“Murni, kadang ada hal-hal yang lebih baik tidak kamu ketahui. Ibu hanya berusaha menjaga semuanya tetap baik-baik saja." Lasmi berkata dengan datar sebelum meninggalkan Murni. Malam itu, Murni menghabiskan malamnya dengan pikiran yang masih melayang. Keesokan malamnya, suasana desa Juwono terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin bertiup kencang, membuat daun-daun bambu berderak seperti bisikan samar. Murni berdiri di depan rumah dengan buku misterius itu dalam genggaman tangannya. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia menepis ketakutannya. Ia tahu ini bukan saat untuk mundur. Sebelum melangkah keluar, ia menoleh ke arah kamar Aji. Pintu kamar itu sedikit terbuka, cukup untuk memperlihatkan bayangan tubuh adiknya yang sedang tidur pulas di ranjang. Murni menahan napas, mengintip sejenak untuk memastikan Aji benar-benar terlelap. Ia tak ingin Aji curiga dan mencoba mengikutinya. “Tidurlah, Aji,” bisiknya pelan, meski ia tahu suaranya tak akan terdengar. “Mbak akan kembali sebelu
"Bu? Apa yang Ibu lakukan di sini?" Murni tergagap, tangannya gemetar memegang buku itu dan segera menyembunyikannya di belakang tubuhnya. "Hentikan, Murni!" sentak Lasmi. "Ta-tapi, Bu. Bapak...." Lasmi tidak menjawab. Ia hanya menatap Murni dengan mata yang berkilat, penuh dengan amarah. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Lasmi membuat pria tua itu waspada. Ia segera memegang bahu Murni, menahannya untuk tetap diam di tempat. "Jangan percaya padanya, Nduk," bisiknya. "Itu bukan ibumu." Murni tertegun. Ia menatap Lasmi lagi, mencoba menemukan sesuatu yang salah. Tapi wajah itu... begitu mirip. Begitu nyata. "Murni, dengarkan Ibu. Keluar dari lingkaran itu sekarang juga! Kamu ndak tahu apa yang sedang kamu mainkan itu," Lasmi berkata lagi, seolah memaksa Murni untuk menuruti apa kemauannya. Namun, sebelum Murni bisa menjawab, pria tua itu melafalkan mantra lainnya. "Aja lumaku, aja ngomong, aja obah. Sak jeroning ati, kaku badan, kekunci sak jeroning bumi. Mantra iki mateg, ora
"Dari mana kamu, Murni!" Murni yang baru saja masuk ke rumah dengan mengendap-endap sudah disambut dengan bentakan keras dari sang ibu. "I-ibu...," ucap Murni terbata. "Katakan! Dari mana kamu?" tanya Lasmi dengan penuh intimidasi. "Murni... Murni dari —" "Sudah berani kamu melawan perintah Ibu?" sentak Lasmi sebelum Murni menyelesaikan kata-katanya. Murni terdiam, tubuhnya gemetar melihat amarah di wajah ibunya. Namun, ia tak bisa menghilangkan bayangan peristiwa yang terjadi di kuburan sang ayah tadi. Di mana angin kencang, mantra mengerikan, dan juga sosok menyeramkan yang mengaku sebagai ibunya. Bahkan sekarang saja, Murni merasa ragu jika wanita yang ada di hadapannya itu adalah benar ibunya. "Ibu, dengarkan Murni dulu..." ujarnya lirih, mencoba meredakan suasana. "Dengarkan? Kamu pikir Ibu akan percaya dengan kata-katamu setelah kamu berbuat sembarangan?!" Lasmi melangkah maju, menatap putrinya tajam. "Jawab Ibu, Murni. Apa kamu pergi ke kuburan bapakmu?" Murni m
Sejak malam mengerikan itu, Murni merasa kehidupannya berubah. Buku tua milik Raharjo yang sempat ia genggam kini tersimpan rapat di balik lemari kayu tua di kamarnya. Tidak ada yang tahu keberadaan buku itu selain dirinya. Bahkan, ibunya, Lasmi, tampak menghindari pembicaraan tentang buku tersebut, meskipun ketakutan terlihat jelas setiap kali mata mereka bertemu.Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan sudah saatnya Murni kembali ke kota untuk melanjutkan kuliahnya. Namun, ada sesuatu yang menahannya di Desa Juwono, sesuatu yang tak mampu ia jelaskan. Lasmi sendiri melarang keras kepergian Murni sebelum genap 40 hari sejak kematian Raharjo.“Ndak baik meninggalkan rumah di saat seperti ini, Nduk,” ujar Lasmi pagi itu, suaranya tegas namun terdengar samar-samar seperti menutupi sesuatu.Murni mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa berat. Desa Juwono bukan lagi tempat yang sama baginya. Udara yang dulu terasa sejuk kini seperti membawa aroma kematian. "Nggih, Bu," jawabnya.Pagi it
