Langkah Lasmi tertatih-tatih, kakinya terasa seperti terikat oleh beban yang tak terlihat. Tubuhnya lemas, namun ketakutan yang terus menggerogoti hatinya membuatnya tak bisa berhenti. Keinginan untuk melarikan diri, untuk menghindari apa pun yang mengancamnya, tetap memaksanya berjalan. Namun, semakin ia berjalan, semakin ia merasa ada sesuatu yang menariknya kembali, menariknya menuju tempat yang sebenernya paling ia takuti. Kuburan Raharjo. Lasmi menatap tanah yang berdebu di bawah kakinya, mencoba mencari jawaban di antara bebatuan kecil yang bertebaran di sepanjang jalan sempit itu. Suara langkah pocong Raharjo yang terus melompat mengejarnya masih terus terdengar. Hatinya semakin panas. Perasaan marah yang tak terungkapkan kini menguasai dirinya. Mengapa? Mengapa semuanya harus menjadi seperti ini? Mengapa dia harus terjebak dalam permainan setan? Di mana Tini? Dari semuanya itu, pikiran Lasmi kini hanya tertuju pada Aji, dan hanya Aji. Dengan keteguhan yang hampir tak bi
Dalam sekejap, tanah di sekitar kuburan itu retak, dan dari kedalaman bumi, sesuatu yang lebih besar mulai muncul. Itu adalah tubuh Raharjo yang membusuk, bergerak dengan gerakan yang mengerikan, seolah tubuhnya dipaksa untuk hidup kembali. Lasmi menutup matanya, berusaha menahan rasa takut yang merambat dalam dirinya. Tangan kedua muncul, menarik lebih keras. Kepala muncul berikutnya—sebuah wajah yang menyerupai Raharjo, tapi kulitnya sudah robek di beberapa bagian, memperlihatkan tulang putih di balik daging yang membusuk. Matanya kosong, hanya dua lubang hitam yang memancarkan hawa dingin dan kematian. Lasmi ingin mundur, tapi tubuhnya terasa beku. Dia hanya bisa menatap, menyaksikan makhluk itu perlahan bangkit dari liang kubur. Sosok Raharjo berdiri, tinggi, dengan tubuhnya yang tidak utuh lagi. Bau busuk semakin pekat, membuat Lasmi terbatuk dan hampir muntah. “Lasmi...” suara itu berat dan serak, seperti berasal dari neraka. “Kamu memanggilku... dan aku datang... bojoku..
Lasmi menyeret kakinya yang pincang, berusaha menahan perih di lututnya yang robek. Rasa lelah mendera tubuhnya, tetapi tekad untuk pulang mengalahkan semua rasa sakit itu. Malam semakin larut, dan suara jangkrik menjadi satu-satunya iringan perjalanan Lasmi di jalan setapak yang penuh kerikil. "Murni... Aji...," gumamnya yang terus melangkah menyeret kakinya. Sungguh, kakinya terasa begitu berat, seolah setiap langkahnya membawa kenangan buruk dari makam Raharjo. Hatinya masih dipenuhi rasa takut dan bingung—siapa sosok yang telah menyelamatkannya? Dan mengapa ia harus menghadapi teror Raharjo sendirian? Namun, semua pertanyaan itu tersingkir oleh wajah Murni dan Aji. Ketika ia melihat atap rumahnya dari kejauhan, rasa lega mulai mengisi dadanya. Tapi rasa lega itu segera berubah menjadi tangis yang tertahan ketika ia mendekati pintu. Di sana, Aji berdiri, memandang ibunya dengan wajah pucat penuh kekhawatiran. "Ibu?" suara Aji serak, gemetar. Lasmi jatuh berlutut di tanah.
