Share

Bab 2. Pemakaman

Penulis: Yasmin_imaji
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-24 16:34:29

Murni terkesiap. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Kain kafan bapaknya bergerak semakin nyata, seolah ada yang berusaha keluar dari dalam sana. Para pelayat pun saling berbisik, beberapa bahkan berlari menjauh, sementara yang lain masih terpaku di tempat, tak mampu mengalihkan pandangan mereka.

"Mundur, Nduk! Mundur!" seru Lasmi dengan panik, menarik Murni menjauh dari jenazah Raharjo.

Namun, Murni seperti tak mendengar teriakan ibunya, kedua matanya masih terpaku pada kain kafan yang perlahan tergerak ke kanan, seakan mengisyaratkan sesuatu.

"Murniii ...." Murni menoleh, ke sana kemari mencari suara bisikan yang baru saja menelusup ke dalam telinganya.

"Ba-Bapak ...," terbata Murni menyebut nama bapaknya. Iya, Murni sangat mengenali suara itu, suara sang ayah.

"Kalian kenapa masih berdiri di sana? Tolong angkat Bapak," pinta Murni bersungguh-sungguh.

Kasnan yang memang bekerja pada Juragan Raharjo pun lantas maju, dengan menyeret lengan Paimin yang berdiri di sebelahnya untuk membantu mengangkat jenazah yang menggelinding barusan.

Dengan keranda yang patah, jenazah Juragan Harjo diangkat kembali menuju ke makam. Sementara itu, beberapa orang yang bertugas menggali makam pun merasakan hal yang sama. Tanah yang mereka gali begitu keras. Tiga kali sudah mereka berpindah tempat agar mendapatkan lokasi yang tepat. Namun, bebatuan yang mereka dapati seolah tiada habisnya.

"Man, gimana ini? Kalau begini terus yo ndak selesai-selesai kita gali makamnya. Keburu nanti rombongan datang," ucap Tarno yang sudah merasa lelah.

"Ya mau gimana lagi, No. Memang nyatanya susah galinya. Sudah, ndak usah ngeluh. Kita lanjutin lagi, semoga kali ini lebih cepat," jawab Wagiman.

"Lailahaillallah ... Lailahaillallah ... Lailahaillallah ...."

Benar saja, tak berapa lama kemudian, rombongan tiba di sana. Betapa terkejutnya saat mereka sudah menurunkan keranda dan melihat jika galian kubur belum siap.

"Loh, Man. Ini kok belum siap?" tanya Kasnan.

"Gimana mau siap, Nan. Tanahnya keras, banyak batunya," jawab Wagiman pasrah.

"Astaghfirullah," lirih beberapa orang yang ada di sana hampir bersamaan.

"Lalu bagaimana ini? Ndak dicoba di tempat lain?" tanya Kasnan lagi.

"Sudah tiga kali ganti tempat, Nan. Tapi hasilnya sama saja."

Jelegar!!!

Dengan cepat, petir menyambar dengan begitu keras, dan seketika itu juga hujan deras mengguyur seluruh area pemakaman.

"Hujan!" seru salah seorang yang meminta agar penguburan Raharjo dipercepat.

Kasnan menoleh pada Lasmi, seolah meminta persetujuan. Dan tak selang berapa lama, Lasmi pun mengangguk. "Lakukanlah."

"Baik, Ndoro."

Di tengah derasnya hujan, mereka menurunkan jenazah Raharjo ke dalam liang yang belum sepenuhnya selesai. Beberapa orang mengangkat dan memindahkannya ke dalam lubang. Beberapa kali bahkan terdengar suara patahan tulang yang begitu jelas. Tapi tak ada pilihan lain, jenazah Raharjo haris segera dikuburkan.

"Heh! Apa ini, naik! Cepat naik!" teriak Tarno saat seekor ular besar tiba-tiba saja muncul dari dalam tanah kubur Raharjo. Semua orang mendekat dan melihat ular hitam mengkilat yang memang berukuran tidak biasa tersebut.

Kengerian di sekitar tak dapat terhindarkan lagi. Isak tangis Murni bahkan tak lagi terdengar, dikalahkan oleh derasnya hujan yang disertai deru angin yang begitu kencang. Aji mendekat dan membawa tubuh sang kakak ke dalam pelukan.

