Share

Bab 18. Cincin Hitam

Penulis: Yasmin_imaji
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-07 10:19:32

-Kembali ke Masa Kini-

Air mata mengalir di pipi Lasmi saat ia menyelesaikan ceritanya. "Itulah alasan kenapa keluarga kita selalu diliputi ketakutan seperti ini, Nduk. Dan itulah kenapa kau sering merasa ada sesuatu yang salah dalam hidupmu," ujar Lasmi sambil menggenggam tangan Murni erat-erat.

Murni terdiam, mencoba mencerna kenyataan pahit itu. Tubuhnya terasa semakin lemah, bukan karena penyakit yang dideritanya, tetapi karena beban emosional yang begitu besar. "Jadi... apakah aku juga bagian dari perjanjian itu, Bu?" tanyanya dengan suara bergetar.

Lasmi mengangguk pelan. "Itulah yang ibu takutkan, Nak. Kau dan adikmu, Aji... kalian adalah keturunan dari keluarga ini. Ibu berusaha melindungi kalian, tapi ibu tahu bahwa perjanjian ini tidak akan pernab terhenti.'

Murni menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. Rahasia yang baru saja ia dengar bagaikan duri yang menusuk hati. Selama ini, ia hidup dalam bayang-bayang kekayaan keluarganya tanpa menyadari bahwa di balik kemewa
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (51)
goodnovel comment avatar
Erisa Zulfa
aihh kira kira siapa yaaa...
goodnovel comment avatar
Santih
siapa lagi itu banyak banget hantu ih
goodnovel comment avatar
zaa_daniar
Jangan-jangan kakek tua yg ditemuin murni dimakam. semoga aja bner
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 19. Siapa Dia?

    Sosok yang muncul di depan pintu kamar itu adalah pria tua yang pernah Murni temui di kuburan Raharjo—ayahnya. "Hentikan perbuatanmu, Setan!" serunya dengan tegas. Pria misterius itu menoleh, matanya yang berkilau merah memandang tajam ke arah sosok tersebut. "Kau... siapa?" suaranya dipenuhi kebencian. Sosok pak tua itu berjalan mendekati Lasmi yang masih memeluk tubuh Murni. "Jangan khawatir, Lasmi," suaranya sedikit melunak meskipun masih terdengar tegas. "Aku di sini untuk melindungi kalian." Pria berjuang hitam itu tampaknya semakin marah, tubuhnya bergetar, seolah-olah siap melepaskan kekuatan gelap yang ada di dalam dirinya. "Kau pikir aku takut pada siapa pun, terutama pada seorang penyihir tua sepertimu?" "Ini bukan urusanmu, Setan," kata pria tua itu dengan suara yang lebih dalam. Tiba-tiba, ruangan menjadi semakin gelap, dan udara terasa semakin dingin. Suara angin yang berhembus menggema di seluruh rumah, menyisakan rasa takut yang menggerayangi setiap sudutn

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 20. Hilang

    "Aku datang...." Lasmi memekik, tubuhnya mundur ketakutan. "Tidak! Jangan ganggu anakku lagi!" jeritnya sambil menggenggam tubuh Murni lebih erat, dan setelahnya Murni menarik napas panjang dan tak sadarkan diri. Setelah kepergian Prawiro, kamar Murni menjadi hening. Lasmi masih terduduk di atas tempat tidur, memeluk tubuh Murni yang kini tertidur, seolah pertempuran barusan hanyalah mimpi buruk yang tak pernah terjadi. Namun, hatinya masih berdebar kencang, memikirkan kata-kata terakhir pria tua itu. Mbok Tumini perlahan mendekat, wajahnya masih pucat pasi. Ia menggenggam bahu Lasmi, suaranya gemetar. "Ndoro... apa yang sebenarnya terjadi? Siapa pria tua itu? Dan siapa lelaki berbaju hitam tadi? Apa maksud semua ini?" Lasmi menggelengkan kepala, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku saja ndak tahu, Mbok. Aku benar-benar ndak tahu..." katanya dengan suara serak. Ia memandang Murni yang masih teroejam. Murni... katanya adalah kunci. Tapi kunci untuk apa?" Mbok Tumini dud

