"Tini, kita harus keluar dari sini," ujar Lasmi dengan suara tegas, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Sekarang juga!"Namun, sebelum mereka sempat melangkah keluar, pintu kamar tiba-tiba tertutup dengan keras, membuat Lasmi dan Tini terkejut. Hati Lasmi mulai berpacu, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi apa yang sedang terjadi."Dengar," kata Lasmi dengan suara bergetar, "kita harus mencari jalan keluar. Apa pun yang ada di sini, kita harus pergi sekarang!"Tini hanya mengangguk, meskipun tubuhnya masih gemetar. Namun saat mereka berbalik dan mencoba membuka pintu, terdengar suara gemeretak yang menakutkan dari arah luar. Seperti sesuatu yang berat sedang bergerak mendekat. Mereka berdua menoleh ke arah suara itu, dan Lasmi melihat bayangan yang bergerak cepat di koridor.Pocong... Pocong Raharjo sudah berdiri di sana.Lasmi merasa napasnya terhenti sejenak. Bayangan itu bergerak dengan sangat cepat, seperti mengejar mereka. Dengan reflek yang hampir tanpa sadar, Lasm
Langkah Lasmi tertatih-tatih, kakinya terasa seperti terikat oleh beban yang tak terlihat. Tubuhnya lemas, namun ketakutan yang terus menggerogoti hatinya membuatnya tak bisa berhenti. Keinginan untuk melarikan diri, untuk menghindari apa pun yang mengancamnya, tetap memaksanya berjalan. Namun, semakin ia berjalan, semakin ia merasa ada sesuatu yang menariknya kembali, menariknya menuju tempat yang sebenernya paling ia takuti. Kuburan Raharjo. Lasmi menatap tanah yang berdebu di bawah kakinya, mencoba mencari jawaban di antara bebatuan kecil yang bertebaran di sepanjang jalan sempit itu. Suara langkah pocong Raharjo yang terus melompat mengejarnya masih terus terdengar. Hatinya semakin panas. Perasaan marah yang tak terungkapkan kini menguasai dirinya. Mengapa? Mengapa semuanya harus menjadi seperti ini? Mengapa dia harus terjebak dalam permainan setan? Di mana Tini? Dari semuanya itu, pikiran Lasmi kini hanya tertuju pada Aji, dan hanya Aji. Dengan keteguhan yang hampir tak bi
Dalam sekejap, tanah di sekitar kuburan itu retak, dan dari kedalaman bumi, sesuatu yang lebih besar mulai muncul. Itu adalah tubuh Raharjo yang membusuk, bergerak dengan gerakan yang mengerikan, seolah tubuhnya dipaksa untuk hidup kembali. Lasmi menutup matanya, berusaha menahan rasa takut yang merambat dalam dirinya. Tangan kedua muncul, menarik lebih keras. Kepala muncul berikutnya—sebuah wajah yang menyerupai Raharjo, tapi kulitnya sudah robek di beberapa bagian, memperlihatkan tulang putih di balik daging yang membusuk. Matanya kosong, hanya dua lubang hitam yang memancarkan hawa dingin dan kematian. Lasmi ingin mundur, tapi tubuhnya terasa beku. Dia hanya bisa menatap, menyaksikan makhluk itu perlahan bangkit dari liang kubur. Sosok Raharjo berdiri, tinggi, dengan tubuhnya yang tidak utuh lagi. Bau busuk semakin pekat, membuat Lasmi terbatuk dan hampir muntah. “Lasmi...” suara itu berat dan serak, seperti berasal dari neraka. “Kamu memanggilku... dan aku datang... bojoku..
