Suara mesin mobil terdengar memasuki pekarangan. Mobil Arka. Dari kamar lantai dua, Lisa menyingkap gorden dan sangat bahagia suaminya itu sudah pulang. Kemarin dia mendapati kabar tentang kehamilannya, tetapi mengabaikan fakta bahwa kandungan itu akan membahayakan dirinya.
"Welcome, Prince!" Lisa tak berniat keluar untuk menyambut Arka. Dia ingin menikmati sensasi detak bahagianya itu di kamar ini, saksi bersejarah kisah cinta yang panjang. Diraihnya sebuah kotak panjang di atas meja dan tak sabar hendak memberi kado itu pada Arka. Sementara itu di ruang tengah, Arka sudah tiba dan tak mendapati Lisa yang menyambutnya. Hanya Papa Frans dan Mama Wendi yang terlihat santai menikmati makan siang. "Sayang, gak ngabarin mau balik siang ini." Arka tersenyum dan menuangkan segelas air untuk ditenggaknya. "Maaf, aku lupa, Ma." "Kamu pasti mengabari Lisa, tapi dia gak kasih tau kita. Ya, 'kan?" Papa Frans menimpali dengan sinis. Papa Frans sangat sarkas. Arka memaklumi saja dan bingung kenapa Lisa tidak turun. "Bukannya nyambut suaminya pulang, malah malas-malasan di kamar." "Mungkin Lisa lagi beresin kamar, Pa. Habis nyiapin makan siang, kan, dia langsung masuk kamar. Malah makannya mau nunggu Arka aja," bela Mama Wendi. Arka mengangguk. Dia pun sudah tak sabar menemui istrinya. Dihentaknya knop pintu dan melihat istrinya itu sedang berdiri di sisi kasur. Wajahnya sangat cantik berhias make up tipis dengan bibir mungil yang merekah. Lisa memang sangat cantik sejak dulu. Dia melempar tasnya ke sofa dan melonggarkan ikatan dasinya. Dua kancing teratas dibuka untuk melepas sensasi gerah. "Suami pulang langsung disambut sama istri yang cantik dan wangi. Godaan yang nakal!" Lisa berdiri tepat di depan Arka dan menggantungkan dua lengannya di bahu suaminya itu. "Aku kangen kamu." "Aku juga." Kecupan singkat diberikan ke pipi Lisa. Tak tahan rasanya Lisa memendam ledakan bahagianya itu. Matanya terlihat berkaca-kaca dengan senyum tak henti. "Oleh-olehnya mana? Aku pengen asinan Bogor," rengek Lisa. Arka keki, menggaruk sisi tengkuknya. "Asinan Bogor? Kamu gak ada bilang. Itu aku bawa oleh-oleh, sih. Dodol Garut sama Tahu Sumedang juga ada." "Apaan? Kamu dinas dari Bogor, 'kan? Harusnya itu gak pernah lupa." Lisa terlihat kesal sambil melipat tangannya. Dia berbalik dan memunggungi sang suami. Arka sampai garuk kepala karena tak mengerti sikap manja tiba-tiba istrinya itu. "Kamu, kan, gak pernah suka asinan Bogor. Tahun lalu juga waktu aku dinas ke Bogor, dibawain asinan pun gak disentuh." Lisa menghela napas. Sejak tadi malam dia ingin makan asinan Bogor, berpikir tak perlu mengatakan karena Arka tak pernah lupa membawa oleh-oleh itu. Lisa sedikit menunduk dan melihat perutnya, "Kamu nakal!" Saat Arka hendak memeluk dari belakang, Lisa justru menghindar dan segera mengambil kotak persegi panjang di atas meja. Wajahnya masih cemberut sambil menyodorkan bingkisan berwarna merah muda itu. "Kamu yang pergi, tapi aku yang kasih kado. Buka!" Arka tak bicara dan merobek bingkisan itu. Sebuah kotak berwarna merah dia temukan. Saat penutup terbuka, betapa terkejutnya Arka melihat benda putih dengan dua garis merah di tengahnya. Tangan Arka gemetar