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 21. Dia Datang

    "Aku harus ke sana, segera!" seru Lasmi kemudian.Mbok Tumini mengangguk dengan berat hati. "Baik, Ndoro. Tapi kita harus hati-hati." Bukan tanpa alasan, tapi Mbok Tum merasakan jika ada sesuatu yang tidak wajar dengan hujannya Aji.Lasmi menoleh ke arah Murni. "Nduk, Ibu akan kembali secepatnya. Kamu tunggu di sini bersama Simbok, ya?"Namun, Murni hanya diam dan kembali masuk ke kamarnya tanpa menjawab. Hal itu membuat Lasmi semakin gelisah. Tapi ia menepis perasaannya dan segera melangkah keluar bersama Mbok Tumini, menuju kuburan dengan langkah cepat meskipun hati mereka diliputi ketakutan.Lasmi berjalan cepat meninggalkan rumah, sementara angin pagi yang dingin menerpa wajahnya. Dengan napas yang terasa berat dan penuh kekhawatiran, ia menelusuri jalan kecil yang mengarah ke kuburan desa. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Hati kecilnya terus berharap agar Aji baik-baik saja.Namun, semakin jauh ia melangkah, suasana semakin sunyi. Pohon-poh

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 22. Jebakan

    "Tini, kita harus keluar dari sini," ujar Lasmi dengan suara tegas, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Sekarang juga!"Namun, sebelum mereka sempat melangkah keluar, pintu kamar tiba-tiba tertutup dengan keras, membuat Lasmi dan Tini terkejut. Hati Lasmi mulai berpacu, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi apa yang sedang terjadi."Dengar," kata Lasmi dengan suara bergetar, "kita harus mencari jalan keluar. Apa pun yang ada di sini, kita harus pergi sekarang!"Tini hanya mengangguk, meskipun tubuhnya masih gemetar. Namun saat mereka berbalik dan mencoba membuka pintu, terdengar suara gemeretak yang menakutkan dari arah luar. Seperti sesuatu yang berat sedang bergerak mendekat. Mereka berdua menoleh ke arah suara itu, dan Lasmi melihat bayangan yang bergerak cepat di koridor.Pocong... Pocong Raharjo sudah berdiri di sana.Lasmi merasa napasnya terhenti sejenak. Bayangan itu bergerak dengan sangat cepat, seperti mengejar mereka. Dengan reflek yang hampir tanpa sadar, Lasm

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 23. Tertelan Makam

    Langkah Lasmi tertatih-tatih, kakinya terasa seperti terikat oleh beban yang tak terlihat. Tubuhnya lemas, namun ketakutan yang terus menggerogoti hatinya membuatnya tak bisa berhenti. Keinginan untuk melarikan diri, untuk menghindari apa pun yang mengancamnya, tetap memaksanya berjalan. Namun, semakin ia berjalan, semakin ia merasa ada sesuatu yang menariknya kembali, menariknya menuju tempat yang sebenernya paling ia takuti. Kuburan Raharjo. Lasmi menatap tanah yang berdebu di bawah kakinya, mencoba mencari jawaban di antara bebatuan kecil yang bertebaran di sepanjang jalan sempit itu. Suara langkah pocong Raharjo yang terus melompat mengejarnya masih terus terdengar. Hatinya semakin panas. Perasaan marah yang tak terungkapkan kini menguasai dirinya. Mengapa? Mengapa semuanya harus menjadi seperti ini? Mengapa dia harus terjebak dalam permainan setan? Di mana Tini? Dari semuanya itu, pikiran Lasmi kini hanya tertuju pada Aji, dan hanya Aji. Dengan keteguhan yang hampir tak bi

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 24. Selamat dari Maut

    Dalam sekejap, tanah di sekitar kuburan itu retak, dan dari kedalaman bumi, sesuatu yang lebih besar mulai muncul. Itu adalah tubuh Raharjo yang membusuk, bergerak dengan gerakan yang mengerikan, seolah tubuhnya dipaksa untuk hidup kembali. Lasmi menutup matanya, berusaha menahan rasa takut yang merambat dalam dirinya. Tangan kedua muncul, menarik lebih keras. Kepala muncul berikutnya—sebuah wajah yang menyerupai Raharjo, tapi kulitnya sudah robek di beberapa bagian, memperlihatkan tulang putih di balik daging yang membusuk. Matanya kosong, hanya dua lubang hitam yang memancarkan hawa dingin dan kematian. Lasmi ingin mundur, tapi tubuhnya terasa beku. Dia hanya bisa menatap, menyaksikan makhluk itu perlahan bangkit dari liang kubur. Sosok Raharjo berdiri, tinggi, dengan tubuhnya yang tidak utuh lagi. Bau busuk semakin pekat, membuat Lasmi terbatuk dan hampir muntah. “Lasmi...” suara itu berat dan serak, seperti berasal dari neraka. “Kamu memanggilku... dan aku datang... bojoku..

