Kring!!! Suara alarm pagi di atas nakas terdengar berdering keras. Uluran tangan keluar dari balik selimut, meraba nakas untuk mencari sumber bunyi tersebut.Terserang kantuk yang hebat, tangan itu sulit mencari tombol non-aktif untuk weker.Brak!!! Deringan weker itu akhirnya terhenti saat membentur dinding.Seorang wanita cantik mendecak heran melihat tingkah kekanakan suaminya yang tetap sama dari tahun ke tahun meskipun sudah hampir menginjak kepala empat."Arka!"Gundukan selimut tersibak hingga menampakkan si pemalas yang sedari tadi tergulung dalam balutan selimut."Pagi, Sayang!"Masih senyum manis yang sama. Arkana Kenjiro Wijaya. Pria itu masih terlihat tampan di usianya yang ke-39 tahun.Mata sipitnya memandang nakal pada istri yang berdiri tak jauh dari kasur. Lizzya Pinkan, wanita yang masih setia bersamanya sampai menginjak tahun ke sepuluh pernikahan."Pulang kerja nanti, jangan lupa beli weker baru!" kesal Lisa.Arka tertawa, lalu duduk setelah menyingsingkan selimut.
Arka membuka berkas dan meletakkannya di atas meja. Tubuh mungil itu dia raih ke dalam pelukannya. Matanya berisyarat ke tiap laporan medis di hadapannya."Besok pagi habis bangun tidur, langsung test, ya! Atau mau tes sekarang aja ke Dr. Grace?""Pasti bakalan negatif lagi. Sekalipun aku gak sakit, aku udah makin tua. Aku bahkan gak berharap bisa jadi ibu lagi, Ka."Arka berusaha tersenyum meskipun hatinya sangat miris. Setelah menyapu pipi basah Lisa, bibirnya mengecup lembut dahi sempit itu. Dia ingin meyakinkan Lisa kalau semuanya akan baik-baik saja."Maaf karena aku gak bisa jadi suami yang baik. Papaku udah bikin kamu terbebani, ya?""Gak, papamu benar. Jangan salahkan dia. Dia cuma seorang ayah yang kesepian di usia tuanya. Dia pengen gendong cucu. Tapi aku ...""Kalau hasilnya negatif juga, kita harus beneran program bayi tabung lagi, atau mungkin surogasi."Arka mengambil berkas itu dan menunjukkan pada Lisa. Wanita itu membaca sekilas dan tak memahami sepenuhnya."Proses ba
Lisa membuka mata saat sebuah kecupan dari sang suami. Pria itu sudah duduk di kasur, tepat di sampingnya."Aku minta maaf karena tadi ngomong kasar sama kamu. Kita harus tetap sama-sama. Jangan takut, aku gak akan ninggalin kamu, Lisa."Lisa segera memeluk pinggang Arka. Kepalanya tenggelam dalam bidang dada sang suami, menikmati irama detak jantung yang berdegup berirama. Sangat hangat."Aku akan berusaha, Ka. Tapi berjanjilah, kalau suatu saat kenyataan buruk itu memang terjadi, berjuanglah untuk bahagia tanpaku. Jangan tinggalkan rumah ini demi aku."Arka melepaskan pelukannya dan menatap mata sedih sang istri. Wanita itu menangis terisak, menyayat hati."Kalau memang itu terjadi, aku gak akan ninggalin kamu!" kata Arka sambil menghapus air mata Lisa.Arka tersenyum. Raut tak peduli terbias dan bangkit dari duduknya. Dia meraih sebotol air dingin dari dalam kulkas dan menenggaknya.Setelahnya, didekatinya meja berkas dan meraih beberapa lembaran penting di sana. Meneliti berkas it
