Lisa mendengkus kesal saat mendengar saran peduli dari sahabatnya itu."Aku yang duluan? Apa harus aku yang minta dulu baru diperhatikan? Aku ini istrinya, dia milikku. Harusnya tanpa diminta pun udah jadi kewajiban dia. Dan sekarang kamu mau aku yang minta perhatian ke dia? Kamu nggak salah? Aku aja nggak tau kenapa malah dia yang jadi uring-uringan.""Ya nggak ada salahnya, kan? Kalau aku yang minta dia merhatiin kamu malah lain urusannya nanti.""Dia apa-apaan, coba? Harus aku duluan yang minta perhatian dia, sedangkan kalau Mayang minta temenin jalan, langsung gesit gerak kayak si Mayang itu lagi bunting aja. Apa, sih, aku ini? Sakit banget aku karena jealous sama Mayang.""Jadi masalahnya di Mayang? Kamu nuduh suami kamu selingkuh?""Ya enggak. Cuma ya, perhatian itu nggak pantas. Nggak seharusnya ada orang asing dalam hubungan rumah tangga.""Okelah. Ntar aku telepon lagi. Aku mau jalan pulang dulu. Nggak boleh nelepon sambil nyetir, kan?""Hati-hati. Istirahat yang banyak. Itu
Arka membolakan mata. Status masa lalu Mayang diseret oleh sang istri. Dirinya merasa tak pernah melakukan hal di luar batas dengan Mayang. Untuk alasan apa itu dijadikan sumber masalah?"Apa maksud kamu? Kenapa harus bawa-bawa Mayang? Kamu nuduh aku selingkuh? Jelas-jelas kamu tau hubunganku sama Mayang. Jangan cari-cara alasan untuk bertengkar, Lis!""Selama ini aku udah coba sabar karena kamu nggak pernah perhatian lagi sama aku. Mayang begini, Mayang begitu! Kamu sibuk ke mana-mana nemenin dia!""Mamaku yang minta dan itu juga cuma dua hari, Lis. Aku nggak pernah jalan lagi sama dia.""Tapi dia nyamperin kamu ke rumah sakit, kan?"Arka menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan kasar. Tak pernah mereka bertengkar hanya karena orang asing. Arka belum saja mengatakan kecemburuannya terkait Yuga. Dirinya masih menahan diri untuk menjaga perasaan sang istri."Sampai kapan aku harus tahan diginiin, Ka?! Apa Mayang lebih penting daripada aku? Kamu berubah sejak Mayang balik lagi k
Arka terbangun saat matahari sudah tinggi. Terkejut, dia terlambat bangun karena harusnya ada jadwal operasi setengah jam lagi."Aih?! Kenapa telat bangun gini?"Arka baru sadar berada di kamar Rizwar. Temannya itu sudah terlihat rapi dan berberes, siap dengan keberangkatannya ke bandara satu jam lagi. "Kenapa lo nggak bangunin gue?" kesal Arka."Kayaknya lo nyenyak banget, nggak tega gue."Semalaman tidur terpisah dari Lisa, setidaknya sekarang pikiran Arka jauh lebih tenang. Dia pun keluar untuk menemui sang istri di kamarnya. Lisa terlihat duduk di kasur. Sang wanita yang tak bicara dengan air wajah sedih. Arka begitu merasa bersalah untuk pertengkaran semalam."Arka ..."Arka mendekati dan duduk di sisi kasur. Hanya butuh satu kecupan di bibirnya untuk mengucapkan rasa bersalah."Maaf. Aku nggak perhatian sama kamu selama ini. Harusnya ...."Lisa memukul pelan dada bidang suaminya itu. Rasa bersalah setelah pembicaraan dengan Rizwar kemarin malam juga menggaungi hatinya."Bodoh!