"Apa ini, Ji? Kenapa seperti ini?" rintih Murni.

Belum sempat Aji menjawab, tanah yang saat ini mereka tapaki terasa bergetar. Semua orang mundur, menjauh kecuali Murni dan Aji yang masih tetap berdiri di tempat yang sama. Suara gemuruh dari dalam lubang membuat mereka berdua melongokkan kepala.

"Bapak!" teriak Murni histeris.

Bukan tanpa alasan, tapi dengan kedua mata kepalanya sendiri, Murni melihat jika sang ayah dililit ular hitam berukuran besar itu dengan eratnya. Penasaran dengan apa yang terjadi, Lasmi dan para pelayat lainnya kembali mendekat.

"Mas Harjo!"

"Bapak!"

"Juragan!"

Seru mereka semua saat tubuh berbalut kafan Raharjo ditarik masuk ke dalam liang lahat. Benar-benar masuk ke dalam tanah dan kemudian menghilang. Murni menangis sejadi-jadinya. Sudah pasti ia terjatuh ke dalam lubang jika Aji, tidak segera memegangi dirinya yang hendak melompat.

"Istighfar! Istighfar, Mbak Murni." Aji mencoba menggoyangkan tubuh Murni berkali-kali agar berhenti berteriak.

"Tutup segera kuburan suami saya, Pak Wagiman, Tarno!" titah Lasmi dingin dan tanpa ekspresi.

Lelah, iya... Lasmi lelah dengan kejadian demi kejadian tidak wajar yang dialami oleh almarhum suaminya.

"Ba-Baik, Ndoro."

Seperti apa yang diperintahkan, Wagiman, Tarno dan yang lainnya segera menutup liang tak berpenghuni itu. Dengan gerakan cepat dan cekatan, mereka mengayunkan sekop dan cangkul untuk memindahkan tanah basah ke atas kubur yang setengah jadi. Meski tangan mereka gemetar, mereka tahu bahwa tugas ini harus diselesaikan sesegera mungkin.

Namun, suara gemuruh dari dalam tanah belum juga reda. Setiap kali sekop tanah jatuh, mereka mendengar suara serupa dengan sesuatu yang berusaha merangkak keluar. Tarno berhenti sejenak, menatap Wagiman dengan wajah pucat.

"Sudah, teruskan saja!" bentak Lasmi, matanya menatap kosong ke arah liang lahat.

Ketika sekop terakhir dilemparkan dan kuburan telah tertutup, hujan perlahan mereda, meninggalkan suasana sunyi yang mencekam. Para pelayat satu per satu mulai mundur, berbisik-bisik tentang kejadian aneh yang baru saja mereka saksikan. Banyak dari mereka menyentuh dada, merapal doa, berharap agar kejadian tersebut tak mengikut mereka pulang.

Aji merasakan tubuh kakaknya mulai lemas di pelukannya. Air mata Murni tak lagi mengalir deras, namun tubuhnya masih bergetar hebat. Sesuatu yang tak masuk akal baru saja terjadi, dan semua orang di sana merasakannya.

Aji menuntun Murni menjauh dari kuburan, tapi Murni terus menoleh ke belakang, seakan menunggu sesuatu yang lebih buruk akan terjadi. Lasmi mendekat dan menatap kuburan suaminya untuk terakhir kali sebelum berbalik.

"Sudah cukup," katanya dengan nada tegas meskipun hanya dirinya sendirilah yang mendengarnya.

Malam itu, Murni terbaring di ranjangnya, matanya menatap kosong ke arah langit-langit. Bayangan tubuh ayahnya yang dililit ular besar tak bisa hilang dari pikirannya. Ia menggigil, meskipun selimut tebal telah menyelimuti tubuhnya.

Aji mengetuk pintu kamar pelan, masuk tanpa menunggu jawaban. “Mbak, minum dulu,” katanya, menyodorkan segelas air. Tapi Murni tetap diam, tak bergerak.

“Mbak, aku tahu ini berat... Tapi kita harus kuat, Mbak. Mungkin ini hukuman untuk Bapak, tapi kita harus melanjutkan hidup.”