Suara kentongan yang terus dipukul berkali-kali mengisi udara pagi Desa Juwono. Ketukan itu tak hanya memanggil perhatian warga, tetapi juga memancing rasa takut yang tiba-tiba mencengkeram. Suara-suara panik terdengar bersahut-sahutan dari luar, membuat Aji bergegas ke pintu, meninggalkan ibunya yang masih duduk di tempat tidur."Bu, Aji ke luar sebentar, ya," ujar Aji sebelum berlari keluar rumah tanpa menunggu jawaban.Lasmi ingin menyusul, tetapi tubuhnya masih terlalu lemah. Dengan susah payah, ia turun dari tempat tidur dan berjalan terpincang-pincang ke ruang tengah. Jantungnya berdegup kencang, terlebih saat mendengar suara teriakan warga semakin jelas dari luar."Apa yang terjadi?" gumamnya, lebih pada dirinya sendiri.Aji sudah berdiri di sana, di depan pintu kayu jati berukir dan menatap pada banyaknya orang yang berkerumun di jalan."Mak—makam Raharjo rusak! Hancur!" teriak seseorang dari ujung jalan."Tapi... siapa yang melakukannya?" suara lain menyusul dengan kekhawatir
"Murni!" "Murni!" Seru warga bersahut-sahutan melihat Murni yang kini sudah berada di dalam makam. Murni terengah-engah, tubuhnya hampir terjerembab di dalam liang kubur yang sudah terbuka lebar. Tanah yang lembap dan bau anyir semakin membuatnya merasa tercekik. Meski tangannya terasa kotor dan lelah, ia terus menggali, mengais tanah yang terasa berat di bawah jarinya. Setiap kali ia mengangkat tangan, tanah berjatuhan kembali, seolah kuburan itu menolak kehadirannya. "Aji... Aji, ndak ada apa-apa di sini!" teriaknya, suaranya tersendat di antara tangisan. "Tapi kenapa ini kosong?!" Keringat mengalir deras di wajahnya, tubuhnya gemetar, bukan hanya karena takut, tetapi juga karena rasa putus asa yang mendalam. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan makam ini, dengan kejadian ini. Namun, apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang mengancam mereka semua? Aji yang berdiri di luar makam itu, wajahnya pucat pasi, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Mbak Murni, keluar
Lasmi menoleh cepat setelah mendengar suara keras gelas yang terjatuh ke lantai. Segera iamenghampiri Murni, matanya membelalak saat melihat pecahan gelas yang berserakan di lantai. Ia berjongkok, hendak memungut serpihan kaca, namun tangannya berhenti ketika menyadari pola aneh yang terbentuk di lantai dari retakan gelas itu. Simbol itu menyerupai lingkaran dengan garis-garis rumit di dalamnya, seperti sebuah gambar yang.... dia tak asing. “Murni, apa ini?” Lasmi bertanya dengan suara bergetar. Murni tidak menjawab. Tubuhnya membeku, matanya terpaku pada serpihan-serpihan gelas yang berserak di lantai. Aji, yang berdiri di dekat pintu, juga mendekat, keningnya berkerut dalam kebingungan. “Mbak, ini... ini bukan kebetulan. Apa mungkin ini ada hubungannya dengan apa yang kita temukan di makam tadi?” Murni menggeleng perlahan, matanya berkaca-kaca. “Mbak ndak tahu, Ji. Tapi... rasanya seperti ada sesuatu yang mengikuti kita sejak saat itu.” Lasmi menoleh ke arah Aji. “Apa yang
