Murni menggigit bibirnya, mencoba menahan gemetar di tubuhnya. Ia melangkah masuk lebih dalam ke rumah itu, sementara Kyai Hasan menyalakan lebih banyak lampu minyak, menerangi ruangan yang penuh dengan bayangan mencekam. Murni menatap setiap sudut, merasakan kehadiran yang berat, seolah-olah rumah itu mengawasinya. "Bagaimana aku harus menghadapi mereka, Kyai?" tanya Murni dengan suara bergetar. "Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana." Kyai Hasan mengeluarkan sebuah kain lusuh dari dalam tasnya. Di dalamnya terdapat sebuah cincin kuno berwarna keemasan, dihiasi batu merah yang memancarkan kilau aneh di bawah cahaya lampu. "Ini," ucap Kyai Hasan sambil menyerahkan cincin itu pada Murni. "Ini adalah milik Karsono. Cincin ini menyimpan jejak perjanjiannya. Ia adalah kunci untuk membuka jalanmu berhadapan dengan mereka." Murni menatap cincin itu dengan ngeri. "Apa yang harus aku lakukan dengan ini?" "Pakailah," jawab Kyai Hasan. "Cincin ini akan membantumu memanggil mereka. Tap
“Itu… itu suara Bapak, Kyai. Tapi… bagaimana mungkin?” Dari sudut ruangan yang gelap, muncul sesosok bayangan samar. Bayangan itu perlahan membentuk pocong Raharjo. “Murni… kau sudah terlalu jauh dalam perjalanan ini,” ucap Harjo dengan suara lembut. “Aku tahu kau ingin mengakhiri kutukan keluarga kita, tapi kau tak perlu mengorbankan dirimu seperti ini.” Murni terisak. “Bapak… Bapak tahu apa yang keluarga kita alami. Semua ini karena perbuatan Kakek. Aku harus menyelesaikannya. Kalau tidak, kutukan ini akan terus menghantui kita!” Raharjo mengangguk perlahan, kemudian kembali membuka mulutnya lebar-lebar. “Aku tahu, Nak. Tapi dengarkan aku. Apa yang kau lawan bukan hanya Karsono atau arwah-arwah ini. Ada kekuatan yang jauh lebih besar, sesuatu yang bahkan Kakekmu sendiri tidak bisa kendalikan.” Murni memandang ayahnya dengan bingung. “Apa maksud Bapak? Apa yang lebih besar dari ini semua?” "Apa yang dia berikan padamu, bukan hanya kunci untuk memanggil mereka. Sedangkan apa yan
Suara lonceng perak itu terhenti di udara. Raharjo, dengan kain kafan yang tersibak angin, berdiri di hadapan Lasmi yang kini terpojok di bawah bayangan pohon tua. Tubuh Lasmi gemetar, tetapi sorot matanya masih dipenuhi ambisi yang menyala. "Kau pikir bisa menghentikan aku, Raharjo? Aku adalah pewaris sejati kekuatan ini! Kau hanya bayangan yang tersisa dari salah satu.... hmmm... tumbal!" serunya dengan suara melengking, yang kemudian diikuti oleh tawa yang terdengar nyaring. "Hahhahaha!!" Raharjo mendekat perlahan, suara langkah kakinya yang berat terdengar seperti genderang kematian. "Lasmi, ini bukan tentang siapa yang pantas atau tidak. Kekuatan ini... adalah kutukan, bukan warisan. Dan kau telah menyalahgunakannya untuk hal yang lebih buruk daripada yang pernah Karsono lakukan." Lasmi tertawa getir, meskipun caira merah menetes dari sudut bibirnya karena efek serangan balik dari Raharjo yang memakan boneka kain itu. "Kau tidak mengerti, Raharjo. Aku tidak takut pada kutuk
Malam itu, meskipun Murni telah menemukan sedikit kedamaian dalam pelukan Kyai Hasan, bayangan kelam dari apa yang telah terjadi masih menghantui pikirannya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap yang sedang mengintai, menunggu untuk menghancurkan apa pun yang menjadi penghalang. Sementara itu, di luar rumah, hujan turun deras, seolah ikut meratapi nasib yang tak dapat dihindari. Lasmi, yang sebelumnya telah terpojok dalam cengkeraman Sangkalana, kini masih berdiri di bawah pohon tua yang bersaksi bisu atas kekalahan besarnya. Namun, hatinya yang penuh ambisi dan kebencian tidak akan mudah menyerah begitu saja. Ia telah memanggil Sangkalana, makhluk kegelapan yang begitu kuat, dan meskipun makhluk itu menghancurkan banyak harapannya, Lasmi tidak pernah berniat untuk menyerah. Di tengah kabut pekat yang mulai menyelimuti di sekelilingnya, tubuh Lasmi yang terluka terbungkus dalam kekosongan yang dalam. Ia berbisik, mengucapkan mantra yang telah lama ia simpan