Lasmi menyeret kakinya yang pincang, berusaha menahan perih di lututnya yang robek. Rasa lelah mendera tubuhnya, tetapi tekad untuk pulang mengalahkan semua rasa sakit itu. Malam semakin larut, dan suara jangkrik menjadi satu-satunya iringan perjalanan Lasmi di jalan setapak yang penuh kerikil. "Murni... Aji...," gumamnya yang terus melangkah menyeret kakinya. Sungguh, kakinya terasa begitu berat, seolah setiap langkahnya membawa kenangan buruk dari makam Raharjo. Hatinya masih dipenuhi rasa takut dan bingung—siapa sosok yang telah menyelamatkannya? Dan mengapa ia harus menghadapi teror Raharjo sendirian? Namun, semua pertanyaan itu tersingkir oleh wajah Murni dan Aji. Ketika ia melihat atap rumahnya dari kejauhan, rasa lega mulai mengisi dadanya. Tapi rasa lega itu segera berubah menjadi tangis yang tertahan ketika ia mendekati pintu. Di sana, Aji berdiri, memandang ibunya dengan wajah pucat penuh kekhawatiran. "Ibu?" suara Aji serak, gemetar. Lasmi jatuh berlutut di tanah.
Suara kentongan yang terus dipukul berkali-kali mengisi udara pagi Desa Juwono. Ketukan itu tak hanya memanggil perhatian warga, tetapi juga memancing rasa takut yang tiba-tiba mencengkeram. Suara-suara panik terdengar bersahut-sahutan dari luar, membuat Aji bergegas ke pintu, meninggalkan ibunya yang masih duduk di tempat tidur."Bu, Aji ke luar sebentar, ya," ujar Aji sebelum berlari keluar rumah tanpa menunggu jawaban.Lasmi ingin menyusul, tetapi tubuhnya masih terlalu lemah. Dengan susah payah, ia turun dari tempat tidur dan berjalan terpincang-pincang ke ruang tengah. Jantungnya berdegup kencang, terlebih saat mendengar suara teriakan warga semakin jelas dari luar."Apa yang terjadi?" gumamnya, lebih pada dirinya sendiri.Aji sudah berdiri di sana, di depan pintu kayu jati berukir dan menatap pada banyaknya orang yang berkerumun di jalan."Mak—makam Raharjo rusak! Hancur!" teriak seseorang dari ujung jalan."Tapi... siapa yang melakukannya?" suara lain menyusul dengan kekhawatir
"Murni!" "Murni!" Seru warga bersahut-sahutan melihat Murni yang kini sudah berada di dalam makam. Murni terengah-engah, tubuhnya hampir terjerembab di dalam liang kubur yang sudah terbuka lebar. Tanah yang lembap dan bau anyir semakin membuatnya merasa tercekik. Meski tangannya terasa kotor dan lelah, ia terus menggali, mengais tanah yang terasa berat di bawah jarinya. Setiap kali ia mengangkat tangan, tanah berjatuhan kembali, seolah kuburan itu menolak kehadirannya. "Aji... Aji, ndak ada apa-apa di sini!" teriaknya, suaranya tersendat di antara tangisan. "Tapi kenapa ini kosong?!" Keringat mengalir deras di wajahnya, tubuhnya gemetar, bukan hanya karena takut, tetapi juga karena rasa putus asa yang mendalam. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan makam ini, dengan kejadian ini. Namun, apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang mengancam mereka semua? Aji yang berdiri di luar makam itu, wajahnya pucat pasi, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Mbak Murni, keluar
Lasmi menoleh cepat setelah mendengar suara keras gelas yang terjatuh ke lantai. Segera iamenghampiri Murni, matanya membelalak saat melihat pecahan gelas yang berserakan di lantai. Ia berjongkok, hendak memungut serpihan kaca, namun tangannya berhenti ketika menyadari pola aneh yang terbentuk di lantai dari retakan gelas itu. Simbol itu menyerupai lingkaran dengan garis-garis rumit di dalamnya, seperti sebuah gambar yang.... dia tak asing. “Murni, apa ini?” Lasmi bertanya dengan suara bergetar. Murni tidak menjawab. Tubuhnya membeku, matanya terpaku pada serpihan-serpihan gelas yang berserak di lantai. Aji, yang berdiri di dekat pintu, juga mendekat, keningnya berkerut dalam kebingungan. “Mbak, ini... ini bukan kebetulan. Apa mungkin ini ada hubungannya dengan apa yang kita temukan di makam tadi?” Murni menggeleng perlahan, matanya berkaca-kaca. “Mbak ndak tahu, Ji. Tapi... rasanya seperti ada sesuatu yang mengikuti kita sejak saat itu.” Lasmi menoleh ke arah Aji. “Apa yang
