Murni terkesiap. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Kain kafan bapaknya bergerak semakin nyata, seolah ada yang berusaha keluar dari dalam sana. Para pelayat pun saling berbisik, beberapa bahkan berlari menjauh, sementara yang lain masih terpaku di tempat, tak mampu mengalihkan pandangan mereka.
"Mundur, Nduk! Mundur!" seru Lasmi dengan panik, menarik Murni menjauh dari jenazah Raharjo. Namun, Murni seperti tak mendengar teriakan ibunya, kedua matanya masih terpaku pada kain kafan yang perlahan tergerak ke kanan, seakan mengisyaratkan sesuatu. "Murniii ...." Murni menoleh, ke sana kemari mencari suara bisikan yang baru saja menelusup ke dalam telinganya. "Ba-Bapak ...," terbata Murni menyebut nama bapaknya. Iya, Murni sangat mengenali suara itu, suara sang ayah. "Kalian kenapa masih berdiri di sana? Tolong angkat Bapak," pinta Murni bersungguh-sungguh. Kasnan yang memang bekerja pada Juragan Raharjo pun lantas maju, dengan menyeret lengan Paimin yang berdiri di sebelahnya untuk membantu mengangkat jenazah yang menggelinding barusan. Dengan keranda yang patah, jenazah Juragan Harjo diangkat kembali menuju ke makam. Sementara itu, beberapa orang yang bertugas menggali makam pun merasakan hal yang sama. Tanah yang mereka gali begitu keras. Tiga kali sudah mereka berpindah tempat agar mendapatkan lokasi yang tepat. Namun, bebatuan yang mereka dapati seolah tiada habisnya. "Man, gimana ini? Kalau begini terus yo ndak selesai-selesai kita gali makamnya. Keburu nanti rombongan datang," ucap Tarno yang sudah merasa lelah. "Ya mau gimana lagi, No. Memang nyatanya susah galinya. Sudah, ndak usah ngeluh. Kita lanjutin lagi, semoga kali ini lebih cepat," jawab Wagiman. "Lailahaillallah ... Lailahaillallah ... Lailahaillallah ...." Benar saja, tak berapa lama kemudian, rombongan tiba di sana. Betapa terkejutnya saat mereka sudah menurunkan keranda dan melihat jika galian kubur belum siap. "Loh, Man. Ini kok belum siap?" tanya Kasnan. "Gimana mau siap, Nan. Tanahnya keras, banyak batunya," jawab Wagiman pasrah. "Astaghfirullah," lirih beberapa orang yang ada di sana hampir bersamaan. "Lalu bagaimana ini? Ndak dicoba di tempat lain?" tanya Kasnan lagi. "Sudah tiga kali ganti tempat, Nan. Tapi hasilnya sama saja." Jelegar!!! Dengan cepat, petir menyambar dengan begitu keras, dan seketika itu juga hujan deras mengguyur seluruh area pemakaman. "Hujan!" seru salah seorang yang meminta agar penguburan Raharjo dipercepat. Kasnan menoleh pada Lasmi, seolah meminta persetujuan. Dan tak selang berapa lama, Lasmi pun mengangguk. "Lakukanlah." "Baik, Ndoro." Di tengah derasnya hujan, mereka menurunkan jenazah Raharjo ke dalam liang yang belum sepenuhnya selesai. Beberapa orang mengangkat dan memindahkannya ke dalam lubang. Beberapa kali bahkan terdengar suara patahan tulang yang begitu jelas. Tapi tak ada pilihan lain, jenazah Raharjo haris segera dikuburkan. "Heh! Apa ini, naik! Cepat naik!" teriak Tarno saat seekor ular besar tiba-tiba saja muncul dari dalam tanah kubur Raharjo. Semua orang mendekat dan melihat ular hitam mengkilat yang memang berukuran tidak biasa tersebut. Kengerian di sekitar tak dapat terhindarkan lagi. Isak tangis Murni bahkan tak lagi terdengar, dikalahkan oleh derasnya hujan yang