Malam semakin larut, tapi ketenangan yang diharapkan di rumah Lasmi tak kunjung datang. Murni duduk di sudut ruangan, berusaha menghilangkan beban pikirannya. Ia memeluk lututnya, pandangannya kosong menatap jendela. Hujan mulai reda, namun suara rintik yang tersisa menciptakan irama yang seolah mencemooh keputusasaan di dalam rumah itu. Lasmi, setelah memastikan Aji sudah tertidur di kamarnya, melangkah pelan menuju dapur. Namun, alih-alih menyiapkan sesuatu, ia hanya berdiri di sana, menatap pisau dapur yang tergantung di dinding. Matanya kosong, tapi ada sebuah kilatan gelap yang bersembunyi di balik pupilnya. Ia tak memedulikan bayangan kelam yang semakin nyata di sudut ruangan. Sangkalana ada di sana, bersembunyi dalam bayang-bayang, memerhatikan dan menunggu. "Lasmi," suara berat itu menggetarkan udara di sekitarnya. Lasmi berbalik dengan cepat, meski ia sudah menduga siapa yang memanggilnya. Sosok Sangkalana, meskipun hanya berupa bayangan samar, tampak semakin nyata. Mat
Lasmi berdiri terpaku di tempatnya. Tubuhnya lemas, napasnya tersengal. Matanya kosong, penuh keputusasaan. Murni memeluk Aji erat-erat, berusaha menenangkan dirinya sendiri, sementara adiknya masih menggigil akibat kejadian tadi. “Ibu… kenapa Ibu tega melakukan ini?” suara Aji pecah, penuh kemarahan dan kekecewaan. Ia menatap ibunya dengan tatapan yang tak pernah ia gunakan sebelumnya—tatapan seorang anak yang dikhianati oleh orang yang seharusnya melindunginya. “Ibu nggak punya pilihan, Aji,” bisik Lasmi, suaranya serak. “Semua yang Ibu lakukan ini demi kalian…” “Demi kami?” Murni memotong, suaranya meninggi, tangannya terkepal. “Demi kami, Ibu menyerahkan kami ke makhluk itu? Ibu memanggil iblis ke rumah kita, Ibu membahayakan nyawa kita? Ini semua demi Ibu sendiri!” Lasmi menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. "Kalian tidak akan mengerti. Dunia ini tidak adil. Aku hanya ingin kita hidup lebih baik—" “Hidup lebih baik?” potong Aji dengan suara keras. “Apa gunanya
Aji menahan napas, tubuhnya gemetar saat suara langkah berat Sangkalana terdengar semakin dekat. Dinding gubuk yang lapuk bergetar setiap kali makhluk itu bergerak. Suara napasnya yang berat dan serak bergema, membuat bulu kuduk Aji dan Murni berdiri. “Dia… dia sudah di luar!” bisik Murni, hampir tak terdengar, sambil mencengkeram lengan Aji erat. Aji berdiri di depan Murni, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya sendiri dipenuhi ketakutan. Ia tahu tidak ada yang bisa mereka lakukan. Mereka terjebak di gubuk tua itu tanpa jalan keluar. “Dengar, Mbak,” bisik Aji, berusaha tetap tenang meski suaranya bergetar. “Apa pun yang terjadi, jangan lepaskan tanganku. Kita akan hadapi ini bersama.” Tiba-tiba, suara dentuman keras terdengar. Pintu gubuk itu bergetar hebat, hampir copot dari kayu yang menahannya. Sangkalana mulai menghantam pintu kayu itu berkali-kali dan terus mencoba untuk masuk. Setiap pukulannya membuat debu beterbangan dan kayu pintu retak sedikit demi sedikit. “Dia