Murni mundur perlahan, menatap ibunya dengan mata membelalak. “Jadi... Bapak... dia—” “Dia telah melakukan sesuatu yang begitu besar, Murni,” potong Lasmi. “Dan sekarang apa yang dulu ia simpan, kembali untuk menuntut balas.” Aji menggertakkan giginya, mencoba mengatasi rasa takut yang semakin besar. “Kalau memang yang diambil Mbak Murni itu adalah segel, itu artinya kita bisa mengembalikannya, kan, Bu? Kita harus mengakhiri semua ini.” “Tidak sesederhana itu, Aji,” jawab Lasmi, suaranya mulai gemetar. “Segel itu telah rusak, dan semua jiwa yang terpenjara itu, kini terbebas. Satu-satunya cara adalah mencari cara untuk menenangkan mereka... atau kita semua akan binasa.” Murni terduduk di lantai, menggenggam erat kain ujung bajunya. Apa yang telah dilakukannya? pikirnya. "Baiklah, jika memang itu yang harus dilakukan. Aji, ayo ikut Mbak!" Murni
"Apakah aku mengatakan jika Murni harus pergi?" sela Kyai Hasan. "Dan kamu, Murni. Apakah aku mengizinkan kamu membuka buntalan itu? Atau mengizinkan kamu kembali ke tempat itu lagi? Tidak kan?" tegas Kyai Hasan. "Tapi kenapa, Kyai?" tanya Murni. "Karena bukanlah hal itu yang aku inginkan," jawab Kyai Hasan santun. Aji maju mundur, ia ingin percaya pada sang Kyai, tapi rasa ragu pun kini juga telah hinggap di hatinya. "Tapi, Kyai.... Pak Kasnan...." Melihat ekspresi sedih dan juga takut di wajah Aji, Kyai Hasan segera bertanya, "Kasnan? Kenapa Kasnan?" "Pak Kasnan meninggal, Kyai," jawab Aji. "Jasadnya masih di rumah, dan sungguh Kyai... dia mati dengan mengerikan." "Astaghfirullah... Kenapa kalian baru mengatakanya sekarang?" Kyai Hasan berucap. "Sekarang kita ke rumahmu, Aji." "Untuk apa?" sergah Lasmi dengan suara meninggi. "Kamu senang, kan?"
“LARAS!” teriaknya putus asa.Laras meronta semakin kuat, tapi Rani hanya terkekeh pelan, kepalanya menunduk hingga hampir menyentuh wajah Laras. Suara tawa yang terdengar mengerikan, bercampur dengan hembusan angin dingin yang menusuk tulang. Laras menggelinjang di bawah cengkeraman makhluk itu, tubuhnya bergetar hebat. Damar, yang masih terguncang akibat hantaman tak terlihat tadi, merangkak dengan napas tersengal, matanya tak lepas dari Laras yang semakin tenggelam ke dalam tanah.Mulut Rani terbuka perlahan—terlalu lebar untuk ukuran manusia. Dari dalamnya, keluar kabut hitam pekat yang berputar-putar, menyelimuti wajah Laras. Napasnya terhenti, tubuhnya kaku, dan pikirannya mulai terasa berat, seolah ada sesuatu yang mencoba menarik kesadarannya pergi.Damar melihat itu semua dengan mata melebar ketakutan. Tidak, ia tidak akan membiarkan Rani mengambil Laras!"Lepaskan dia!" Damar menggeram, suaranya dipenuhi kemarahan dan ketakutan.Joni dan Rani hanya tertawa lebih keras, seola
Damar membuka matanya perlahan. Udara di sekelilingnya terasa dingin dan lembap, menusuk sampai ke tulang. Kepalanya terasa begitu berat, seperti baru saja ditarik dari mimpi buruk yang sangat panjang. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami situasi.Namun, yang pertama kali tertangkap oleh matanya bukanlah langit-langit rumah Darto, melainkan sebuah atap tua yang reyot, penuh dengan sarang laba-laba. Damar menelan ludah, rasa cemas menjalari tubuhnya."Laras ...?" bisiknya serak.Di sebelahnya, Laras menggeliat pelan, lalu perlahan membuka mata. Begitu ia melihat sekeliling, napasnya tercekat."Damar ... k-kita ... di mana ini?" suaranya bergetar, kepalanya menoleh ke kana dan ke kiri, menyadari jika saat ini mereka berdua telah berpindah tempat.Damar buru-buru bangkit dan segera menarik tangan Laras untuk duduk. Mereka berdua kini benar-benar sadar sepenuhnya—mereka tidak lagi berada di rumah Darto.Mereka ada di depan rumah tua itu. Rumah yang seharusnya telah mereka tinggalk
