Wanita itu cemberut. Ingin beranjak, tapi lengannya ditahan Arka. Suaminya itu meletakkan dagunya di bahu Lisa."Dia udah balik dari Swiss, kemarin datang ke rumah sakit. Nggak tau juga ada urusan apa.""Kamu masih suka sama dia, ya?"Lisa menjauh, menunjukkan aksi merajuk agar suaminya tahu dia cemburu."Nggak, lah, Sayang. Ya ampun, udah basi banget cerita itu, mah. Udah real sepupuan doang, kok. Mungkin dia balik karena kangen Indonesia."Lisa tak bicara lagi, lekas turun ke bawah untuk menikmati sarapan. Mayang, wanita yang baru saja dibicarakan itu tiba-tiba muncul di hadapan mereka.Lisa tak pernah bertemu langsung, hanya mendengar cerita saja. Mayang yang merasa dipaksa oleh perjodohan itu, lari dari pertemuan keluarga hingga Arka mengalami kecelakaan mobil saat mengejarnya."Hai, Lisa. Apa kabar?"Sahutan Mayang itu menerbitkan senyum getir di bibir Lisa. Wanita itu begitu tenang berada di antara kedua mertuanya."Lis, ini Mayang. Sepupunya Arka, anak dari adiknya mama," ujar
Arka menghela napas lelah setelah seharian Mayang mengajaknya berkeliling. Coffee shop di tepi jalan menjadi pilihan mereka. Ada banyak shopping bag berada di atas kursi sisi duduknya. Wanita itu mengajak belanja hingga menguras tenaganya seharian."Seneng banget hari ini! Makasih, ya, Ka."Arka mendengkus geram sambil menyeruput kopi. Sejak tadi dia mengamati ponsel dan belum ada panggilan atau pesan dari sang istri."Kenapa, sih?" tanya Mayang. "Kan, kamu udah izin sama istri kamu. Kalau ada apa-apa, dia pasti telepon kamu, kok.""Aku khawatir sama dia itu wajar, dia lagi mengandung. Seenaknya aja kamu bawa aku pergi. Aku mana bisa melawan perintah mama."Mayang mengambil garpu kecil untuk melahap cheese cake di atas meja. Begitu puas menatap wajah kesal mantan tunangannya itu."Tapi, aku kaget, loh, pas dengar kabar kalau istri kamu hamil. Setahuku dia susah hamil, kan, karena pernah punya kista sewaktu muda? Sampai satu ovariumnya diangkat."Arka tak menyahut. Dia tahu Mayang akan
Kring!!! Suara alarm pagi di atas nakas terdengar berdering keras. Uluran tangan keluar dari balik selimut, meraba nakas untuk mencari sumber bunyi tersebut.Terserang kantuk yang hebat, tangan itu sulit mencari tombol non-aktif untuk weker.Brak!!! Deringan weker itu akhirnya terhenti saat membentur dinding.Seorang wanita cantik mendecak heran melihat tingkah kekanakan suaminya yang tetap sama dari tahun ke tahun meskipun sudah hampir menginjak kepala empat."Arka!"Gundukan selimut tersibak hingga menampakkan si pemalas yang sedari tadi tergulung dalam balutan selimut."Pagi, Sayang!"Masih senyum manis yang sama. Arkana Kenjiro Wijaya. Pria itu masih terlihat tampan di usianya yang ke-39 tahun.Mata sipitnya memandang nakal pada istri yang berdiri tak jauh dari kasur. Lizzya Pinkan, wanita yang masih setia bersamanya sampai menginjak tahun ke sepuluh pernikahan."Pulang kerja nanti, jangan lupa beli weker baru!" kesal Lisa.Arka tertawa, lalu duduk setelah menyingsingkan selimut.
