Share

Bab 26. Gempar

Penulis: Yasmin_imaji
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-11 16:47:15

Suara kentongan yang terus dipukul berkali-kali mengisi udara pagi Desa Juwono. Ketukan itu tak hanya memanggil perhatian warga, tetapi juga memancing rasa takut yang tiba-tiba mencengkeram. Suara-suara panik terdengar bersahut-sahutan dari luar, membuat Aji bergegas ke pintu, meninggalkan ibunya yang masih duduk di tempat tidur.

"Bu, Aji ke luar sebentar, ya," ujar Aji sebelum berlari keluar rumah tanpa menunggu jawaban.

Lasmi ingin menyusul, tetapi tubuhnya masih terlalu lemah. Dengan susah payah, ia turun dari tempat tidur dan berjalan terpincang-pincang ke ruang tengah. Jantungnya berdegup kencang, terlebih saat mendengar suara teriakan warga semakin jelas dari luar.

"Apa yang terjadi?" gumamnya, lebih pada dirinya sendiri.

Aji sudah berdiri di sana, di depan pintu kayu jati berukir dan menatap pada banyaknya orang yang berkerumun di jalan.

"Mak—makam Raharjo rusak! Hancur!" teriak seseorang dari ujung jalan.

"Tapi... siapa yang melakukannya?" suara lain menyusul dengan kekhawatir
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (53)
goodnovel comment avatar
Santih
kira2 kemana jenazah rahajo, tuh kn kamu engga boleh ke sana murni
goodnovel comment avatar
Yasmin_imaji
hooh, iyo, dicaplok
goodnovel comment avatar
Yasmin_imaji
terlalu nekat ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 27. Buntalan Putih

    "Murni!" "Murni!" Seru warga bersahut-sahutan melihat Murni yang kini sudah berada di dalam makam. Murni terengah-engah, tubuhnya hampir terjerembab di dalam liang kubur yang sudah terbuka lebar. Tanah yang lembap dan bau anyir semakin membuatnya merasa tercekik. Meski tangannya terasa kotor dan lelah, ia terus menggali, mengais tanah yang terasa berat di bawah jarinya. Setiap kali ia mengangkat tangan, tanah berjatuhan kembali, seolah kuburan itu menolak kehadirannya. "Aji... Aji, ndak ada apa-apa di sini!" teriaknya, suaranya tersendat di antara tangisan. "Tapi kenapa ini kosong?!" Keringat mengalir deras di wajahnya, tubuhnya gemetar, bukan hanya karena takut, tetapi juga karena rasa putus asa yang mendalam. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan makam ini, dengan kejadian ini. Namun, apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang mengancam mereka semua? Aji yang berdiri di luar makam itu, wajahnya pucat pasi, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Mbak Murni, keluar

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 28. Kutukan

    Lasmi menoleh cepat setelah mendengar suara keras gelas yang terjatuh ke lantai. Segera iamenghampiri Murni, matanya membelalak saat melihat pecahan gelas yang berserakan di lantai. Ia berjongkok, hendak memungut serpihan kaca, namun tangannya berhenti ketika menyadari pola aneh yang terbentuk di lantai dari retakan gelas itu. Simbol itu menyerupai lingkaran dengan garis-garis rumit di dalamnya, seperti sebuah gambar yang.... dia tak asing. “Murni, apa ini?” Lasmi bertanya dengan suara bergetar. Murni tidak menjawab. Tubuhnya membeku, matanya terpaku pada serpihan-serpihan gelas yang berserak di lantai. Aji, yang berdiri di dekat pintu, juga mendekat, keningnya berkerut dalam kebingungan. “Mbak, ini... ini bukan kebetulan. Apa mungkin ini ada hubungannya dengan apa yang kita temukan di makam tadi?” Murni menggeleng perlahan, matanya berkaca-kaca. “Mbak ndak tahu, Ji. Tapi... rasanya seperti ada sesuatu yang mengikuti kita sejak saat itu.” Lasmi menoleh ke arah Aji. “Apa yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 29. Menemui Kyai Hasan