dan kembali menatap Lisa. "Ini ...." Lisa mengerucutkan bibir dan mengusap pelan perutnya. "Adeknya pengen asinan Bogor, Pa." Arka bahkan tak bisa berkata-kata lagi. Terlihat sekali rasa shock dan bahagia di binar matanya. Pria itu duduk lemas di atas kasur dengan wajah terkejut. Lisa pun mendekat dan duduk di sampingnya. "Sayang ...." Arka segera beringsut ke pelukan sang istri. Lisa tersenyum dan bisa merasakan bahwa Arka menangis haru. Betapa bahagia dan bersyukurnya dia bisa memiliki anak sendiri. "Terima ... kasih," lirih Arka. Lisa terkejut dan tak bisa lagi menahan air matanya. Lekas memeluk pundak Arka. Mereka akhirnya mendapatkan kabar baik di usia mereka yang tak muda lagi. Pelukan itu semakin erat beriring rasa syukur. "Terima kasih, Tuhan," sambung Lisa. Tak ada lagi kata-kata yang keluar untuk waktu lima menit berikutnya. Arka mulai menghapus air matanya dan mengusap perut Lisa. Ada kehidupan baru yang tersembunyi di dalamnya. Cintanya dan Lisa akan semakin sempurna sebentar lagi. "Terima kasih sudah datang, Nak." Arka menyentuh pipi Lisa dan memberi kecupan manis di bibir istrinya itu. Lisa sangat bahagia dengan cinta yang diberikan Arka. Setelah itu, mereka saling berpelukan untuk melepas rasa syukur mereka. Di balik punggung Arka, wajah Lisa berubah jadi teduh, meskipun senyum di bibirnya tak luntur. 'Kamu dengar itu, Sayang? Papa kamu pengen kamu cepat datang. Bertahan, ya! Kamu harus kuat dan lahir ke dunia ini, meskipun nanti tanpa mama di sisi kamu.' Kehadiran seorang anak adalah yang dinantikan Arka sampai detik ini. Betapa dia ingin menjadi ayah yang sempurna. Lisa pun melepaskan pelukannya dan beranjak dari duduk. Sebuah amplop putih diberikan pada Arka. "Ini hasil test-nya, Sayang." Tak sabar Arka ingin membukanya. Dahinya mengernyit karena yang terlihat justru bukan logo Raztan Hospital. Arka membaca dengan saksama dan mendapati bahwa kehamilan istrinya sudah mencapai enam minggu. "Udah enam minggu, Lis? Kamu gak sadar udah hamil enam minggu?" "Ya, kan, dari kemarin aku nolak buat test atau ke rumah sakit." "Oh iya, kenapa gak diperiksa di Raztan Hospital aja? Kenapa malah ke Eka Hospital? Emang gak terlalu jauh, sih, tapi ...." "Aku gak sengaja ketemu Yuga."Lisa mulai bercerita tentang kejadian kemarin. Dia menggenggam tangan suaminya itu, menutupi rasa gugup karena mungkin akan ada banyak kata-kata bohong yang keluar dari bibirnya."Semalam aku mau ke market, trus aku pusing dan pingsan, untung ada Yuga di sana. Ah iya, kamu gak kenal dia."Lisa menggaruk tengkuknya karena tak pernah bicara apa pun terkait masa lalunya."Yuga itu mantan pacarku waktu SMU. Hehe," kekeh Lisa."Ehh?"Arka melotot. Lisa tahu ekspresi itu akan dia dapat dari sang suami yang sangat pencemburu."Dia udah nikah, kok. Malah anaknya udah dua. Apaan, sih!" ujar Lisa sambil mencubit perut Arka.Arka menghela napas. Dia hanya mengangguk dan mengizinkan Lisa untuk terus bercerita."Ya udah, dia langsung bawa aku ke Eka Hospital. Dia juga dokter kandungan di sana. Aku tahunya hamil setelah diperiksa sama dia.""Oke, besok kita ke rumah sakit untuk check up lanjutan."Tentu ini tak terelakkan. Arka adalah seorang dokter di Raztan Hospital, bahkan salah satu pemegang sa
