara apa pun terkait masa lalunya."Yuga itu mantan pacarku waktu SMU. Hehe," kekeh Lisa."Ehh?"Arka melotot. Lisa tahu ekspresi itu akan dia dapat dari sang suami yang sangat pencemburu."Dia udah nikah, kok. Malah anaknya udah dua. Apaan, sih!" ujar Lisa sambil mencubit perut Arka.Arka menghela napas. Dia hanya mengangguk dan mengizinkan Lisa untuk terus bercerita."Ya udah, dia langsung bawa aku ke Eka Hospital. Dia juga dokter kandungan di sana. Aku tahunya hamil setelah diperiksa sama dia.""Oke, besok kita ke rumah sakit untuk check up lanjutan."Tentu ini tak terelakkan. Arka adalah seorang dokter di Raztan Hospital, bahkan salah satu pemegang sa
Lisa meraih sebuah pemantik dari dalam laci meja dan membakar ujung amplop hingga berubah menjadi abu. Semua bukti itu hilang bersama timbunan kertas-kertas yang ikut terbakar di dalam tong sampah kaleng di sudut lemari.Tak ada rasa penyesalan, Lisa justru tersenyum sambil mengusap perutnya."Bertahanlah, Sayang! Mama akan lakukan apa pun supaya kamu tetap sehat di dalam sana. Gak sabar pengen ketemu papa, 'kan? Kalaupun nanti mama gak bisa peluk dan jagain kamu, kamu harus tetap tumbuh jadi anak yang baik dan pinter. Mama sayang sama kamu."Lisa sudah memilih jalan berbahaya untuk membahagiakan Arka. Meskipun dia tahu akan sangat sulit, terbersit sedikit keinginan untuk tetap bisa hidup juga saat bayinya lahir nanti. Keluarga kecil yang dia impikan itu mungkin akan datang suatu hari nanti.*Sore hari menjadi saat di mana Keluarga Wijaya bersantai menjemput malam. Di ruang tengah itu, Papa Frans asik menonton berita olahraga di telivisi, sedangkan Mama Wendi mengerjakan sesuatu di m
Lisa mengangguk dan memeluk Arka. Dia melepaskan semua beban hatinya di pelukan suaminya itu.'Aku yakin kamu akan marah kalau tau yang sebenarnya. Tapi sama seperti kamu, aku juga ingin melahirkan seorang anak yang bisa jagain kamu kalau aku gak bisa bertahan nanti,' bisik batin Lisa sambil sesekali mengecup bahu Arka.Takdir yang akan membawa akhir kisah mereka. Arka pun tak sabar hendak memberi tahu kedua orangtuanya. Dia meraih secarik amplop di atas meja yang merupakan hasil tes Lisa. Langkahnya tergesa-gesa seiring Lisa menyusulnya dari belakang dengan langkah pelan.Tingkah suaminya itu seperti anak kecil yang baru saja diberikan permen. Lisa sangat terharu melihatnya.Arka tiba di ruang tengah dan melihat kedua orangtuanya sedang berdiri hendak meninggalkan ruang tengah."Papa!"Arka segera berhambur dalam pelukan papanya. Mama Wendi tak mengerti dan menoleh pada menantunya. Lisa hanya tersenyum, berisyarat bahwa mereka akan mendengarnya langsung.Arka masih terus mengeratkan
Tak pernah sebelumnya pulang lebih awal, tetapi Arka meninggalkan rumah sakit lebih cepat hari ini. Sungguh manis suasana yang tercipta kala Arka sangat calon buah hati yang ada di kandungan istrinya. "Aku bawain buah, kenapa gak mau?"Lisa menggeleng, masih melahap potongan kue yang baru saja dibawa Bi Sumi ke kamarnya. "Aku lagi gak mau makan buah. Kamu gak ada tanya aku pengennya apa."Arka tersenyum bahagia sambil mencubit pipi sang istri. "Aku pengen liat pipi ini terus chubby di tiap bulannya."Lisa mengerucutkan bibir. Dia masih ingat, Arka selalu antisipasi dirinya yang dulu harus menjaga bentuk ideal badannya."Yakin? Gak apa-apa kalau aku jadi gemuk?""Tetep cantik, kok."Arka melepaskan ikatan dasi dan membuka dua kait kancing kemejanya. Malas mandi segera, dia justru berbaring dan meletakkan kepalanya di pangkuan Lisa. Bermanja menjelang senja. Lisa memainkan rambut legam sang suami dengan mengisi penuh sela-sela jemarinya. Sangat lembut dan hangat."Ngantuknya."Lisa te
Lisa dan Arka duduk di ruang tunggu untuk mendapatkan laporan hasil pemeriksaan yang dijalani beberapa jam lalu. Arka menautkan alis saat menatap raut cemas istrinya."Hei, kenapa ketakutan gitu? Kandungan kamu pasti baik-baik aja," hibur Arka.Tentu saja Arka tak tahu kekhawatiran sang istri saat ini. Dia hanya membalas dengan senyum tipis."Sayang, aku pengen jus alpukat," rengek Lisa."Ih, tiba-tiba pengen jus? Ya udah, sepulang ini, kita mampir di cafe, ya!""Aku maunya sekarang!""Tapi ...""Udah, pergi aja sana cari jusnya, aku tungguin di sini."Arka tak bisa membantah karena berpikir Lisa mengidam lagi. Lisa hanya ingin menjadi orang pertama yang mendengar penjelasan Yuga.Sepuluh menit berikutnya, Yuga keluar sambil membawa selembar laporan hasil pemeriksaan kandungan Lisa."Loh, suami kamu mana?""Kita bicara di dalam!"Lisa menarik tangan Yuga agar mereka masuk dan bicara lebih serius di ruang kerja. Dia tak sabar ingin mengetahui hasil tes itu."Gimana? Apa ada perkembanga