Pria tua itu berjalan semakin dekat, tubuhnya yang bungkuk menambah misteri sosok yang muncul di tengah kegelapan malam itu. Aji, yang masih memeluk tubuh Murni dengan cemas, menatap pria itu dengan rasa tak percaya. Sepertinya dia pernah melihatnya, meskipun dia sendiri tak dapat langsung mengingatnya. "Siapa... siapa itu?" bisik Aji lagi, suara seraknya hampir tenggelam oleh suara langkah berat Sangkalana yang semakin dekat. Pria tua itu berhenti beberapa langkah di depan mereka. Aji menatap lebih dalam, dan matanya tiba-tiba terbuka lebar saat mengenali pria tersebut. Itu adalah Prawiro, pria yang dulu ditemui Murni di kuburan Bapaknya—Raharjo. Sosok yang penuh misteri dan sepertinya memiliki hubungan yang lebih dalam dengan keluarga mereka. "Bapak..." gumam Aji, suaranya bergetar. "Bapak ini... yang dulu bertemu dengan Mbak Murni di kuburan Bapak, kan?" Pria tua itu tersenyum tipis, meski senyumnya tidak mengandung kebahagiaan. "Anak-anak Harjo... kalian berada dalam bahaya
Lima tahun telah berlalu sejak mereka berhasil mengalahkan Lindung Sukma dan mengembalikan kedamaian di Desa Juwono. Desa itu kini berubah menjadi tempat yang lebih sejahtera dan harmonis. Sawah-sawah yang dulunya terbengkalai kini menghijau, sungai yang sebelumnya keruh mengalir jernih, dan udara yang dulu dipenuhi ketakutan kini beraroma segar dan penuh harapan.Murni, yang telah menyembuhkan banyak luka batin akibat masa lalu kelam desa itu, kini menjalani hidup yang lebih tenang. Ia sudah mulai menemukan kedamaian dalam dirinya. Kehidupan baru yang lebih cerah juga hadir dalam bentuk Joko, seorang pria muda yang telah mencuri perhatian Murni sejak beberapa tahun lalu. Joko adalah seorang petani muda yang bekerja keras, namun juga memiliki hati yang baik. Ia tidak pernah ragu untuk membantu orang lain, dan senyumnya selalu memberikan rasa damai bagi siapa saja yang melihatnya.Murni, yang tadinya lebih tertutup dan melawan rasa sakit yang datang dari dalam, mulai merasa nyaman bera
Kabut hitam semakin pekat, seolah mencengkeram seluruh dunia mereka. Pusaran kekuatan Lindung Sukma semakin kuat, menarik mereka lebih dekat ke dalam kegelapan yang mengancam. Tanah di bawah kaki mereka bergetar hebat, dan suara gemuruh yang datang dari dalam makam semakin menakutkan, seakan dunia ini akan runtuh.“Kita harus segera menghadapinya!” teriak Kyai Hasan, suaranya penuh tekad.“Apa yang harus kita lakukan?” Murni berteriak, tubuhnya mulai terasa lelah dan nyaris tak bisa bergerak. Tangan bayangan yang terus menerjangnya membuatnya semakin merasa terhimpit.“Kita harus menghancurkan inti kekuatannya, sumber dari kebencian dan kerusakan ini!” Kyai Hasan berlari ke arah batu nisan besar yang terletak di tengah lingkaran sulur hitam. Ia memegang kerisnya dengan erat, menatap Aji dan Murni yang masih bertahan melawan bayangan.“Tolong bantu aku!” Kyai Hasan memanggil mereka.Aji dan Murni segera menyusul Kyai Hasan, berlari melewati tanah yang terpecah-pecah dan tangan bayangan
Kabut semakin tebal saat mereka melangkah menuju makam tua yang disebut Kyai Hasan. Hutan itu terasa seperti labirin yang hidup, dengan suara-suara aneh yang terdengar dari segala arah. Pohon-pohon besar melengkung seperti sosok yang mengintai, dan udara dingin mencubit kulit mereka.“Kyai, apa yang sebenarnya ada di makam itu?” tanya Aji, mencoba memecah kesunyian yang menyesakkan.“Lindung Sukma adalah roh penjaga yang diciptakan untuk melindungi tanah ini di masa lalu,” jelas Kyai Hasan. “Namun, ketika keserakahan manusia menghancurkan keseimbangan alam, roh itu berubah menjadi kekuatan gelap. Sekarang, ia menjadi sumber dari semua kutukan ini.”“Apa mungkin kita bisa mengalahkan sesuatu yang sekuat itu?” tanya Murni ragu.“Kita harus mencobanya,” jawab Kyai Hasan tegas. “Kita tidak punya pilihan lain.”Setelah berjalan beberapa jam, mereka tiba di depan sebuah gerbang batu yang besar dan berlumut. Gerbang itu dihiasi dengan ukiran simbol-simbol aneh, mirip dengan yang mereka lihat