Lisa meraih sebuah pemantik dari dalam laci meja dan membakar ujung amplop hingga berubah menjadi abu. Semua bukti itu hilang bersama timbunan kertas-kertas yang ikut terbakar di dalam tong sampah kaleng di sudut lemari.Tak ada rasa penyesalan, Lisa justru tersenyum sambil mengusap perutnya."Bertahanlah, Sayang! Mama akan lakukan apa pun supaya kamu tetap sehat di dalam sana. Gak sabar pengen ketemu papa, 'kan? Kalaupun nanti mama gak bisa peluk dan jagain kamu, kamu harus tetap tumbuh jadi anak yang baik dan pinter. Mama sayang sama kamu."Lisa sudah memilih jalan berbahaya untuk membahagiakan Arka. Meskipun dia tahu akan sangat sulit, terbersit sedikit keinginan untuk tetap bisa hidup juga saat bayinya lahir nanti. Keluarga kecil yang dia impikan itu mungkin akan datang suatu hari nanti.*Sore hari menjadi saat di mana Keluarga Wijaya bersantai menjemput malam. Di ruang tengah itu, Papa Frans asik menonton berita olahraga di telivisi, sedangkan Mama Wendi mengerjakan sesuatu di m
Lisa mengangguk dan memeluk Arka. Dia melepaskan semua beban hatinya di pelukan suaminya itu.'Aku yakin kamu akan marah kalau tau yang sebenarnya. Tapi sama seperti kamu, aku juga ingin melahirkan seorang anak yang bisa jagain kamu kalau aku gak bisa bertahan nanti,' bisik batin Lisa sambil sesekali mengecup bahu Arka.Takdir yang akan membawa akhir kisah mereka. Arka pun tak sabar hendak memberi tahu kedua orangtuanya. Dia meraih secarik amplop di atas meja yang merupakan hasil tes Lisa. Langkahnya tergesa-gesa seiring Lisa menyusulnya dari belakang dengan langkah pelan.Tingkah suaminya itu seperti anak kecil yang baru saja diberikan permen. Lisa sangat terharu melihatnya.Arka tiba di ruang tengah dan melihat kedua orangtuanya sedang berdiri hendak meninggalkan ruang tengah."Papa!"Arka segera berhambur dalam pelukan papanya. Mama Wendi tak mengerti dan menoleh pada menantunya. Lisa hanya tersenyum, berisyarat bahwa mereka akan mendengarnya langsung.Arka masih terus mengeratkan
Tak pernah sebelumnya pulang lebih awal, tetapi Arka meninggalkan rumah sakit lebih cepat hari ini. Sungguh manis suasana yang tercipta kala Arka sangat calon buah hati yang ada di kandungan istrinya. "Aku bawain buah, kenapa gak mau?"Lisa menggeleng, masih melahap potongan kue yang baru saja dibawa Bi Sumi ke kamarnya. "Aku lagi gak mau makan buah. Kamu gak ada tanya aku pengennya apa."Arka tersenyum bahagia sambil mencubit pipi sang istri. "Aku pengen liat pipi ini terus chubby di tiap bulannya."Lisa mengerucutkan bibir. Dia masih ingat, Arka selalu antisipasi dirinya yang dulu harus menjaga bentuk ideal badannya."Yakin? Gak apa-apa kalau aku jadi gemuk?""Tetep cantik, kok."Arka melepaskan ikatan dasi dan membuka dua kait kancing kemejanya. Malas mandi segera, dia justru berbaring dan meletakkan kepalanya di pangkuan Lisa. Bermanja menjelang senja. Lisa memainkan rambut legam sang suami dengan mengisi penuh sela-sela jemarinya. Sangat lembut dan hangat."Ngantuknya."Lisa te