"Siang, Arkana!"Arka mendecak geram saat Mayang masuk ke ruang kerjanya. Wanita itu tampil cantik dengan baju sexy minim-nya. Sudah dia dengar bahwa liburan Mayang berakhir hari ini. Mayang akan pulang ke Swiss dalam beberapa jam lagi. Setidaknya Arka lega karena wanita itu tak berulah dalam rumah tangganya."Makan siang, yuk! Nggak boleh nolak, loh, aku udah mau balik ke Swiss, nih. Ayolah!"Arka tak membantah, lekas beranjak karena ini memang waktunya makan siang. Dia pun mengajak wanita cantik itu duduk di kantin rumah sakit dan memesan beberapa menu sajian sehat."Selamat buat rencana pernikahannya," ujar Arka, cuek.Mayang hanya tersenyum. Disentuhnya jemari Arka di atas meja, mencoba merayu lagi agar bisa mendapat perhatian dari mantan tunangannya itu."Aku nggak tau suamiku nanti bakal sebaik kamu atau enggak, Ka."Arka tertawa meremehkan, menarik tangannya dari genggaman Mayang."Kalau aku baik, kamu nggak akan menolak perjodohan kita waktu itu."Mayang menghela napas panjang
Lisa tertegun saat melihat Arka pulang dalam keadaan suntuk. Pria itu hanya mondar-mandir sekitar kamar. Semua yang dia kerjakan tak ada yang beres. Beberapa tumpukan berkas yang dibawanya pun berjatuhan sebelum sampai ke atas meja. Suaminya itu tak berkonsentrasi penuh saat ini. "Sayang, kamu kenapa?"Arka belum menjawab. Sangat gugup. Meski sebelumnya sudah diskusi tentang keterbukaan mereka, dirinya tetap ragu untuk mengutarakannya."Arka, kamu udah janji nggak akan ada lagi rahasia, kan? Kamu bisa bilang apa masalahnya, kita akan selesaikan baik-baik."Lisa beranjak dari duduknya, mendekati sang suami yang tampak ragu. Bibirnya membias senyum, memegang dua pergelangan tangan Arka.Pria itu sedikit menggigit bibir untuk menahan ledakan emosi. Sebentar dia menunduk. Menyimpannya sendiri juga akan menyakiti mereka, tapi mengatakan hal itu tentu akan menyinggung sang istri.'Aku harus apa, Lisa? Aku nggak mungkin bertanya seperti itu. Itu artinya aku nuduh kamu selingkuh. Dan tuduhan
Suara bel pintu berbunyi di sisi pintu jati rumah Keluarga Wijaya. Si Bibi segera membuka pintu dan menyambut tamu yang datang. Seorang pria tampan berkulit putih bersih, sedikit mengangguk sungkan untuk memberi salam."Bi, Lisa-nya ada?" Dia yang tak lain adalah Yuga, dokter obgyn Lisa."Oh, Nyonya Lisa? Ada, Pak. Bapak siapa, ya?" "Saya dokter kandungan yang selama ini merawat Lisa. Tolong panggilkan dia, Bi. Saya ingin bertemu.""Baik, Dok. Tolong tunggu sebentar."Yuga pun meninggalkan teras, lalu duduk di jajaran bangku dekat air mancur. Angin sore begitu sejuk di bawah payung langit yang mendung, sangat segar menghabiskan waktu sore di sini.Tak lama, Lisa muncul dan berjalan lambat ke arah Yuga. Wajahnya sangat sendu, seperti habis menangis. Tuduhan Arka yang begitu mengerikan tentang dirinya, membuat Lisa tenggelam dalam luka hatinya."Lisa? Ada apa? Kenapa kamu nggak datang ke rumah sakit?" tanya Yuga begitu Lisa berada di hadapannya."Setelah ini ... tolong jangan temui aku
Lisa menangis histeris. Masalah yang berasal dari mana dia pun tak mengerti. Dalam sekejap ada badai membalik perahu rumah tangga mereka. Mulai dari tuduhan selingkuh dan yang terburuk adalah saat Arka tak percaya bahwa dia mengandung anak mereka.Kei menangis melihat kesedihan sang kakak. Kakak iparnya itu begitu tegar berbalik dan meninggalkan keduanya di pelataran.Kei berusaha menenangkan sang kakak. Dia takut hal itu mempengaruhi janinnya. Lisa sangat lama menanti kehamilannya, bahkan di usianya yang tak muda lagi."Kak.""Nggak, Kei. Arka nggak bisa giniin kakak. Dia nggak boleh.""Kak, cukup. Kakak udah dengar sendiri, kan, Kak Arka minta Kakak pergi. Kak Arka balikin Kakak ke rumah kita. Aku nggak tau apa yang terjadi. Tapi kalau seandainya dia salah, tolong jangan mudah maafin dia."Lisa hanya bisa pasrah, tetap keras kepala juga tak ada gunanya. Arka akan lebih keras lagi. Wanita itu pun dibawa pergi oleh adiknya meninggalkan rumah Keluarga Wijaya untuk sementara ini.Tak ad