disertai deru angin yang begitu kencang. Aji mendekat dan membawa tubuh sang kakak ke dalam pelukan. "Apa ini, Ji? Kenapa seperti ini?" rintih Murni. Belum sempat Aji menjawab, tanah yang saat ini mereka tapaki terasa bergetar. Semua orang mundur, menjauh kecuali Murni dan Aji yang masih tetap berdiri di tempat yang sama. Suara gemuruh dari dalam lubang membuat mereka berdua melongokkan kepala. "Bapak!" teriak Murni histeris. Bukan tanpa alasan, tapi dengan kedua mata kepalanya sendiri, Murni melihat jika sang ayah dililit ular hitam berukuran besar itu dengan eratnya. Penasaran dengan apa yang terjadi, Lasmi dan para pelayat lainnya kembali mendekat. "Mas Harjo!" "Bapak!" "Juragan!" Seru mereka semua saat tubuh berbalut kafan Raharjo ditarik masuk ke dalam liang lahat. Benar-benar masuk ke dalam tanah dan kemudian menghilang. Murni menangis sejadi-jadinya. Sudah pasti ia terjatuh ke dalam lubang jika Aji, tidak segera memegangi dirinya yang hendak melompat. "Istighfar! Istighfar, Mbak Murni." Aji mencoba menggoyangkan tubuh Murni berkali-kali agar berhenti berteriak. "Tutup segera kuburan suami saya, Pak Wagiman, Tarno!" titah Lasmi dingin dan tanpa ekspresi. Lelah, iya... Lasmi lelah dengan kejadian demi kejadian tidak wajar yang dialami oleh almarhum suaminya. "Ba-Baik, Ndoro." Seperti apa yang diperintahkan, Wagiman, Tarno dan yang lainnya segera menutup liang tak berpenghuni itu. Dengan gerakan cepat dan cekatan, mereka mengayunkan sekop dan cangkul untuk memindahkan tanah basah ke atas kubur yang setengah jadi. Meski tangan mereka gemetar, mereka tahu bahwa tugas ini harus diselesaikan sesegera mungkin. Namun, suara gemuruh dari dalam tanah belum juga reda. Setiap kali sekop tanah jatuh, mereka mendengar suara serupa dengan sesuatu yang berusaha merangkak keluar. Tarno berhenti sejenak, menatap Wagiman dengan wajah pucat. "Sudah, teruskan saja!" bentak Lasmi, matanya menatap kosong ke arah liang lahat. Ketika sekop terakhir dilemparkan dan kuburan telah tertutup, hujan perlahan mereda, meninggalkan suasana sunyi yang mencekam. Para pelayat satu per satu mulai mundur, berbisik-bisik tentang kejadian aneh yang baru saja mereka saksikan. Banyak dari mereka menyentuh dada, merapal doa, berharap agar kejadian tersebut tak mengikut mereka pulang. Aji merasakan tubuh kakaknya mulai lemas di pelukannya. Air mata Murni tak lagi mengalir deras, namun tubuhnya masih bergetar hebat. Sesuatu yang tak masuk akal baru saja terjadi, dan semua orang di sana merasakannya. Aji menuntun Murni menjauh dari kuburan, tapi Murni terus menoleh ke belakang, seakan menunggu sesuatu yang lebih buruk akan terjadi. Lasmi mendekat dan menatap kuburan suaminya untuk terakhir kali sebelum berbalik. "Sudah cukup," katanya dengan nada tegas meskipun hanya dirinya sendirilah yang mendengarnya. Malam itu, Murni terbaring di ranjangnya, matanya menatap kosong ke arah langit-langit. Bayangan tubuh ayahnya yang dililit ular besar tak bisa hilang dari pikirannya. Ia menggigil, meskipun selimut tebal telah menyelimuti tubuhnya. Aji mengetuk pintu kamar pelan, masuk tanpa menunggu jawaban. “Mbak, minum dulu,” katanya, menyodorkan segelas air. Tapi Murni tetap diam, tak bergerak. “Mbak, aku tahu ini berat... Tapi kita harus