Lisa tersadar dari lamunan. Begitu takut dengan kemungkinan itu, dia pergi meninggalkan rumah. Berhenti tepat di bawah pohon rimbun di sisi jalan, lalu meraih ponsel untuk menghubungi Arka."Kapan kamu pulang?" tanya Lisa."Ya ampun, segitu kangennya. Tanyain dulu, 'udah makan atau belum, Sayang? Lagi apa?' Ih, gak romantis."Lisa tak bicara lagi. Dia mendengar suara tangisan anak kecil dari ponsel. Juga suara tawa Arka yang begitu indah di telinganya."Kamu lagi di mana ini?" tanya Lisa, lagi."Oh, ini aku lagi di bangsal anak rumah sakit Bogor. Lucu-lucu banget anak-anak di sini. Tadi juga main sebentar ke ruang baby, ada bayi kembar. Gemesnya!"Lisa berjalan gontai dan tak bisa menahan kesedihannya lagi. Sudah hampir sepuluh tahun berlalu dan Arka masih tetap merindukan seorang anak.Bibirnya tak berkata apa pun, tetapi Lisa yakin ada sedikit penyesalan di hati Arka. Suaminya itu tak bersalah, dirinya saja yang tak sempurna."Sayang, kayaknya besok siang aku baru bisa balik. Malam
Suara mesin mobil terdengar memasuki pekarangan. Mobil Arka. Dari kamar lantai dua, Lisa menyingkap gorden dan sangat bahagia suaminya itu sudah pulang. Kemarin dia mendapati kabar tentang kehamilannya, tetapi mengabaikan fakta bahwa kandungan itu akan membahayakan dirinya."Welcome, Prince!"Lisa tak berniat keluar untuk menyambut Arka. Dia ingin menikmati sensasi detak bahagianya itu di kamar ini, saksi bersejarah kisah cinta yang panjang. Diraihnya sebuah kotak panjang di atas meja dan tak sabar hendak memberi kado itu pada Arka.Sementara itu di ruang tengah, Arka sudah tiba dan tak mendapati Lisa yang menyambutnya. Hanya Papa Frans dan Mama Wendi yang terlihat santai menikmati makan siang."Sayang, gak ngabarin mau balik siang ini."Arka tersenyum dan menuangkan segelas air untuk ditenggaknya. "Maaf, aku lupa, Ma.""Kamu pasti mengabari Lisa, tapi dia gak kasih tau kita. Ya, 'kan?" Papa Frans menimpali dengan sinis.Papa Frans sangat sarkas. Arka memaklumi saja dan bingung kenapa
Lisa mulai bercerita tentang kejadian kemarin. Dia menggenggam tangan suaminya itu, menutupi rasa gugup karena mungkin akan ada banyak kata-kata bohong yang keluar dari bibirnya."Semalam aku mau ke market, trus aku pusing dan pingsan, untung ada Yuga di sana. Ah iya, kamu gak kenal dia."Lisa menggaruk tengkuknya karena tak pernah bicara apa pun terkait masa lalunya."Yuga itu mantan pacarku waktu SMU. Hehe," kekeh Lisa."Ehh?"Arka melotot. Lisa tahu ekspresi itu akan dia dapat dari sang suami yang sangat pencemburu."Dia udah nikah, kok. Malah anaknya udah dua. Apaan, sih!" ujar Lisa sambil mencubit perut Arka.Arka menghela napas. Dia hanya mengangguk dan mengizinkan Lisa untuk terus bercerita."Ya udah, dia langsung bawa aku ke Eka Hospital. Dia juga dokter kandungan di sana. Aku tahunya hamil setelah diperiksa sama dia.""Oke, besok kita ke rumah sakit untuk check up lanjutan."Tentu ini tak terelakkan. Arka adalah seorang dokter di Raztan Hospital, bahkan salah satu pemegang sa
Lisa meraih sebuah pemantik dari dalam laci meja dan membakar ujung amplop hingga berubah menjadi abu. Semua bukti itu hilang bersama timbunan kertas-kertas yang ikut terbakar di dalam tong sampah kaleng di sudut lemari.Tak ada rasa penyesalan, Lisa justru tersenyum sambil mengusap perutnya."Bertahanlah, Sayang! Mama akan lakukan apa pun supaya kamu tetap sehat di dalam sana. Gak sabar pengen ketemu papa, 'kan? Kalaupun nanti mama gak bisa peluk dan jagain kamu, kamu harus tetap tumbuh jadi anak yang baik dan pinter. Mama sayang sama kamu."Lisa sudah memilih jalan berbahaya untuk membahagiakan Arka. Meskipun dia tahu akan sangat sulit, terbersit sedikit keinginan untuk tetap bisa hidup juga saat bayinya lahir nanti. Keluarga kecil yang dia impikan itu mungkin akan datang suatu hari nanti.*Sore hari menjadi saat di mana Keluarga Wijaya bersantai menjemput malam. Di ruang tengah itu, Papa Frans asik menonton berita olahraga di telivisi, sedangkan Mama Wendi mengerjakan sesuatu di m
