Suara bel pintu berbunyi di sisi pintu jati rumah Keluarga Wijaya. Si Bibi segera membuka pintu dan menyambut tamu yang datang. Seorang pria tampan berkulit putih bersih, sedikit mengangguk sungkan untuk memberi salam."Bi, Lisa-nya ada?" Dia yang tak lain adalah Yuga, dokter obgyn Lisa."Oh, Nyonya Lisa? Ada, Pak. Bapak siapa, ya?" "Saya dokter kandungan yang selama ini merawat Lisa. Tolong panggilkan dia, Bi. Saya ingin bertemu.""Baik, Dok. Tolong tunggu sebentar."Yuga pun meninggalkan teras, lalu duduk di jajaran bangku dekat air mancur. Angin sore begitu sejuk di bawah payung langit yang mendung, sangat segar menghabiskan waktu sore di sini.Tak lama, Lisa muncul dan berjalan lambat ke arah Yuga. Wajahnya sangat sendu, seperti habis menangis. Tuduhan Arka yang begitu mengerikan tentang dirinya, membuat Lisa tenggelam dalam luka hatinya."Lisa? Ada apa? Kenapa kamu nggak datang ke rumah sakit?" tanya Yuga begitu Lisa berada di hadapannya."Setelah ini ... tolong jangan temui aku
Lisa menangis histeris. Masalah yang berasal dari mana dia pun tak mengerti. Dalam sekejap ada badai membalik perahu rumah tangga mereka. Mulai dari tuduhan selingkuh dan yang terburuk adalah saat Arka tak percaya bahwa dia mengandung anak mereka.Kei menangis melihat kesedihan sang kakak. Kakak iparnya itu begitu tegar berbalik dan meninggalkan keduanya di pelataran.Kei berusaha menenangkan sang kakak. Dia takut hal itu mempengaruhi janinnya. Lisa sangat lama menanti kehamilannya, bahkan di usianya yang tak muda lagi."Kak.""Nggak, Kei. Arka nggak bisa giniin kakak. Dia nggak boleh.""Kak, cukup. Kakak udah dengar sendiri, kan, Kak Arka minta Kakak pergi. Kak Arka balikin Kakak ke rumah kita. Aku nggak tau apa yang terjadi. Tapi kalau seandainya dia salah, tolong jangan mudah maafin dia."Lisa hanya bisa pasrah, tetap keras kepala juga tak ada gunanya. Arka akan lebih keras lagi. Wanita itu pun dibawa pergi oleh adiknya meninggalkan rumah Keluarga Wijaya untuk sementara ini.Tak ad
Dunia bahagia Arka mendadak berubah sejak Lisa pergi dari rumah. Ada banyak kekacauan yang terjadi dan Arka tak bisa menanggungnya sendiri. Dia pun mengambil ponsel dan menghubungi salah seorang dokter seprofesinya. Dr. Hanif tertera pada kontak. Beliau adalah rekan satu departemen kardiotoraks di Raztan Hospital."Malam, Dokter Arka?" sambut dr. Hanif begitu panggilan tersambung."Dok, besok saya akan ajukan cuti untuk beberapa minggu ini. Jadi tolong handle pasien dengan baik. Maaf kalau saya nggak profesional.""It's oke. Menangani pasien dalam keadaan seperti ini juga tidak baik. Maaf, saya sudah mendengar sedikit dari dr. Rizwar."Arka tersenyum miris. Betapa dia malu karena kisruh rumah tangganya yang tak bisa dia tangani berdampak buruk pada pekerjaannya."Jadi, kapan Dokter Arka akan mulai pemeriksaan lanjutan terkait sakit kepala Anda? Kami sangat cemas. Dan juga, kata dr. Rizwar, ada sesuatu yang aneh dengan ....""Saya tau. Belakangan ini saya tidak bisa mengontrol emosi sa
