Share

AKU MANDUL (Tapi Kenapa Istriku Bisa Hamil?)
AKU MANDUL (Tapi Kenapa Istriku Bisa Hamil?)
Penulis: Fithri Aulia

Dunia Kita

Kring!!! Suara alarm pagi di atas nakas terdengar berdering keras. Uluran tangan keluar dari balik selimut, meraba nakas untuk mencari sumber bunyi tersebut.

Terserang kantuk yang hebat, tangan itu sulit mencari tombol non-aktif untuk weker.

Brak!!! Deringan weker itu akhirnya terhenti saat membentur dinding.

Seorang wanita cantik mendecak heran melihat tingkah kekanakan suaminya yang tetap sama dari tahun ke tahun meskipun sudah hampir menginjak kepala empat.

"Arka!"

Gundukan selimut tersibak hingga menampakkan si pemalas yang sedari tadi tergulung dalam balutan selimut.

"Pagi, Sayang!"

Masih senyum manis yang sama. Arkana Kenjiro Wijaya. Pria itu masih terlihat tampan di usianya yang ke-39 tahun.

Mata sipitnya memandang nakal pada istri yang berdiri tak jauh dari kasur. Lizzya Pinkan, wanita yang masih setia bersamanya sampai menginjak tahun ke sepuluh pernikahan.

"Pulang kerja nanti, jangan lupa beli weker baru!" kesal Lisa.

Arka tertawa, lalu duduk setelah menyingsingkan selimut. Istrinya itu bahkan lupa meletakkan spatula karena buru-buru menghampiri kamar.

"Kamu pengen bangunin aku dengan cara getok pakai spatula, ya?" gerutu Arka.

"Alarm kamu itu kedengaran sampai dapur, tau! Uh, ini udah jam berapa?"

"Kamu tau aku lembur, harusnya jangan pasang alarm. Ke sini sebentar!"

Kalau dipanggil Arka ke kasur di saat seperti ini, pasti suaminya itu ingin bermanja sedikit. Lisa meletakkan spatula di meja sudut dan berjalan mendekat.

"Cepetan. Takut digigit? Udah biasa ini!"

Arka menarik lengan Lisa dan memutar pinggang istrinya itu, lalu menyelipkan dagunya di antara bahunya yang mungil.

Dengan rambut yang tergulung ke atas, Arka bisa menghirup bebas aroma parfum yang menguar dari tengkuk Lisa.

"Ini udah tanggal 1."

"Kenapa, Ka? Kamu gajian? Belum setoran, 'kan?"

"Bini taunya duit mulu, bukan itu. Ini udah lewat dua minggu, 'kan?"

"Apanya? Ga jelas banget ngomongnya, Sayang."

Arka menarik pengait laci agar bisa membukanya. Dia mengambil benda persegi panjang ringan di atas tumpukan buku. Lisa menghela napas saat benda itu dihadapkan padanya. Test pack.

"Kalau negatif, gimana?" lirih Lisa, pasrah.

Arka tersenyum tipis. Dia lebih mendekatkan bibirnya ke sisi telinga Lisa.

"Ya kalau gitu, akunya yang enak."

Lisa tertawa kecil. Begitulah cara Arka agar bisa membujuk Lisa untuk tak takut menghadapi garis apa pun yang muncul dari benda itu.

Saat hendak menyambut kecupan manis Arka, suara berisik terdengar mendekati. Lebih tepatnya, derap langkah kaki yang terdengar memburu.

"Arka udah bangun, Lis?!"

Arka mendengkus kesal. Dia meninggalkan kecupan manjanya dan telungkup di kasur. Lisa tertawa kecil, justru menenggelamkan kepala suaminya itu dalam balutan selimut biru tua.

"Jangan macem-macem, ya! Gak enak diliat mama."

Lisa tersenyum sambil menepuk punggung Arka.

"Auk, ah!"

Setelah Lisa meninggalkan kamar, Arka keluar dari persembunyiannya. Dia melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh.

"Masih ada waktu sampai jadwal operasi siang nanti. Ngantuk!"

Arka kembali menarik selimut untuk mengurung tubuhnya. Sepuluh tahun telah berlalu, inilah hari-hari yang dijalani. Semua berubah begitu cepat, dilalui dengan cinta dan kesabaran.

*

Siang harinya, Lisa membawa bekal ke rumah sakit untuk memastikan suaminya itu mengisi perut saat jam makan siang. Sejak tiba di ruang kerja sang suami, Lisa diminta menunggu.

Arka tak ingin konsentrasinya terganggu untuk menganalisis laporan medis seorang pasien.

"Jadi aku beneran disuruh nunggu aja, nih?" keluh Lisa.

"Bentar, ini juga udah kelar."

Setelah melepas kacamata, Arka bangkit dari duduknya dengan membawa beberapa berkas. Lisa kesal karena suaminya itu sungguh tak bisa lepas dari pekerjaan.

"Makan dulu! Aku gak mau kamu kerja terus!"

Arka tak ingin membantah, hanya mengangguk setuju agar Lisa mulai menyiapkan bekal yang harus disantap di siang hari ini.

"Kerjaanku banyak."

Tangannya malas sekali bekerja. Lisa harus memberikan makan suaminya itu langsung dari tangannya. Lisa pun tak merasa keberatan.

Sangat bahagia bisa melayani suami yang masih setia di sampingnya dengan segala kekurangan yang ada.

"Nanti lagi."

Hanya beberapa suapan saja yang diberikan.

Lisa menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Sepanjang itu, dia hanya melihat Arka kembali sibuk dengan berkas di tangannya.

Senyum nakal pun terbit di bibir Lisa. Jari-jarinya memberi cubitan kecil di leher Arka.

"Sayang!"

Arka menaikkan sedikit bahunya, isyarat geli. Tak bisa diganggu. Lisa ingin menarik perhatian Arka dengan mengambil berkas di tangan suaminya itu.

"Aku lebih penting daripada berkas itu?"

Arka memasang wajah serius. Dia sedikit membungkuk agar bisa menjangkau berkas yang berada di sofa samping Lisa.

"Tentu aja berkas itu lebih penting."

Lisa terkejut mendengar jawaban serius Arka. Suaminya itu kembali membuka berkas sambil melirik Lisa.

"Karena ini akan membantu kita untuk ngasih cucu ke mama-papa."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status