Dunia bahagia Arka mendadak berubah sejak Lisa pergi dari rumah. Ada banyak kekacauan yang terjadi dan Arka tak bisa menanggungnya sendiri. Dia pun mengambil ponsel dan menghubungi salah seorang dokter seprofesinya. Dr. Hanif tertera pada kontak. Beliau adalah rekan satu departemen kardiotoraks di Raztan Hospital."Malam, Dokter Arka?" sambut dr. Hanif begitu panggilan tersambung."Dok, besok saya akan ajukan cuti untuk beberapa minggu ini. Jadi tolong handle pasien dengan baik. Maaf kalau saya nggak profesional.""It's oke. Menangani pasien dalam keadaan seperti ini juga tidak baik. Maaf, saya sudah mendengar sedikit dari dr. Rizwar."Arka tersenyum miris. Betapa dia malu karena kisruh rumah tangganya yang tak bisa dia tangani berdampak buruk pada pekerjaannya."Jadi, kapan Dokter Arka akan mulai pemeriksaan lanjutan terkait sakit kepala Anda? Kami sangat cemas. Dan juga, kata dr. Rizwar, ada sesuatu yang aneh dengan ....""Saya tau. Belakangan ini saya tidak bisa mengontrol emosi sa
Rizwar terkejut saat mendengar cibiran salah seorang rekan di bridal itu. Di sana, dia melihat Lisa tertunduk dan menangis, sementara Arka sudah marah seperti orang kesetanan. Dirinya pun ikut menggeram. Segera dia berlari dan memberikan tinju tepat di wajah Arka hingga temannya itu terjerembab jatuh ke lantai.“Apaan, sih, lo?” kecam Arka.“Puas, lo, rumah tangga lo jadi tontonan gini, hah?!”Rizwar menyeret Arka dan Lisa untuk pergi dari tempat itu, masuk ke ballroom hotel untuk menghindari perhatian orang-orang. Rizwar menyidik keduanya. Sepasang suami istri itu duduk berhadapan. Lisa menangis kecewa, sementara Arka sudah sangat meledak.“Lisa! Lo ini nggak kapok, ya! Belajar dari pengalaman, kek! Ini suami lo otaknya cetek! Sama dia harus transparan, nggak boleh tuh ada rahasia-rahasiaan. Kalau gini, kan, dia jadi salah paham. Nuduh lo selingkuh lagi, kan?” pekik Rizwar.Lisa hanya menunduk, terus menyapu air matanya. “Aku cuma mau ngasih kejutan.”“Dan lo …” Rizwar menggantung uc
Arka tak bisa lagi menahan amarahnya. Seharian di rumah sakit, akhirnya dia pulang lebih cepat untuk bicara dengan Lisa. Ditunggunya wanita itu pulang, sampai jam delapan lebih. Lisa pun jarang mengangkat panggilan darinya.Krik! Lisa membuka pintu dan mendapati suaminya itu duduk di sofa dengan tatapan tajam dan bersidekap. Wanita itu mengurai senyum tipis sambil memegang pundaknya yang terasa sakit.“Sayang, udah pulang?”“Kamu abis dari mana? Jalan sama cowok? Aku liat kamu tadi dianterin lagi sama dia.”Lisa bungkam. Senyumnya tadi memudar mendengar tudingan tajam Arka. Dia meletakkan dulu tasnya, lalu melepas blazer yang melilit tubuhnya hari ini.“Tadi juga kamu makan siang sama dia, kan? Kalau kamu punya waktu makan siang sama dia, kenapa nggak ke rumah sakit dan ngajak aku lunch juga?” bentak Arka.Protes keras Arka ditanggapi sinis oleh Lisa. Teringat dia bahwa minggu lalu, Arka selalu menolak makan siang dengannya beberapa kali meski Lisa sudah menunggu Arka berjam-jam di ru