Murni mundur perlahan, menatap ibunya dengan mata membelalak. “Jadi... Bapak... dia—” “Dia telah melakukan sesuatu yang begitu besar, Murni,” potong Lasmi. “Dan sekarang apa yang dulu ia simpan, kembali untuk menuntut balas.” Aji menggertakkan giginya, mencoba mengatasi rasa takut yang semakin besar. “Kalau memang yang diambil Mbak Murni itu adalah segel, itu artinya kita bisa mengembalikannya, kan, Bu? Kita harus mengakhiri semua ini.” “Tidak sesederhana itu, Aji,” jawab Lasmi, suaranya mulai gemetar. “Segel itu telah rusak, dan semua jiwa yang terpenjara itu, kini terbebas. Satu-satunya cara adalah mencari cara untuk menenangkan mereka... atau kita semua akan binasa.” Murni terduduk di lantai, menggenggam erat kain ujung bajunya. Apa yang telah dilakukannya? pikirnya. "Baiklah, jika memang itu yang harus dilakukan. Aji, ayo ikut Mbak!" Murni
Pagi itu, langit tampak mendung, seolah ikut berkabung. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, membuat bulu kuduk berdiri meski matahari mulai muncul di ufuk timur. Warga desa telah berkumpul di pemakaman baru, tempat yang telah disiapkan untuk jenazah Raharjo. Murni berdiri di samping Joko, matanya sembab karena kurang tidur dan tangisan semalam. Di hadapannya, liang lahat telah digali dengan rapi. Aji, Pak Karim, dan beberapa warga lain menggotong jenazah yang sudah dibungkus kain kafan baru. Mereka meletakkannya perlahan ke dalam kubur, diiringi lantunan doa yang lirih dari mulut warga. Saat tanah mulai ditimbun, angin bertiup lebih kencang. Suara dedaunan berdesir aneh, seakan ada bisikan samar di antara pepohonan di tepi pemakaman. Beberapa warga saling pandang, merasa ada sesuatu yang janggal, tetapi tetap melanjutkan prosesi pemakaman. Ketika tanah sudah tertutup sempurna dan doa terakhir diucapkan, Murni melangkah maju. Tangannya gemetar saat ia menaburkan bunga di atas m
RAHASIA DI BAWAH TANAHMalam itu, angin berembus dingin, membawa aroma lembap dari tanah yang baru diguyur hujan sore tadi. Murni dan Joko berdiri di bawah cahaya rembulan yang samar, tubuh mereka membeku dalam ketakutan. Di hadapan mereka, sosok pocong Raharjo berdiri dengan kain kafan yang sudah lusuh dan kotor. Wajahnya pucat, sorot matanya kosong, tetapi bibirnya bergerak seakan ingin berbicara.Joko mundur selangkah, refleks meraih tangan Murni. "Dek... ini bukan main-main," bisiknya, suaranya gemetar.Namun, Murni justru melangkah maju. Jantungnya berdetak kencang, napasnya memburu. Ketakutan masih mencengkeramnya, tetapi ada sesuatu yang lebih kuat dari rasa takut itu—dorongan untuk mengetahui kebenaran.Sosok pocong Raharjo mengangkat tangannya perlahan, lalu menunjuk ke tanah tempat Murni berdiri. Suaranya parau, seakan berasal dari dunia lain."Gali... tanah ini...."Murni menelan ludah, tubuhnya gemetar. "Kenapa aku harus menggali, Pak?" tanyanya dengan suara bergetar."Rah
Murni masih menggenggam cangkir teh hangat di tangannya. Uapnya perlahan menghilang, seperti harapannya yang ikut memudar sejak kepergian Prawiro. Namun, di balik kesedihannya, ada keinginan kuat untuk tidak mengecewakan Pakdenya. Ia mengusap wajahnya, menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat kepalanya. "Aku akan mencoba, Mas," ucapnya dengan suara yang masih bergetar. "Aku tidak ingin pengorbanan Pakde menjadi sia-sia." Joko tersenyum tipis, meski matanya masih menyiratkan kesedihan. "Aku tahu kamu pasti bisa, Dek. Kita semua akan mendukungmu, kita akan selalu bersama." Malam itu, Murni akhirnya mencoba tidur meski pikirannya masih dipenuhi bayangan Pakdenya— Prawiro. Saat kedua matanya sudah mulai terpejam, ia terbangun oleh suara aneh dari luar rumah. Suara gemerisik, seperti langkah kaki yang menyeret di tanah. Sreeek.... "Suara apa itu?" ucap Murni lirih. Murni menajamkan pendengarannya. Joko masih terlelap di sampingnya, begitu juga Aji yang tidur di kamar sebelah.
