Share

Mimpi Buruk

Lisa tersadar dari lamunan. Begitu takut dengan kemungkinan itu, dia pergi meninggalkan rumah. Berhenti tepat di bawah pohon rimbun di sisi jalan, lalu meraih ponsel untuk menghubungi Arka.

"Kapan kamu pulang?" tanya Lisa.

"Ya ampun, segitu kangennya. Tanyain dulu, 'udah makan atau belum, Sayang? Lagi apa?' Ih, gak romantis."

Lisa tak bicara lagi. Dia mendengar suara tangisan anak kecil dari ponsel. Juga suara tawa Arka yang begitu indah di telinganya.

"Kamu lagi di mana ini?" tanya Lisa, lagi.

"Oh, ini aku lagi di bangsal anak rumah sakit Bogor. Lucu-lucu banget anak-anak di sini. Tadi juga main sebentar ke ruang baby, ada bayi kembar. Gemesnya!"

Lisa berjalan gontai dan tak bisa menahan kesedihannya lagi. Sudah hampir sepuluh tahun berlalu dan Arka masih tetap merindukan seorang anak.

Bibirnya tak berkata apa pun, tetapi Lisa yakin ada sedikit penyesalan di hati Arka. Suaminya itu tak bersalah, dirinya saja yang tak sempurna.

"Sayang, kayaknya besok siang aku baru bisa balik. Malam ini masih mau bicarain sesuatu sama pihak rumah sakit sini. Jangan lupa makan dan minum vitaminnya, ya! Nanti aku telepon Farrel, kangen banget."

"Kamu juga jangan lupa makan."

"Aku tutup dulu. Love you!"

"Love you too."

Panggilan diakhiri.

Bertahun-tahun lamanya dan cinta Arka tak pernah pudar. Namun, Arka takkan pernah tega menyakiti papanya lebih jauh.

Ini sudah lewat tahun kedua berlalu sejak Papa Frans memperpanjang maafnya. Itu artinya tahun ini juga, Lisa harus bisa memberikan cucu untuknya.

Dia yakin Arka takkan meninggalkannya. Akan tetapi, sikap Papa Frans terhadap Farrel dan juga keresahan hati Arka membuat Lisa nyaris putus asa.

Lisa merasa sangat pusing di bawah teriknya matahari. Stres yang dapat menaikkan kadar asam lambung membuatnya ingin memuntahkan isi perutnya.

Saat hampir limbung, Lisa terkejut ketika ada yang memegang bahunya dengan sigap. Mata hazelnya mulai terbuka untuk mencari tahu siapa yang menjaganya saat ini.

"Maaf."

Lisa menoleh dan terkejut melihat orang yang menolongnya.

"Yuga?"

"Kamu kenapa? Sakit?"

Teman lama. Lisa tersenyum sungkan karena sudah lama tak bertemu pria bersuara husky dengan kulit pucatnya itu.

"Cuma agak pusing sedikit," ulas Lisa.

"Aku antar, ya! Sekalian aku periksa. Kebetulan ini aku mau ke rumah sakit."

"Aku gak apa-apa, cuma agak capek aja."

"Gak. Muka kamu pucat gitu. Udah, jangan bantah. Makin tua, kok, makin bandel?"

Mobil pun melaju cepat di antara ruas jalan raya. Tak lama setelah itu, Lisa justru pingsan hingga Yuga memanggil petugas medis agar gegas untuk diperiksa.

*

"Kamu udah merasa baikan, Lis?"

"Masih agak pusing."

Di balik sisi tirai yang lain, Lisa duduk di hadapan meja dr. Yuga dengan wajah yang pucat. Pria itu terlihat sangat serius sambil membaca laporan di tangannya.

"Kenapa? Serius gitu muka kamu!"

"Kamu sedang mengandung, ya? Kenapa keliaran di jalan?"

Lisa terkejut mendengar perkataan Yuga. Bibirnya setengah terbuka dan matanya berkaca-kaca.

"Aku ... hamil?"

dr. Yuga mengangguk, namun tak menunjukkan raut tersenyum seperti dokter lainnya yang akan selalu bahagia memberikan kabar itu pada sang calon ibu.

"Iya, ini udah masuk minggu ke-6. Kamu gak tau?"

Lisa bahkan ingin menjerit karena bahagia. Ini pertama kalinya dia hamil dalam kondisi normal. Kalau sebelumnya, dia sempat positif hamil melalui proses bayi tabung.

"Syukurlah, terima kasih, Tuhan."

"Apa kamu memang punya masalah dengan rahim kamu?"

"Iya, waktu masih muda, aku terkena kista dan satu ovariumku diangkat. Setelah pengobatan, ternyata ada masalah juga sama rahimku. Aku menikah selama hampir sepuluh tahun dan belum punya anak. Sempat empat tahun lalu ikut program bayi tabung, tapi aku keguguran di usia 4 bulan karena rahimku gak cukup kuat untuk mengandung. Selama ini, aku jalani pengobatan karena dorongan suamiku, dan sekarang aku senang banget bisa hamil lagi. Aku gak sabar mau kasih tau Arka."