    Murni mundur perlahan, menatap ibunya dengan mata membelalak. “Jadi... Bapak... dia—” “Dia telah melakukan sesuatu yang begitu besar, Murni,” potong Lasmi. “Dan sekarang apa yang dulu ia simpan, kembali untuk menuntut balas.” Aji menggertakkan giginya, mencoba mengatasi rasa takut yang semakin besar. “Kalau memang yang diambil Mbak Murni itu adalah segel, itu artinya kita bisa mengembalikannya, kan, Bu? Kita harus mengakhiri semua ini.” “Tidak sesederhana itu, Aji,” jawab Lasmi, suaranya mulai gemetar. “Segel itu telah rusak, dan semua jiwa yang terpenjara itu, kini terbebas. Satu-satunya cara adalah mencari cara untuk menenangkan mereka... atau kita semua akan binasa.” Murni terduduk di lantai, menggenggam erat kain ujung bajunya. Apa yang telah dilakukannya? pikirnya. "Baiklah, jika memang itu yang harus dilakukan. Aji, ayo ikut Mbak!" Murni

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 30. Rumah Tua

    "Apakah aku mengatakan jika Murni harus pergi?" sela Kyai Hasan. "Dan kamu, Murni. Apakah aku mengizinkan kamu membuka buntalan itu? Atau mengizinkan kamu kembali ke tempat itu lagi? Tidak kan?" tegas Kyai Hasan. "Tapi kenapa, Kyai?" tanya Murni. "Karena bukanlah hal itu yang aku inginkan," jawab Kyai Hasan santun. Aji maju mundur, ia ingin percaya pada sang Kyai, tapi rasa ragu pun kini juga telah hinggap di hatinya. "Tapi, Kyai.... Pak Kasnan...." Melihat ekspresi sedih dan juga takut di wajah Aji, Kyai Hasan segera bertanya, "Kasnan? Kenapa Kasnan?" "Pak Kasnan meninggal, Kyai," jawab Aji. "Jasadnya masih di rumah, dan sungguh Kyai... dia mati dengan mengerikan." "Astaghfirullah... Kenapa kalian baru mengatakanya sekarang?" Kyai Hasan berucap. "Sekarang kita ke rumahmu, Aji." "Untuk apa?" sergah Lasmi dengan suara meninggi. "Kamu senang, kan?"

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 31. Karsono

    Murni menggigit bibirnya, mencoba menahan gemetar di tubuhnya. Ia melangkah masuk lebih dalam ke rumah itu, sementara Kyai Hasan menyalakan lebih banyak lampu minyak, menerangi ruangan yang penuh dengan bayangan mencekam. Murni menatap setiap sudut, merasakan kehadiran yang berat, seolah-olah rumah itu mengawasinya. "Bagaimana aku harus menghadapi mereka, Kyai?" tanya Murni dengan suara bergetar. "Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana." Kyai Hasan mengeluarkan sebuah kain lusuh dari dalam tasnya. Di dalamnya terdapat sebuah cincin kuno berwarna keemasan, dihiasi batu merah yang memancarkan kilau aneh di bawah cahaya lampu. "Ini," ucap Kyai Hasan sambil menyerahkan cincin itu pada Murni. "Ini adalah milik Karsono. Cincin ini menyimpan jejak perjanjiannya. Ia adalah kunci untuk membuka jalanmu berhadapan dengan mereka." Murni menatap cincin itu dengan ngeri. "Apa yang harus aku lakukan dengan ini?" "Pakailah," jawab Kyai Hasan. "Cincin ini akan membantumu memanggil mereka. Tap

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 32. Tipu Muslihat

    “Itu… itu suara Bapak, Kyai. Tapi… bagaimana mungkin?” Dari sudut ruangan yang gelap, muncul sesosok bayangan samar. Bayangan itu perlahan membentuk pocong Raharjo. “Murni… kau sudah terlalu jauh dalam perjalanan ini,” ucap Harjo dengan suara lembut. “Aku tahu kau ingin mengakhiri kutukan keluarga kita, tapi kau tak perlu mengorbankan dirimu seperti ini.” Murni terisak. “Bapak… Bapak tahu apa yang keluarga kita alami. Semua ini karena perbuatan Kakek. Aku harus menyelesaikannya. Kalau tidak, kutukan ini akan terus menghantui kita!” Raharjo mengangguk perlahan, kemudian kembali membuka mulutnya lebar-lebar. “Aku tahu, Nak. Tapi dengarkan aku. Apa yang kau lawan bukan hanya Karsono atau arwah-arwah ini. Ada kekuatan yang jauh lebih besar, sesuatu yang bahkan Kakekmu sendiri tidak bisa kendalikan.” Murni memandang ayahnya dengan bingung. “Apa maksud Bapak? Apa yang lebih besar dari ini semua?” "Apa yang dia berikan padamu, bukan hanya kunci untuk memanggil mereka. Sedangkan apa yan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 33. Kebenaran