Lisa dan Arka duduk di ruang tunggu untuk mendapatkan laporan hasil pemeriksaan yang dijalani beberapa jam lalu. Arka menautkan alis saat menatap raut cemas istrinya."Hei, kenapa ketakutan gitu? Kandungan kamu pasti baik-baik aja," hibur Arka.Tentu saja Arka tak tahu kekhawatiran sang istri saat ini. Dia hanya membalas dengan senyum tipis."Sayang, aku pengen jus alpukat," rengek Lisa."Ih, tiba-tiba pengen jus? Ya udah, sepulang ini, kita mampir di cafe, ya!""Aku maunya sekarang!""Tapi ...""Udah, pergi aja sana cari jusnya, aku tungguin di sini."Arka tak bisa membantah karena berpikir Lisa mengidam lagi. Lisa hanya ingin menjadi orang pertama yang mendengar penjelasan Yuga.Sepuluh menit berikutnya, Yuga keluar sambil membawa selembar laporan hasil pemeriksaan kandungan Lisa."Loh, suami kamu mana?""Kita bicara di dalam!"Lisa menarik tangan Yuga agar mereka masuk dan bicara lebih serius di ruang kerja. Dia tak sabar ingin mengetahui hasil tes itu."Gimana? Apa ada perkembanga
Ekspresi teduh Arka tadi berubah sedikit antusias. Grace adalah dokter obgyn yang selama ini menangani Lisa di Raztan Hospital. Dia belum mengatakan bahwa Lisa mengandung saat ini."Thanks karena selama ini udah bersabar selama proses penyembuhan Lisa. Dia hamil, Grace.""Ah, serius? Syukurlah, padahal aku sempat pesimis. Ternyata kalian diberi rejeki untuk punya anak di usia seperti ini. Tapi, keadaan Lisa ..."Arka menghela napas berat. Dia melepas kacamata dan memainkan bola kristal kecil di atas meja."Aku tau. Yuga juga bilang rahimnya lemah dan masih dalam kondisi rentan. Dia meminta kami menunggu perkembangan dua minggu ini. Kalau Lisa bisa bertahan, itu tandanya kemungkinan kami bisa punya anak mencapai 80 persen."Sepanjang Arka bercerita, Dr. Grace hanya mematung. Dia yang bertahun-tahun menangani Lisa, tentu saja dia yang lebih tahu perihal ini."Lisa udah gak muda lagi, Ka. Kamu tau itu. Sebenarnya bukan cuma kandungannya, nyawa Lisa juga dalam bahaya."Arka terkejut mende
Arka pergi meninggalkan rumah sakit. Lisa dibimbing masuk ke ruangan. Setelah beberapa menit menjalani pemeriksaan, dia tak bisa menahan tangisnya. Lekas keluar dari ruang praktek dengan senyum yang bahkan tak bisa disembunyikan lagi."Kamu berhasil, Lisa. Jaga kandungan kamu dengan baik. Maaf karena dulu aku menyerah terlalu cepat. Sekarang kamu bisa katakan pada suamimu kalau anak ini akan lahir dengan sehat. Tapi biarpun begitu, kamu harus tetap lebih sering kontrol dan jaga kondisi kesehatan kamum Jangan sampai stres, ya!" Lisa ingin menangis sepuasnya dan berterima kasih pada sang dokter obgyn. Dia pun memeluk pria yang merupakan teman lamanya itu."Terima kasih. Aku nggak akan lupa semua kebaikan kamu.""Eih, udahan, ah! Jangan main peluk-peluk gini. Malu diliat orang. Nanti aku bisa CLBK."Lisa sedikit tertawa dan mencubit sisi pinggangnya. Raut bahagia tak bisa disembunyikan dari keduanya."Ingat semua yang aku katakan, ya!" pesan Yuga."Siap, Pak Dokter."Yuga sedikit membun