Malaikat kecil akan hadir untuk membahagiakan keluarga Wijaya. Dia akan jadi malaikat kecil bagi Arka yang sudah sangat merindukan anak.

"Terima kasih karena ...."

"Kamu harus secepatnya melepaskan janin itu."

Wajah Lisa masih shock dan pasti dr. Yuga tak sedang bercanda.

"A-apa maksud kamu?"

dr. Yuga membuka hasil laporan medis yang ada di tangannya. Dia harus setenang mungkin agar bisa memberi pengertian pada Lisa.

"Rahim kamu gak cukup kuat untuk mengandung, Lis. Umur kamu juga gak muda lagi untuk hamil. Janin itu akan terus berkembang dan rahim kamu gak bisa menanggungnya. Atau sekalipun kamu memaksakan diri, nyawamu dalam bahaya. Kamu gak bisa mempertahankan janin itu. Sebaiknya digugurkan sebelum masuk minggu ke-12."

Air mata Lisa jatuh tanpa henti. Dia memegang perutnya dan tak ingin calon buah hatinya itu dirampas darinya.

"Aku gak mau. Ini milik Arka, aku gak akan hilangkan dia. Ini cinta kami. Lakukan sesuatu, aku pasti bisa bertahan."

"Aku bisa saja terus memberikan obat penguat kandungan buat kamu, Lis, aku akan coba segalanya. Tapi kemungkinan janin itu bertahan hanya lima puluh persen. Terapi yang serius cuma akan bebanin kamu dan beresiko untuk hidup kamu."

"Kalau gitu, aku juga masih punya harapan lima puluh persen, 'kan?"

Lisa mencoba meyakinkan Yuga bahwa dia ingin pria itu menemukan jalan lain agar dia bisa mempertahankan kandungannya. Masih ada jalan, dia yakin itu.

"Percayalah, Lisa, kamu akan semakin lemah seiring bertambahnya usia janin kamu. Kalau suami kamu tau pun, dia gak akan mungkin biarin kamu hamil."

Lisa menghapus air matanya dan menggigit bibir untuk menahan isakan tangis. Arka sudah lama menginginkan seorang anak, tak tega rasanya jika Arka tahu seorang anak akan direnggut darinya.

"Kamu benar. Kalau dia tau ini, dia pasti akan minta aku untuk gugurkan, tapi seumur hidupnya dia akan menangis karena kehilangan calon anaknya. Aku gak mau nyusahin Arka lagi. Bantu aku."

"Aku tau ini berat, tapi aku gak mau membahayakan kamu. Aku bukan cuma dokter, tapi juga temanmu. Aku gak bisa melihatmu menderita sejauh itu, Lisa."

"Kalau kamu temanku, lakukan apa aja untuk bantu aku bertahan. Jangan bilang apa pun sama Arka. Aku akan lakuin semuanya. Aku akan lebih berhati-hati, gak banyak gerak. Aku juga akan konsumsi semua obat yang kamu kasih. Aku akan lakukan apa pun sampai aku bisa melahirkan anaknya Arka."

Yuga mengangguk. Dia menuliskan resep dalam kertas dan menyobeknya untuk ditebus Lisa di apotek. Dia menyerah untuk keputusan seorang ibu yang mati-matian ingin mempertahankan janinnya.

"Aku akan lakukan apa pun, tapi tolong jangan memaksakan diri. Akan semakin sulit saat usia kandungannya membesar, entah rahim kamu bisa kuat atau gak. Tapi aku gak mau nyawa kamu sampai dipertaruhkan."

"Gak ada yang tau masa depan. Siapa tau kami berdua bisa selamat. Atau seenggaknya aku bisa menahan janin ini sampai usia yang cukup. Aku gak apa-apa asal kamu menyelamatkan dia dan bukan aku," ungkap Lisa dengan netra berkaca-kaca.

"Itu yang gak aku inginkan. Aku gak akan bisa dihadapkan pada situasi sulit itu, harus milih kamu atau bayi kamu. Suami kamu juga pasti akan sedih kalau harus memilih."

Lisa mulai tersenyum agar Yuga lebih berani menantang resiko bersamanya. Ini pengorbanan cinta yang harus dia lakukan untuk Arka.

"Ini anaknya Arka. Arka udah lama banget nungguin kedatangan dia. Selama ini aku gak pernah kasih kebahagiaan, tapi dia tetap setia di sampingku. Dia selalu tersenyum dan bilang gak apa-apa, tapi aku selalu melihat dia menangis kalau memikirkan tentang ini."

Hati Lisa diliputi rasa bahagia, bahkan tak berpikir sedikit pun rasa takut akan keselamatan dirinya jika janin itu terus dipertahankan.

*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status