Share

Kesetiaan

Lisa membuka mata saat sebuah kecupan dari sang suami. Pria itu sudah duduk di kasur, tepat di sampingnya.

"Aku minta maaf karena tadi ngomong kasar sama kamu. Kita harus tetap sama-sama. Jangan takut, aku gak akan ninggalin kamu, Lisa."

Lisa segera memeluk pinggang Arka. Kepalanya tenggelam dalam bidang dada sang suami, menikmati irama detak jantung yang berdegup berirama. Sangat hangat.

"Aku akan berusaha, Ka. Tapi berjanjilah, kalau suatu saat kenyataan buruk itu memang terjadi, berjuanglah untuk bahagia tanpaku. Jangan tinggalkan rumah ini demi aku."

Arka melepaskan pelukannya dan menatap mata sedih sang istri. Wanita itu menangis terisak, menyayat hati.

"Kalau memang itu terjadi, aku gak akan ninggalin kamu!" kata Arka sambil menghapus air mata Lisa.

Arka tersenyum. Raut tak peduli terbias dan bangkit dari duduknya. Dia meraih sebotol air dingin dari dalam kulkas dan menenggaknya.

Setelahnya, didekatinya meja berkas dan meraih beberapa lembaran penting di sana. Meneliti berkas itu dan masih serius bicara pada istrinya.

"Kamu harus semangat dan kita ke dokter besok."

Arka memperbaiki posisi dasinya agar terlihat lebih rapi. Lisa pun turun dari kasur dan membantu sang suami untuk bersiap.

*

Sudah hampir jam tiga siang ketika Arka menatap arlojinya. Dia duduk di kantin rumah sakit dan sudah menghabiskan segelas teh manis hangat. Betapa dia selalu tersenyum melihat anak-anak kecil yang berlarian di taman samping. Tak lama, ponsel-nya berdering karena ada panggilan dari rekannya.

"Ya, dr. Grace?"

"Dok, kenapa belum juga periksa ke sini? Lisa sudah pernah melakukan terapi, saya rasa kondisi rahimnya sudah lebih baik."

"Saya sudah bujuk dia. Besok kami akan ke sana."

"Saya tunggu!"

Arka meletakkan kembali ponsel-nya. Di rumah, Papa Frans dan Mama Wendi sudah menyantap hidangan siang hari, tetapi Lisa gelisah menunggu Arka yang tak kunjung datang.

"Arka masih lama pulangnya?"

"Mungkin macet, Pa. Mama sama Papa makan duluan aja. Nanti Arka makan bareng aku."

Lisa beranjak dan duduk santai di beranda. Ponsel di saku menjadi alternatif saat ini. Ada pesan masuk dari Arka.

[Aku lagi jalan-jalan sebentar makan ice cream. Makan duluan aja. Kalau aku pulang kamu belum makan, aku yang akan makan kamu!]

Lisa tersenyum membaca pesan itu.

*

Keesokan harinya, pemandangan itu cukup mengusik perhatian Lisa.

Dari lantai atas, dilihatnya Papa Frans berbicara dengan seorang wanita cantik dan berwibawa. Dia tak ingin kejadian masa lalu kembali mengusik pikirannya.

"Siapa wanita itu?"

Lisa mulai takut dan tak ingin ditinggalkan oleh Arka, tetapi Papa Frans sangat serius ketika dia mengatakan ingin seorang cucu.

Dua tahun yang lalu, di kamar, Lisa dan Arka akhirnya terlibat konflik meruncing perihal bayi yang belum lahir setelah delapan tahun menikah.

"Berapa kali kukatakan, aku gak mau, Ka!"

"Kenapa kamu bersikap gini, Lisa? Ini udah delapan tahun kita menikah, gak ada salahnya melakukan program surogasi."

Lisa menangis, duduk di tepi kasur sambil menahan jeritan hatinya. Tak salah jika Arka mulai lelah, tetapi dia tetap tak siap kehilangan sang suami.

"Sebelumnya kita udah coba proses bayi tabung, tapi gak berhasil juga. Jangan berikan harapan kosong lagi, Arka."

Arka mulai meredakan emosi, lalu menyentuh jemari mungil Lisa adalah cara yang bisa dia lakukan untuk menenangkan.

"Kita cuma manusia yang selalu berusaha, Sayang. Proses bayi tabung gagal karena memang rahim kamu yang ga kuat. Kita akan terus sembuhkan kamu, dan selama penantian itu, mungkin program surogasi berhasil dan kita bisa punya anak."

Meskipun Arka sudah membujuk, Lisa tak siap dengan keputusan itu. Dia sangat marah dan menepis tangan suaminya.