Begitu saja? Lisa hanya merasa lelah. Arka pun merasa janggal dengan sikap Lisa. Istrinya ini tidur memunggunginya, tak seperti sebelumnya yang selalu beringsut ke dada Arka hanya untuk menjadikan lengan suaminya itu sebagai bantal tidurnya.“Kenapa kamu tidur mantatin aku, sih?” seru Arka.“Siapa yang mantatin kamu? Muka kamu, kan, di atas, pan-tatku di bawah. Bukan mantatin namanya.”“Iya, maksudku, munggungin aku,” gerutu Arka sambil menarik bahu Lisa.Lisa menggoyangkan bahunya, menolak Arka untuk mengganggu. “Sayang, aku ngantuk, nih.”“Ngantuk … banget, ya? Malam ini nggak mau main apa … gitu. Kuda-kudaan, kek. Udah lama, kan?” rayu Arka sambil mengusap-usap paha istrinya.Lisa sama sekali tak tergoda. Dia benar-benar lelah seharian. Disampirkannya tangan suaminya itu, malas meladeni sikap manjanya yang minta dilayani urusan ranjang. Lisa menoleh ke belakang, tersenyum sungkan.“Sayang, please … besok-besok aja, ya. Aku capek banget. Beneran.”Lisa sedikit beranjak dan mencium s
Arka duduk bersila di atas kasur, lalu menggendong Ariel untuk duduk di pangkuannya. Si kecil itu sedang lagi aktif-aktifnya untuk memainkan bola-bola dengan warna berbeda. Indera penglihatannya mulai bekerja. Begitu senang saat memainkan bola-bola di tangan ayahnya itu. “Adek juga udah nggak nyusu mama lagi. Nggak apa-apa, tuh? Nggak nangis? Kalau papa, nangis tuh.”Ariel tertawa, lalu menoleh pada ayahnya yang sejak tadi mengomel tak jelas. Tentu dia tak memahaminya. Tapi mendengar nada manja sang ayah, gelak kecilnya terdengar menggemaskan.“Bukan, maksudnya, nangis karena nggak meluk mama.”Ah! Apa yang dia pikirkan? Wajahnya merah sendiri, padahal si bocah itu juga tak paham apa yang dibicarakan. Dia baru ingat, bahkan sudah dua minggu lebih mereka tidak melakukan hubungan intim. Sibuk dan lelah. Lebih memilih berbaring dan bercumbu dalam lautan mimpi.“Mama mana, ya? Kok, belum pulang?”Tak lama, suara mobil terdengar memasuki pelataran rumah. Arka beranjak dari kasur, lalu men
Lisa cemberut, dengan tangan bersidekap. Selalu seperti ini setiap Arka pulang. Dia bahkan lebih senang memeluk guling ketimbang istri cantiknya ini.‘Sialan! Aku udah setengah telanj ang gini pun dia nggak ada minat buat megang-megang.’Sengaja dia menjatuhkan dress begitu saja untuk menggoda suaminya ini. Setidaknya mereka perlu amunisi untuk hubungan pernikahan yang belakangan ini terasa hambar. Lisa segera berbalik ke sisi cermin. Menatap tubuhnya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki lewat pantulan cermin. Dicubitnya sebentar lengan, lalu kedua sisi perutnya yang agak melar.‘Masa' udah nggak selera lagi, sih? Padahal nggak gendut-gendut amat. Masa iya, dia nggak pengen lagi?’Malas menggalau ria, Lisa pun pergi mandi karena badannya sedikit terpercik hujan di luar sana. Menghabiskan waktu lima belas menit, lalu dia keluar dari toilet. Hujan deras seakan mendukung Arka untuk pulas tertidur, padahal dia berkata hanya rebahan saja. Suara dengkurnya saja terdengar kuat.Lisa menyur