    Suara lonceng perak itu terhenti di udara. Raharjo, dengan kain kafan yang tersibak angin, berdiri di hadapan Lasmi yang kini terpojok di bawah bayangan pohon tua. Tubuh Lasmi gemetar, tetapi sorot matanya masih dipenuhi ambisi yang menyala. "Kau pikir bisa menghentikan aku, Raharjo? Aku adalah pewaris sejati kekuatan ini! Kau hanya bayangan yang tersisa dari salah satu.... hmmm... tumbal!" serunya dengan suara melengking, yang kemudian diikuti oleh tawa yang terdengar nyaring. "Hahhahaha!!" Raharjo mendekat perlahan, suara langkah kakinya yang berat terdengar seperti genderang kematian. "Lasmi, ini bukan tentang siapa yang pantas atau tidak. Kekuatan ini... adalah kutukan, bukan warisan. Dan kau telah menyalahgunakannya untuk hal yang lebih buruk daripada yang pernah Karsono lakukan." Lasmi tertawa getir, meskipun caira merah menetes dari sudut bibirnya karena efek serangan balik dari Raharjo yang memakan boneka kain itu. "Kau tidak mengerti, Raharjo. Aku tidak takut pada kutuk

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 34. Belum Usai

    Malam itu, meskipun Murni telah menemukan sedikit kedamaian dalam pelukan Kyai Hasan, bayangan kelam dari apa yang telah terjadi masih menghantui pikirannya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap yang sedang mengintai, menunggu untuk menghancurkan apa pun yang menjadi penghalang. Sementara itu, di luar rumah, hujan turun deras, seolah ikut meratapi nasib yang tak dapat dihindari. Lasmi, yang sebelumnya telah terpojok dalam cengkeraman Sangkalana, kini masih berdiri di bawah pohon tua yang bersaksi bisu atas kekalahan besarnya. Namun, hatinya yang penuh ambisi dan kebencian tidak akan mudah menyerah begitu saja. Ia telah memanggil Sangkalana, makhluk kegelapan yang begitu kuat, dan meskipun makhluk itu menghancurkan banyak harapannya, Lasmi tidak pernah berniat untuk menyerah. Di tengah kabut pekat yang mulai menyelimuti di sekelilingnya, tubuh Lasmi yang terluka terbungkus dalam kekosongan yang dalam. Ia berbisik, mengucapkan mantra yang telah lama ia simpan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14

Bab terbaru

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 147. TAMAT

    Laras & Sopir Truk: Lolos dari Teror PocongSopir truk itu menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram setir erat-erat. Laras menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Keduanya sama-sama tahu bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.Jalanan semakin menurun tajam, membuat truk melaju lebih kencang. Namun, ketika sopir menoleh ke spion, jantungnya hampir berhenti berdetak.Sosok pocong itu masih ada di sana. Melompat-lompat, mendekat semakin cepat. Tubuhnya yang membusuk bergerak tidak wajar, sementara mulutnya yang menganga terus mengeluarkan suara parau:"Kembaaliii... Kembaaliiii...."Laras mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat, air mata mulai menggenang di matanya. "Pak, jangan berhenti! Tolong, jangan berhenti apa pun yang terjadi!"Sopir truk mengangguk cepat, meskipun keringat dingin sudah membasahi dahinya. "Saya nggak akan berhenti, Mbak! Pegangan yang kuat!"Truk terus melaju di jalanan gelap, melewati tikungan demi tiku

