BRAK' Pintu kamar Murni terbuka lebar, menampakkan Aji yang berdiri dengan wajah pucat pasi. Remaja lelaki itu memegang sebuah kitab kecil di tangan kirinya, sementara tangan kanannya gemetar, masih menekan daun pintu. Tubuhnya membeku sesaat ketika melihat keadaan kakaknya, Murni, yang terkulai lemas di pelukan ibunya. Matanya menangkap dar** di dahi Lasmi yang mengalir perlahan, dar** bekas benturan keras di dinding. Kamar itu pun masih dipenuhi dengan aroma busuk dan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. “Aji...,” Lasmi memanggil lirih, suaranya parau yang bercampur isak tangis. Aji tersadar dari keterpakuannya dan melangkah masuk, meskipun seluruh tubuhnya masih gemetar. "Bu... Apa yang terjadi di sini? Kenapa Mbak Murni bisa seperti ini?" tanyanya panik dan penuh ketakutan, tetapi matanya tak lepas dari kakaknya yang kini tampak begitu lemah dan pucat. Lasmi hanya mampu menangis. Ia ingin menjelaskan, tetapi lidahnya kelu. Semua hal itu terjadi terlalu cepat dan terl
Lasmi memandang wajah putrinya, Murni, yang saat ini masih terbaring lemah di atas ranjang. Cahaya lampu yang temaram memantulkan kesedihan di wajah wanita paro baya itu. Napasnya terasa berat, bukan karena usianya yang kian senja, tetapi karena beban rahasia yang telah ia pendam selama puluhan tahun. Rahasia yang telah mencabik-cabik hatinya, menghantui setiap langkah hidupnya. Murni, dengan tatapan lemah namun penuh rasa ingin tahu, berusaha menegakkan tubuhnya. Tetapi sakit yang dirasakannya membuatnya tetap terbaring. Ia merasakan ada sesuatu yang penting dan mendesak dari cara ibunya menatapnya. "Ibu... bisakah Ibu menceritakan semuanya sekarang?" tanyanya pelan. Lasmi menggenggam tangan Murni, jemarinya yang kasar bergetar. "Nak, apa yang akan ibu ceritakan mungkin akan mengubah pandanganmu terhadap keluarga ini. Tapi ibu tahu, kau berhak tahu segalanya," ujar Lasmi sambil menarik napas panjang. Ia memejamkan mata sejenak, membayangkan kembali kenangan kelam yang begitu sulit
-Kembali ke Masa Kini- Air mata mengalir di pipi Lasmi saat ia menyelesaikan ceritanya. "Itulah alasan kenapa keluarga kita selalu diliputi ketakutan seperti ini, Nduk. Dan itulah kenapa kau sering merasa ada sesuatu yang salah dalam hidupmu," ujar Lasmi sambil menggenggam tangan Murni erat-erat. Murni terdiam, mencoba mencerna kenyataan pahit itu. Tubuhnya terasa semakin lemah, bukan karena penyakit yang dideritanya, tetapi karena beban emosional yang begitu besar. "Jadi... apakah aku juga bagian dari perjanjian itu, Bu?" tanyanya dengan suara bergetar. Lasmi mengangguk pelan. "Itulah yang ibu takutkan, Nak. Kau dan adikmu, Aji... kalian adalah keturunan dari keluarga ini. Ibu berusaha melindungi kalian, tapi ibu tahu bahwa perjanjian ini tidak akan pernab terhenti.' Murni menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. Rahasia yang baru saja ia dengar bagaikan duri yang menusuk hati. Selama ini, ia hidup dalam bayang-bayang kekayaan keluarganya tanpa menyadari bahwa di balik kemewa
