“Alice, apa aku boleh tahu, apa yang selama ini kau lakukan ketika di rumah keluargamu?” Sebuah pertanyaan sederhana yang Theodor persiapkan akhirnya keluar.Alice tersenyum malu, beberapa kali gadis itu melihat Theodor lalu tertunduk gelisah, keraguan di matanya yang ingin bercerita menyadarkan Theodor bahwa gadis itu belum siap bercerita.“Kau tidak perlu menjawab jika belum siap.”Alice menggeleng. “Aku bekerja di rumah, sebenarnya berkat menikah dengan Hayes, untuk pertama kalinya aku bisa keluar rumah.”Mata Theodor terbelalak, pikirannya kesulitan mencerna pengakuan yang tidak pernah sekalipun Theodor bayangkan. “Lalu, bagaimana dengan lukamu?” bisik Theodor kian ingin tahu.Alice membuang mukanya seketika, melihat ke sekeliling hanya untuk memastikan jika di sekitar mereka sudah tidak siapapun lagi. Alice kembali melihat Theodor, senyuman yang sempat dia tunjukan tampak gemetar, Alice kehilangan kepercayaan dirinya.“Jika kau memberitahumu, apa kau akan membenciku juga?” bisik
Hayes kembali masuk ke dalam kamar Ivana, memastikan seperti apa keadaannya sekarang. Ketika Hayes datang, Ivana tengah duduk seperti menantikan sesuatu.“Damian,” sambut Ivana dengan senyuman, sudah cukup lama dia menantikan Damian, akhirnya kini dia kembali.Hayes menutup pintu kamar dengan hati-hati. “Ini aku,” jawab Hayes mendekat.“Hayes,” sapa Ivana dengan senyuman yang sedikit memudar.Hayes mendekat, duduk di sisi ranjang dan memperhatikan keadaan Ivana yang sedikit lebih baik dari sebelumnya. Sejenak dia melihat ke sekitar, memastikan semua barang-barang yang tajam sudah dibenahi Mery.Ivana akan melukai dirinya sendiri jika keadaannya sedang tidak parah, bahkan kini dokter keluarga Borsman harus menginap semalam hanya untuk memastikan Ivana baik-baik saja.Punggung Ivana bersandar pada kepala ranjang, di tariknya selimut untuk menutupi tubuhnya yang dingin. “Ada apa Hayes?”“Bagaiamana keadaan Ibu?” tanya Hayes dengan lembut.“Seperti yang kau lihat, sekarang ibu merasa sedi
Sinar matahari pagi sudah terlihat balik jendela, hangat dan lembut selimut menahan Alice untuk tidur lebih lama lagi, gadis itu terbaring dengan damai tidak bergerak sedikitpun.Suara derap langkah di kesunyian terdengar, derak lembut gordeng terdengar lebih jelas, sinar matahari menerobos masuk ke dalam, menerangi kamar.Cahaya yang terang cukup menyilaukan mengusik tidur lelap Alice. Perlahan Alice membuka matanya, menarik napasnya dalam-dalam untuk mengumpulkan semua kesadarannya, Alice melihat bagian langit-langit kamar yang terdapat sebuah lampu.Samar kening Alice mengerut, tersadar jika setiap pagi dia bangun, bagian langit-langit kamarnya tidak ada lampu.Permukaan tangan Alice merasakan halus permukaan sofa.“Bukankah semalam aku ada di pinggiran danau?” bisik Alice teringat kembali dengan tempat terakhirnya semalam tidur.Dengan cepat Alice terduduk waspada, gadis itu tampak terkejut begitu tersadar jika kini dia tertidur di ranjang Hayes. Dengan cepat Alice melompat turun
“Alice, lusa nanti kau harus menemani Hayes untuk menghadiri acara, apa kau bisa mengosongkan waktumu?” tanya Damian memulai percakapan.Alice tersenyum dengan tenang. “Baik Ayah.”Suara alarm dari smartwatch yag terpasang di pergelangan tangan membuat Damian segera beranjak dan mengambil roti isinya yang belum dia habiskan. “Aku memiliki pertemuan penting, kalian selesaikan sarapan kalian.”“Hati-hati di jalan, Ayah,” ucap Alice.Damian tersenyum lebar, pria paruh baya itu melangkah cepat menuju ruangan ruangan kerjanya untuk membawa keperluannya terlebih dahulu sebelum pergi untuk bekerja.Hayes menegakan tubuhnya, diam-diam memperhatikan cara makan Alice yang terlalu pelan dan hati-hati, setiap kali dia akan menyuapkan sesuatu, sendok di tangannya selalu mengaduk seperti sedang mencari sesuatu.“Apa kau tahu, lusa nanti itu kunjungan apa?” tanya Hayes membangun percakapan untuk pertama kalinya di meja makan.“Aku tidak tahu,” jawab Alice samar terdengar.“Hipodrom milik keluargaku