Lasmi terhuyung ke belakang saat melihat sosok pocong itu menempelkan dahinya ke dahi Murni. Napasnya tercekat. Ia ingin menolong, tetapi tubuhnya terasa lemas, seolah semua kekuatannya dirampas oleh pemandangan yang saat ini terpampang di hadapannya. “Murni!” teriaknya lagi, tetapi anaknya tetap berdiri kaku. Mata Murni yang sebelumnya penuh ketakutan kini berubah kosong, seakan tidak ada lagi jiwa di dalam tubuhnya. Wajah hitam dari pocong Raharjo mulai meleleh, meneteskan lendir hitam yang begitu menyengat. Mulut pocong itu perlahan terbuka, memperlihatkan gigi-gigi yang hampir hancur dan lidah hitam yang mengering. Dari celah mulutnya, asap hitam pekat mulai mengepul, berputar-putar seperti ular sebelum masuk ke dalam mulut Murni yang juga terbuka secara sendirinya tanpa kendali. Khhhaarkh!!! Suara Raharjo terdengar mengerikan saat mulutnya terbuka semakin lebar. “Asap hitam itu...?!” gumam Lasmi. Ia mencoba bangkit, tetapi kakinya terasa berat. Suasana kamar pun berubah
BRAK' Pintu kamar Murni terbuka lebar, menampakkan Aji yang berdiri dengan wajah pucat pasi. Remaja lelaki itu memegang sebuah kitab kecil di tangan kirinya, sementara tangan kanannya gemetar, masih menekan daun pintu. Tubuhnya membeku sesaat ketika melihat keadaan kakaknya, Murni, yang terkulai lemas di pelukan ibunya. Matanya menangkap dar** di dahi Lasmi yang mengalir perlahan, dar** bekas benturan keras di dinding. Kamar itu pun masih dipenuhi dengan aroma busuk dan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. “Aji...,” Lasmi memanggil lirih, suaranya parau yang bercampur isak tangis. Aji tersadar dari keterpakuannya dan melangkah masuk, meskipun seluruh tubuhnya masih gemetar. "Bu... Apa yang terjadi di sini? Kenapa Mbak Murni bisa seperti ini?" tanyanya panik dan penuh ketakutan, tetapi matanya tak lepas dari kakaknya yang kini tampak begitu lemah dan pucat. Lasmi hanya mampu menangis. Ia ingin menjelaskan, tetapi lidahnya kelu. Semua hal itu terjadi terlalu cepat dan terl
Lasmi memandang wajah putrinya, Murni, yang saat ini masih terbaring lemah di atas ranjang. Cahaya lampu yang temaram memantulkan kesedihan di wajah wanita paro baya itu. Napasnya terasa berat, bukan karena usianya yang kian senja, tetapi karena beban rahasia yang telah ia pendam selama puluhan tahun. Rahasia yang telah mencabik-cabik hatinya, menghantui setiap langkah hidupnya. Murni, dengan tatapan lemah namun penuh rasa ingin tahu, berusaha menegakkan tubuhnya. Tetapi sakit yang dirasakannya membuatnya tetap terbaring. Ia merasakan ada sesuatu yang penting dan mendesak dari cara ibunya menatapnya. "Ibu... bisakah Ibu menceritakan semuanya sekarang?" tanyanya pelan. Lasmi menggenggam tangan Murni, jemarinya yang kasar bergetar. "Nak, apa yang akan ibu ceritakan mungkin akan mengubah pandanganmu terhadap keluarga ini. Tapi ibu tahu, kau berhak tahu segalanya," ujar Lasmi sambil menarik napas panjang. Ia memejamkan mata sejenak, membayangkan kembali kenangan kelam yang begitu sulit
-Kembali ke Masa Kini- Air mata mengalir di pipi Lasmi saat ia menyelesaikan ceritanya. "Itulah alasan kenapa keluarga kita selalu diliputi ketakutan seperti ini, Nduk. Dan itulah kenapa kau sering merasa ada sesuatu yang salah dalam hidupmu," ujar Lasmi sambil menggenggam tangan Murni erat-erat. Murni terdiam, mencoba mencerna kenyataan pahit itu. Tubuhnya terasa semakin lemah, bukan karena penyakit yang dideritanya, tetapi karena beban emosional yang begitu besar. "Jadi... apakah aku juga bagian dari perjanjian itu, Bu?" tanyanya dengan suara bergetar. Lasmi mengangguk pelan. "Itulah yang ibu takutkan, Nak. Kau dan adikmu, Aji... kalian adalah keturunan dari keluarga ini. Ibu berusaha melindungi kalian, tapi ibu tahu bahwa perjanjian ini tidak akan pernab terhenti.' Murni menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. Rahasia yang baru saja ia dengar bagaikan duri yang menusuk hati. Selama ini, ia hidup dalam bayang-bayang kekayaan keluarganya tanpa menyadari bahwa di balik kemewa