"Kalau gitu, bersabarlah sampai aku bisa mengandung sendiri! Apa artinya bisa punya anak tapi dari rahim wanita lain? Aku ingin tau rasanya hamil dan melahirkan. Itu akan bikin aku lebih sempurna sebagai wanita. Kenapa itu aja kamu gak paham?"

Arka mulai kesal seraya berjalan ke sisi meja. Tak tahu harus melampiaskan amarah pada siapa, berkas di atas meja pun berserakan ke lantai.

"Kamu egois! Kenapa gak pikirkan aku? Aku cuma gak mau liat kamu sedih terus! Bukan cuma anak yang aku inginkan, tapi aku mempertahankan rumah tangga kita. Ini udah hampir 8 tahun, Lisa!"

Lisa menangis lirih. Dia mengerti keinginan Arka, tetapi juga sakit saat menyadari begitu banyak orang terluka karenanya.

"Mau sampai kapan begini terus, Lisa? Kita bahkan gak pernah bilang ke papa tentang kondisi kamu! Andai aja papa tau kamu sulit punya anak karena kista yang pernah kamu derita dan juga satu indung telur kamu diangkat, papa pasti gak akan pernah mau kamu jadi menantunya."

Lisa seperti tertampar. Tak maksud berkata kasar, tetapi Arka hanya ingin sang istri menyadarinya.

"Mengertilah, kalau sampai papa tau ini, rumah tangga kita bisa selesai sekarang juga. Mungkin papa akan minta kita pisah dan aku ...."

Lisa segera memeluk Arka. Suaminya itu hanya diburu rasa takut karena akan dipisahkan dari sang istri, bukan semata-mata karena dia sangat ingin memiliki anak.

Saat keduanya tenggelam dalam kesedihan mereka, kehadiran Papa Frans dan Mama Wendi di depan pintu kamar akhirnya menjadi bom yang siap menghancurkan asa mereka.

"Pa, aku bisa jelaskan semuanya," bujuk Arka.

Mereka terhenti di ruang tengah. Mama Wendi terlihat shock meskipun tak bisa menghakimi Lisa yang menangis histeris karena takut. Pertengkaran Papa Frans dan Arka menghancurkan ketentraman keluarga mereka.

"Tega sekali kamu membohongi kami, Arka! Wanita seperti apa yang kamu nikahi, hah? Dan sekarang, kamu ingin aku berbuat apa? Memaafkan kalian?" bentak sang kepala keluarga Wijaya.

Arka menunduk dalam mendengar tudingan kasar sang papa.

"Apa kamu memang berniat menghabiskan hidupmu dengan istri cacat seperti itu? Mau sampai kapan kamu merahasiakan ini? Sampai aku mati?"

Sungguh penghinaan yang sangat menyakitkan hati. Arka tak bisa berontak karena dirinya memang bersalah pada orangtuanya.

"Ceraikan dia dan menikah dengan wanita lain! Beri aku seorang cucu sebelum aku mati!" kecam Papa Frans, lagi.

"Aku gak akan lakuin itu, Pa. Please, kasih kami waktu lagi."

"Aku akan mulai carikan seorang wanita untuk kamu nikahi. Urus surat perceraian kalian."

Keceriaan pun menghilang. Bahkan beberapa hari setelahnya, rumah jadi sering kedatangan beberapa wanita yang diajukan Papa Frans pada Arka sebagai calon istri setelah nantinya proses cerai dilakukan.

Lisa tak tahan dan ingin pergi, tetapi Papa Frans seperti sudah hilang kesabaran. Hingga hari itu, dia tak bisa menahan tangis ketika Arka berlutut di hadapan papanya, meminta agar tak dipisahkan dari sang istri.

"Tolong, Pa, beri kami kesempatan terakhir. Hidup kita semula baik-baik aja. Aku yakin kami masih punya harapan."

Arka menangkupkan dua tangan ketika berlutut tepat di depan papanya. Raut wajah pria tua itu tak berubah.

"Berapa lama lagi waktu yang kamu minta?"

Arka melepas napas lelah. Matanya berbinar penuh harap.

"Seenggaknya dua sampai tiga tahun lagi, Pa. Aku yakin pengobatan Lisa berhasil dan kami bisa punya anak."

"Berdoa saja kalau aku bisa hidup sampai saat itu. Kamu mengecewakanku, Arka!"

Kejadian itu tak bisa dilupakan oleh Lisa. Sejak hari itu, dirinya hanya dilirik sebelah mata oleh sang mertua.

*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status