Arka membuka berkas dan meletakkannya di atas meja. Tubuh mungil itu dia raih ke dalam pelukannya. Matanya berisyarat ke tiap laporan medis di hadapannya."Besok pagi habis bangun tidur, langsung test, ya! Atau mau tes sekarang aja ke Dr. Grace?""Pasti bakalan negatif lagi. Sekalipun aku gak sakit, aku udah makin tua. Aku bahkan gak berharap bisa jadi ibu lagi, Ka."Arka berusaha tersenyum meskipun hatinya sangat miris. Setelah menyapu pipi basah Lisa, bibirnya mengecup lembut dahi sempit itu. Dia ingin meyakinkan Lisa kalau semuanya akan baik-baik saja."Maaf karena aku gak bisa jadi suami yang baik. Papaku udah bikin kamu terbebani, ya?""Gak, papamu benar. Jangan salahkan dia. Dia cuma seorang ayah yang kesepian di usia tuanya. Dia pengen gendong cucu. Tapi aku ...""Kalau hasilnya negatif juga, kita harus beneran program bayi tabung lagi, atau mungkin surogasi."Arka mengambil berkas itu dan menunjukkan pada Lisa. Wanita itu membaca sekilas dan tak memahami sepenuhnya."Proses ba
Lisa membuka mata saat sebuah kecupan dari sang suami. Pria itu sudah duduk di kasur, tepat di sampingnya."Aku minta maaf karena tadi ngomong kasar sama kamu. Kita harus tetap sama-sama. Jangan takut, aku gak akan ninggalin kamu, Lisa."Lisa segera memeluk pinggang Arka. Kepalanya tenggelam dalam bidang dada sang suami, menikmati irama detak jantung yang berdegup berirama. Sangat hangat."Aku akan berusaha, Ka. Tapi berjanjilah, kalau suatu saat kenyataan buruk itu memang terjadi, berjuanglah untuk bahagia tanpaku. Jangan tinggalkan rumah ini demi aku."Arka melepaskan pelukannya dan menatap mata sedih sang istri. Wanita itu menangis terisak, menyayat hati."Kalau memang itu terjadi, aku gak akan ninggalin kamu!" kata Arka sambil menghapus air mata Lisa.Arka tersenyum. Raut tak peduli terbias dan bangkit dari duduknya. Dia meraih sebotol air dingin dari dalam kulkas dan menenggaknya.Setelahnya, didekatinya meja berkas dan meraih beberapa lembaran penting di sana. Meneliti berkas it
Lisa tersadar dari lamunan. Begitu takut dengan kemungkinan itu, dia pergi meninggalkan rumah. Berhenti tepat di bawah pohon rimbun di sisi jalan, lalu meraih ponsel untuk menghubungi Arka."Kapan kamu pulang?" tanya Lisa."Ya ampun, segitu kangennya. Tanyain dulu, 'udah makan atau belum, Sayang? Lagi apa?' Ih, gak romantis."Lisa tak bicara lagi. Dia mendengar suara tangisan anak kecil dari ponsel. Juga suara tawa Arka yang begitu indah di telinganya."Kamu lagi di mana ini?" tanya Lisa, lagi."Oh, ini aku lagi di bangsal anak rumah sakit Bogor. Lucu-lucu banget anak-anak di sini. Tadi juga main sebentar ke ruang baby, ada bayi kembar. Gemesnya!"Lisa berjalan gontai dan tak bisa menahan kesedihannya lagi. Sudah hampir sepuluh tahun berlalu dan Arka masih tetap merindukan seorang anak.Bibirnya tak berkata apa pun, tetapi Lisa yakin ada sedikit penyesalan di hati Arka. Suaminya itu tak bersalah, dirinya saja yang tak sempurna."Sayang, kayaknya besok siang aku baru bisa balik. Malam
Suara mesin mobil terdengar memasuki pekarangan. Mobil Arka. Dari kamar lantai dua, Lisa menyingkap gorden dan sangat bahagia suaminya itu sudah pulang. Kemarin dia mendapati kabar tentang kehamilannya, tetapi mengabaikan fakta bahwa kandungan itu akan membahayakan dirinya."Welcome, Prince!"Lisa tak berniat keluar untuk menyambut Arka. Dia ingin menikmati sensasi detak bahagianya itu di kamar ini, saksi bersejarah kisah cinta yang panjang. Diraihnya sebuah kotak panjang di atas meja dan tak sabar hendak memberi kado itu pada Arka.Sementara itu di ruang tengah, Arka sudah tiba dan tak mendapati Lisa yang menyambutnya. Hanya Papa Frans dan Mama Wendi yang terlihat santai menikmati makan siang."Sayang, gak ngabarin mau balik siang ini."Arka tersenyum dan menuangkan segelas air untuk ditenggaknya. "Maaf, aku lupa, Ma.""Kamu pasti mengabari Lisa, tapi dia gak kasih tau kita. Ya, 'kan?" Papa Frans menimpali dengan sinis.Papa Frans sangat sarkas. Arka memaklumi saja dan bingung kenapa
Lisa mulai bercerita tentang kejadian kemarin. Dia menggenggam tangan suaminya itu, menutupi rasa gugup karena mungkin akan ada banyak kata-kata bohong yang keluar dari bibirnya."Semalam aku mau ke market, trus aku pusing dan pingsan, untung ada Yuga di sana. Ah iya, kamu gak kenal dia."Lisa menggaruk tengkuknya karena tak pernah bicara apa pun terkait masa lalunya."Yuga itu mantan pacarku waktu SMU. Hehe," kekeh Lisa."Ehh?"Arka melotot. Lisa tahu ekspresi itu akan dia dapat dari sang suami yang sangat pencemburu."Dia udah nikah, kok. Malah anaknya udah dua. Apaan, sih!" ujar Lisa sambil mencubit perut Arka.Arka menghela napas. Dia hanya mengangguk dan mengizinkan Lisa untuk terus bercerita."Ya udah, dia langsung bawa aku ke Eka Hospital. Dia juga dokter kandungan di sana. Aku tahunya hamil setelah diperiksa sama dia.""Oke, besok kita ke rumah sakit untuk check up lanjutan."Tentu ini tak terelakkan. Arka adalah seorang dokter di Raztan Hospital, bahkan salah satu pemegang sa