Share

Bab 9. Keras Kepala

Author: Yasmin_imaji
last update Last Updated: 2024-11-30 07:15:16

Lasmi tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Murni dengan erat, seolah mencoba melindungi putrinya dari sesuatu yang tidak kasat mata. "Nduk, kalau kamu benar-benar peduli dengan Bapakmu, satu-satunya hal yang harus kamu lakukan adalah menjauhi buku itu. Jangan sampai kamu membuka jalan bagi mereka untuk datang ke sini."

Namun, bagi Murni, kata-kata ibunya justru semakin menguatkan tekadnya. "Bu, kalau benar ada jalan masuk, berarti ada cara untuk menutupnya, bukan? Aku harus tahu caranya. Bapak terlalu menderita, Bu. Aku tidak bisa diam saja."

"Tapi kamu tidak tahu risiko yang harus kamu hadapi, Murni," sergah Lasmi. "Dunia mereka penuh tipu daya. Apa yang kamu lihat mungkin bukan kebenaran. Mereka akan memanfaatkan kelemahanmu, ingat itu!."

"Aku akan berhati-hati, Bu," jawab Murni dengan tegas. "Aku tidak akan menyerah begitu saja. Kalau Bapak membuat kesalahan, aku yakin ada cara untuk memperbaikinya."

Murni tidak menjawab. Ia menatap buku itu dengan sorot mata yang penuh
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (54)
goodnovel comment avatar
Santih
murni apa kamu yakin? ko serem banget ya.. nah aji kenapa itu
goodnovel comment avatar
Trie Sumanti
wehh aji di datengin poci pak Raharjo jg kah
goodnovel comment avatar
Nie hidayat
semakin menegangkan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 10. Bayang Hitam

    "Aji!" Seketika bayangan yang tadi melesat cepat ke arah Aji langsung menghilang, dan tubuh Aji pun sudah bisa untuk digerakkan kembali. "Kamu ngapain diam aja di situ, Ji?" tanya Murni.Aji menoleh cepat tapi tak mengatakan apa-apa. Ia hanya berpura-pura menggigil kedinginan, berharap kakaknya tidak menanyakan lebih lanjut. “Aku cuma... kedinginan, Mbak,” jawabnya pelan, suaranya sedikit bergetar.Murni menatap Aji dengan raut wajah khawatir. “Ya wis, sudah tahu dingin malah anteng di situ. Masuk ke kamarmu sana. Tutup pintu dan selimut yang rapat, ya?” katanya sambil menepuk pundak adiknya.Aji hanya mengangguk pelan, kemudian berjalan menuju kamarnya tanpa banyak bicara. Setelah menutup pintu, ia duduk di sudut ruangan, memeluk lututnya erat. Pikirannya masih terjebak pada bayangan mengerikan yang baru saja ia lihat. Namun, ia memutuskan untuk tidak menceritakan apa pun kepada Murni. Ia tidak ingin membuat kakaknya semakin cemas.Sementara itu, di tempat lain, Lasmi terlihat duduk

    Last Updated : 2024-11-30
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 11. Pemanggilan Arwah

    “Murni, kadang ada hal-hal yang lebih baik tidak kamu ketahui. Ibu hanya berusaha menjaga semuanya tetap baik-baik saja." Lasmi berkata dengan datar sebelum meninggalkan Murni. Malam itu, Murni menghabiskan malamnya dengan pikiran yang masih melayang. Keesokan malamnya, suasana desa Juwono terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin bertiup kencang, membuat daun-daun bambu berderak seperti bisikan samar. Murni berdiri di depan rumah dengan buku misterius itu dalam genggaman tangannya. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia menepis ketakutannya. Ia tahu ini bukan saat untuk mundur. Sebelum melangkah keluar, ia menoleh ke arah kamar Aji. Pintu kamar itu sedikit terbuka, cukup untuk memperlihatkan bayangan tubuh adiknya yang sedang tidur pulas di ranjang. Murni menahan napas, mengintip sejenak untuk memastikan Aji benar-benar terlelap. Ia tak ingin Aji curiga dan mencoba mengikutinya. “Tidurlah, Aji,” bisiknya pelan, meski ia tahu suaranya tak akan terdengar. “Mbak akan kembali sebelu

    Last Updated : 2024-12-01
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 12. Dia Bukan Ibumu!