Murni memejamkan mata, air matanya jatuh perlahan. “Aku mendengar suara Bapak, Ji. Aku tahu itu suara Bapak. Dia... dia minta tolong.”

Aji terdiam. Dalam hatinya, ia tahu bahwa semua yang terjadi hari ini bukanlah hal yang bisa dijelaskan dengan akal sehat. Tapi ia juga tahu bahwa mereka harus tetap waras, tetap tenang di tengah kegilaan ini.

“Mungkin itu hanya bayangan, Mbak. Bapak sudah tidak ada. Kita harus menerima itu.”

Namun sebelum Aji bisa berkata lebih lanjut, suara ketukan keras terdengar dari arah pintu depan rumah. Lasmi yang sedang duduk di ruang tamu langsung berdiri, hatinya berdebar kencang.

“Siapa itu malam-malam begini?” gumamnya pelan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (55)
goodnovel comment avatar
Trie Sumanti
banyak yg janggal sampai tanah pun menolak jenazah pak Raharjo
goodnovel comment avatar
Lestari Arsyila
siapa itu yg ngetuk
goodnovel comment avatar
My Sweet
astagfirullah fix sihh pak Raharjo ini banyak dosa dan salah waktu hidupnya, tuan tanah ini pasti banyak berbuat jahat sama orang sampe azab nya kaya gitu ih merinding
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 3. Ketegangan

    Lasmi masih berdiri terdiam di ruang tamu, sorot matanya waspada dan napasnya terengah. Ketukan itu semakin keras, menggema, seolah-olah memaksa masuk. “Ji… kamu dengar itu?” bisik Murni, suaranya gemetar. Aji mengangguk, tangannya meremas lengan kakaknya untuk memberikan sedikit ketenangan. "Mbak, tunggu di sini. Biar aku lihat," katanya berusaha tenang, meski hatinya diliputi kegelisahan. Aji perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan, setiap langkahnya terasa berat. Lasmi menunggu di ujung ruang tamu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketukan itu semakin kencang, nyaris seperti dobrakan. BRAK! BRAK! BRAK! Aji menggenggam pegangan pintu dengan tangan bergetar. Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu itu perlahan, menahan rasa takut yang kian mencengkram. Namun, di luar hanya ada kegelapan yang pekat, tidak ada tanda-tanda siapa pun. “Aji, siapa itu?” tanya Lasmi dari belakang. Aji menatap ke luar dengan ragu, mencoba menembus kegelapan dengan mat

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-25
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 4. Teror

    Malam semakin larut, suasana dalam rumah terasa semakin menegangkan. Ketiga anggota keluarga itu hanya bisa duduk terdiam, mendengarkan suara-suara aneh yang datang dari luar, disertai dengan derap langkah yang membuat jantung mereka berdegup kencang. Setiap detik terasa seperti satu jam. Ketika ketegangan semakin tak terkendali, Murni merasakan hawa mistis di sekelilingnya. "Bu, bagaimana jika itu benar-benar Bapak?" tanyanya, suaranya bergetar. "Aku... aku ndak mau percaya kalau Bapak sudah pergi." Lasmi mengusap punggung Murni, berusaha menenangkannya. "Kita harus percaya, Murni. Yang kita lihat barusan adalah sesuatu yang lain. Kekuatan jahat sedang berusaha memanfaatkan kerinduanmu kepada Bapak." "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Aji kemudian. Dia merasa perlu melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya, karena memang dirinyalah kini yang menjadi satu-satunya lelaki di keluarga Raharjo. “Jangan berpikir macam-macam!" jawab Lasmi tegas. "Kita tidak bisa mem

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 5. Pria Misterius

    Ketiganya berjalan menyusuri pemakaman menuju pintu keluar. Saat itulah, seorang pria tua tampak berdiri di bawah pohon besar di pinggir jalan setapak. Penampilannya lusuh, pakaian yang ia kenakan terlihat usang, kotor, dan penuh tambalan. Ia memegang tongkat kayu yang panjang, berfungsi sebagai penopang sekaligus alat bantu berjalan. Saat melihat Lasmi dan kedua anaknya, pria tua itu tersenyum tipis, memperlihatkan gigi-giginya yang sudah tak utuh lagi.Saat tatapan dari pria tua itu jatuh pada Murni, tiba-tiba saja Murni merasa ada hawa tak nyaman, dan ia menggenggam lengan ibunya lebih erat. Namun, pria itu justru melangkah perlahan mendekati mereka, matanya yang sayu menatap tajam ke arah Murni. Ada sorot mata yang sulit dijelaskan, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tak diketahui siapa pun. "Cah Ayu…," gumamnya, mengendus-endus udara seakan ingin menangkap aroma dari arah tubuh Murni. Sontak saja gadis itu segera melangkah mundur dengan perasaan risih, merasa dipelototi oleh oran