Asap hitam terus berputar, membentuk sosok yang semakin jelas di tengah kobaran api. Wajahnya berubah-ubah—kadang seperti seorang wanita dengan mata kosong yang penuh kebencian, kadang menyerupai tengkorak yang menganga dengan senyum mengerikan.Laras mundur selangkah, napasnya memburu. Damar meremas bahunya erat, berusaha menahan ketakutan yang menjalari tubuhnya.Tiba-tiba, sosok itu membuka mulutnya, mengeluarkan suara yang bukan milik manusia."Panas!! Beraninya kalian membakarnya?"Suaranya menggaung, bergema di seluruh ruangan, membuat dada mereka terasa sesak.Giman mengatupkan rahangnya rapat. "Kita harus mengusirnya sebelum semuanya terlambat!"Darto dengan sigap meraih segenggam garam dari kantong kecil di pinggangnya, lalu melemparkannya ke arah bayangan itu. "Pergi! Kau tidak punya tempat di sini!"Cesss!Begitu garam mengenai asap hitam itu, suara mendesis terdengar. Sosok tersebut bergetar hebat, mengeluarkan jeritan melengking yang membuat telinga mereka berdenging.Nam
"Dan ada bekas cakaran di wajahnya?" sela Giman.Laras tersentak. Matanya melebar, menatap Giman dengan penuh keterkejutan. "Bagaimana Bapak tahu?" suaranya nyaris berbisik, bergetar oleh ketakutan yang semakin menusuk.Giman menelan ludah, sementara Warso dan Darto semakin tegang. Darto bahkan tanpa sadar meremas ujung sarung yang melilit pinggangnya, seolah mencari pegangan agar tetap berdiri tegak."Kalian benar-benar sudah celaka!" Suara Giman terdengar berat. "Karena kalau yang kalian temui itu memang Joko, berarti kalian tidak bertemu dengan manusia."Laras merasakan lututnya melemas. "Apa maksudnya, Pak?"Warso mendesah panjang, matanya menatap lurus ke arah Laras dan Damar. "Joko memang kepala desa Juwono ... dulu. Tapi dia sudah mati sejak lebih dari dua puluh tahun yang lalu."Damar menegang. "Tidak mungkin! Kami berbicara dengannya, bahkan dia menyambut kami, memberi kami makan!""Dia juga membiarkan kami meng
Laras menelan ludah, matanya masih terpaku pada kehampaan di belakang mereka. "Lalu ... siapa kalian?" Warso, pria paruh baya dengan sorot mata tajam, memandang Laras dan Damar dengan penuh selidik. Napasnya masih tersengal setelah perjuangan mereka keluar dari hutan terkutuk itu. Di sampingnya, Giman dan Darto juga tampak waspada, seolah masih khawatir akan sesuatu yang bisa saja mengikuti mereka keluar. "Kami yang seharusnya bertanya. Kalian ini siapa? Kenapa bisa sampai di tempat itu?" Warso akhirnya membuka suara. Rasa penasaran terpancar jelas dari wajahnya. Damar masih terduduk lemah di tanah. Dadanya masih terlihat naik turun, mencoba menenangkan napasnya. Bahunya yang terluka mulai membiru, tapi ia tidak punya waktu untuk mengkhawatirkannya sekarang. Laras menatap Warso dengan ragu, sebelum akhirnya berbicara. "Kami ... tersesat, Pak. Kami tidak tahu kalau tempat itu berbahaya." Giman, pria bertubuh kurus dengan wajah cekung, menatap mereka dengan sorot mata penuh ke
Laras terengah-engah, tubuhnya nyaris tak sanggup berdiri setelah tarikan kasar dari Damar. Tenggorokannya kering, dan dadanya terasa sesak seakan udara di sekitar mereka semakin menipis. Tapi yang lebih menyesakkan adalah tatapan Rani—tatapan penuh keputusasaan yang masih tertinggal di benaknya. "Laras! Bangun! Kita harus lari!" Damar berusaha menariknya berdiri, tapi kaki Laras seperti kehilangan tenaga. "Damar ... tolong. Aku udah nggak kuat." Laras menatap nanae kw arah Damar. "Ras! Fokus!" Damar mengguncang tubuhnya, suaranya penuh putus asa. "Kalau kita berhenti sekarang, kita akan mati!" Laras menarik napas dalam-dalam. Ia memaksa dirinya untuk kembali ke kenyataan, menepis rasa bimbang yang menggerogoti hatinya. Matanya bertemu dengan mata Damar—sarat dengan ketakutan dan kepanikan, tapi juga keyakinan. Damar percaya mereka bisa keluar dari sini. Mereka harus bisa. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Laras bangkit. Tangannya masih gemetar, tapi ia menggenggam erat tangan