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 146. Perjalanan

    Sopir truk itu mengguncang tubuh Laras dengan cemas. "Mbak! Sadar, Mbak! Kamu dari mana?! Kok tiba-tiba muncul dari hutan?!" Laras terhuyung sedikit, kesadarannya masih berkabut. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya. Ia menatap sopir itu dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik dengan suara serak. "Tolong ... Bawa saya pergi dari sini, Pak." Sopir itu mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Mbak, kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak habis lihat setan!" Laras menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. Bayangan Joni, Rani, dan Damar masih jelas di pikirannya. Bisikan-bisikan itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa lelah, begitu lelah, dan satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. "Aku nggak mau ada di sini lagi." suaranya lirih, hampir seperti rintihan. "Tolong, Pak ... Cepat pergi." Sopir itu menatapnya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo naik. Tapi, kita mau ke mana, Mbak?" "P

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 145. Keluar

    Laras berdiri di depan rumah kecil Pak Warso, merapikan tas ransel yang menggantung di punggungnya. Malam masih menyisakan sisa dingin, dan kabut tipis mengambang di antara pepohonan desa.Pak Warso menghela napas panjang, menatap Laras dengan mata penuh pemahaman. “Jadi, kamu benar-benar mau pergi?”Laras mengangguk. “Saya sudah nggak punya alasan untuk tetap tinggal di sini, Pak.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.Darto dan Giman, yang berdiri tak jauh darinya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Darto bicara, “Laras, kami ngerti, Nduk. Setelah kedua temanmu, Joni dan Rani …” Ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Nama kedua temannya itu kini hanya tinggal bayang-bayang di tempat terkutuk yang tak boleh lagi mereka datangi.“Dan sekarang Damar juga menghilang.” Suara Laras semakin kecil. Hatinya terasa berat. Damar adalah satu-satunya harapan yang tersisa, satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tapi kini ia juga sudah pergi, entah hilang dalam

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 144. Memilih

    Damar berdiri kaku di depan rumah tua itu. Ucapannya masih menggantung di udara, sementara Joni dan Rani menunggu tanpa sedikit pun bersuara—atau mungkin, dengan harapan licik bahwa Damar akan menyerah. Angin malam berembus pelan, membawa bisikan dari sebuah tempat gelap yang tak terlihat. Rumah tua itu seakan bernapas, meresapi kebimbangan Damar untuk memilih. "Setiap kutukan butuh penebus." Kata-kata yang terucap dari mulut Joni terus bergema di kepalanya. Apakah benar-benae harus seperti itu? Jika ingin bebas, ia harus menyerahkan seseorang lainnya sebagai gantinya. Satu nama pun seketika melintas di benaknya—Laras. Damar memejamkan mata, mengingat bagaimana Laras menatapnya dengan penuh cinta, tetapi juga sarat ketakutan. Ia tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Ia tak ingin Laras menjadi bagian dari kegelapan yang saat ini membelenggunya. Alih-alih menjadikan Laras sebagai penebus, Damar justru berkeinginan untuk kembali bersamanya. Keinginan itu begitu kuat hingga mampu mem

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 143. Perpisahan

    Darto menoleh cepat, matanya menajam ke arah Laras. “Apa maksudmu, Laras?”Laras menggigit bibir, suaranya bergetar saat berbicara. “Damar… dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”Mbah Rebo mengetukkan tongkat kayunya ke tanah tiga kali lagi. Suara ketukan itu menggema di udara, seolah memantul dari sesuatu yang tak terlihat. Angin semakin kencang, membuat dedaunan kering berputar-putar di sekitar mereka.“Jangan panik,” ujar Mbah Rebo tenang, meski matanya waspada. “Tetap dekat dan jangan sampai ada yang terpisah.”Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara gemerisik. Seperti seseorang yang berjalan di atas dedaunan kering.Giman menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin mendekat.Laras menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Perlahan, dari balik batang pohon yang besar, sesosok bayangan muncul.Damar.Pakaian yang dikenakannya sama seperti terakhir kali Laras melihatnya—kemeja putih yang kini lusuh dan sobek di beberapa