Sosok yang muncul di depan pintu kamar itu adalah pria tua yang pernah Murni temui di kuburan Raharjo—ayahnya. "Hentikan perbuatanmu, Setan!" serunya dengan tegas. Pria misterius itu menoleh, matanya yang berkilau merah memandang tajam ke arah sosok tersebut. "Kau... siapa?" suaranya dipenuhi kebencian. Sosok pak tua itu berjalan mendekati Lasmi yang masih memeluk tubuh Murni. "Jangan khawatir, Lasmi," suaranya sedikit melunak meskipun masih terdengar tegas. "Aku di sini untuk melindungi kalian." Pria berjuang hitam itu tampaknya semakin marah, tubuhnya bergetar, seolah-olah siap melepaskan kekuatan gelap yang ada di dalam dirinya. "Kau pikir aku takut pada siapa pun, terutama pada seorang penyihir tua sepertimu?" "Ini bukan urusanmu, Setan," kata pria tua itu dengan suara yang lebih dalam. Tiba-tiba, ruangan menjadi semakin gelap, dan udara terasa semakin dingin. Suara angin yang berhembus menggema di seluruh rumah, menyisakan rasa takut yang menggerayangi setiap sudutn
"Aku datang...." Lasmi memekik, tubuhnya mundur ketakutan. "Tidak! Jangan ganggu anakku lagi!" jeritnya sambil menggenggam tubuh Murni lebih erat, dan setelahnya Murni menarik napas panjang dan tak sadarkan diri. Setelah kepergian Prawiro, kamar Murni menjadi hening. Lasmi masih terduduk di atas tempat tidur, memeluk tubuh Murni yang kini tertidur, seolah pertempuran barusan hanyalah mimpi buruk yang tak pernah terjadi. Namun, hatinya masih berdebar kencang, memikirkan kata-kata terakhir pria tua itu. Mbok Tumini perlahan mendekat, wajahnya masih pucat pasi. Ia menggenggam bahu Lasmi, suaranya gemetar. "Ndoro... apa yang sebenarnya terjadi? Siapa pria tua itu? Dan siapa lelaki berbaju hitam tadi? Apa maksud semua ini?" Lasmi menggelengkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku saja ndak tahu, Mbok. Aku benar-benar ndak tahu..." katanya dengan suara serak. Ia memandang Murni yang masih teroejam. Murni... katanya adalah kunci. Tapi kunci untuk apa?" Mbok Tumini dud
"Aku harus ke sana, segera!" seru Lasmi kemudian.Mbok Tumini mengangguk dengan berat hati. "Baik, Ndoro. Tapi kita harus hati-hati." Bukan tanpa alasan, tapi Mbok Tum merasakan jika ada sesuatu yang tidak wajar dengan hujannya Aji.Lasmi menoleh ke arah Murni. "Nduk, Ibu akan kembali secepatnya. Kamu tunggu di sini bersama Simbok, ya?"Namun, Murni hanya diam dan kembali masuk ke kamarnya tanpa menjawab. Hal itu membuat Lasmi semakin gelisah. Tapi ia menepis perasaannya dan segera melangkah keluar bersama Mbok Tumini, menuju kuburan dengan langkah cepat meskipun hati mereka diliputi ketakutan.Lasmi berjalan cepat meninggalkan rumah, sementara angin pagi yang dingin menerpa wajahnya. Dengan napas yang terasa berat dan penuh kekhawatiran, ia menelusuri jalan kecil yang mengarah ke kuburan desa. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Hati kecilnya terus berharap agar Aji baik-baik saja.Namun, semakin jauh ia melangkah, suasana semakin sunyi. Pohon-poh
"Tini, kita harus keluar dari sini," ujar Lasmi dengan suara tegas, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Sekarang juga!"Namun, sebelum mereka sempat melangkah keluar, pintu kamar tiba-tiba tertutup dengan keras, membuat Lasmi dan Tini terkejut. Hati Lasmi mulai berpacu, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi apa yang sedang terjadi."Dengar," kata Lasmi dengan suara bergetar, "kita harus mencari jalan keluar. Apa pun yang ada di sini, kita harus pergi sekarang!"Tini hanya mengangguk, meskipun tubuhnya masih gemetar. Namun saat mereka berbalik dan mencoba membuka pintu, terdengar suara gemeretak yang menakutkan dari arah luar. Seperti sesuatu yang berat sedang bergerak mendekat. Mereka berdua menoleh ke arah suara itu, dan Lasmi melihat bayangan yang bergerak cepat di koridor.Pocong... Pocong Raharjo sudah berdiri di sana.Lasmi merasa napasnya terhenti sejenak. Bayangan itu bergerak dengan sangat cepat, seperti mengejar mereka. Dengan reflek yang hampir tanpa sadar, Lasm