Murni dan Aji terus melangkah, meninggalkan rumah yang penuh tipuan itu. Mereka tahu perjuangan belum selesai. Desa Juwono masih dipenuhi misteri yang membelit, dan setiap sudutnya mengintai bahaya tak terduga.Kabut semakin pekat, membuat pandangan mereka terbatas. Langkah-langkah kecil terasa berat karena tanah berlumpur yang seakan menahan kaki mereka. Namun, tekad untuk menghentikan kutukan yang melanda desa terus memacu keberanian mereka.Saat mereka menyusuri jalan setapak yang sepi, terdengar suara-suara bisikan aneh dari arah pepohonan. Murni dan Aji berhenti, menatap sekitar dengan waspada. Pohon-pohon besar yang menjulang tampak seperti sosok hidup, ranting-rantingnya melambai-lambai seolah ingin menangkap mereka.“Jangan menoleh ke belakang, Ji,” bisik Murni.Aji mengangguk, tetapi tubuhnya gemetar. Ia bisa merasakan sesuatu mengikuti mereka, namun ia berusaha fokus pada langkah di depannya. Tiba-tiba, angin dingin bertiup kencang, membawa aroma busuk yang menusuk hidung. D
Murni dan Aji terus melangkah tanpa arah yang jelas, menyusuri jalan setapak yang penuh duri dan akar-akar pohon menjulur. Hutan itu gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang remang-remang. Udara malam begitu dingin, seakan membekukan harapan yang tersisa. Tapi, di tengah keheningan itu, tekad untuk kembali ke desa mereka terus memupuk keberanian dalam hati.Setelah berjalan selama berjam-jam, mereka tiba di sebuah pondok kecil di tengah hutan. Pondok itu tampak tua dan nyaris roboh, tapi pintunya sedikit terbuka, mengisyaratkan kehadiran seseorang di dalamnya. Murni ragu sejenak, tapi kemudian mengetuk pintu dengan hati-hati.“Siapa di luar sana?” Suara tua dan serak terdengar dari dalam.“Kami… kami hanya butuh tempat untuk beristirahat,” jawab Murni dengan suara gemetar.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria tua berambut putih kusut dengan jubah panjang yang tampak usang. Sorot matanya tajam, tapi ada kehangatan yang tersembunyi di balik kerut wajahnya. Ia memandang Mu
Murni menarik Aji keluar dari kamar melalui pintu belakang, seperti yang diperintahkan Raharjo. Langkah mereka tergesa-gesa, namun bayangan dingin yang mengikuti di belakang mereka semakin menambah beban di dada. Setiap langkah terasa berat, udara malam yang dingin menusuk tulang, dan suara-suara samar di kejauhan mengiringi mereka, seperti bisikan yang tak dapat dimengerti.Aji meremas tangan kakaknya dengan kuat, takut kehilangan pegangan. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya sedikit gemetar. “Mbak, sebenarnya siapa yang benar, dan siapa yang salah? Siapa yang teman dan siapa yang lawan?"Murni menoleh sejenak ke arah adiknya, namun pandangannya tertuju ke bayangan biru samar di kejauhan. Prana masih ada di sana, seperti melayang-layang, menjaga jarak namun tetap mengikuti mereka dengan langkah perlahan. Bayangan itu seperti pilar harapan yang menjulang di tengah kegelapan, meskipun aura misteriusnya tidak sepenuhnya membawa rasa aman."Sama sepertimu, Mbak juga masih bertanya-tanya, Ji.