"Bisa ... Anda jelaskan ini lebih serius, Dok? Saya ... salah lihat, kan? Lima tahun yang lalu saya periksa dan ..." Arka memandang dengan gurat shock."Maaf, dr. Arka. Saya juga tidak bisa memberi penjelasan banyak. Tapi di sini memang ada masalah terkait konsistensi cairan semen yang terlalu encer dan juga ... ... jumlah sel sperma yang terkandung di dalamnya setiap ejakulasi itu di bawah batas normal, Pak Arka."Arka meneguk ludah, mengeratkan jemari pada lutuntnya."Hasil tesnya sangat berbeda dari kondisi lima tahun lalu."Arka menunduk dengan senyum getir. Dia membenci tatapan iba dokter ini padanya. Ini sangat memalukan. Dia tak ingin terlihat rapuh. Berusaha tersenyum, menyatakan bahwa dia baik-baik saja."Itu udah lima tahun. Mungkin memang semuanya berubah. Saya permisi!"Arka berusaha menahan diri. Betapa tertekannya dia saat ini. Di depan pintu, Rizwar terkejut mendengarnya. Masalah serius terkait rumah tangga Arka inilah yang menjadi sumber bencana."Arka, kita harus bica
Sore harinya, Arka turun dari lantai dua sambil menyeret koper di tangannya. Pria itu benar-benar sudah kehilangan akal. Dia hendak meminta supirnya untuk mengantar koper itu pada sang istri. Tepat saat tiba di luar pintu, sebuah taksi berhenti. Lisa muncul dari sana. Wanita itu tampak lusuh, matanya sembab. Petugas keamanan hendak mendekati sebab kasihan pada menantu keluarga itu. Lisa bersusah payah berjalan dengan perutnya yang besar. Sungguh perlakuan Arka ini sangat tidak manusiawi padahal mereka saling mencintai."Arka ..."Air wajah Arka tetap terlihat dingin. Bahkan dia tak bisa melihat kesedihan di wajah istrinya itu. Usia kehamilan Lisa sudah 7 bulan dan sekarang dia bersiap untuk menceraikannya."Kenapa kembali? Apa aku ada minta kamu untuk pulang?" tukas Arka, sinis."Tolong jangan seperti ini, Arka.""Kamu nggak punya hak untuk kembali, Lisa. Setelah anak itu lahir, aku akan urus perceraian kita."Arka begitu tenang saat mengatakan hal fatal seperti itu. Lisa tak menger
"Kenapa hasil tesnya bisa jadi gini?"dr. Grace terkejut saat dr. Rizwar menunjukkan hasil test Arka yang dibawanya. Selama ini, dokter cantik itulah yang melakukan pengobatan Lisa dan mengetahui jelas akar dari kesulitan keduanya mendapatan keturunan."Ya, saya juga bingung. Bukannya tes sebelumnya dia baik-baik aja? Kita jelas tahu Lisa yang mengalami masalah. Karena pemeriksaan ini, Arka jadi menuduh Lisa selingkuh dan hamil dengan pria lain. Dia malah berpikir untuk menceraikan Lisa," lanjut dr. Rizwar."Kalau gitu, kita harus minta Arka untuk melakukan tes ulang. Saya nggak meragukan kinerja dr. Donny, tapi ini hanya untuk pengecekan ulang saja karena hanya kemungkinan kecil Arka bisa mengalami hal seperti ini. Dia justru sangat rutin melakukan pemeriksaan sebelumnya." dr. Hanif ikut menambahkan."Saat ini Arka tidak dalam kondisi bisa melakukan itu lagi. Dia masih terguncang."Psikiater itu mengambil berkas dari dalam laci dan menunjukkannya pada dua dokter tersebut. Hasil test
Yuga turun dari mobil setelah menempuh perjalanan panjang agar bisa cepat sampai di rumah sakit. Dia baru saja kembali setelah menjemput putranya dari asrama."Papa kenapa?" tanya putranya yang bernama Gio tersebut."Papa buru-buru, Sayang. Ikutin papa aja, tapi jangan lari-lari. Teman papa ada yang sakit.""Gio ikutin dari belakang. Papa duluan aja, nggak apa-apa."Yuga mengusap pelan kepala Gio, berterima kasih karena putranya itu mau mengerti. Dia ingin segera sampai agar bisa menemui Lisa, atau mendengar kabar setelah tadi dia meninggalkan wanita itu yang sedang menjalani operasi.Yuga terhenti saat berpapasan dengan dr. Shinta, dokter yang bertanggungjawab untuk operasi Lisa tadi."Gimana keadaan Lisa? Apa yang terjadi? Dia selamat, kan?""Ikut saya sebentar!"Dokter itu berjalan ke lorong Emerald, berhenti tepat di satu ruangan yang Yuga tau apa maksud dokter itu membawanya ke sini."Cukup mengkhawatirkan, Dok, sangat serius. Sebenarnya saat ini kondisinya sangat lemah. Dia ada