Lisa mengangguk dan memeluk Arka. Dia melepaskan semua beban hatinya di pelukan suaminya itu.'Aku yakin kamu akan marah kalau tau yang sebenarnya. Tapi sama seperti kamu, aku juga ingin melahirkan seorang anak yang bisa jagain kamu kalau aku gak bisa bertahan nanti,' bisik batin Lisa sambil sesekali mengecup bahu Arka.Takdir yang akan membawa akhir kisah mereka. Arka pun tak sabar hendak memberi tahu kedua orangtuanya. Dia meraih secarik amplop di atas meja yang merupakan hasil tes Lisa. Langkahnya tergesa-gesa seiring Lisa menyusulnya dari belakang dengan langkah pelan.Tingkah suaminya itu seperti anak kecil yang baru saja diberikan permen. Lisa sangat terharu melihatnya.Arka tiba di ruang tengah dan melihat kedua orangtuanya sedang berdiri hendak meninggalkan ruang tengah."Papa!"Arka segera berhambur dalam pelukan papanya. Mama Wendi tak mengerti dan menoleh pada menantunya. Lisa hanya tersenyum, berisyarat bahwa mereka akan mendengarnya langsung.Arka masih terus mengeratkan
Papa Frans tak tahan dan langsung mengetuk kepala Arka. Si tampan itu sampai mengaduh sambil mengusap kepalanya."Papa, ih!" ujar Mama Wendi."Ini anak ngomongnya bar-bar banget. Heran aku!" dumel Papa Frans."Apa, sih, Pa? Tega bener nyiksa aku gini," keluh Arka."Ya kamu itu mulutnya nggak bisa dijaga di depan orangtua, mah. Perlu disekolahin lagi?" canda Papa Frans."Nggak, Pa. Makasih. Udah kenyang aku. Ini mulut blangsak udah bawaan orok, Pa.""Dokter begini modelnya, apaan? Dulu kamu masuknya nyogok, ya?" Papa Frans masih asik berdebat dengan Arka.Dua pria ini memang sangat mirip kerasnya. Mama Wendi dan yang lain hanya tepuk jidat karena mereka tak henti melempar argumen.Tawa keluarga itu menghiasi setengah jam kebersamaan. Setelah itu, Arka dipapah Rizwar untuk naik ke lantai dua kamarnya. Betapa gugupnya dia menyadari pintu kamarnya terbuka. Sempat mengintip, istrinya itu masih duduk di depan meja rias."Riz, takut banget gue masuk, mah. Tengsin, lah! Udah bikin surat pami
Setelahnya, Rizwar masuk ditemani Grace. Arka sangat bersyukur mereka selalu menemaninya."Lisa tadi langsung pulang waktu tau kamu udah sadar. Jangan salah paham! Dia cuma belum siap ketemu kamu. Tadi dia juga bawa Ariel. Tapi pasti nanti Ariel nggak nyaman, bahaya juga karena di rumah sakit, 'kan? Jadi langsung dibawa pulang aja," papar Grace, menjelaskan semua seolah paham apa yang ingin diketahui Arka saat ini."Setelah ini pulang dan jangan keras kepala lagi. Satu pelajaran buat lo. Kalau ada masalah, jangan disimpan sendiri karena bisa bikin salah paham segede ini," tutur Rizwar, menambahkan."Hm! Istri itu separuh nyawa suaminya. Jangan rahasiakan apa pun, karena seorang istri akan merasa bahagia jika dianggap penting sama suaminya," pesan sang ibu.Tak lama, dr. Farhan masuk bersama dr. Hanif. Dua dokter itu juga sigap memantau kesehatannya selama ini."Pelan-pelan aja. Untuk saat ini, operasi pengangkatan tumornya sukses. Tapi masih tetap harus medical check up rutin untuk me
