Ekspresi teduh Arka tadi berubah sedikit antusias. Grace adalah dokter obgyn yang selama ini menangani Lisa di Raztan Hospital. Dia belum mengatakan bahwa Lisa mengandung saat ini."Thanks karena selama ini udah bersabar selama proses penyembuhan Lisa. Dia hamil, Grace.""Ah, serius? Syukurlah, padahal aku sempat pesimis. Ternyata kalian diberi rejeki untuk punya anak di usia seperti ini. Tapi, keadaan Lisa ..."Arka menghela napas berat. Dia melepas kacamata dan memainkan bola kristal kecil di atas meja."Aku tau. Yuga juga bilang rahimnya lemah dan masih dalam kondisi rentan. Dia meminta kami menunggu perkembangan dua minggu ini. Kalau Lisa bisa bertahan, itu tandanya kemungkinan kami bisa punya anak mencapai 80 persen."Sepanjang Arka bercerita, Dr. Grace hanya mematung. Dia yang bertahun-tahun menangani Lisa, tentu saja dia yang lebih tahu perihal ini."Lisa udah gak muda lagi, Ka. Kamu tau itu. Sebenarnya bukan cuma kandungannya, nyawa Lisa juga dalam bahaya."Arka terkejut mende
Arka pergi meninggalkan rumah sakit. Lisa dibimbing masuk ke ruangan. Setelah beberapa menit menjalani pemeriksaan, dia tak bisa menahan tangisnya. Lekas keluar dari ruang praktek dengan senyum yang bahkan tak bisa disembunyikan lagi."Kamu berhasil, Lisa. Jaga kandungan kamu dengan baik. Maaf karena dulu aku menyerah terlalu cepat. Sekarang kamu bisa katakan pada suamimu kalau anak ini akan lahir dengan sehat. Tapi biarpun begitu, kamu harus tetap lebih sering kontrol dan jaga kondisi kesehatan kamum Jangan sampai stres, ya!" Lisa ingin menangis sepuasnya dan berterima kasih pada sang dokter obgyn. Dia pun memeluk pria yang merupakan teman lamanya itu."Terima kasih. Aku nggak akan lupa semua kebaikan kamu.""Eih, udahan, ah! Jangan main peluk-peluk gini. Malu diliat orang. Nanti aku bisa CLBK."Lisa sedikit tertawa dan mencubit sisi pinggangnya. Raut bahagia tak bisa disembunyikan dari keduanya."Ingat semua yang aku katakan, ya!" pesan Yuga."Siap, Pak Dokter."Yuga sedikit membun
"Sayang, kenapa berdiri di situ aja?" tanya Lisa."Nggak, nggak ada apa-apa."Tak tahu kenapa ini sangat mengganggunya. Sejak dia menerima foto kenangan Yuga dan Lisa, dan kali ini istrinya itu begitu akrab bicara dengan mantan kekasihnya itu, membuat Arka sedikit cemburu.Kling!Ada pesan masuk di Whatsapp ponsel-nya. Nomor yang sama dan mengirimkan foto Lisa dan Yuga lagi.'Ini apa maksudnya, sih? Sengaja banget kayaknya. Mau cari mati atau gimana?'Lisa memperhatikan raut geram sang suami. Disentuhnya bahu Arka untuk menegur. "Kenapa? Siapa nge-chat?"Arka segera meletakkan ponsel-nya di atas meja. "Nggak ada, kok. Ayo, tidur!""Masih jam 9. Belum ngantuk.""Nggak apa-apa, ayo tidur. Aku juga mau istirahat. Besok harus tugas lagi."Lisa berbaring tepat di sisi sang suami. Terasa sangat sulit tidur di saat perutnya membesar saat ini. Miring ke kiri, tetapi suaminya hanya memejamkan mata tanpa bicara lagi. 'Dia beneran mau tidur? Nggak ada good night kiss, gitu?' keluh batinnya.Lis
Wanita itu cemberut. Ingin beranjak, tapi lengannya ditahan Arka. Suaminya itu meletakkan dagunya di bahu Lisa."Dia udah balik dari Swiss, kemarin datang ke rumah sakit. Nggak tau juga ada urusan apa.""Kamu masih suka sama dia, ya?"Lisa menjauh, menunjukkan aksi merajuk agar suaminya tahu dia cemburu."Nggak, lah, Sayang. Ya ampun, udah basi banget cerita itu, mah. Udah real sepupuan doang, kok. Mungkin dia balik karena kangen Indonesia."Lisa tak bicara lagi, lekas turun ke bawah untuk menikmati sarapan. Mayang, wanita yang baru saja dibicarakan itu tiba-tiba muncul di hadapan mereka.Lisa tak pernah bertemu langsung, hanya mendengar cerita saja. Mayang yang merasa dipaksa oleh perjodohan itu, lari dari pertemuan keluarga hingga Arka mengalami kecelakaan mobil saat mengejarnya."Hai, Lisa. Apa kabar?"Sahutan Mayang itu menerbitkan senyum getir di bibir Lisa. Wanita itu begitu tenang berada di antara kedua mertuanya."Lis, ini Mayang. Sepupunya Arka, anak dari adiknya mama," ujar