Murni menarik Aji ke belakang, tubuhnya gemetar hebat. Sosok di ambang pintu tetap diam, hanya menatap mereka dengan mata merah menyala. Suara napasnya terdengar berat, bergema di dalam rumah kosong itu. “Aji, jangan lihat ke arahnya!” bisik Murni, berusaha menyembunyikan ketakutannya. Ia melangkah mundur, perlahan menjauh dari pintu. Sebaliknya, Aji tak bisa mengalihkan pandangannya, seolah terhipnotis oleh tatapan makhluk itu. “Keluar…” Suara serak menggema dari sosok itu, pelan namun penuh ancaman. Kata itu seperti memerintah, memaksa, mengikat mereka dalam ketakutan. Murni menggeleng cepat. “Kita tidak boleh keluar! Pak Prawiro bilang jangan keluar!” Ia memeluk Aji erat, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya sendiri gemetar tanpa henti. Sosok itu melangkah maju, kain kafannya berderak pelan seiring gerakannya. Setiap langkahnya membuat udara di dalam ruangan semakin dingin. Kabut tipis mulai merembes masuk melalui celah-celah dinding, membawa bau anyir yang membuat Murni mua
Murni dan Aji mengikuti Prawiro dengan langkah ragu, menembus hutan yang semakin gelap dan sunyi. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah tanah di bawah kaki mereka mencoba menahan perjalanan mereka. Namun, tatapan tegas Prawiro memberikan rasa aman meski hanya sedikit. Obor kecil di tangannya menjadi satu-satunya sumber cahaya di tengah kegelapan malam. "Apa desa itu benar-benar aman, Pak?" tanya Murni, suaranya pelan namun penuh kekhawatiran. "Selama kalian berada di bawah perlindunganku, kalian akan aman," jawab Prawiro tanpa menoleh. Suaranya tegas, namun ada nada ketegangan yang sulit disembunyikan. Aji, yang berjalan di samping Murni, menarik-narik lengan kakaknya. "Mbak, kenapa kita nggak langsung pulang saja? Kenapa harus ke desa itu?" Murni menunduk, mencoba memberikan senyum yang menenangkan kepada adiknya. "Percaya sama Mbak, Ji. Kita akan baik-baik saja." Namun, jawaban itu tidak cukup menenangkan Aji. Ia merasakan sesuatu yang aneh sejak pria tua itu muncul, meski i
Di tengah malam yang sunyi, di rumah kecil Raharjo tempat Murni dan Aji tinggal, suara aneh mulai terdengar dari luar. Angin berhembus kencang, menciptakan suara desis seperti bisikan yang menyeramkan. Di dalam rumah, Murni memeluk Aji yang tertidur di pangkuannya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi tidak tahu pasti apa itu. Tiba-tiba, lampu di rumahnya berkedip-kedip sebelum padam sepenuhnya. Suasana menjadi gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar-samar masuk melalui jendela. Dari luar, suara langkah berat terdengar, seolah ada sesuatu yang besar mendekat. Murni merasa napasnya tertahan, tubuhnya gemetar. Ia mencoba membangunkan Aji. Pintu rumah berderit pelan, lalu terbuka dengan sendirinya. Di ambang pintu, sosok itu muncul—Danyang. Tinggi, menyeramkan, dan mengeluarkan aura kegelapan yang begitu pekat. Matanya bersinar merah menyala, sementara tubuhnya diselimuti kabut hitam yang terus bergerak seperti hidup. Murni mundur, memeluk Aji erat-erat. "