Pernikahan sudah dijalani sepuluh tahun. Selama ini, semarah apa pun Arka, sikap lembut Lisa yang berusaha menenangkan Arka membuat pria itu selalu memperbaiki diri dan menarik kembali amarahnya. Pertengkaran diredam karena Arka melihat cinta di mata Lisa. Akan tetapi beberapa bulan ini, kemarahan Lisa membuat Arka berada dalam tekanan.Ternyata cinta Arka saja tak cukup untuk melunakkannya. Tak peduli seberapa keras pria itu berupaya, bersujud, bahkan menangis sekalipun, Lisa tak goyah. Suaminya itu menahan sesak akibat kemarahan tak berujung Lisa."Maafin aku, Ka ...."Papa Frans menoleh saat mendengar isak tangis Lisa. Dia bangkit untuk mendekati menantunya itu, mengajaknya duduk di kursi tunggu. "Kamu sebaiknya pulang dulu, makan dan istirahat. Kamu belum ada pulang. Itu pasti stock ASI buat Ariel udah habis. Kasian dia," pinta beliau."Arka pasti bangun, kan, Pa?"Lisa sangat takut terjadi hal buruk hingga dia terus meyakinkan diri akankah Arka bangun dengan cepat. Papa Frans b
Bahkan tanpa permintaan pun, Lisa sama sekali tak bisa bicara karena sangat shock. Tak sengaja, dia menoleh pada kasur dan mendapati buku tebal dengan judul mengejutkan.Itu adalah buku tuntunan braile untuk pemula. Jantungnya seakan jatuh, lututnya terasa lemas hingga tak bisa lagi berpijak. Dia terduduk di tepi kasur. Melihat wanita itu sejak tadi bungkam, Arka sangat kesal. Arka juga duduk di tepi kasur di hadapannya dan siap menghakiminya dengan kemarahan."Harusnya kamu berpikir dua kali dan—"Ucapan Arka tergantung saat menyentuh dua lengan wanita itu. Walau sebenarnya bentuk tubuh Lisa dan Grace tak beda jauh, tapi lengan itu selalu dipegangnya selama sepuluh tahun ini.Arka terkejut. Beberapa kali dia mencoba menajamkan pandangannya, atau sedikit mendekat hanya untuk mencium jelas aroma parfum itu.Lisa menangis perih. Sudah sejauh mana semua ini? Dirinya tak membutuhkan alasan lagi. Lantas menyambar sisi kepala Arka, menjatuhkan suaminya itu untuk berbaring saat menciumnya.
Grace menyodorkan berkas itu. Lisa membaca deretan laporan medis itu. Dia terkejut saat vonis disorder itu diberikan pada pasien bernama Arkana Wijaya, suaminya sendiri. Kenapa dia tak mengetahuinya? Tangan Lisa gemetar, pandangannya kabur, tetapi dia harus tetap membacanya."Ini .... nggak benar, kan?" lirih Lisa dengan dagu gemetar sebab menahan tangis."Dia seorang pasien, Lisa. Dia bahkan nggak bisa mengendalikan emosi dan perasaannya. Saat itu dia nggak sengaja menyakitimu karena nggak bisa berpikir jernih. Bahkan dia mengkonsumsi pil anti depresi agar sanggup menerima semua tekanan stres darimu, Lizzya."Lisa menangis sesenggukan, bahkan tak ada kata yang bisa terucap dari bibirnya. "Bahkan dengan kenyataan ini aja udah bikin kamu hancur, Lisa. Kamu belum mendengar semuanya, kan? Aku nggak bisa bilang ke kamu karena aku takut kamu nggak sanggup dengar yang lebih buruk dari ini."Saat Grace berbalik hendak pergi, Lisa bersimpuh di lantai dan memegang kaki Grace. Grace merasa kas
Kepala Lisa seakan meledak. Wanita itu belakangan ini dekat dengan suaminya. Mereka bahkan pergi ke Bali bersama dan mungkin sudah kembali sekarang."Arini, bawa Ariel pulang duluan. Aku mau bicara sama perempuan ini.""Baik, Mbak."Mobil melaju cepat meninggalkan Lisa. Hanya tinggal mereka berdua sekarang. Grace belum bicara, hanya memegang shopping bag dan berkas di tangannya dan tersenyum sinis."Ada perlu apa? Keliatan bahagia banget kamu!" sindir Lisa.Grace belum bicara, memperhatikan wajah kesal Lisa. Sungguh malang nasib Arka yang sangat menderita di sana, sementara itu, istrinya hanya sibuk bergulat dengan kemarahan dan kecemburuan saja. Grace meletakkan lebih dulu shopping bag itu di lantai."Kenapa aku harus nggak bahagia? Ada orang-orang baik di sekitarku," oceh Grace."Kenapa kamu datang ke sini? Mau pamer kalau sekarang kamu bisa dapetin dia, hah?""Dapetin gimana? Kami masih dekat aja. Kalau kamu gugat cerai dia ... dia jadi milikku sepenuhnya.""Dasar j*lang! Sebenarny