kuat, Mbak. Mungkin ini hukuman untuk Bapak, tapi kita harus melanjutkan hidup.” Murni memejamkan mata, air matanya jatuh perlahan. “Aku mendengar suara Bapak, Ji. Aku tahu itu suara Bapak. Dia... dia minta tolong.” Aji terdiam. Dalam hatinya, ia tahu bahwa semua yang terjadi hari ini bukanlah hal yang bisa dijelaskan dengan akal sehat. Tapi ia juga tahu bahwa mereka harus tetap waras, tetap tenang di tengah kegilaan ini. “Mungkin itu hanya bayangan, Mbak. Bapak sudah tidak ada. Kita harus menerima itu.” Namun sebelum Aji bisa berkata lebih lanjut, suara ketukan keras terdengar dari arah pintu depan rumah. Lasmi yang sedang duduk di ruang tamu langsung berdiri, hatinya berdebar kencang. “Siapa itu malam-malam begini?” gumamnya pelan.Lasmi masih berdiri terdiam di ruang tamu, sorot matanya waspada dan napasnya terengah. Ketukan itu semakin keras, menggema, seolah-olah memaksa masuk. “Ji… kamu dengar itu?” bisik Murni, suaranya gemetar. Aji mengangguk, tangannya meremas lengan kakaknya untuk memberikan sedikit ketenangan. "Mbak, tunggu di sini. Biar aku lihat," katanya berusaha tenang, meski hatinya diliputi kegelisahan. Aji perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan, setiap langkahnya terasa berat. Lasmi menunggu di ujung ruang tamu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketukan itu semakin kencang, nyaris seperti dobrakan. BRAK! BRAK! BRAK! Aji menggenggam pegangan pintu dengan tangan bergetar. Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu itu perlahan, menahan rasa takut yang kian mencengkram. Namun, di luar hanya ada kegelapan yang pekat, tidak ada tanda-tanda siapa pun. “Aji, siapa itu?” tanya Lasmi dari belakang. Aji menatap ke luar dengan ragu, mencoba menembus kegelapan dengan mat
Malam semakin larut, suasana dalam rumah terasa semakin menegangkan. Ketiga anggota keluarga itu hanya bisa duduk terdiam, mendengarkan suara-suara aneh yang datang dari luar, disertai dengan derap langkah yang membuat jantung mereka berdegup kencang. Setiap detik terasa seperti satu jam. Ketika ketegangan semakin tak terkendali, Murni merasakan hawa mistis di sekelilingnya. "Bu, bagaimana jika itu benar-benar Bapak?" tanyanya, suaranya bergetar. "Aku... aku ndak mau percaya kalau Bapak sudah pergi." Lasmi mengusap punggung Murni, berusaha menenangkannya. "Kita harus percaya, Murni. Yang kita lihat barusan adalah sesuatu yang lain. Kekuatan jahat sedang berusaha memanfaatkan kerinduanmu kepada Bapak." "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Aji kemudian. Dia merasa perlu melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya, karena memang dirinyalah kini yang menjadi satu-satunya lelaki di keluarga Raharjo. “Jangan berpikir macam-macam!" jawab Lasmi tegas. "Kita tidak bisa mem
Ketiganya berjalan menyusuri pemakaman menuju pintu keluar. Saat itulah, seorang pria tua tampak berdiri di bawah pohon besar di pinggir jalan setapak. Penampilannya lusuh, pakaian yang ia kenakan terlihat usang, kotor, dan penuh tambalan. Ia memegang tongkat kayu yang panjang, berfungsi sebagai penopang sekaligus alat bantu berjalan. Saat melihat Lasmi dan kedua anaknya, pria tua itu tersenyum tipis, memperlihatkan gigi-giginya yang sudah tak utuh lagi.Saat tatapan dari pria tua itu jatuh