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 25. Kembalinya Aji

    Lasmi menyeret kakinya yang pincang, berusaha menahan perih di lututnya yang robek. Rasa lelah mendera tubuhnya, tetapi tekad untuk pulang mengalahkan semua rasa sakit itu. Malam semakin larut, dan suara jangkrik menjadi satu-satunya iringan perjalanan Lasmi di jalan setapak yang penuh kerikil. "Murni... Aji...," gumamnya yang terus melangkah menyeret kakinya. Sungguh, kakinya terasa begitu berat, seolah setiap langkahnya membawa kenangan buruk dari makam Raharjo. Hatinya masih dipenuhi rasa takut dan bingung—siapa sosok yang telah menyelamatkannya? Dan mengapa ia harus menghadapi teror Raharjo sendirian? Namun, semua pertanyaan itu tersingkir oleh wajah Murni dan Aji. Ketika ia melihat atap rumahnya dari kejauhan, rasa lega mulai mengisi dadanya. Tapi rasa lega itu segera berubah menjadi tangis yang tertahan ketika ia mendekati pintu. Di sana, Aji berdiri, memandang ibunya dengan wajah pucat penuh kekhawatiran. "Ibu?" suara Aji serak, gemetar. Lasmi jatuh berlutut di tanah.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 26. Gempar

    Suara kentongan yang terus dipukul berkali-kali mengisi udara pagi Desa Juwono. Ketukan itu tak hanya memanggil perhatian warga, tetapi juga memancing rasa takut yang tiba-tiba mencengkeram. Suara-suara panik terdengar bersahut-sahutan dari luar, membuat Aji bergegas ke pintu, meninggalkan ibunya yang masih duduk di tempat tidur."Bu, Aji ke luar sebentar, ya," ujar Aji sebelum berlari keluar rumah tanpa menunggu jawaban.Lasmi ingin menyusul, tetapi tubuhnya masih terlalu lemah. Dengan susah payah, ia turun dari tempat tidur dan berjalan terpincang-pincang ke ruang tengah. Jantungnya berdegup kencang, terlebih saat mendengar suara teriakan warga semakin jelas dari luar."Apa yang terjadi?" gumamnya, lebih pada dirinya sendiri.Aji sudah berdiri di sana, di depan pintu kayu jati berukir dan menatap pada banyaknya orang yang berkerumun di jalan."Mak—makam Raharjo rusak! Hancur!" teriak seseorang dari ujung jalan."Tapi... siapa yang melakukannya?" suara lain menyusul dengan kekhawatir

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11

Bab terbaru

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 147. TAMAT

    Laras & Sopir Truk: Lolos dari Teror PocongSopir truk itu menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram setir erat-erat. Laras menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Keduanya sama-sama tahu bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.Jalanan semakin menurun tajam, membuat truk melaju lebih kencang. Namun, ketika sopir menoleh ke spion, jantungnya hampir berhenti berdetak.Sosok pocong itu masih ada di sana. Melompat-lompat, mendekat semakin cepat. Tubuhnya yang membusuk bergerak tidak wajar, sementara mulutnya yang menganga terus mengeluarkan suara parau:"Kembaaliii... Kembaaliiii...."Laras mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat, air mata mulai menggenang di matanya. "Pak, jangan berhenti! Tolong, jangan berhenti apa pun yang terjadi!"Sopir truk mengangguk cepat, meskipun keringat dingin sudah membasahi dahinya. "Saya nggak akan berhenti, Mbak! Pegangan yang kuat!"Truk terus melaju di jalanan gelap, melewati tikungan demi tiku