Langkah Lasmi tertatih-tatih, kakinya terasa seperti terikat oleh beban yang tak terlihat. Tubuhnya lemas, namun ketakutan yang terus menggerogoti hatinya membuatnya tak bisa berhenti. Keinginan untuk melarikan diri, untuk menghindari apa pun yang mengancamnya, tetap memaksanya berjalan. Namun, semakin ia berjalan, semakin ia merasa ada sesuatu yang menariknya kembali, menariknya menuju tempat yang sebenernya paling ia takuti. Kuburan Raharjo. Lasmi menatap tanah yang berdebu di bawah kakinya, mencoba mencari jawaban di antara bebatuan kecil yang bertebaran di sepanjang jalan sempit itu. Suara langkah pocong Raharjo yang terus melompat mengejarnya masih terus terdengar. Hatinya semakin panas. Perasaan marah yang tak terungkapkan kini menguasai dirinya. Mengapa? Mengapa semuanya harus menjadi seperti ini? Mengapa dia harus terjebak dalam permainan setan? Di mana Tini? Dari semuanya itu, pikiran Lasmi kini hanya tertuju pada Aji, dan hanya Aji. Dengan keteguhan yang hampir tak bi
Damar membuka matanya perlahan. Udara di sekelilingnya terasa dingin dan lembap, menusuk sampai ke tulang. Kepalanya terasa begitu berat, seperti baru saja ditarik dari mimpi buruk yang sangat panjang. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami situasi.Namun, yang pertama kali tertangkap oleh matanya bukanlah langit-langit rumah Darto, melainkan sebuah atap tua yang reyot, penuh dengan sarang laba-laba. Damar menelan ludah, rasa cemas menjalari tubuhnya."Laras ...?" bisiknya serak.Di sebelahnya, Laras menggeliat pelan, lalu perlahan membuka mata. Begitu ia melihat sekeliling, napasnya tercekat."Damar ... k-kita ... di mana ini?" suaranya bergetar, kepalanya menoleh ke kana dan ke kiri, menyadari jika saat ini mereka berdua telah berpindah tempat.Damar buru-buru bangkit dan segera menarik tangan Laras untuk duduk. Mereka berdua kini benar-benar sadar sepenuhnya—mereka tidak lagi berada di rumah Darto.Mereka ada di depan rumah tua itu. Rumah yang seharusnya telah mereka tinggalk
Asap hitam terus berputar, membentuk sosok yang semakin jelas di tengah kobaran api. Wajahnya berubah-ubah—kadang seperti seorang wanita dengan mata kosong yang penuh kebencian, kadang menyerupai tengkorak yang menganga dengan senyum mengerikan.Laras mundur selangkah, napasnya memburu. Damar meremas bahunya erat, berusaha menahan ketakutan yang menjalari tubuhnya.Tiba-tiba, sosok itu membuka mulutnya, mengeluarkan suara yang bukan milik manusia."Panas!! Beraninya kalian membakarnya?"Suaranya menggaung, bergema di seluruh ruangan, membuat dada mereka terasa sesak.Giman mengatupkan rahangnya rapat. "Kita harus mengusirnya sebelum semuanya terlambat!"Darto dengan sigap meraih segenggam garam dari kantong kecil di pinggangnya, lalu melemparkannya ke arah bayangan itu. "Pergi! Kau tidak punya tempat di sini!"Cesss!Begitu garam mengenai asap hitam itu, suara mendesis terdengar. Sosok tersebut bergetar hebat, mengeluarkan jeritan melengking yang membuat telinga mereka berdenging.Nam