pada Murni, tiba-tiba saja Murni merasa ada hawa tak nyaman, dan ia menggenggam lengan ibunya lebih erat. Namun, pria itu justru melangkah perlahan mendekati mereka, matanya yang sayu menatap tajam ke arah Murni. Ada sorot mata yang sulit dijelaskan, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tak diketahui siapa pun. "Cah Ayu…," gumamnya, mengendus-endus udara seakan ingin menangkap aroma dari arah tubuh Murni. Sontak saja gadis itu segera melangkah mundur dengan perasaan risih, merasa dipelototi oleh oran
“Bapak! Bangun, Pak!” Murni masih memeluk tubuh Raharjo yang kini telah terbujur kaku. Beberapa kali ia menggoyangkan tubuh bapaknya, berharap agar laki-laki yang begitu ia cintai dapat membuka kedua matanya kembali. “Bu, ini ndak mungkin. Bapak belum meninggal kan, Bu?” tanya Murni yang kemudian beralih memeluk sang ibu yang juga duduk di samping jenazah suaminya. Memang sulit untuk dipercaya, tak ada angin tak ada hujan, Raharjo meninggal begitu saja. Dia yang lebih dikenal sebagai Juragan Harjo sama sekali tak sakit. Bahkan, pagi harinya Juragan Harjo masih mampu pergi menagih utang dari para warga yang kerap kali meminjam uang padanya. Raharjo merupakan seorang tuan tanah yang sangat disegani. Luasnya area lahan yang dia miliki, serta kekayaan yang mungkin tak akan habis untuk tujuh turunan membuatnya begitu berkuasa di desa itu, Desa Juwono namanya. “Murni … ikhlaskan bapakmu, Nduk,” ucap Lasmi seraya mengusap punggung putrinya itu dengan lembut. “Tapi, Bu. Murni ndak
Ketiganya berjalan menyusuri pemakaman menuju pintu keluar. Saat itulah, seorang pria tua tampak berdiri di bawah pohon besar di pinggir jalan setapak. Penampilannya lusuh, pakaian yang ia kenakan terlihat usang, kotor, dan penuh tambalan. Ia memegang tongkat kayu yang panjang, berfungsi sebagai penopang sekaligus alat bantu berjalan. Saat melihat Lasmi dan kedua anaknya, pria tua itu tersenyum tipis, memperlihatkan gigi-giginya yang sudah tak utuh lagi.Saat tatapan dari pria tua itu jatuh pada Murni, tiba-tiba saja Murni merasa ada hawa tak nyaman, dan ia menggenggam lengan ibunya lebih erat. Namun, pria itu justru melangkah perlahan mendekati mereka, matanya yang sayu menatap tajam ke arah Murni. Ada sorot mata yang sulit dijelaskan, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tak diketahui siapa pun. "Cah Ayu…," gumamnya, mengendus-endus udara seakan ingin menangkap aroma dari arah tubuh Murni. Sontak saja gadis itu segera melangkah mundur dengan perasaan risih, merasa dipelototi oleh oran
Malam semakin larut, suasana dalam rumah terasa semakin menegangkan. Ketiga anggota keluarga itu hanya bisa duduk terdiam, mendengarkan suara-suara aneh yang datang dari luar, disertai dengan derap langkah yang membuat jantung mereka berdegup kencang. Setiap detik terasa seperti satu jam. Ketika ketegangan semakin tak terkendali, Murni merasakan hawa mistis di sekelilingnya. "Bu, bagaimana jika itu benar-benar Bapak?" tanyanya, suaranya bergetar. "Aku... aku ndak mau percaya kalau Bapak sudah pergi." Lasmi mengusap punggung Murni, berusaha menenangkannya. "Kita harus percaya, Murni. Yang kita lihat barusan adalah sesuatu yang lain. Kekuatan jahat sedang berusaha memanfaatkan kerinduanmu kepada Bapak." "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Aji kemudian. Dia merasa perlu melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya, karena memang dirinyalah kini yang menjadi satu-satunya lelaki di keluarga Raharjo. “Jangan berpikir macam-macam!" jawab Lasmi tegas. "Kita tidak bisa mem