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 146. Perjalanan

    Sopir truk itu mengguncang tubuh Laras dengan cemas. "Mbak! Sadar, Mbak! Kamu dari mana?! Kok tiba-tiba muncul dari hutan?!" Laras terhuyung sedikit, kesadarannya masih berkabut. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya. Ia menatap sopir itu dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik dengan suara serak. "Tolong ... Bawa saya pergi dari sini, Pak." Sopir itu mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Mbak, kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak habis lihat setan!" Laras menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. Bayangan Joni, Rani, dan Damar masih jelas di pikirannya. Bisikan-bisikan itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa lelah, begitu lelah, dan satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. "Aku nggak mau ada di sini lagi." suaranya lirih, hampir seperti rintihan. "Tolong, Pak ... Cepat pergi." Sopir itu menatapnya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo naik. Tapi, kita mau ke mana, Mbak?" "P

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 145. Keluar

    Laras berdiri di depan rumah kecil Pak Warso, merapikan tas ransel yang menggantung di punggungnya. Malam masih menyisakan sisa dingin, dan kabut tipis mengambang di antara pepohonan desa.Pak Warso menghela napas panjang, menatap Laras dengan mata penuh pemahaman. “Jadi, kamu benar-benar mau pergi?”Laras mengangguk. “Saya sudah nggak punya alasan untuk tetap tinggal di sini, Pak.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.Darto dan Giman, yang berdiri tak jauh darinya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Darto bicara, “Laras, kami ngerti, Nduk. Setelah kedua temanmu, Joni dan Rani …” Ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Nama kedua temannya itu kini hanya tinggal bayang-bayang di tempat terkutuk yang tak boleh lagi mereka datangi.“Dan sekarang Damar juga menghilang.” Suara Laras semakin kecil. Hatinya terasa berat. Damar adalah satu-satunya harapan yang tersisa, satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tapi kini ia juga sudah pergi, entah hilang dalam

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 144. Memilih

    Damar berdiri kaku di depan rumah tua itu. Ucapannya masih menggantung di udara, sementara Joni dan Rani menunggu tanpa sedikit pun bersuara—atau mungkin, dengan harapan licik bahwa Damar akan menyerah. Angin malam berembus pelan, membawa bisikan dari sebuah tempat gelap yang tak terlihat. Rumah tua itu seakan bernapas, meresapi kebimbangan Damar untuk memilih. "Setiap kutukan butuh penebus." Kata-kata yang terucap dari mulut Joni terus bergema di kepalanya. Apakah benar-benae harus seperti itu? Jika ingin bebas, ia harus menyerahkan seseorang lainnya sebagai gantinya. Satu nama pun seketika melintas di benaknya—Laras. Damar memejamkan mata, mengingat bagaimana Laras menatapnya dengan penuh cinta, tetapi juga sarat ketakutan. Ia tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Ia tak ingin Laras menjadi bagian dari kegelapan yang saat ini membelenggunya. Alih-alih menjadikan Laras sebagai penebus, Damar justru berkeinginan untuk kembali bersamanya. Keinginan itu begitu kuat hingga mampu mem

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 143. Perpisahan

    Darto menoleh cepat, matanya menajam ke arah Laras. “Apa maksudmu, Laras?”Laras menggigit bibir, suaranya bergetar saat berbicara. “Damar… dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”Mbah Rebo mengetukkan tongkat kayunya ke tanah tiga kali lagi. Suara ketukan itu menggema di udara, seolah memantul dari sesuatu yang tak terlihat. Angin semakin kencang, membuat dedaunan kering berputar-putar di sekitar mereka.“Jangan panik,” ujar Mbah Rebo tenang, meski matanya waspada. “Tetap dekat dan jangan sampai ada yang terpisah.”Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara gemerisik. Seperti seseorang yang berjalan di atas dedaunan kering.Giman menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin mendekat.Laras menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Perlahan, dari balik batang pohon yang besar, sesosok bayangan muncul.Damar.Pakaian yang dikenakannya sama seperti terakhir kali Laras melihatnya—kemeja putih yang kini lusuh dan sobek di beberapa