"Ya lalu apa, Arkana? Lo udah ngusir dia, kan? Kalau bukan untuk minta maaf, kenapa Lo harus temuin dia?""Itu bukan urusan lo. Apa hak Lo untuk ngatur hidup gue dan Lisa?""Setelah Lo ngusir dia dan sekarang dia tinggal sama gue, itu udah jadi urusan gue. Dia juga nggak bisa ketemu Lo lagi!"Arka terdiam mendengar kecam emosional Yuga. Apakah benar Lisa juga tak ingin menemuinya lagi?"Ini mau Lo untuk pisah dari dia, kan? Meskipun dia udah kasih penjelasan, Lo tetap nggak mau dengar, Arkana. Jadi, terima aja kenyataan kalau dia bukan milik Lo lagi!" sahut Yuga, lagi.Panggilan diakhiri.Arka tertegun, meresapi teguran keras Yuga. Kali ini pikiran Arka lebih waras. Dia terkejut saat menyadari bahwa Lisa sudah pergi jauh darinya."Nggak bisa. Dia istri gue, dia milik gue. Lisa ... kamu nggak bisa pergi gitu aja, Sayang. Kamu ..."Suara knop pintu terbuka. Rizwar mampir lagi ke rumah Wijaya untuk terus memantau psikis temannya ini. "Masih betah cuti?" tanya Rizwar.Arka memang mengamb
Rizwar terkejut saat mendengar cibiran salah seorang rekan di bridal itu. Di sana, dia melihat Lisa tertunduk dan menangis, sementara Arka sudah marah seperti orang kesetanan. Dirinya pun ikut menggeram. Segera dia berlari dan memberikan tinju tepat di wajah Arka hingga temannya itu terjerembab jatuh ke lantai.“Apaan, sih, lo?” kecam Arka.“Puas, lo, rumah tangga lo jadi tontonan gini, hah?!”Rizwar menyeret Arka dan Lisa untuk pergi dari tempat itu, masuk ke ballroom hotel untuk menghindari perhatian orang-orang. Rizwar menyidik keduanya. Sepasang suami istri itu duduk berhadapan. Lisa menangis kecewa, sementara Arka sudah sangat meledak.“Lisa! Lo ini nggak kapok, ya! Belajar dari pengalaman, kek! Ini suami lo otaknya cetek! Sama dia harus transparan, nggak boleh tuh ada rahasia-rahasiaan. Kalau gini, kan, dia jadi salah paham. Nuduh lo selingkuh lagi, kan?” pekik Rizwar.Lisa hanya menunduk, terus menyapu air matanya. “Aku cuma mau ngasih kejutan.”“Dan lo …” Rizwar menggantung uc
Arka tak bisa lagi menahan amarahnya. Seharian di rumah sakit, akhirnya dia pulang lebih cepat untuk bicara dengan Lisa. Ditunggunya wanita itu pulang, sampai jam delapan lebih. Lisa pun jarang mengangkat panggilan darinya.Krik! Lisa membuka pintu dan mendapati suaminya itu duduk di sofa dengan tatapan tajam dan bersidekap. Wanita itu mengurai senyum tipis sambil memegang pundaknya yang terasa sakit.“Sayang, udah pulang?”“Kamu abis dari mana? Jalan sama cowok? Aku liat kamu tadi dianterin lagi sama dia.”Lisa bungkam. Senyumnya tadi memudar mendengar tudingan tajam Arka. Dia meletakkan dulu tasnya, lalu melepas blazer yang melilit tubuhnya hari ini.“Tadi juga kamu makan siang sama dia, kan? Kalau kamu punya waktu makan siang sama dia, kenapa nggak ke rumah sakit dan ngajak aku lunch juga?” bentak Arka.Protes keras Arka ditanggapi sinis oleh Lisa. Teringat dia bahwa minggu lalu, Arka selalu menolak makan siang dengannya beberapa kali meski Lisa sudah menunggu Arka berjam-jam di ru
