“Alice, lusa nanti kau harus menemani Hayes untuk menghadiri acara, apa kau bisa mengosongkan waktumu?” tanya Damian memulai percakapan.Alice tersenyum dengan tenang. “Baik Ayah.”Suara alarm dari smartwatch yag terpasang di pergelangan tangan membuat Damian segera beranjak dan mengambil roti isinya yang belum dia habiskan. “Aku memiliki pertemuan penting, kalian selesaikan sarapan kalian.”“Hati-hati di jalan, Ayah,” ucap Alice.Damian tersenyum lebar, pria paruh baya itu melangkah cepat menuju ruangan ruangan kerjanya untuk membawa keperluannya terlebih dahulu sebelum pergi untuk bekerja.Hayes menegakan tubuhnya, diam-diam memperhatikan cara makan Alice yang terlalu pelan dan hati-hati, setiap kali dia akan menyuapkan sesuatu, sendok di tangannya selalu mengaduk seperti sedang mencari sesuatu.“Apa kau tahu, lusa nanti itu kunjungan apa?” tanya Hayes membangun percakapan untuk pertama kalinya di meja makan.“Aku tidak tahu,” jawab Alice samar terdengar.“Hipodrom milik keluargaku
Hayes terus berdiri di depan pintu, pria itu terlihat gelisah menunggu Alice yang sudah cukup lama belum keluar dari toilet. Hayes tidak dapat menutupi kekhawatirannya, reaksi spontan Alice yang ketakuan jauh lebih mengerikan dari Ivana. Hayes sadar, reaksi itu muncul setelah Bella tidak sengaja memecahkan gelas di lantai.Apa yang sebenarnya terjadi? Semakin Hayes mengenal Alice, dia semakin sulit untuk dipahami.Hayes terperanjat begitu melihat Alice kembali keluar dari kamar mandi. “Kau butuh bantuan dokter?” tanya Hayes dengan cepat, meneliti wajah pucat Alice yang terlihat tidak baik-baik saja.“Tidak,” jawab Alice dengan suara napas yang kasar tengah menahan ringisan.“Aku akan mengantarmu ke kamar,” tawar Hayes mencoba mendekat dan merangkul bahu Alice yang terlihat menggigil.Alice menggeleng dan mundur, tangannya yang gemetar terlihat kuat memeluk tubuhnya seakan tengah melindingi diri sendiri. “Aku baik-baik saja,” jawab Alice lagi menolak kebaikan yang ditawarkan.“Berhen
Langit yang cerah berubah mendung, Alice berjalan di antara keramaian, membagikan selembaran kertas dengan kostum badutnya. Paginya yang buruk telah dia tutupi dengan senyuman, menata kembali harapan yang harus terus dipupuk.Suara napas kasar karena lelah terdengar, wajah Alice terangkat memandangi daun-daun pohon maple yang berguguran.Alice sudah bergelut dengan waktu dan berbagai situasi, layaknya daun maple yang diterpa angin dan hujan, mereka masih bertahan dengan kuat di ranting. Ketika waktunya tiba, mereka akan berguguran sendiri pada waktunya.Alice masih percaya, apapun yang telah terjadi padanya, jika takdirnya harus terus berdiri dalam berbagai situasi, maka Alice akan mencoba terus melewatinya sampai pada akhirnya dia akan gugur dengan sendiri bila itu waktunya telah tiba.Biarkan mimpi Alice setinggi langit dan kebenarannya serendah rumput liar, asal itu bisa membuatnya tetap hidup. Alice akan menikmati hidupnya.Malu pada lalat yang dianggap menjijikan karena terlahir
Beberapa orang keluar dari ruangan usai melakukan meeting penting.Suara teriakan antusias terdengar menggema di luar, kerumunan banyak orang memadati area yang disediakan. Theodor terdiam sejenak di sisi jendela, berdiri di salah satu lantai gedung universitas, memperhatikan acara yang digelar berjalan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan.Langit gelap, awan menggumpal dan hujan yang turun tidak menyurutkan kesenangan semua orang.Tetesan air hujan yang menapaki jendela mengingatkan Theodor pada sebuah kenangan kecil dirinya pada malam itu. Sebuah kesenangan yang mungkin tidak akan lagi kembali dia rasakan.Theodor menarik napasnya dalam-dalam, memikirkan terjebak dalam cinta segitiga tidak ada bedanya dengan diserang penyakit, tetapi enggan untuk menyembuhkannya.“Tuan Muda, penerbangan ke Venesia akan satu jam lagi, kita harus segera pergi,” ucap Samuel memberitahu.Theodor melepas satu kancing kemeja teratasnya, pria itu mendesah lelah karena terus bergelut dengan berbagai peke