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 142. Mencari Petunjuk

    Pagi menjelang dengan lambat, membawa serta kabut tipis yang menggantung di udara desa. Darto menguap lebar, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Warso duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyisakan ketegangan semalam. Sementara itu, Laras tertidur di tikar dengan nafas berat, tubuhnya masih terasa lemah setelah apa yang terjadi.Mbah Rebo, yang sedari tadi duduk bersila sambil memegang tongkat kayunya, menghela napas panjang. “Kita tak bisa berdiam diri. Meski makhluk itu sudah pergi, aku yakin ia belum benar-benar menyerah.”Warso mengangguk pelan. “Jadi apa yang harus kita lakukan, Mbah?”Orang tua itu menatap ke luar jendela. “Aku harus mencari tahu siapa makhluk itu dan mengapa ia begitu menginginkan Laras. Ada sesuatu yang belum terungkap.”Darto menelan ludah. “Mbah … tadi malam, sebelum makhluk itu muncul, Laras sempat menyebut nama Damar. Apakah mungkin … Damar benar-benar ada hubungannya dengan ini?”Mbah Rebo terdiam sejenak. “Mungkin. Kita harus mencari t

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 141. Mengawasi dan Menunggu

    Warso mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Napasnya tersengal, sementara matanya terus mengawasi Laras yang kini terkulai di tikar.“Darto, kita nggak bisa nunggu lebih lama. Kita harus cari orang pintar buat nolongin Laras,” katanya dengan suara parau.Darto mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Giman, kamu ikut aku. Kita cari Mbah Rebo.atau siapa pun yang bisa bantu.”Giman tampak ragu, tapi melihat kondisi Laras, ia akhirnya mengangguk. “B-baik. Tapi cepat ya, aku nggak mau kalau harus lama-lama menunggu di luar.”Darto dan Giman segera keluar, meninggalkan Warso yang berjaga di samping Laras. Malam semakin pekat, udara terasa berat. Warso merapatkan jaketnya, mencoba mengusir hawa dingin yang entah berasal dari cuaca atau sesuatu yang lain.Tiba-tiba, Laras menggeliat. Kelopak matanya terbuka perlahan. Namun, ketika Warso menatap wajahnya, jantungnya hampir berhenti berdetak.Mata Laras kini bukan hanya hitam, tetapi juga dipenuhi urat-urat merah yang men

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 140. Rasuk

    Darto, Warso, dan Giman semakin panik ketika mereka melihat Laras yang terus menatap bayangan Damar dengan mata berkaca-kaca. Angin bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah dan anyir yang menusuk hidung. Tiba-tiba, Laras tersentak. Tubuhnya menegang, matanya membelalak. Seakan ada sesuatu yang saat ini tengah menghantam jiwanya. “Laras?!” Warso mengguncang bahunya dengan cukup keras. Namun, Laras sama sekali tidak memberikan reaksi. Ia malah tersenyum lebar—senyum yang bukan miliknya. Senyum itu terlalu lebar, terlalu dingin, terlalu menyeramkan. "Damar … aku akan ikut bersamamu ...." Suaranya terdengar jauh, bergema seperti bukan berasal dari dirinya sendiri. Tak lama kemudian, tubuhnya terhuyung ke belakang dan dalam sekejap, ia tertawa. Suara tawanya melengking tinggi, bergema di udara malam. Tawa yang tentu saja itu bukan milik Laras. Giman mundur dengan napas memburu. “To, Darto, bocah ini ... dia kesurupan!” Darto menggertakkan giginya. Ia pernah melihat kej

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 139. Menolak

    Damar menggertakkan giginya. "Tidak mungkin! Kita masih hidup! Kalian berdua yang sudah mati!" Rani mengangkat tangannya perlahan. Seketika, kabut pekat muncul dari tanah, mengelilingi mereka. Laras menjerit saat tubuhnya mulai terasa ringan, seakan ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Damar berusaha meraihnya, tetapi tiba-tiba semuanya berubah. Mata Damar membelalak. Ia tidak lagi berada di hutan. Sekelilingnya kini adalah lorong rumah tua yang gelap, dindingnya dipenuhi coretan-coretan aneh. Bau anyir menyengat hidungnya. Laras berdiri di sampingnya, tubuhnya gemetar, matanya menatap lurus ke depan. Di ujung lorong, sesosok tubuh tergantung di langit-langit. Sosok itu berayun pelan, mengenakan baju yang sama seperti yang Damar kenakan. Jantung Damar seakan berhenti berdetak. Itu dirinya sendiri. "Laras... A-apa yang terjadi...?" Laras tidak menjawab. Dia hanya menoleh perlahan ke arah Damar, matanya berubah hitam legam, bibirnya menyeringai lebar. “Kamu sudah mati, Damar.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status