Arka menghela napas lelah setelah seharian Mayang mengajaknya berkeliling. Coffee shop di tepi jalan menjadi pilihan mereka. Ada banyak shopping bag berada di atas kursi sisi duduknya. Wanita itu mengajak belanja hingga menguras tenaganya seharian."Seneng banget hari ini! Makasih, ya, Ka."Arka mendengkus geram sambil menyeruput kopi. Sejak tadi dia mengamati ponsel dan belum ada panggilan atau pesan dari sang istri."Kenapa, sih?" tanya Mayang. "Kan, kamu udah izin sama istri kamu. Kalau ada apa-apa, dia pasti telepon kamu, kok.""Aku khawatir sama dia itu wajar, dia lagi mengandung. Seenaknya aja kamu bawa aku pergi. Aku mana bisa melawan perintah mama."Mayang mengambil garpu kecil untuk melahap cheese cake di atas meja. Begitu puas menatap wajah kesal mantan tunangannya itu."Tapi, aku kaget, loh, pas dengar kabar kalau istri kamu hamil. Setahuku dia susah hamil, kan, karena pernah punya kista sewaktu muda? Sampai satu ovariumnya diangkat."Arka tak menyahut. Dia tahu Mayang akan
Kring!!! Suara alarm pagi di atas nakas terdengar berdering keras. Uluran tangan keluar dari balik selimut, meraba nakas untuk mencari sumber bunyi tersebut.Terserang kantuk yang hebat, tangan itu sulit mencari tombol non-aktif untuk weker.Brak!!! Deringan weker itu akhirnya terhenti saat membentur dinding.Seorang wanita cantik mendecak heran melihat tingkah kekanakan suaminya yang tetap sama dari tahun ke tahun meskipun sudah hampir menginjak kepala empat."Arka!"Gundukan selimut tersibak hingga menampakkan si pemalas yang sedari tadi tergulung dalam balutan selimut."Pagi, Sayang!"Masih senyum manis yang sama. Arkana Kenjiro Wijaya. Pria itu masih terlihat tampan di usianya yang ke-39 tahun.Mata sipitnya memandang nakal pada istri yang berdiri tak jauh dari kasur. Lizzya Pinkan, wanita yang masih setia bersamanya sampai menginjak tahun ke sepuluh pernikahan."Pulang kerja nanti, jangan lupa beli weker baru!" kesal Lisa.Arka tertawa, lalu duduk setelah menyingsingkan selimut.
Arka membuka berkas dan meletakkannya di atas meja. Tubuh mungil itu dia raih ke dalam pelukannya. Matanya berisyarat ke tiap laporan medis di hadapannya."Besok pagi habis bangun tidur, langsung test, ya! Atau mau tes sekarang aja ke Dr. Grace?""Pasti bakalan negatif lagi. Sekalipun aku gak sakit, aku udah makin tua. Aku bahkan gak berharap bisa jadi ibu lagi, Ka."Arka berusaha tersenyum meskipun hatinya sangat miris. Setelah menyapu pipi basah Lisa, bibirnya mengecup lembut dahi sempit itu. Dia ingin meyakinkan Lisa kalau semuanya akan baik-baik saja."Maaf karena aku gak bisa jadi suami yang baik. Papaku udah bikin kamu terbebani, ya?""Gak, papamu benar. Jangan salahkan dia. Dia cuma seorang ayah yang kesepian di usia tuanya. Dia pengen gendong cucu. Tapi aku ...""Kalau hasilnya negatif juga, kita harus beneran program bayi tabung lagi, atau mungkin surogasi."Arka mengambil berkas itu dan menunjukkan pada Lisa. Wanita itu membaca sekilas dan tak memahami sepenuhnya."Proses ba
Lisa membuka mata saat sebuah kecupan dari sang suami. Pria itu sudah duduk di kasur, tepat di sampingnya."Aku minta maaf karena tadi ngomong kasar sama kamu. Kita harus tetap sama-sama. Jangan takut, aku gak akan ninggalin kamu, Lisa."Lisa segera memeluk pinggang Arka. Kepalanya tenggelam dalam bidang dada sang suami, menikmati irama detak jantung yang berdegup berirama. Sangat hangat."Aku akan berusaha, Ka. Tapi berjanjilah, kalau suatu saat kenyataan buruk itu memang terjadi, berjuanglah untuk bahagia tanpaku. Jangan tinggalkan rumah ini demi aku."Arka melepaskan pelukannya dan menatap mata sedih sang istri. Wanita itu menangis terisak, menyayat hati."Kalau memang itu terjadi, aku gak akan ninggalin kamu!" kata Arka sambil menghapus air mata Lisa.Arka tersenyum. Raut tak peduli terbias dan bangkit dari duduknya. Dia meraih sebotol air dingin dari dalam kulkas dan menenggaknya.Setelahnya, didekatinya meja berkas dan meraih beberapa lembaran penting di sana. Meneliti berkas it