    "Bu? Apa yang Ibu lakukan di sini?" Murni tergagap, tangannya gemetar memegang buku itu dan segera menyembunyikannya di belakang tubuhnya. "Hentikan, Murni!" sentak Lasmi. "Ta-tapi, Bu. Bapak...." Lasmi tidak menjawab. Ia hanya menatap Murni dengan mata yang berkilat, penuh dengan amarah. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Lasmi membuat pria tua itu waspada. Ia segera memegang bahu Murni, menahannya untuk tetap diam di tempat. "Jangan percaya padanya, Nduk," bisiknya. "Itu bukan ibumu." Murni tertegun. Ia menatap Lasmi lagi, mencoba menemukan sesuatu yang salah. Tapi wajah itu... begitu mirip. Begitu nyata. "Murni, dengarkan Ibu. Keluar dari lingkaran itu sekarang juga! Kamu ndak tahu apa yang sedang kamu mainkan itu," Lasmi berkata lagi, seolah memaksa Murni untuk menuruti apa kemauannya. Namun, sebelum Murni bisa menjawab, pria tua itu melafalkan mantra lainnya. "Aja lumaku, aja ngomong, aja obah. Sak jeroning ati, kaku badan, kekunci sak jeroning bumi. Mantra iki mateg, ora

    Last Updated : 2024-12-02
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 13. Peringatan

    "Dari mana kamu, Murni!" Murni yang baru saja masuk ke rumah dengan mengendap-endap sudah disambut dengan bentakan keras dari sang ibu. "I-ibu...," ucap Murni terbata. "Katakan! Dari mana kamu?" tanya Lasmi dengan penuh intimidasi. "Murni... Murni dari —" "Sudah berani kamu melawan perintah Ibu?" sentak Lasmi sebelum Murni menyelesaikan kata-katanya. Murni terdiam, tubuhnya gemetar melihat amarah di wajah ibunya. Namun, ia tak bisa menghilangkan bayangan peristiwa yang terjadi di kuburan sang ayah tadi. Di mana angin kencang, mantra mengerikan, dan juga sosok menyeramkan yang mengaku sebagai ibunya. Bahkan sekarang saja, Murni merasa ragu jika wanita yang ada di hadapannya itu adalah benar ibunya. "Ibu, dengarkan Murni dulu..." ujarnya lirih, mencoba meredakan suasana. "Dengarkan? Kamu pikir Ibu akan percaya dengan kata-katamu setelah kamu berbuat sembarangan?!" Lasmi melangkah maju, menatap putrinya tajam. "Jawab Ibu, Murni. Apa kamu pergi ke kuburan bapakmu?" Murni m

    Last Updated : 2024-12-03
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 14. Malam Kelam

    Sejak malam mengerikan itu, Murni merasa kehidupannya berubah. Buku tua milik Raharjo yang sempat ia genggam kini tersimpan rapat di balik lemari kayu tua di kamarnya. Tidak ada yang tahu keberadaan buku itu selain dirinya. Bahkan, ibunya, Lasmi, tampak menghindari pembicaraan tentang buku tersebut, meskipun ketakutan terlihat jelas setiap kali mata mereka bertemu.Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan sudah saatnya Murni kembali ke kota untuk melanjutkan kuliahnya. Namun, ada sesuatu yang menahannya di Desa Juwono, sesuatu yang tak mampu ia jelaskan. Lasmi sendiri melarang keras kepergian Murni sebelum genap 40 hari sejak kematian Raharjo.“Ndak baik meninggalkan rumah di saat seperti ini, Nduk,” ujar Lasmi pagi itu, suaranya tegas namun terdengar samar-samar seperti menutupi sesuatu.Murni mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa berat. Desa Juwono bukan lagi tempat yang sama baginya. Udara yang dulu terasa sejuk kini seperti membawa aroma kematian. "Nggih, Bu," jawabnya.Pagi it

    Last Updated : 2024-12-04
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 15. Rasuk