Langit kian gelap di sore itu, Alice menyusuri jalan menuju kediaman keluarga Borsman, tidak ada waktu untuknya menunggu hujan reda karena sebentar lagi pasti akan malam.Hari ini sangat menyenangkan, cuaca yang buruk sangat berbanding balik dengan suasana hatinya. Alice sangat bersyukur, tempatnya bekerja dikelilingi oleh orang-orang baik.Senyuman lembut menghiasi wajah cantiknya, gadis itu memperhatikan setiap langkah yang dia ambil dengan kaki yang mengenakan sepatu kebesaran Theodor. Berkat Theodor, Alice bisa menitipkan kostum badutnya pada Brody tanpa perlu pergi ke perusahaan tempatnya bekerja dan mengambil sepatunya di sana.Alice melangkah lebar, menginjak beberapa genangan air di jalan yang menciptakan cipratan. Dingin air hujan yang membasahi pakaiannya membuat tubuh Alice menggigil, sejenak wajahnya menengadah melihat tetesan hujan turun dari langit menciptakan banyak kilauan.Sejak menghabiskan waktu bersama Theodor di malam itu, Alice menjadi tidak begitu takut lagi de
Gemercik suara air jatuh terdengar, dinding kaca yang menghalangi menciptakan embun, Alice berdiri menikmati hangat air yang membasahi tubuhnya setelah terjebak dalam kedinginan.Bayangan tubuhnya di dinding terlihat, Alice mengusap permukaan kulitnya yang terasa sedikit berbeda dari biasanya. Dia tersenyum, senang dengan kondisi semakin pulih meski akan membutuhkan waktu jauh lebih lama lagi agar bisa sembuh.Sebelum datang ke kediaman Borsman, kondisinya yang parah sering kali membuat dia kesakitan hanya dengan kulitnya bersentuhan dengan pakaian yang dikenakan.Kini semuanya kian membaik, meski ada sisa-sisa rasa perih, namun kali ini Alice tidak lagi banyak meringis setiap kali tubuhnya terkena air.“Aku harap, perut dan lidahku juga segera sembuh,” bisiknya penuh harapan.Alice mematikan shower dan pergi keluar untuk mengeringkan tubuhnya, sebelum berpakaian dia mengoleskan salep pemberian Theodor. Ketika Alice kembali keluar, Hayes tidak ada di kamar.Sangat melegakan mengetah
Damian menggenggam sebuah kotak berisi kalung, pria paruh baya itu memandangi ukiran kecil berbentuk salju dihiasi oleh berlian. Damian belum pernah memberi hadiah apapun untuk Alice, dan ketika dia tahu Alice di lahirkan saat salju turun, Damian mencari sesuatu yang berharga untuk diberikan kepadanya.Kebahagiaan Alice sangat penting untuknya, gadis itu pantas mendapatkan segala hal terbaik dalam hidupnya.Suara ketukan di pintu terdengar, tidak berapa lama Alice muncul. “Ayah memanggil saya?”Dengan senyuman lembutnya Damian mengangguk. “Kemarilah.”Alice masuk ke dalam ruangan itu dan segera menarik kursi untuk duduk di hadapan Damian. “Ayah memanggil saya untuk apa?” tanya Alice penasaran.Damian meletakan kotak kalung yang dia genggam di hadapan Alice. “Itu untukmu.”Pupil mata Alice melebar tidak dapat menutupi keterkejutannya, gadis itu sampai tidak berani untuk menyentuhnya karena dia tahu kotak beludru hitam itu pasti perhiasan.“Maaf, Ayah. Saya tidak bisa mengambilnya, itu
Hari ini cuaca sangat cerah dan hangat, tampaknya acara pacuan kuda akan berjalan dengan baik.Hayes berdiri bersandar pada sisi mobil, menunggu Alice yang tengah dibantu beberapa pelayan untuk mendapatkan riasan.Suara helaan napas berat terdengar dari mulut Hayes, matanya yang lelah tidak dapat ditutupi karena sepanjang malam tidak bisa tidur. Hayes gelisah, dilanda banyak pikiran buruk.Mata zambrud yang cerah itu bergerak menyapu pemandangan sekitar, berakhir pada lapangan golf yang beberapa terakhir ini tidak dia pakai. Ada kerinduan besar yang datang, Hayes rindu bermain golf, dia rindu pergi menghabiskan waktunya untuk liburan bersama teman-temannya, Hayes rindu kebebasan.Andai Hayes tidak menikah demi statusnya sebagai pewaris, dia tetap akan hidup berkecukupan. Penghasilannya sebagai atlit cukup besar, dia juga memiliki banyak asset yang diturunkan dari kakek neneknya. Dan yang terpenting, dia tidak menyakiti Alice sampai sejauh ini.“Seharusnya aku tidak mengorbankan masa m