Di luar, Kyai Hasan menatap Murni dengan penuh kasih. "Apa yang bisa kita lakukan dengan tangan kita yang lemah ini, Murni? Terkadang, doa lebih kuat daripada kekuatan fisik. Percayalah, jika takdir mengizinkan, batu ini akan terbuka." Murni terisak. Ia memandang batu-batu besar yang tidak bergeming meski sudah dipukul berkali-kali. Tangannya gemetar, darah menetes dari jari-jarinya. Dengan berat hati, ia akhirnya berlutut di depan batu itu, menangkupkan tangan, dan mulai berdoa dengan suara yang pecah-pecah. "Ya Allah... kumohon, selamatkan Pakde. Jangan biarkan dia terjebak dalam kegelapan. Bawa dia kembali kepada kami..." Aji mengikuti jejak Murni, menunduk sambil berdoa dengan mata tertutup rapat. Joko akhirnya melakukan hal yang sama, meskipun hatinya masih bergulat dengan rasa tak berdaya. Tiba-tiba, angin dingin bertiup kencang di sekitar mereka, membawa suara samar yang terdengar seperti bisikan. "Kalian... masih memanggilku?" Suara itu terdenga
Murni berteriak histeris, suaranya menggema di tengah malam yang sunyi, "Pakde! Pakde! Jangan tinggalkan kami!" Tubuhnya bergetar hebat, tangannya meraba-raba batu besar yang berjatuhan daei atas sana. Banyaknya bebatuan yang kini menutup rapat pintu gua. "Aji! Bantu aku, cepat! Kita harus keluarkan Pakde Prawiro. Dia masih terjebak di dalam sana, Ji." Murni menoleh ke arah Aji, air matanya mengalir deras, sementara ia terus memukul batu dengan tangannya yang mulai memerah. "Kita tidak boleh menyerah dan meninggalkan dia begitu saja. Dia butuh kita, Aji." Aji, meskipun tubuhnya penuh luka karena ledakan energi tadi, segera maju membantu Murni. "Pakde! Apa pakde mendengar suara kami?!" seru Aji. Beberapa kali Aji berteriak, berharap ada balasan dari dalam sana. "Pakde, kami di sini! Jangan menyerah!" teriaknya sambil memukul batu dengan kepalan tangannya. Joko yang masih terpaku oleh kejadian tersebut akhirnya tersadar dan b
Murni mengambil kesempatan itu, maju beberapa langkah, meskipun tubuhnya gemetar. "Bapak Prawiro... jika benar kau merasa sendirian, kami akan ada untukmu. Kami ingin mengenalmu sebagai keluarga. Kami ingin belajar dari kesalahan masa lalu. Tolong... beri kami kesempatan."Murni perlahan melangkah maju, meskipun tubuhnya gemetar hebat. Matanya terus menatap Prawiro, sosok yang pernah ia anggap sebagai bagian dari keluarganya, meski kini wujudnya jauh dari manusia. Ketakutan terlihat jelas di wajahnya, namun keberanian dalam hatinya mengalahkan segalanya.Joko, yang sejak tadi berdiri di belakang Murni, tersentak melihat istrinya maju tanpa rasa gentar. "Murni! Jangan!" serunya dengan nada penuh kecemasan. Ia ingin melangkah maju, tetapi tangan Aji tiba-tiba menahannya dari belakang."Mas Joko," bisik Aji dengan suara lirih tapi penuh keyakinan. "Biarkan dia, Mas. Mbak Murni tahu apa yang dia lakukan."Joko menoleh ke arah Aji dengan wajah bingung