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-31
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 6. Pikiran Kalut

    Murni duduk di tepi tempat tidur, pandangannya kosong menatap ke arah jendela yang tersibak. Bayangan tentang pria tua di pemakaman, kata-katanya yang samar, dan sosok arwah Raharjo yang hadir dalam keheningan malam itu seolah terus menghantui pikirannya. Bulan di langit memancarkan cahaya yang sayu, sinarnya memudar di balik tirai yang bergerak pelan ditiup angin malam. Sunyi, begitu mencekam, hingga setiap detak jantung Murni terdengar dalam dada."Mungkinkah Bapak belum pergi…?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar di tengah kesunyian.Namun tiba-tiba, suara ketukan halus terdengar, datang dari balik dinding di samping tempat tidurnya. Suara itu mengetuk pelan, seolah mengetuk batinnya yang diliputi rasa takut. Murni menggigit bibirnya, berharap suara itu hanyalah ilusi. Ia menutup matanya rapat-rapat, menahan napas, tetapi ketukan itu semakin keras, membuatnya tak mampu mengabaikannya lagi.Tok... tok... tok...Hawa dingin merayap di tengkuknya, membuat bulu kuduknya mere

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-21
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 7. Rahasia Kamar Bapak

    "To... Long...." "Aarrkh!! Tidaaak! Bapak ...." Murni berteriak histeris melihat semua itu terjadi tepat di depan matanya. Lasmi yang sebelumnya sudah pergi, segera berlari cepat untuk kembali ke kamar Murni. Di sana, ia melihat Murni yang menendang-nendang dengan masih berteriak. Namun dengan kedua mata yang tertutup rapat. "Murni! Murni! Bangun, Murni!" Lasmi menggoyangkan tubuh Murni agar terbangun dari mimpi buruknya. Segera setelah mata Murni terbuka, ia mendekap tubuh sang ibu dengan sangat erat. "Ibu, Murni takut, Bu." "Jangan takut, Ibu ada di sini," ucap Lasmi menenangkan. "Bapak, Bu. Bapak —" Lasmi menghela napas panjang, meletakkan tangan lembutnya di bahu Murni. "Mungkin kamu hanya lelah, Nak. Sejak Bapakmu pergi, bebanmu bertambah berat. Pikiranmu pasti dipenuhi banyak hal yang membuatmu berhalusinasi." Murni menelan ludah, merasakan kegetiran di ujung tenggorokannya. "Bu, aku tahu ini terdengar tidak masuk akal, tapi aku benar-benar melihat Bapak… dalam

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 8. Buku Tua

    "Ibu... Buku itu punya Bapak." Murni berusaha untuk meraih buku itu kembali, matanya memancarkan rasa penasaran yang tak terbendung. Buku itu, dengan sampul kulitnya yang usang dan aroma kertas tua, seperti menyimpan rahasia yang selama ini terkubur. "Iya, Ibu tahu itu, Murni. Dan justru karena Ibu tahu ini milik Bapakmu, Ibu melarangmu untuk membacanya," tegas Lasmi, suaranya bergetar di antara kekhawatiran dan ketegasan. "Kenapa, Bu? Ada apa sebenarnya? Apa yang Ibu tutupi dari Murni, Bu?" tanya Murni, nadanya mulai meninggi. Rasa penasarannya semakin mendesak, seperti ada sesuatu yang harus segera ia ketahui sebelum semuanya terlambat. Murni menatap buku itu dengan sorot mata yang bercampur antara takut dan penasaran. Tangan mungilnya gemetar saat mencoba menyentuh sampul buku tersebut. "Semua tulisan di dalamnya, Bu. Aku rasa... Bapak melakukan sesuatu. Sesuatu yang berhubungan dengan jiwa dan dunia lain." Lasmi memandang buku itu dengan tatapan nanar, seperti mengenang mas