"Dan ada bekas cakaran di wajahnya?" sela Giman.Laras tersentak. Matanya melebar, menatap Giman dengan penuh keterkejutan. "Bagaimana Bapak tahu?" suaranya nyaris berbisik, bergetar oleh ketakutan yang semakin menusuk.Giman menelan ludah, sementara Warso dan Darto semakin tegang. Darto bahkan tanpa sadar meremas ujung sarung yang melilit pinggangnya, seolah mencari pegangan agar tetap berdiri tegak."Kalian benar-benar sudah celaka!" Suara Giman terdengar berat. "Karena kalau yang kalian temui itu memang Joko, berarti kalian tidak bertemu dengan manusia."Laras merasakan lututnya melemas. "Apa maksudnya, Pak?"Warso mendesah panjang, matanya menatap lurus ke arah Laras dan Damar. "Joko memang kepala desa Juwono ... dulu. Tapi dia sudah mati sejak lebih dari dua puluh tahun yang lalu."Damar menegang. "Tidak mungkin! Kami berbicara dengannya, bahkan dia menyambut kami, memberi kami makan!""Dia juga membiarkan kami meng
Laras menelan ludah, matanya masih terpaku pada kehampaan di belakang mereka. "Lalu ... siapa kalian?" Warso, pria paruh baya dengan sorot mata tajam, memandang Laras dan Damar dengan penuh selidik. Napasnya masih tersengal setelah perjuangan mereka keluar dari hutan terkutuk itu. Di sampingnya, Giman dan Darto juga tampak waspada, seolah masih khawatir akan sesuatu yang bisa saja mengikuti mereka keluar. "Kami yang seharusnya bertanya. Kalian ini siapa? Kenapa bisa sampai di tempat itu?" Warso akhirnya membuka suara. Rasa penasaran terpancar jelas dari wajahnya. Damar masih terduduk lemah di tanah. Dadanya masih terlihat naik turun, mencoba menenangkan napasnya. Bahunya yang terluka mulai membiru, tapi ia tidak punya waktu untuk mengkhawatirkannya sekarang. Laras menatap Warso dengan ragu, sebelum akhirnya berbicara. "Kami ... tersesat, Pak. Kami tidak tahu kalau tempat itu berbahaya." Giman, pria bertubuh kurus dengan wajah cekung, menatap mereka dengan sorot mata penuh ke
Laras terengah-engah, tubuhnya nyaris tak sanggup berdiri setelah tarikan kasar dari Damar. Tenggorokannya kering, dan dadanya terasa sesak seakan udara di sekitar mereka semakin menipis. Tapi yang lebih menyesakkan adalah tatapan Rani—tatapan penuh keputusasaan yang masih tertinggal di benaknya. "Laras! Bangun! Kita harus lari!" Damar berusaha menariknya berdiri, tapi kaki Laras seperti kehilangan tenaga. "Damar ... tolong. Aku udah nggak kuat." Laras menatap nanae kw arah Damar. "Ras! Fokus!" Damar mengguncang tubuhnya, suaranya penuh putus asa. "Kalau kita berhenti sekarang, kita akan mati!" Laras menarik napas dalam-dalam. Ia memaksa dirinya untuk kembali ke kenyataan, menepis rasa bimbang yang menggerogoti hatinya. Matanya bertemu dengan mata Damar—sarat dengan ketakutan dan kepanikan, tapi juga keyakinan. Damar percaya mereka bisa keluar dari sini. Mereka harus bisa. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Laras bangkit. Tangannya masih gemetar, tapi ia menggenggam erat tangan
"Aaaa...!" Laras menjerit, tubuhnya terhuyung ke belakang hingga hampir jatuh. Damar mematung, tubuhnya membeku seperti batu. Tenggorokannya terasa kering, napasnya pendek-pendek, dan dadanya berdebar kencang. Itu… mereka. Tubuh mereka sendiri."Tidak! Ini pasti mimpi!" Laras mengguncang kepalanya dengan putus asa. Matanya menatap nanar ke arah mayat yang terduduk di dalam mobil. Itu—adalah wajahnya sendiri, matanya sendiri—tetapi kosong. Mati.Damar mundur selangkah, lalu dua langkah, tangannya terangkat gemetar. "Ini... ini tidak masuk akal," bisiknya.Wanita tua itu masih berdiri di tempatnya, menatap mereka dengan sorot mata iba bercampur ngeri. "Aku sudah bilang... tidak ada yang bisa keluar dari desa itu tanpa meninggalkan sesuatu di dalamnya."Laras menatap wanita itu dengan mata berkaca-kaca, menggeleng keras. "Tapi... tapi kami ada di sini! Kami masih hidup!"Wanita tua itu menghela napas panjang, lalu perlahan berjalan mendekat. Suaranya melembut, tetapi tetap terdengar sep