Prawiro memutar tubuhnya dengan cepat, matanya yang merah menyala kini berkilat penuh amarah saat ia menatap sosok pria paruh baya yang muncul dari kegelapan. "Kenapa kau datang, Hasan?! Bukankah kau sudah cukup puas mencampuri hidupku selama ini?!" suaranya menggema di dalam gua, penuh dengan kebencian yang membara.Kyai Hasan berdiri tegap, wajahnya memancarkan ketenangan meskipun berada di hadapan makhluk menyeramkan seperti Prawiro. "Aku datang karena kau sudah terlalu jauh, Prawiro. Dendam ini... kebencian ini... hanya akan menghancurkanmu, bukan menyembuhkan luka-luka masa lalu."Prawiro tertawa getir, suara tawanya memantul di dinding-dinding gua yang dingin. "Menyembuhkan? Luka-luka ini tidak bisa disembuhkan, Hasan! Kau tahu itu lebih baik daripada siapa pun. Kau yang seharusnya mengerti! Kau adalah saksi bisu saat aku hancur!"Hasan menarik napas panjang, lalu melangkah mendekat. Suaranya rendah, namun penuh dengan ketegasan. "Aku tidak membela Raharjo, Prawiro. Aku tahu dia
Murni menatap Aji dengan ekspresi panik, tangannya terulur hendak meraih adiknya. "Aji, jangan! Diam! Jangan bilang apa-apa!" serunya, suara bergetar penuh kecemasan. Aji menatap kakaknya, wajahnya penuh tekad meskipun napasnya berat. "Mbak, aku harus mengatakan ini. Aku sudah mengerti sekarang... siapa makhluk ini, siapa sebenarnya dia." Matanya menatap tajam ke arah makhluk yang mengancam mereka, yang masih tertawa dengan penuh penghinaan. Makhluk itu mencondongkan tubuhnya lebih dekat, seolah menikmati ketegangan yang terbangun. "Aji, Aji... kalian memang bodoh. Kau sudah tahu siapa aku, tapi kau masih berpikir bisa menakut-nakuti aku? Apa yang akan kau lakukan setelah tahu siapa aku?" Suaranya semakin mengancam, seakan-akan dia tahu betul kelemahan mereka. "Aku tahu siapa kamu," kata Aji dengan suara lebih keras, menekan setiap kata seolah itu adalah kenyataan yang tak bisa dibantah. "Kamu... adalah Prawiro." Makhluk itu terdiam sejenak, seakan terkejut dengan pernyataan A
Makhluk itu berhenti mendadak, matanya yang merah menyala menatap tajam ke arah Aji. Sorot matanya bagaikan bara api yang membakar, menusuk siapa pun yang berani menatapnya. Tawanya yang bergema membuat gua itu terasa semakin sempit dan mencekam, seolah-olah udara di dalamnya ditarik keluar, menyisakan ketegangan yang menyesakkan. “Hahaha! Jadi, kau membawakanku bukan hanya satu, tapi dua-duanya anak Harjo?" Makhluk itu berkata dengan nada mengejek, suaranya bergemuruh seperti guntur yang menggetarkan tanah. Lidah bercabangnya menjulur dari mulutnya yang lebar, melintasi deretan gigi tajam yang berkilauan. “Hebat! Aku tak menyangka kau akan sebaik ini memenuhi takdir kalian. Tentu saja, aku akan menikmatinya.” Aji berdiri di tempatnya, tubuhnya bergetar, tetapi ia menahan napas, memaksa dirinya untuk tetap tegak. Tangannya mengepal kuat-kuat di sisi tubuhnya, berusaha melawan rasa takut yang hampir melumpuhkannya. Ia menatap makhluk itu dengan mata yang menyalakan keberanian, meski