Begitu saja? Lisa hanya merasa lelah. Arka pun merasa janggal dengan sikap Lisa. Istrinya ini tidur memunggunginya, tak seperti sebelumnya yang selalu beringsut ke dada Arka hanya untuk menjadikan lengan suaminya itu sebagai bantal tidurnya.“Kenapa kamu tidur mantatin aku, sih?” seru Arka.“Siapa yang mantatin kamu? Muka kamu, kan, di atas, pan-tatku di bawah. Bukan mantatin namanya.”“Iya, maksudku, munggungin aku,” gerutu Arka sambil menarik bahu Lisa.Lisa menggoyangkan bahunya, menolak Arka untuk mengganggu. “Sayang, aku ngantuk, nih.”“Ngantuk … banget, ya? Malam ini nggak mau main apa … gitu. Kuda-kudaan, kek. Udah lama, kan?” rayu Arka sambil mengusap-usap paha istrinya.Lisa sama sekali tak tergoda. Dia benar-benar lelah seharian. Disampirkannya tangan suaminya itu, malas meladeni sikap manjanya yang minta dilayani urusan ranjang. Lisa menoleh ke belakang, tersenyum sungkan.“Sayang, please … besok-besok aja, ya. Aku capek banget. Beneran.”Lisa sedikit beranjak dan mencium s
Arka duduk bersila di atas kasur, lalu menggendong Ariel untuk duduk di pangkuannya. Si kecil itu sedang lagi aktif-aktifnya untuk memainkan bola-bola dengan warna berbeda. Indera penglihatannya mulai bekerja. Begitu senang saat memainkan bola-bola di tangan ayahnya itu. “Adek juga udah nggak nyusu mama lagi. Nggak apa-apa, tuh? Nggak nangis? Kalau papa, nangis tuh.”Ariel tertawa, lalu menoleh pada ayahnya yang sejak tadi mengomel tak jelas. Tentu dia tak memahaminya. Tapi mendengar nada manja sang ayah, gelak kecilnya terdengar menggemaskan.“Bukan, maksudnya, nangis karena nggak meluk mama.”Ah! Apa yang dia pikirkan? Wajahnya merah sendiri, padahal si bocah itu juga tak paham apa yang dibicarakan. Dia baru ingat, bahkan sudah dua minggu lebih mereka tidak melakukan hubungan intim. Sibuk dan lelah. Lebih memilih berbaring dan bercumbu dalam lautan mimpi.“Mama mana, ya? Kok, belum pulang?”Tak lama, suara mobil terdengar memasuki pelataran rumah. Arka beranjak dari kasur, lalu men
Lisa cemberut, dengan tangan bersidekap. Selalu seperti ini setiap Arka pulang. Dia bahkan lebih senang memeluk guling ketimbang istri cantiknya ini.‘Sialan! Aku udah setengah telanj ang gini pun dia nggak ada minat buat megang-megang.’Sengaja dia menjatuhkan dress begitu saja untuk menggoda suaminya ini. Setidaknya mereka perlu amunisi untuk hubungan pernikahan yang belakangan ini terasa hambar. Lisa segera berbalik ke sisi cermin. Menatap tubuhnya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki lewat pantulan cermin. Dicubitnya sebentar lengan, lalu kedua sisi perutnya yang agak melar.‘Masa' udah nggak selera lagi, sih? Padahal nggak gendut-gendut amat. Masa iya, dia nggak pengen lagi?’Malas menggalau ria, Lisa pun pergi mandi karena badannya sedikit terpercik hujan di luar sana. Menghabiskan waktu lima belas menit, lalu dia keluar dari toilet. Hujan deras seakan mendukung Arka untuk pulas tertidur, padahal dia berkata hanya rebahan saja. Suara dengkurnya saja terdengar kuat.Lisa menyur
“Masih lama?”Arka melepaskan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya setelah masuk ke ruang prakteknya. Lisa beranjak dari sisi sofa dengan wajah sumringah. Dia telah bersiap dengan tampilan cantik dan rapi. Dress merah muda itu melilit tubuhnya yang belum terlalu singset setelah melahirkan Ariel. Menunggu satu jam lebih, akhirnya Arka menyelesaikan operasinya siang itu di Raztan Hospital tersebut.“Ya udah, sekarang kamu beres-beres dulu, trus kita makan di restoran China itu,” ujar Lisa, manja.Arka tersenyum tipis. Membuka jas putih itu, lalu disampirkannya di atas meja. Dipeluknya sesaat istrinya itu, mencium rambutnya yang sangat wangi untuk memanjakan hidungnya.“Aku masih ada jadwal operasi lagi jam 1 nanti, Sayang.”Lisa tertegun, hanya menempelkan kepalanya di dada bidang Arka.“Nggak mungkin kita cuma makan siang, trus aku balik ke rumah sakit, kan? Ini juga udah hampir setengah satu. Kalau besok aja, gimana?”Arka meminta dengan nada lembut, memohon kesediaan Lisa un