“Masih lama?”Arka melepaskan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya setelah masuk ke ruang prakteknya. Lisa beranjak dari sisi sofa dengan wajah sumringah. Dia telah bersiap dengan tampilan cantik dan rapi. Dress merah muda itu melilit tubuhnya yang belum terlalu singset setelah melahirkan Ariel. Menunggu satu jam lebih, akhirnya Arka menyelesaikan operasinya siang itu di Raztan Hospital tersebut.“Ya udah, sekarang kamu beres-beres dulu, trus kita makan di restoran China itu,” ujar Lisa, manja.Arka tersenyum tipis. Membuka jas putih itu, lalu disampirkannya di atas meja. Dipeluknya sesaat istrinya itu, mencium rambutnya yang sangat wangi untuk memanjakan hidungnya.“Aku masih ada jadwal operasi lagi jam 1 nanti, Sayang.”Lisa tertegun, hanya menempelkan kepalanya di dada bidang Arka.“Nggak mungkin kita cuma makan siang, trus aku balik ke rumah sakit, kan? Ini juga udah hampir setengah satu. Kalau besok aja, gimana?”Arka meminta dengan nada lembut, memohon kesediaan Lisa un
Papa Frans tak tahan dan langsung mengetuk kepala Arka. Si tampan itu sampai mengaduh sambil mengusap kepalanya."Papa, ih!" ujar Mama Wendi."Ini anak ngomongnya bar-bar banget. Heran aku!" dumel Papa Frans."Apa, sih, Pa? Tega bener nyiksa aku gini," keluh Arka."Ya kamu itu mulutnya nggak bisa dijaga di depan orangtua, mah. Perlu disekolahin lagi?" canda Papa Frans."Nggak, Pa. Makasih. Udah kenyang aku. Ini mulut blangsak udah bawaan orok, Pa.""Dokter begini modelnya, apaan? Dulu kamu masuknya nyogok, ya?" Papa Frans masih asik berdebat dengan Arka.Dua pria ini memang sangat mirip kerasnya. Mama Wendi dan yang lain hanya tepuk jidat karena mereka tak henti melempar argumen.Tawa keluarga itu menghiasi setengah jam kebersamaan. Setelah itu, Arka dipapah Rizwar untuk naik ke lantai dua kamarnya. Betapa gugupnya dia menyadari pintu kamarnya terbuka. Sempat mengintip, istrinya itu masih duduk di depan meja rias."Riz, takut banget gue masuk, mah. Tengsin, lah! Udah bikin surat pami
Setelahnya, Rizwar masuk ditemani Grace. Arka sangat bersyukur mereka selalu menemaninya."Lisa tadi langsung pulang waktu tau kamu udah sadar. Jangan salah paham! Dia cuma belum siap ketemu kamu. Tadi dia juga bawa Ariel. Tapi pasti nanti Ariel nggak nyaman, bahaya juga karena di rumah sakit, 'kan? Jadi langsung dibawa pulang aja," papar Grace, menjelaskan semua seolah paham apa yang ingin diketahui Arka saat ini."Setelah ini pulang dan jangan keras kepala lagi. Satu pelajaran buat lo. Kalau ada masalah, jangan disimpan sendiri karena bisa bikin salah paham segede ini," tutur Rizwar, menambahkan."Hm! Istri itu separuh nyawa suaminya. Jangan rahasiakan apa pun, karena seorang istri akan merasa bahagia jika dianggap penting sama suaminya," pesan sang ibu.Tak lama, dr. Farhan masuk bersama dr. Hanif. Dua dokter itu juga sigap memantau kesehatannya selama ini."Pelan-pelan aja. Untuk saat ini, operasi pengangkatan tumornya sukses. Tapi masih tetap harus medical check up rutin untuk me
Pernikahan sudah dijalani sepuluh tahun. Selama ini, semarah apa pun Arka, sikap lembut Lisa yang berusaha menenangkan Arka membuat pria itu selalu memperbaiki diri dan menarik kembali amarahnya. Pertengkaran diredam karena Arka melihat cinta di mata Lisa. Akan tetapi beberapa bulan ini, kemarahan Lisa membuat Arka berada dalam tekanan.Ternyata cinta Arka saja tak cukup untuk melunakkannya. Tak peduli seberapa keras pria itu berupaya, bersujud, bahkan menangis sekalipun, Lisa tak goyah. Suaminya itu menahan sesak akibat kemarahan tak berujung Lisa."Maafin aku, Ka ...."Papa Frans menoleh saat mendengar isak tangis Lisa. Dia bangkit untuk mendekati menantunya itu, mengajaknya duduk di kursi tunggu. "Kamu sebaiknya pulang dulu, makan dan istirahat. Kamu belum ada pulang. Itu pasti stock ASI buat Ariel udah habis. Kasian dia," pinta beliau."Arka pasti bangun, kan, Pa?"Lisa sangat takut terjadi hal buruk hingga dia terus meyakinkan diri akankah Arka bangun dengan cepat. Papa Frans b