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 9. Keras Kepala

    Lasmi tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Murni dengan erat, seolah mencoba melindungi putrinya dari sesuatu yang tidak kasat mata. "Nduk, kalau kamu benar-benar peduli dengan Bapakmu, satu-satunya hal yang harus kamu lakukan adalah menjauhi buku itu. Jangan sampai kamu membuka jalan bagi mereka untuk datang ke sini." Namun, bagi Murni, kata-kata ibunya justru semakin menguatkan tekadnya. "Bu, kalau benar ada jalan masuk, berarti ada cara untuk menutupnya, bukan? Aku harus tahu caranya. Bapak terlalu menderita, Bu. Aku tidak bisa diam saja." "Tapi kamu tidak tahu risiko yang harus kamu hadapi, Murni," sergah Lasmi. "Dunia mereka penuh tipu daya. Apa yang kamu lihat mungkin bukan kebenaran. Mereka akan memanfaatkan kelemahanmu, ingat itu!." "Aku akan berhati-hati, Bu," jawab Murni dengan tegas. "Aku tidak akan menyerah begitu saja. Kalau Bapak membuat kesalahan, aku yakin ada cara untuk memperbaikinya." Murni tidak menjawab. Ia menatap buku itu dengan sorot mata yang penuh

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 10. Bayang Hitam

    "Aji!" Seketika bayangan yang tadi melesat cepat ke arah Aji langsung menghilang, dan tubuh Aji pun sudah bisa untuk digerakkan kembali. "Kamu ngapain diam aja di situ, Ji?" tanya Murni.Aji menoleh cepat tapi tak mengatakan apa-apa. Ia hanya berpura-pura menggigil kedinginan, berharap kakaknya tidak menanyakan lebih lanjut. “Aku cuma... kedinginan, Mbak,” jawabnya pelan, suaranya sedikit bergetar.Murni menatap Aji dengan raut wajah khawatir. “Ya wis, sudah tahu dingin malah anteng di situ. Masuk ke kamarmu sana. Tutup pintu dan selimut yang rapat, ya?” katanya sambil menepuk pundak adiknya.Aji hanya mengangguk pelan, kemudian berjalan menuju kamarnya tanpa banyak bicara. Setelah menutup pintu, ia duduk di sudut ruangan, memeluk lututnya erat. Pikirannya masih terjebak pada bayangan mengerikan yang baru saja ia lihat. Namun, ia memutuskan untuk tidak menceritakan apa pun kepada Murni. Ia tidak ingin membuat kakaknya semakin cemas.Sementara itu, di tempat lain, Lasmi terlihat duduk

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30

Bab terbaru

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 147. TAMAT

    Laras & Sopir Truk: Lolos dari Teror PocongSopir truk itu menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram setir erat-erat. Laras menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Keduanya sama-sama tahu bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.Jalanan semakin menurun tajam, membuat truk melaju lebih kencang. Namun, ketika sopir menoleh ke spion, jantungnya hampir berhenti berdetak.Sosok pocong itu masih ada di sana. Melompat-lompat, mendekat semakin cepat. Tubuhnya yang membusuk bergerak tidak wajar, sementara mulutnya yang menganga terus mengeluarkan suara parau:"Kembaaliii... Kembaaliiii...."Laras mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat, air mata mulai menggenang di matanya. "Pak, jangan berhenti! Tolong, jangan berhenti apa pun yang terjadi!"Sopir truk mengangguk cepat, meskipun keringat dingin sudah membasahi dahinya. "Saya nggak akan berhenti, Mbak! Pegangan yang kuat!"Truk terus melaju di jalanan gelap, melewati tikungan demi tiku