"Sayang, kenapa berdiri di situ aja?" tanya Lisa."Nggak, nggak ada apa-apa."Tak tahu kenapa ini sangat mengganggunya. Sejak dia menerima foto kenangan Yuga dan Lisa, dan kali ini istrinya itu begitu akrab bicara dengan mantan kekasihnya itu, membuat Arka sedikit cemburu.Kling!Ada pesan masuk di Whatsapp ponsel-nya. Nomor yang sama dan mengirimkan foto Lisa dan Yuga lagi.'Ini apa maksudnya, sih? Sengaja banget kayaknya. Mau cari mati atau gimana?'Lisa memperhatikan raut geram sang suami. Disentuhnya bahu Arka untuk menegur. "Kenapa? Siapa nge-chat?"Arka segera meletakkan ponsel-nya di atas meja. "Nggak ada, kok. Ayo, tidur!""Masih jam 9. Belum ngantuk.""Nggak apa-apa, ayo tidur. Aku juga mau istirahat. Besok harus tugas lagi."Lisa berbaring tepat di sisi sang suami. Terasa sangat sulit tidur di saat perutnya membesar saat ini. Miring ke kiri, tetapi suaminya hanya memejamkan mata tanpa bicara lagi. 'Dia beneran mau tidur? Nggak ada good night kiss, gitu?' keluh batinnya.Lis
Rizwar melangkah keluar dari kamar dengan langkah berat, tetapi penuh rasa lega. Dia tahu pasangan itu membutuhkan waktu untuk memperbaiki apa yang telah retak. Lisa dan Arka mungkin penuh konflik, tetapi cinta mereka terlalu kuat untuk dihancurkan oleh salah paham. Rizwar menghela napas panjang, menyeka keringat di dahinya. Dia ingin memastikan segalanya akan baik-baik saja, tetapi untuk saat ini, dia mempercayakan semuanya kepada mereka.Di dalam kamar, Arka menatap Lisa yang masih duduk di ujung kasur. Senyumnya tipis, penuh makna, tetapi jelas sekali bahwa dia merasa sangat bersalah. Arka tidak tahu harus memulai dari mana untuk memperbaiki segalanya. Dia mengulurkan tangan, mencoba menyentuh pipi Lisa, tetapi istrinya hanya menatap ke arah lain.“Lisa…” panggil Arka pelan.Lisa menghela napas berat. Dia berdiri, berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota. Malam itu langit cerah, penuh bintang, tetapi hatinya masih berat. “Ka, kamu sadar nggak, selama ini aku
Rizwar terkejut saat mendengar cibiran salah seorang rekan di bridal itu. Di sana, dia melihat Lisa tertunduk dan menangis, sementara Arka sudah marah seperti orang kesetanan. Dirinya pun ikut menggeram. Segera dia berlari dan memberikan tinju tepat di wajah Arka hingga temannya itu terjerembab jatuh ke lantai.“Apaan, sih, lo?” kecam Arka.“Puas, lo, rumah tangga lo jadi tontonan gini, hah?!”Rizwar menyeret Arka dan Lisa untuk pergi dari tempat itu, masuk ke ballroom hotel untuk menghindari perhatian orang-orang. Rizwar menyidik keduanya. Sepasang suami istri itu duduk berhadapan. Lisa menangis kecewa, sementara Arka sudah sangat meledak.“Lisa! Lo ini nggak kapok, ya! Belajar dari pengalaman, kek! Ini suami lo otaknya cetek! Sama dia harus transparan, nggak boleh tuh ada rahasia-rahasiaan. Kalau gini, kan, dia jadi salah paham. Nuduh lo selingkuh lagi, kan?” pekik Rizwar.Lisa hanya menunduk, terus menyapu air matanya. “Aku cuma mau ngasih kejutan.”“Dan lo …” Rizwar menggantung uc
Arka tak bisa lagi menahan amarahnya. Seharian di rumah sakit, akhirnya dia pulang lebih cepat untuk bicara dengan Lisa. Ditunggunya wanita itu pulang, sampai jam delapan lebih. Lisa pun jarang mengangkat panggilan darinya.Krik! Lisa membuka pintu dan mendapati suaminya itu duduk di sofa dengan tatapan tajam dan bersidekap. Wanita itu mengurai senyum tipis sambil memegang pundaknya yang terasa sakit.“Sayang, udah pulang?”“Kamu abis dari mana? Jalan sama cowok? Aku liat kamu tadi dianterin lagi sama dia.”Lisa bungkam. Senyumnya tadi memudar mendengar tudingan tajam Arka. Dia meletakkan dulu tasnya, lalu melepas blazer yang melilit tubuhnya hari ini.“Tadi juga kamu makan siang sama dia, kan? Kalau kamu punya waktu makan siang sama dia, kenapa nggak ke rumah sakit dan ngajak aku lunch juga?” bentak Arka.Protes keras Arka ditanggapi sinis oleh Lisa. Teringat dia bahwa minggu lalu, Arka selalu menolak makan siang dengannya beberapa kali meski Lisa sudah menunggu Arka berjam-jam di ru