"Aaaa...!" Laras menjerit, tubuhnya terhuyung ke belakang hingga hampir jatuh. Damar mematung, tubuhnya membeku seperti batu. Tenggorokannya terasa kering, napasnya pendek-pendek, dan dadanya berdebar kencang. Itu… mereka. Tubuh mereka sendiri."Tidak! Ini pasti mimpi!" Laras mengguncang kepalanya dengan putus asa. Matanya menatap nanar ke arah mayat yang terduduk di dalam mobil. Itu—adalah wajahnya sendiri, matanya sendiri—tetapi kosong. Mati.Damar mundur selangkah, lalu dua langkah, tangannya terangkat gemetar. "Ini... ini tidak masuk akal," bisiknya.Wanita tua itu masih berdiri di tempatnya, menatap mereka dengan sorot mata iba bercampur ngeri. "Aku sudah bilang... tidak ada yang bisa keluar dari desa itu tanpa meninggalkan sesuatu di dalamnya."Laras menatap wanita itu dengan mata berkaca-kaca, menggeleng keras. "Tapi... tapi kami ada di sini! Kami masih hidup!"Wanita tua itu menghela napas panjang, lalu perlahan berjalan mendekat. Suaranya melembut, tetapi tetap terdengar sep
"Selamat tinggal, Rani."Laras jatuh berlutut di tanah yang masih dingin oleh embun pagi. Isak tangisnya pecah, dadanya bergemuruh dengan kesedihan yang tak tertahankan. Kedua tangannya mencengkeram rumput liar di sekitarnya, seakan ingin meraih sesuatu yang telah hilang.Joko dan Damar saling berpandangan, napas mereka masih tersengal setelah berlari menembus gelapnya hutan. Damar sendiri tahu betul bahwa mereka telah kehilangan sesuatu yang tak akan pernah kembali.Joni dan Rani. Mereka terjebak di desa terkutuk itu dan tak bisa lagi diselamatkan.Laras menggeleng keras, menolak kenyataan yang baru saja terjadi. "Tidak... mereka masih bisa kita bawa pulang... 'kan?" Joko mengalihkan pandangannya, rahangnya mengatup rapat. "Sudah terlambat." gumamnya.Damar menggenggam bahu Laras, mencoba menenangkannya meski dirinya sendiri masih dikejar rasa takut. "Kita harus pergi. Hutan itu... desa itu... tempat ini bukan untuk kita."Laras menoleh, matanya yang basah penuh amarah. "Jadi kita a
Joko memejamkan mata, rahangnya mengatup rapat. Napasnya tertahan di tenggorokan.Bodoh!Ia sudah memperingatkan mereka untuk tidak bersuara, tapi Laras justru berteriak. Itu adalah kesalahan besar.Angin malam bertiup lebih kencang, membawa aroma busuk yang menusuk hidung. Seperti bau bangkai yang telah membusuk selama berhari-hari.Damar merasakan tengkuknya meremang. Ia melangkah mundur dengan hati-hati, tetapi sesuatu dalam tatapan Rani membuatnya sulit berpaling."Bukan Rani. Itu bukan Rani," ucap Damar di dalam hatinya. Sosok di hadapan mereka berdiri kaku, tubuhnya sedikit membungkuk dengan tangan tergantung lemas di sisi tubuhnya. Bibirnya pecah-pecah, dan dari sudut bibirnya menetes cairan hitam yang berbau busuk. Matanya… kosong. Sepasang bola mata itu hitam legam, tak ada putihnya sama sekali.“Larasss… Kenapa… lari? Ini aku.”Suara Rani bergetar, seperti ada sesuatu yang bergema di dalamnya. Seperti bukan hanya satu suara, tapi banyak suara yang bertumpuk menjadi satu.La