Hayes terus berdiri di depan pintu, pria itu terlihat gelisah menunggu Alice yang sudah cukup lama belum keluar dari toilet. Hayes tidak dapat menutupi kekhawatirannya, reaksi spontan Alice yang ketakuan jauh lebih mengerikan dari Ivana. Hayes sadar, reaksi itu muncul setelah Bella tidak sengaja memecahkan gelas di lantai.Apa yang sebenarnya terjadi? Semakin Hayes mengenal Alice, dia semakin sulit untuk dipahami.Hayes terperanjat begitu melihat Alice kembali keluar dari kamar mandi. “Kau butuh bantuan dokter?” tanya Hayes dengan cepat, meneliti wajah pucat Alice yang terlihat tidak baik-baik saja.“Tidak,” jawab Alice dengan suara napas yang kasar tengah menahan ringisan.“Aku akan mengantarmu ke kamar,” tawar Hayes mencoba mendekat dan merangkul bahu Alice yang terlihat menggigil.Alice menggeleng dan mundur, tangannya yang gemetar terlihat kuat memeluk tubuhnya seakan tengah melindingi diri sendiri. “Aku baik-baik saja,” jawab Alice lagi menolak kebaikan yang ditawarkan.“Berhen
Langit yang cerah berubah mendung, Alice berjalan di antara keramaian, membagikan selembaran kertas dengan kostum badutnya. Paginya yang buruk telah dia tutupi dengan senyuman, menata kembali harapan yang harus terus dipupuk.Suara napas kasar karena lelah terdengar, wajah Alice terangkat memandangi daun-daun pohon maple yang berguguran.Alice sudah bergelut dengan waktu dan berbagai situasi, layaknya daun maple yang diterpa angin dan hujan, mereka masih bertahan dengan kuat di ranting. Ketika waktunya tiba, mereka akan berguguran sendiri pada waktunya.Alice masih percaya, apapun yang telah terjadi padanya, jika takdirnya harus terus berdiri dalam berbagai situasi, maka Alice akan mencoba terus melewatinya sampai pada akhirnya dia akan gugur dengan sendiri bila itu waktunya telah tiba.Biarkan mimpi Alice setinggi langit dan kebenarannya serendah rumput liar, asal itu bisa membuatnya tetap hidup. Alice akan menikmati hidupnya.Malu pada lalat yang dianggap menjijikan karena terlahir
Beberapa orang keluar dari ruangan usai melakukan meeting penting.Suara teriakan antusias terdengar menggema di luar, kerumunan banyak orang memadati area yang disediakan. Theodor terdiam sejenak di sisi jendela, berdiri di salah satu lantai gedung universitas, memperhatikan acara yang digelar berjalan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan.Langit gelap, awan menggumpal dan hujan yang turun tidak menyurutkan kesenangan semua orang.Tetesan air hujan yang menapaki jendela mengingatkan Theodor pada sebuah kenangan kecil dirinya pada malam itu. Sebuah kesenangan yang mungkin tidak akan lagi kembali dia rasakan.Theodor menarik napasnya dalam-dalam, memikirkan terjebak dalam cinta segitiga tidak ada bedanya dengan diserang penyakit, tetapi enggan untuk menyembuhkannya.“Tuan Muda, penerbangan ke Venesia akan satu jam lagi, kita harus segera pergi,” ucap Samuel memberitahu.Theodor melepas satu kancing kemeja teratasnya, pria itu mendesah lelah karena terus bergelut dengan berbagai peke
Langit kian gelap di sore itu, Alice menyusuri jalan menuju kediaman keluarga Borsman, tidak ada waktu untuknya menunggu hujan reda karena sebentar lagi pasti akan malam.Hari ini sangat menyenangkan, cuaca yang buruk sangat berbanding balik dengan suasana hatinya. Alice sangat bersyukur, tempatnya bekerja dikelilingi oleh orang-orang baik.Senyuman lembut menghiasi wajah cantiknya, gadis itu memperhatikan setiap langkah yang dia ambil dengan kaki yang mengenakan sepatu kebesaran Theodor. Berkat Theodor, Alice bisa menitipkan kostum badutnya pada Brody tanpa perlu pergi ke perusahaan tempatnya bekerja dan mengambil sepatunya di sana.Alice melangkah lebar, menginjak beberapa genangan air di jalan yang menciptakan cipratan. Dingin air hujan yang membasahi pakaiannya membuat tubuh Alice menggigil, sejenak wajahnya menengadah melihat tetesan hujan turun dari langit menciptakan banyak kilauan.Sejak menghabiskan waktu bersama Theodor di malam itu, Alice menjadi tidak begitu takut lagi de