Begitu saja? Lisa hanya merasa lelah. Arka pun merasa janggal dengan sikap Lisa. Istrinya ini tidur memunggunginya, tak seperti sebelumnya yang selalu beringsut ke dada Arka hanya untuk menjadikan lengan suaminya itu sebagai bantal tidurnya.“Kenapa kamu tidur mantatin aku, sih?” seru Arka.“Siapa yang mantatin kamu? Muka kamu, kan, di atas, pan-tatku di bawah. Bukan mantatin namanya.”“Iya, maksudku, munggungin aku,” gerutu Arka sambil menarik bahu Lisa.Lisa menggoyangkan bahunya, menolak Arka untuk mengganggu. “Sayang, aku ngantuk, nih.”“Ngantuk … banget, ya? Malam ini nggak mau main apa … gitu. Kuda-kudaan, kek. Udah lama, kan?” rayu Arka sambil mengusap-usap paha istrinya.Lisa sama sekali tak tergoda. Dia benar-benar lelah seharian. Disampirkannya tangan suaminya itu, malas meladeni sikap manjanya yang minta dilayani urusan ranjang. Lisa menoleh ke belakang, tersenyum sungkan.“Sayang, please … besok-besok aja, ya. Aku capek banget. Beneran.”Lisa sedikit beranjak dan mencium s
Arka duduk bersila di atas kasur, lalu menggendong Ariel untuk duduk di pangkuannya. Si kecil itu sedang lagi aktif-aktifnya untuk memainkan bola-bola dengan warna berbeda. Indera penglihatannya mulai bekerja. Begitu senang saat memainkan bola-bola di tangan ayahnya itu. “Adek juga udah nggak nyusu mama lagi. Nggak apa-apa, tuh? Nggak nangis? Kalau papa, nangis tuh.”Ariel tertawa, lalu menoleh pada ayahnya yang sejak tadi mengomel tak jelas. Tentu dia tak memahaminya. Tapi mendengar nada manja sang ayah, gelak kecilnya terdengar menggemaskan.“Bukan, maksudnya, nangis karena nggak meluk mama.”Ah! Apa yang dia pikirkan? Wajahnya merah sendiri, padahal si bocah itu juga tak paham apa yang dibicarakan. Dia baru ingat, bahkan sudah dua minggu lebih mereka tidak melakukan hubungan intim. Sibuk dan lelah. Lebih memilih berbaring dan bercumbu dalam lautan mimpi.“Mama mana, ya? Kok, belum pulang?”Tak lama, suara mobil terdengar memasuki pelataran rumah. Arka beranjak dari kasur, lalu men
Lisa cemberut, dengan tangan bersidekap. Selalu seperti ini setiap Arka pulang. Dia bahkan lebih senang memeluk guling ketimbang istri cantiknya ini.‘Sialan! Aku udah setengah telanj ang gini pun dia nggak ada minat buat megang-megang.’Sengaja dia menjatuhkan dress begitu saja untuk menggoda suaminya ini. Setidaknya mereka perlu amunisi untuk hubungan pernikahan yang belakangan ini terasa hambar. Lisa segera berbalik ke sisi cermin. Menatap tubuhnya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki lewat pantulan cermin. Dicubitnya sebentar lengan, lalu kedua sisi perutnya yang agak melar.‘Masa' udah nggak selera lagi, sih? Padahal nggak gendut-gendut amat. Masa iya, dia nggak pengen lagi?’Malas menggalau ria, Lisa pun pergi mandi karena badannya sedikit terpercik hujan di luar sana. Menghabiskan waktu lima belas menit, lalu dia keluar dari toilet. Hujan deras seakan mendukung Arka untuk pulas tertidur, padahal dia berkata hanya rebahan saja. Suara dengkurnya saja terdengar kuat.Lisa menyur