Lasmi masih berdiri terdiam di ruang tamu, sorot matanya waspada dan napasnya terengah. Ketukan itu semakin keras, menggema, seolah-olah memaksa masuk. “Ji… kamu dengar itu?” bisik Murni, suaranya gemetar. Aji mengangguk, tangannya meremas lengan kakaknya untuk memberikan sedikit ketenangan. "Mbak, tunggu di sini. Biar aku lihat," katanya berusaha tenang, meski hatinya diliputi kegelisahan. Aji perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan, setiap langkahnya terasa berat. Lasmi menunggu di ujung ruang tamu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketukan itu semakin kencang, nyaris seperti dobrakan. BRAK! BRAK! BRAK! Aji menggenggam pegangan pintu dengan tangan bergetar. Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu itu perlahan, menahan rasa takut yang kian mencengkram. Namun, di luar hanya ada kegelapan yang pekat, tidak ada tanda-tanda siapa pun. “Aji, siapa itu?” tanya Lasmi dari belakang. Aji menatap ke luar dengan ragu, mencoba menembus kegelapan dengan mat
Murni terkesiap. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Kain kafan bapaknya bergerak semakin nyata, seolah ada yang berusaha keluar dari dalam sana. Para pelayat pun saling berbisik, beberapa bahkan berlari menjauh, sementara yang lain masih terpaku di tempat, tak mampu mengalihkan pandangan mereka. "Mundur, Nduk! Mundur!" seru Lasmi dengan panik, menarik Murni menjauh dari jenazah Raharjo. Namun, Murni seperti tak mendengar teriakan ibunya, kedua matanya masih terpaku pada kain kafan yang perlahan tergerak ke kanan, seakan mengisyaratkan sesuatu. "Murniii ...." Murni menoleh, ke sana kemari mencari suara bisikan yang baru saja menelusup ke dalam telinganya. "Ba-Bapak ...," terbata Murni menyebut nama bapaknya. Iya, Murni sangat mengenali suara itu, suara sang ayah. "Kalian kenapa masih berdiri di sana? Tolong angkat Bapak," pinta Murni bersungguh-sungguh. Kasnan yang memang bekerja pada Juragan Raharjo pun lantas maju, dengan menyeret lengan Pai
“Bapak! Bangun, Pak!” Murni masih memeluk tubuh Raharjo yang kini telah terbujur kaku. Beberapa kali ia menggoyangkan tubuh bapaknya, berharap agar laki-laki yang begitu ia cintai dapat membuka kedua matanya kembali. “Bu, ini ndak mungkin. Bapak belum meninggal kan, Bu?” tanya Murni yang kemudian beralih memeluk sang ibu yang juga duduk di samping jenazah suaminya. Memang sulit untuk dipercaya, tak ada angin tak ada hujan, Raharjo meninggal begitu saja. Dia yang lebih dikenal sebagai Juragan Harjo sama sekali tak sakit. Bahkan, pagi harinya Juragan Harjo masih mampu pergi menagih utang dari para warga yang kerap kali meminjam uang padanya. Raharjo merupakan seorang tuan tanah yang sangat disegani. Luasnya area lahan yang dia miliki, serta kekayaan yang mungkin tak akan habis untuk tujuh turunan membuatnya begitu berkuasa di desa itu, Desa Juwono namanya. “Murni … ikhlaskan bapakmu, Nduk,” ucap Lasmi seraya mengusap punggung putrinya itu dengan lembut. “Tapi, Bu. Murni ndak