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 142. Mencari Petunjuk

    Pagi menjelang dengan lambat, membawa serta kabut tipis yang menggantung di udara desa. Darto menguap lebar, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Warso duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyisakan ketegangan semalam. Sementara itu, Laras tertidur di tikar dengan nafas berat, tubuhnya masih terasa lemah setelah apa yang terjadi.Mbah Rebo, yang sedari tadi duduk bersila sambil memegang tongkat kayunya, menghela napas panjang. “Kita tak bisa berdiam diri. Meski makhluk itu sudah pergi, aku yakin ia belum benar-benar menyerah.”Warso mengangguk pelan. “Jadi apa yang harus kita lakukan, Mbah?”Orang tua itu menatap ke luar jendela. “Aku harus mencari tahu siapa makhluk itu dan mengapa ia begitu menginginkan Laras. Ada sesuatu yang belum terungkap.”Darto menelan ludah. “Mbah … tadi malam, sebelum makhluk itu muncul, Laras sempat menyebut nama Damar. Apakah mungkin … Damar benar-benar ada hubungannya dengan ini?”Mbah Rebo terdiam sejenak. “Mungkin. Kita harus mencari t

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 141. Mengawasi dan Menunggu

    Warso mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Napasnya tersengal, sementara matanya terus mengawasi Laras yang kini terkulai di tikar.“Darto, kita nggak bisa nunggu lebih lama. Kita harus cari orang pintar buat nolongin Laras,” katanya dengan suara parau.Darto mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Giman, kamu ikut aku. Kita cari Mbah Rebo.atau siapa pun yang bisa bantu.”Giman tampak ragu, tapi melihat kondisi Laras, ia akhirnya mengangguk. “B-baik. Tapi cepat ya, aku nggak mau kalau harus lama-lama menunggu di luar.”Darto dan Giman segera keluar, meninggalkan Warso yang berjaga di samping Laras. Malam semakin pekat, udara terasa berat. Warso merapatkan jaketnya, mencoba mengusir hawa dingin yang entah berasal dari cuaca atau sesuatu yang lain.Tiba-tiba, Laras menggeliat. Kelopak matanya terbuka perlahan. Namun, ketika Warso menatap wajahnya, jantungnya hampir berhenti berdetak.Mata Laras kini bukan hanya hitam, tetapi juga dipenuhi urat-urat merah yang men

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 140. Rasuk

    Darto, Warso, dan Giman semakin panik ketika mereka melihat Laras yang terus menatap bayangan Damar dengan mata berkaca-kaca. Angin bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah dan anyir yang menusuk hidung. Tiba-tiba, Laras tersentak. Tubuhnya menegang, matanya membelalak. Seakan ada sesuatu yang saat ini tengah menghantam jiwanya. “Laras?!” Warso mengguncang bahunya dengan cukup keras. Namun, Laras sama sekali tidak memberikan reaksi. Ia malah tersenyum lebar—senyum yang bukan miliknya. Senyum itu terlalu lebar, terlalu dingin, terlalu menyeramkan. "Damar … aku akan ikut bersamamu ...." Suaranya terdengar jauh, bergema seperti bukan berasal dari dirinya sendiri. Tak lama kemudian, tubuhnya terhuyung ke belakang dan dalam sekejap, ia tertawa. Suara tawanya melengking tinggi, bergema di udara malam. Tawa yang tentu saja itu bukan milik Laras. Giman mundur dengan napas memburu. “To, Darto, bocah ini ... dia kesurupan!” Darto menggertakkan giginya. Ia pernah melihat kej

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 139. Menolak

    Damar menggertakkan giginya. "Tidak mungkin! Kita masih hidup! Kalian berdua yang sudah mati!" Rani mengangkat tangannya perlahan. Seketika, kabut pekat muncul dari tanah, mengelilingi mereka. Laras menjerit saat tubuhnya mulai terasa ringan, seakan ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Damar berusaha meraihnya, tetapi tiba-tiba semuanya berubah. Mata Damar membelalak. Ia tidak lagi berada di hutan. Sekelilingnya kini adalah lorong rumah tua yang gelap, dindingnya dipenuhi coretan-coretan aneh. Bau anyir menyengat hidungnya. Laras berdiri di sampingnya, tubuhnya gemetar, matanya menatap lurus ke depan. Di ujung lorong, sesosok tubuh tergantung di langit-langit. Sosok itu berayun pelan, mengenakan baju yang sama seperti yang Damar kenakan. Jantung Damar seakan berhenti berdetak. Itu dirinya sendiri. "Laras... A-apa yang terjadi...?" Laras tidak menjawab. Dia hanya menoleh perlahan ke arah Damar, matanya berubah hitam legam, bibirnya menyeringai lebar. “Kamu sudah mati, Damar.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status