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 146. Perjalanan

    Sopir truk itu mengguncang tubuh Laras dengan cemas. "Mbak! Sadar, Mbak! Kamu dari mana?! Kok tiba-tiba muncul dari hutan?!" Laras terhuyung sedikit, kesadarannya masih berkabut. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya. Ia menatap sopir itu dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik dengan suara serak. "Tolong ... Bawa saya pergi dari sini, Pak." Sopir itu mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Mbak, kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak habis lihat setan!" Laras menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. Bayangan Joni, Rani, dan Damar masih jelas di pikirannya. Bisikan-bisikan itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa lelah, begitu lelah, dan satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. "Aku nggak mau ada di sini lagi." suaranya lirih, hampir seperti rintihan. "Tolong, Pak ... Cepat pergi." Sopir itu menatapnya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo naik. Tapi, kita mau ke mana, Mbak?" "P

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 145. Keluar

    Laras berdiri di depan rumah kecil Pak Warso, merapikan tas ransel yang menggantung di punggungnya. Malam masih menyisakan sisa dingin, dan kabut tipis mengambang di antara pepohonan desa.Pak Warso menghela napas panjang, menatap Laras dengan mata penuh pemahaman. “Jadi, kamu benar-benar mau pergi?”Laras mengangguk. “Saya sudah nggak punya alasan untuk tetap tinggal di sini, Pak.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.Darto dan Giman, yang berdiri tak jauh darinya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Darto bicara, “Laras, kami ngerti, Nduk. Setelah kedua temanmu, Joni dan Rani …” Ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Nama kedua temannya itu kini hanya tinggal bayang-bayang di tempat terkutuk yang tak boleh lagi mereka datangi.“Dan sekarang Damar juga menghilang.” Suara Laras semakin kecil. Hatinya terasa berat. Damar adalah satu-satunya harapan yang tersisa, satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tapi kini ia juga sudah pergi, entah hilang dalam

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 144. Memilih

    Damar berdiri kaku di depan rumah tua itu. Ucapannya masih menggantung di udara, sementara Joni dan Rani menunggu tanpa sedikit pun bersuara—atau mungkin, dengan harapan licik bahwa Damar akan menyerah. Angin malam berembus pelan, membawa bisikan dari sebuah tempat gelap yang tak terlihat. Rumah tua itu seakan bernapas, meresapi kebimbangan Damar untuk memilih. "Setiap kutukan butuh penebus." Kata-kata yang terucap dari mulut Joni terus bergema di kepalanya. Apakah benar-benae harus seperti itu? Jika ingin bebas, ia harus menyerahkan seseorang lainnya sebagai gantinya. Satu nama pun seketika melintas di benaknya—Laras. Damar memejamkan mata, mengingat bagaimana Laras menatapnya dengan penuh cinta, tetapi juga sarat ketakutan. Ia tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Ia tak ingin Laras menjadi bagian dari kegelapan yang saat ini membelenggunya. Alih-alih menjadikan Laras sebagai penebus, Damar justru berkeinginan untuk kembali bersamanya. Keinginan itu begitu kuat hingga mampu mem

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 143. Perpisahan

    Darto menoleh cepat, matanya menajam ke arah Laras. “Apa maksudmu, Laras?”Laras menggigit bibir, suaranya bergetar saat berbicara. “Damar… dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”Mbah Rebo mengetukkan tongkat kayunya ke tanah tiga kali lagi. Suara ketukan itu menggema di udara, seolah memantul dari sesuatu yang tak terlihat. Angin semakin kencang, membuat dedaunan kering berputar-putar di sekitar mereka.“Jangan panik,” ujar Mbah Rebo tenang, meski matanya waspada. “Tetap dekat dan jangan sampai ada yang terpisah.”Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara gemerisik. Seperti seseorang yang berjalan di atas dedaunan kering.Giman menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin mendekat.Laras menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Perlahan, dari balik batang pohon yang besar, sesosok bayangan muncul.Damar.Pakaian yang dikenakannya sama seperti terakhir kali Laras melihatnya—kemeja putih yang kini lusuh dan sobek di beberapa