    Lasmi terhuyung ke belakang saat melihat sosok pocong itu menempelkan dahinya ke dahi Murni. Napasnya tercekat. Ia ingin menolong, tetapi tubuhnya terasa lemas, seolah semua kekuatannya dirampas oleh pemandangan yang saat ini terpampang di hadapannya. “Murni!” teriaknya lagi, tetapi anaknya tetap berdiri kaku. Mata Murni yang sebelumnya penuh ketakutan kini berubah kosong, seakan tidak ada lagi jiwa di dalam tubuhnya. Wajah hitam dari pocong Raharjo mulai meleleh, meneteskan lendir hitam yang begitu menyengat. Mulut pocong itu perlahan terbuka, memperlihatkan gigi-gigi yang hampir hancur dan lidah hitam yang mengering. Dari celah mulutnya, asap hitam pekat mulai mengepul, berputar-putar seperti ular sebelum masuk ke dalam mulut Murni yang juga terbuka secara sendirinya tanpa kendali. Khhhaarkh!!! Suara Raharjo terdengar mengerikan saat mulutnya terbuka semakin lebar. “Asap hitam itu...?!” gumam Lasmi. Ia mencoba bangkit, tetapi kakinya terasa berat. Suasana kamar pun berubah

    Last Updated : 2024-12-05
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 16. Sisa Luka

    BRAK' Pintu kamar Murni terbuka lebar, menampakkan Aji yang berdiri dengan wajah pucat pasi. Remaja lelaki itu memegang sebuah kitab kecil di tangan kirinya, sementara tangan kanannya gemetar, masih menekan daun pintu. Tubuhnya membeku sesaat ketika melihat keadaan kakaknya, Murni, yang terkulai lemas di pelukan ibunya. Matanya menangkap dar** di dahi Lasmi yang mengalir perlahan, dar** bekas benturan keras di dinding. Kamar itu pun masih dipenuhi dengan aroma busuk dan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. “Aji...,” Lasmi memanggil lirih, suaranya parau yang bercampur isak tangis. Aji tersadar dari keterpakuannya dan melangkah masuk, meskipun seluruh tubuhnya masih gemetar. "Bu... Apa yang terjadi di sini? Kenapa Mbak Murni bisa seperti ini?" tanyanya panik dan penuh ketakutan, tetapi matanya tak lepas dari kakaknya yang kini tampak begitu lemah dan pucat. Lasmi hanya mampu menangis. Ia ingin menjelaskan, tetapi lidahnya kelu. Semua hal itu terjadi terlalu cepat dan terl

    Last Updated : 2024-12-06
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 17. Perjanjian Hitam

    Lasmi memandang wajah putrinya, Murni, yang saat ini masih terbaring lemah di atas ranjang. Cahaya lampu yang temaram memantulkan kesedihan di wajah wanita paro baya itu. Napasnya terasa berat, bukan karena usianya yang kian senja, tetapi karena beban rahasia yang telah ia pendam selama puluhan tahun. Rahasia yang telah mencabik-cabik hatinya, menghantui setiap langkah hidupnya. Murni, dengan tatapan lemah namun penuh rasa ingin tahu, berusaha menegakkan tubuhnya. Tetapi sakit yang dirasakannya membuatnya tetap terbaring. Ia merasakan ada sesuatu yang penting dan mendesak dari cara ibunya menatapnya. "Ibu... bisakah Ibu menceritakan semuanya sekarang?" tanyanya pelan. Lasmi menggenggam tangan Murni, jemarinya yang kasar bergetar. "Nak, apa yang akan ibu ceritakan mungkin akan mengubah pandanganmu terhadap keluarga ini. Tapi ibu tahu, kau berhak tahu segalanya," ujar Lasmi sambil menarik napas panjang. Ia memejamkan mata sejenak, membayangkan kembali kenangan kelam yang begitu sulit

    Last Updated : 2024-12-06

Latest chapter

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 147. TAMAT

    Laras & Sopir Truk: Lolos dari Teror PocongSopir truk itu menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram setir erat-erat. Laras menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Keduanya sama-sama tahu bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.Jalanan semakin menurun tajam, membuat truk melaju lebih kencang. Namun, ketika sopir menoleh ke spion, jantungnya hampir berhenti berdetak.Sosok pocong itu masih ada di sana. Melompat-lompat, mendekat semakin cepat. Tubuhnya yang membusuk bergerak tidak wajar, sementara mulutnya yang menganga terus mengeluarkan suara parau:"Kembaaliii... Kembaaliiii...."Laras mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat, air mata mulai menggenang di matanya. "Pak, jangan berhenti! Tolong, jangan berhenti apa pun yang terjadi!"Sopir truk mengangguk cepat, meskipun keringat dingin sudah membasahi dahinya. "Saya nggak akan berhenti, Mbak! Pegangan yang kuat!"Truk terus melaju di jalanan gelap, melewati tikungan demi tiku