"Selamat tinggal, Rani."Laras jatuh berlutut di tanah yang masih dingin oleh embun pagi. Isak tangisnya pecah, dadanya bergemuruh dengan kesedihan yang tak tertahankan. Kedua tangannya mencengkeram rumput liar di sekitarnya, seakan ingin meraih sesuatu yang telah hilang.Joko dan Damar saling berpandangan, napas mereka masih tersengal setelah berlari menembus gelapnya hutan. Damar sendiri tahu betul bahwa mereka telah kehilangan sesuatu yang tak akan pernah kembali.Joni dan Rani. Mereka terjebak di desa terkutuk itu dan tak bisa lagi diselamatkan.Laras menggeleng keras, menolak kenyataan yang baru saja terjadi. "Tidak... mereka masih bisa kita bawa pulang... 'kan?" Joko mengalihkan pandangannya, rahangnya mengatup rapat. "Sudah terlambat." gumamnya.Damar menggenggam bahu Laras, mencoba menenangkannya meski dirinya sendiri masih dikejar rasa takut. "Kita harus pergi. Hutan itu... desa itu... tempat ini bukan untuk kita."Laras menoleh, matanya yang basah penuh amarah. "Jadi kita a
Joko memejamkan mata, rahangnya mengatup rapat. Napasnya tertahan di tenggorokan.Bodoh!Ia sudah memperingatkan mereka untuk tidak bersuara, tapi Laras justru berteriak. Itu adalah kesalahan besar.Angin malam bertiup lebih kencang, membawa aroma busuk yang menusuk hidung. Seperti bau bangkai yang telah membusuk selama berhari-hari.Damar merasakan tengkuknya meremang. Ia melangkah mundur dengan hati-hati, tetapi sesuatu dalam tatapan Rani membuatnya sulit berpaling."Bukan Rani. Itu bukan Rani," ucap Damar di dalam hatinya. Sosok di hadapan mereka berdiri kaku, tubuhnya sedikit membungkuk dengan tangan tergantung lemas di sisi tubuhnya. Bibirnya pecah-pecah, dan dari sudut bibirnya menetes cairan hitam yang berbau busuk. Matanya… kosong. Sepasang bola mata itu hitam legam, tak ada putihnya sama sekali.“Larasss… Kenapa… lari? Ini aku.”Suara Rani bergetar, seperti ada sesuatu yang bergema di dalamnya. Seperti bukan hanya satu suara, tapi banyak suara yang bertumpuk menjadi satu.La
Di luar, gedoran di pintu semakin menggila. Suara kayu berderit dan engsel berdecit, seolah sesuatu di luar sana menggaruk dengan kuku panjangnya. “Tolong aku!”"Rani!" Laras berteriak. "Damar, itu Rani!" Laras terlonjak. Matanya membulat, dan ia hampir saja berlari ke pintu kalau saja Damar tidak menahannya. “Jangan, Laras!” Damar mencengkram pergelangan tangannya erat. “Dengar baik-baik suaranya… itu bukan Rani.” Laras mematung. Suara di luar terdengar mirip dengan Rani, tapi ada sesuatu yang janggal—nada suaranya datar, tanpa emosi, seperti sedang meniru manusia. “Tolong… Aku kedinginan… Buka pintunya, Laras…”"Damar, Please!" sentak Laras. Joko menarik napas tajam, lalu berbisik, “Itu bukan dia. Itu mereka.” Seketika, suara ketukan berubah menjadi benturan keras. Brak! Brak!Damar mengepalkan tangannya, sorot matanya dipenuhi tekad yang tak tergoyahkan. "Kita nggak bisa terus bersembunyi di sini. Rani butuh kita!" katanya dengan suara mantap.Laras menggigit bibirnya, ragu