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 142. Mencari Petunjuk

    Pagi menjelang dengan lambat, membawa serta kabut tipis yang menggantung di udara desa. Darto menguap lebar, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Warso duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyisakan ketegangan semalam. Sementara itu, Laras tertidur di tikar dengan nafas berat, tubuhnya masih terasa lemah setelah apa yang terjadi.Mbah Rebo, yang sedari tadi duduk bersila sambil memegang tongkat kayunya, menghela napas panjang. “Kita tak bisa berdiam diri. Meski makhluk itu sudah pergi, aku yakin ia belum benar-benar menyerah.”Warso mengangguk pelan. “Jadi apa yang harus kita lakukan, Mbah?”Orang tua itu menatap ke luar jendela. “Aku harus mencari tahu siapa makhluk itu dan mengapa ia begitu menginginkan Laras. Ada sesuatu yang belum terungkap.”Darto menelan ludah. “Mbah … tadi malam, sebelum makhluk itu muncul, Laras sempat menyebut nama Damar. Apakah mungkin … Damar benar-benar ada hubungannya dengan ini?”Mbah Rebo terdiam sejenak. “Mungkin. Kita harus mencari t

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 141. Mengawasi dan Menunggu

    Warso mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Napasnya tersengal, sementara matanya terus mengawasi Laras yang kini terkulai di tikar.“Darto, kita nggak bisa nunggu lebih lama. Kita harus cari orang pintar buat nolongin Laras,” katanya dengan suara parau.Darto mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Giman, kamu ikut aku. Kita cari Mbah Rebo.atau siapa pun yang bisa bantu.”Giman tampak ragu, tapi melihat kondisi Laras, ia akhirnya mengangguk. “B-baik. Tapi cepat ya, aku nggak mau kalau harus lama-lama menunggu di luar.”Darto dan Giman segera keluar, meninggalkan Warso yang berjaga di samping Laras. Malam semakin pekat, udara terasa berat. Warso merapatkan jaketnya, mencoba mengusir hawa dingin yang entah berasal dari cuaca atau sesuatu yang lain.Tiba-tiba, Laras menggeliat. Kelopak matanya terbuka perlahan. Namun, ketika Warso menatap wajahnya, jantungnya hampir berhenti berdetak.Mata Laras kini bukan hanya hitam, tetapi juga dipenuhi urat-urat merah yang men

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 140. Rasuk

    Darto, Warso, dan Giman semakin panik ketika mereka melihat Laras yang terus menatap bayangan Damar dengan mata berkaca-kaca. Angin bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah dan anyir yang menusuk hidung. Tiba-tiba, Laras tersentak. Tubuhnya menegang, matanya membelalak. Seakan ada sesuatu yang saat ini tengah menghantam jiwanya. “Laras?!” Warso mengguncang bahunya dengan cukup keras. Namun, Laras sama sekali tidak memberikan reaksi. Ia malah tersenyum lebar—senyum yang bukan miliknya. Senyum itu terlalu lebar, terlalu dingin, terlalu menyeramkan. "Damar … aku akan ikut bersamamu ...." Suaranya terdengar jauh, bergema seperti bukan berasal dari dirinya sendiri. Tak lama kemudian, tubuhnya terhuyung ke belakang dan dalam sekejap, ia tertawa. Suara tawanya melengking tinggi, bergema di udara malam. Tawa yang tentu saja itu bukan milik Laras. Giman mundur dengan napas memburu. “To, Darto, bocah ini ... dia kesurupan!” Darto menggertakkan giginya. Ia pernah melihat kej

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 139. Menolak

    Damar menggertakkan giginya. "Tidak mungkin! Kita masih hidup! Kalian berdua yang sudah mati!" Rani mengangkat tangannya perlahan. Seketika, kabut pekat muncul dari tanah, mengelilingi mereka. Laras menjerit saat tubuhnya mulai terasa ringan, seakan ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Damar berusaha meraihnya, tetapi tiba-tiba semuanya berubah. Mata Damar membelalak. Ia tidak lagi berada di hutan. Sekelilingnya kini adalah lorong rumah tua yang gelap, dindingnya dipenuhi coretan-coretan aneh. Bau anyir menyengat hidungnya. Laras berdiri di sampingnya, tubuhnya gemetar, matanya menatap lurus ke depan. Di ujung lorong, sesosok tubuh tergantung di langit-langit. Sosok itu berayun pelan, mengenakan baju yang sama seperti yang Damar kenakan. Jantung Damar seakan berhenti berdetak. Itu dirinya sendiri. "Laras... A-apa yang terjadi...?" Laras tidak menjawab. Dia hanya menoleh perlahan ke arah Damar, matanya berubah hitam legam, bibirnya menyeringai lebar. “Kamu sudah mati, Damar.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status