Rizwar baru saja melakukan terapi pada pasiennya. Panggilan masuk dari Grace muncul di layar ponsel. "Ya, Grace. Ada apa?" sambutnya."Tadi Arka pingsan. Keliatannya memang penglihatannya makin buruk. Sekarang masih bisa kutangani. Tapi tetap aja, kita harus mulai persiapkan operasinya."Rizwar tak ingin menunda lagi, lantas pergi ke villa karena khawatir akan kondisi Arka. Hingga satu jam berikutnya, mobilnya berhenti tepat di depan pelataran villa. Dia bertemu dengan Grace."Gimana keadaan Arka?""Udah lumayan. Semalaman dia istirahat. Kondisi kepalanya katanya udah enakan. Tapi soal penglihatannya, dia nggak mau cerita apa-apa waktu kutanya," papar Grace.Rizwar meninggalkan Grace dan mencari kamar Arka. Pintu di sudut itu terbuka. Arka sudah siuman. Dia sedang duduk melamun, memegang buku tebal di pangkuannya. Masih ada selang infus yang terhubung ke nadinya.Suara decit pintu terdengar, mengusik lamunan Arka. Pria itu menoleh ke pintu, menatap sosok bayangan kabur yang berdiri d
Arka terbangun saat mendengar suara decit gorden yang tersudut. Grace membiarkan matahari masuk mengisi kamar Arka. Entah karena silau, Arka mengucek matanya karena tak bisa melihat jelas sosok wanita itu berdiri di dekat jendela. "Aku udah siapin sarapan. Cepat mandi dan turun. Apa kamu ada kegiatan hari ini? Kalau nggak ada, dr. Azka sebentar lagi datang untuk pemeriksaan rutin." Arka belum menjawab. Kepalanya sakit dan pandangannya memang mulai buram. Wanita itu pun pergi saja dari kamar Arka. "Untuk sementara ini kayaknya harus pakai kacamata terus." Arka berjalan sempoyongan ke kamar mandi. Entah karena terlalu sepele, dia mengabaikan begitu saja kondisi penglihatan dan perkembangan tumor itu. Dia terus menanti akankah Lisa memintanya pulang atau tidak. Usai mandi, Arka menemeni Grace dan beberapa penghuni villa untuk jamuan sarapan. Sejak tadi Arka berdiam diri. Dia hanya terus menyantap segelas susu dan potongan roti di atas meja. Grace hanya memperhatikan. Saat Arka henda
Grace masuk dan duduk di sofa yang berada di sudut, masih menatap Arka yang sedang menyusun pakaian ke dalam lemari. Ada beberapa buku di atas meja sebagai penghilang kejenuhan saat Arka sedang mengambil cuti. "Ini buku buat apa? Takutnya sayang nggak kebaca.""Kenapa? Butuh buku yang lain?" tanya Grace."Hm. Mau main ke toko buku. Besok pagi kamu langsung balik aja, nanti kamu malah diskors karena ikutan cuti. Lagian anak kamu nggak ada yang jagain.""Aku udah urus surat cuti, Ka. Setahun ini aku belum ada ambil jatah libur, kan?""Jadi maunya gimana? Kamu nginep di sini juga?""Kalau nggak keberatan, sih. Lagian ada Mang Karim dan istrinya juga. Andreas bentar lagi juga bawa istri sama anaknya pindah ke sini. Aku tinggal di kamar sebelah, nggak usah takut. Aku cuma mau jaga kamu sampai kamu mau untuk perawatan.""Aku juga mau sembuh. Aku kasih waktu dua minggu ini apa Lisa bakalan nelepon aku atau nggak. Eh tapi, hp ku mati, ya?"Arka meraih ponsel di atas tempat tidur. Ponselnya t