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 146. Perjalanan

    Sopir truk itu mengguncang tubuh Laras dengan cemas. "Mbak! Sadar, Mbak! Kamu dari mana?! Kok tiba-tiba muncul dari hutan?!" Laras terhuyung sedikit, kesadarannya masih berkabut. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya. Ia menatap sopir itu dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik dengan suara serak. "Tolong ... Bawa saya pergi dari sini, Pak." Sopir itu mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Mbak, kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak habis lihat setan!" Laras menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. Bayangan Joni, Rani, dan Damar masih jelas di pikirannya. Bisikan-bisikan itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa lelah, begitu lelah, dan satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. "Aku nggak mau ada di sini lagi." suaranya lirih, hampir seperti rintihan. "Tolong, Pak ... Cepat pergi." Sopir itu menatapnya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo naik. Tapi, kita mau ke mana, Mbak?" "P

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 145. Keluar

    Laras berdiri di depan rumah kecil Pak Warso, merapikan tas ransel yang menggantung di punggungnya. Malam masih menyisakan sisa dingin, dan kabut tipis mengambang di antara pepohonan desa.Pak Warso menghela napas panjang, menatap Laras dengan mata penuh pemahaman. “Jadi, kamu benar-benar mau pergi?”Laras mengangguk. “Saya sudah nggak punya alasan untuk tetap tinggal di sini, Pak.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.Darto dan Giman, yang berdiri tak jauh darinya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Darto bicara, “Laras, kami ngerti, Nduk. Setelah kedua temanmu, Joni dan Rani …” Ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Nama kedua temannya itu kini hanya tinggal bayang-bayang di tempat terkutuk yang tak boleh lagi mereka datangi.“Dan sekarang Damar juga menghilang.” Suara Laras semakin kecil. Hatinya terasa berat. Damar adalah satu-satunya harapan yang tersisa, satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tapi kini ia juga sudah pergi, entah hilang dalam

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 144. Memilih

    Damar berdiri kaku di depan rumah tua itu. Ucapannya masih menggantung di udara, sementara Joni dan Rani menunggu tanpa sedikit pun bersuara—atau mungkin, dengan harapan licik bahwa Damar akan menyerah. Angin malam berembus pelan, membawa bisikan dari sebuah tempat gelap yang tak terlihat. Rumah tua itu seakan bernapas, meresapi kebimbangan Damar untuk memilih. "Setiap kutukan butuh penebus." Kata-kata yang terucap dari mulut Joni terus bergema di kepalanya. Apakah benar-benae harus seperti itu? Jika ingin bebas, ia harus menyerahkan seseorang lainnya sebagai gantinya. Satu nama pun seketika melintas di benaknya—Laras. Damar memejamkan mata, mengingat bagaimana Laras menatapnya dengan penuh cinta, tetapi juga sarat ketakutan. Ia tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Ia tak ingin Laras menjadi bagian dari kegelapan yang saat ini membelenggunya. Alih-alih menjadikan Laras sebagai penebus, Damar justru berkeinginan untuk kembali bersamanya. Keinginan itu begitu kuat hingga mampu mem

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 143. Perpisahan

    Darto menoleh cepat, matanya menajam ke arah Laras. “Apa maksudmu, Laras?”Laras menggigit bibir, suaranya bergetar saat berbicara. “Damar… dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”Mbah Rebo mengetukkan tongkat kayunya ke tanah tiga kali lagi. Suara ketukan itu menggema di udara, seolah memantul dari sesuatu yang tak terlihat. Angin semakin kencang, membuat dedaunan kering berputar-putar di sekitar mereka.“Jangan panik,” ujar Mbah Rebo tenang, meski matanya waspada. “Tetap dekat dan jangan sampai ada yang terpisah.”Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara gemerisik. Seperti seseorang yang berjalan di atas dedaunan kering.Giman menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin mendekat.Laras menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Perlahan, dari balik batang pohon yang besar, sesosok bayangan muncul.Damar.Pakaian yang dikenakannya sama seperti terakhir kali Laras melihatnya—kemeja putih yang kini lusuh dan sobek di beberapa