Papa Frans tak tahan dan langsung mengetuk kepala Arka. Si tampan itu sampai mengaduh sambil mengusap kepalanya."Papa, ih!" ujar Mama Wendi."Ini anak ngomongnya bar-bar banget. Heran aku!" dumel Papa Frans."Apa, sih, Pa? Tega bener nyiksa aku gini," keluh Arka."Ya kamu itu mulutnya nggak bisa dijaga di depan orangtua, mah. Perlu disekolahin lagi?" canda Papa Frans."Nggak, Pa. Makasih. Udah kenyang aku. Ini mulut blangsak udah bawaan orok, Pa.""Dokter begini modelnya, apaan? Dulu kamu masuknya nyogok, ya?" Papa Frans masih asik berdebat dengan Arka.Dua pria ini memang sangat mirip kerasnya. Mama Wendi dan yang lain hanya tepuk jidat karena mereka tak henti melempar argumen.Tawa keluarga itu menghiasi setengah jam kebersamaan. Setelah itu, Arka dipapah Rizwar untuk naik ke lantai dua kamarnya. Betapa gugupnya dia menyadari pintu kamarnya terbuka. Sempat mengintip, istrinya itu masih duduk di depan meja rias."Riz, takut banget gue masuk, mah. Tengsin, lah! Udah bikin surat pami
Setelahnya, Rizwar masuk ditemani Grace. Arka sangat bersyukur mereka selalu menemaninya."Lisa tadi langsung pulang waktu tau kamu udah sadar. Jangan salah paham! Dia cuma belum siap ketemu kamu. Tadi dia juga bawa Ariel. Tapi pasti nanti Ariel nggak nyaman, bahaya juga karena di rumah sakit, 'kan? Jadi langsung dibawa pulang aja," papar Grace, menjelaskan semua seolah paham apa yang ingin diketahui Arka saat ini."Setelah ini pulang dan jangan keras kepala lagi. Satu pelajaran buat lo. Kalau ada masalah, jangan disimpan sendiri karena bisa bikin salah paham segede ini," tutur Rizwar, menambahkan."Hm! Istri itu separuh nyawa suaminya. Jangan rahasiakan apa pun, karena seorang istri akan merasa bahagia jika dianggap penting sama suaminya," pesan sang ibu.Tak lama, dr. Farhan masuk bersama dr. Hanif. Dua dokter itu juga sigap memantau kesehatannya selama ini."Pelan-pelan aja. Untuk saat ini, operasi pengangkatan tumornya sukses. Tapi masih tetap harus medical check up rutin untuk me
Pernikahan sudah dijalani sepuluh tahun. Selama ini, semarah apa pun Arka, sikap lembut Lisa yang berusaha menenangkan Arka membuat pria itu selalu memperbaiki diri dan menarik kembali amarahnya. Pertengkaran diredam karena Arka melihat cinta di mata Lisa. Akan tetapi beberapa bulan ini, kemarahan Lisa membuat Arka berada dalam tekanan.Ternyata cinta Arka saja tak cukup untuk melunakkannya. Tak peduli seberapa keras pria itu berupaya, bersujud, bahkan menangis sekalipun, Lisa tak goyah. Suaminya itu menahan sesak akibat kemarahan tak berujung Lisa."Maafin aku, Ka ...."Papa Frans menoleh saat mendengar isak tangis Lisa. Dia bangkit untuk mendekati menantunya itu, mengajaknya duduk di kursi tunggu. "Kamu sebaiknya pulang dulu, makan dan istirahat. Kamu belum ada pulang. Itu pasti stock ASI buat Ariel udah habis. Kasian dia," pinta beliau."Arka pasti bangun, kan, Pa?"Lisa sangat takut terjadi hal buruk hingga dia terus meyakinkan diri akankah Arka bangun dengan cepat. Papa Frans b