“Masih lama?”Arka melepaskan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya setelah masuk ke ruang prakteknya. Lisa beranjak dari sisi sofa dengan wajah sumringah. Dia telah bersiap dengan tampilan cantik dan rapi. Dress merah muda itu melilit tubuhnya yang belum terlalu singset setelah melahirkan Ariel. Menunggu satu jam lebih, akhirnya Arka menyelesaikan operasinya siang itu di Raztan Hospital tersebut.“Ya udah, sekarang kamu beres-beres dulu, trus kita makan di restoran China itu,” ujar Lisa, manja.Arka tersenyum tipis. Membuka jas putih itu, lalu disampirkannya di atas meja. Dipeluknya sesaat istrinya itu, mencium rambutnya yang sangat wangi untuk memanjakan hidungnya.“Aku masih ada jadwal operasi lagi jam 1 nanti, Sayang.”Lisa tertegun, hanya menempelkan kepalanya di dada bidang Arka.“Nggak mungkin kita cuma makan siang, trus aku balik ke rumah sakit, kan? Ini juga udah hampir setengah satu. Kalau besok aja, gimana?”Arka meminta dengan nada lembut, memohon kesediaan Lisa un
Papa Frans tak tahan dan langsung mengetuk kepala Arka. Si tampan itu sampai mengaduh sambil mengusap kepalanya."Papa, ih!" ujar Mama Wendi."Ini anak ngomongnya bar-bar banget. Heran aku!" dumel Papa Frans."Apa, sih, Pa? Tega bener nyiksa aku gini," keluh Arka."Ya kamu itu mulutnya nggak bisa dijaga di depan orangtua, mah. Perlu disekolahin lagi?" canda Papa Frans."Nggak, Pa. Makasih. Udah kenyang aku. Ini mulut blangsak udah bawaan orok, Pa.""Dokter begini modelnya, apaan? Dulu kamu masuknya nyogok, ya?" Papa Frans masih asik berdebat dengan Arka.Dua pria ini memang sangat mirip kerasnya. Mama Wendi dan yang lain hanya tepuk jidat karena mereka tak henti melempar argumen.Tawa keluarga itu menghiasi setengah jam kebersamaan. Setelah itu, Arka dipapah Rizwar untuk naik ke lantai dua kamarnya. Betapa gugupnya dia menyadari pintu kamarnya terbuka. Sempat mengintip, istrinya itu masih duduk di depan meja rias."Riz, takut banget gue masuk, mah. Tengsin, lah! Udah bikin surat pami
Setelahnya, Rizwar masuk ditemani Grace. Arka sangat bersyukur mereka selalu menemaninya."Lisa tadi langsung pulang waktu tau kamu udah sadar. Jangan salah paham! Dia cuma belum siap ketemu kamu. Tadi dia juga bawa Ariel. Tapi pasti nanti Ariel nggak nyaman, bahaya juga karena di rumah sakit, 'kan? Jadi langsung dibawa pulang aja," papar Grace, menjelaskan semua seolah paham apa yang ingin diketahui Arka saat ini."Setelah ini pulang dan jangan keras kepala lagi. Satu pelajaran buat lo. Kalau ada masalah, jangan disimpan sendiri karena bisa bikin salah paham segede ini," tutur Rizwar, menambahkan."Hm! Istri itu separuh nyawa suaminya. Jangan rahasiakan apa pun, karena seorang istri akan merasa bahagia jika dianggap penting sama suaminya," pesan sang ibu.Tak lama, dr. Farhan masuk bersama dr. Hanif. Dua dokter itu juga sigap memantau kesehatannya selama ini."Pelan-pelan aja. Untuk saat ini, operasi pengangkatan tumornya sukses. Tapi masih tetap harus medical check up rutin untuk me