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 142. Mencari Petunjuk

    Pagi menjelang dengan lambat, membawa serta kabut tipis yang menggantung di udara desa. Darto menguap lebar, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Warso duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyisakan ketegangan semalam. Sementara itu, Laras tertidur di tikar dengan nafas berat, tubuhnya masih terasa lemah setelah apa yang terjadi.Mbah Rebo, yang sedari tadi duduk bersila sambil memegang tongkat kayunya, menghela napas panjang. “Kita tak bisa berdiam diri. Meski makhluk itu sudah pergi, aku yakin ia belum benar-benar menyerah.”Warso mengangguk pelan. “Jadi apa yang harus kita lakukan, Mbah?”Orang tua itu menatap ke luar jendela. “Aku harus mencari tahu siapa makhluk itu dan mengapa ia begitu menginginkan Laras. Ada sesuatu yang belum terungkap.”Darto menelan ludah. “Mbah … tadi malam, sebelum makhluk itu muncul, Laras sempat menyebut nama Damar. Apakah mungkin … Damar benar-benar ada hubungannya dengan ini?”Mbah Rebo terdiam sejenak. “Mungkin. Kita harus mencari t

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 141. Mengawasi dan Menunggu

    Warso mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Napasnya tersengal, sementara matanya terus mengawasi Laras yang kini terkulai di tikar.“Darto, kita nggak bisa nunggu lebih lama. Kita harus cari orang pintar buat nolongin Laras,” katanya dengan suara parau.Darto mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Giman, kamu ikut aku. Kita cari Mbah Rebo.atau siapa pun yang bisa bantu.”Giman tampak ragu, tapi melihat kondisi Laras, ia akhirnya mengangguk. “B-baik. Tapi cepat ya, aku nggak mau kalau harus lama-lama menunggu di luar.”Darto dan Giman segera keluar, meninggalkan Warso yang berjaga di samping Laras. Malam semakin pekat, udara terasa berat. Warso merapatkan jaketnya, mencoba mengusir hawa dingin yang entah berasal dari cuaca atau sesuatu yang lain.Tiba-tiba, Laras menggeliat. Kelopak matanya terbuka perlahan. Namun, ketika Warso menatap wajahnya, jantungnya hampir berhenti berdetak.Mata Laras kini bukan hanya hitam, tetapi juga dipenuhi urat-urat merah yang men

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 140. Rasuk

    Darto, Warso, dan Giman semakin panik ketika mereka melihat Laras yang terus menatap bayangan Damar dengan mata berkaca-kaca. Angin bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah dan anyir yang menusuk hidung. Tiba-tiba, Laras tersentak. Tubuhnya menegang, matanya membelalak. Seakan ada sesuatu yang saat ini tengah menghantam jiwanya. “Laras?!” Warso mengguncang bahunya dengan cukup keras. Namun, Laras sama sekali tidak memberikan reaksi. Ia malah tersenyum lebar—senyum yang bukan miliknya. Senyum itu terlalu lebar, terlalu dingin, terlalu menyeramkan. "Damar … aku akan ikut bersamamu ...." Suaranya terdengar jauh, bergema seperti bukan berasal dari dirinya sendiri. Tak lama kemudian, tubuhnya terhuyung ke belakang dan dalam sekejap, ia tertawa. Suara tawanya melengking tinggi, bergema di udara malam. Tawa yang tentu saja itu bukan milik Laras. Giman mundur dengan napas memburu. “To, Darto, bocah ini ... dia kesurupan!” Darto menggertakkan giginya. Ia pernah melihat kej

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 139. Menolak

    Damar menggertakkan giginya. "Tidak mungkin! Kita masih hidup! Kalian berdua yang sudah mati!" Rani mengangkat tangannya perlahan. Seketika, kabut pekat muncul dari tanah, mengelilingi mereka. Laras menjerit saat tubuhnya mulai terasa ringan, seakan ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Damar berusaha meraihnya, tetapi tiba-tiba semuanya berubah. Mata Damar membelalak. Ia tidak lagi berada di hutan. Sekelilingnya kini adalah lorong rumah tua yang gelap, dindingnya dipenuhi coretan-coretan aneh. Bau anyir menyengat hidungnya. Laras berdiri di sampingnya, tubuhnya gemetar, matanya menatap lurus ke depan. Di ujung lorong, sesosok tubuh tergantung di langit-langit. Sosok itu berayun pelan, mengenakan baju yang sama seperti yang Damar kenakan. Jantung Damar seakan berhenti berdetak. Itu dirinya sendiri. "Laras... A-apa yang terjadi...?" Laras tidak menjawab. Dia hanya menoleh perlahan ke arah Damar, matanya berubah hitam legam, bibirnya menyeringai lebar. “Kamu sudah mati, Damar.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status