Damar membuka matanya perlahan. Udara di sekelilingnya terasa dingin dan lembap, menusuk sampai ke tulang. Kepalanya terasa begitu berat, seperti baru saja ditarik dari mimpi buruk yang sangat panjang. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami situasi.Namun, yang pertama kali tertangkap oleh matanya bukanlah langit-langit rumah Darto, melainkan sebuah atap tua yang reyot, penuh dengan sarang laba-laba. Damar menelan ludah, rasa cemas menjalari tubuhnya."Laras ...?" bisiknya serak.Di sebelahnya, Laras menggeliat pelan, lalu perlahan membuka mata. Begitu ia melihat sekeliling, napasnya tercekat."Damar ... k-kita ... di mana ini?" suaranya bergetar, kepalanya menoleh ke kana dan ke kiri, menyadari jika saat ini mereka berdua telah berpindah tempat.Damar buru-buru bangkit dan segera menarik tangan Laras untuk duduk. Mereka berdua kini benar-benar sadar sepenuhnya—mereka tidak lagi berada di rumah Darto.Mereka ada di depan rumah tua itu. Rumah yang seharusnya telah mereka tinggalk
Asap hitam terus berputar, membentuk sosok yang semakin jelas di tengah kobaran api. Wajahnya berubah-ubah—kadang seperti seorang wanita dengan mata kosong yang penuh kebencian, kadang menyerupai tengkorak yang menganga dengan senyum mengerikan.Laras mundur selangkah, napasnya memburu. Damar meremas bahunya erat, berusaha menahan ketakutan yang menjalari tubuhnya.Tiba-tiba, sosok itu membuka mulutnya, mengeluarkan suara yang bukan milik manusia."Panas!! Beraninya kalian membakarnya?"Suaranya menggaung, bergema di seluruh ruangan, membuat dada mereka terasa sesak.Giman mengatupkan rahangnya rapat. "Kita harus mengusirnya sebelum semuanya terlambat!"Darto dengan sigap meraih segenggam garam dari kantong kecil di pinggangnya, lalu melemparkannya ke arah bayangan itu. "Pergi! Kau tidak punya tempat di sini!"Cesss!Begitu garam mengenai asap hitam itu, suara mendesis terdengar. Sosok tersebut bergetar hebat, mengeluarkan jeritan melengking yang membuat telinga mereka berdenging.Nam
"Dan ada bekas cakaran di wajahnya?" sela Giman.Laras tersentak. Matanya melebar, menatap Giman dengan penuh keterkejutan. "Bagaimana Bapak tahu?" suaranya nyaris berbisik, bergetar oleh ketakutan yang semakin menusuk.Giman menelan ludah, sementara Warso dan Darto semakin tegang. Darto bahkan tanpa sadar meremas ujung sarung yang melilit pinggangnya, seolah mencari pegangan agar tetap berdiri tegak."Kalian benar-benar sudah celaka!" Suara Giman terdengar berat. "Karena kalau yang kalian temui itu memang Joko, berarti kalian tidak bertemu dengan manusia."Laras merasakan lututnya melemas. "Apa maksudnya, Pak?"Warso mendesah panjang, matanya menatap lurus ke arah Laras dan Damar. "Joko memang kepala desa Juwono ... dulu. Tapi dia sudah mati sejak lebih dari dua puluh tahun yang lalu."Damar menegang. "Tidak mungkin! Kami berbicara dengannya, bahkan dia menyambut kami, memberi kami makan!""Dia juga membiarkan kami meng
Laras menelan ludah, matanya masih terpaku pada kehampaan di belakang mereka. "Lalu ... siapa kalian?" Warso, pria paruh baya dengan sorot mata tajam, memandang Laras dan Damar dengan penuh selidik. Napasnya masih tersengal setelah perjuangan mereka keluar dari hutan terkutuk itu. Di sampingnya, Giman dan Darto juga tampak waspada, seolah masih khawatir akan sesuatu yang bisa saja mengikuti mereka keluar. "Kami yang seharusnya bertanya. Kalian ini siapa? Kenapa bisa sampai di tempat itu?" Warso akhirnya membuka suara. Rasa penasaran terpancar jelas dari wajahnya. Damar masih terduduk lemah di tanah. Dadanya masih terlihat naik turun, mencoba menenangkan napasnya. Bahunya yang terluka mulai membiru, tapi ia tidak punya waktu untuk mengkhawatirkannya sekarang. Laras menatap Warso dengan ragu, sebelum akhirnya berbicara. "Kami ... tersesat, Pak. Kami tidak tahu kalau tempat itu berbahaya." Giman, pria bertubuh kurus dengan wajah cekung, menatap mereka dengan sorot mata penuh ke
Laras terengah-engah, tubuhnya nyaris tak sanggup berdiri setelah tarikan kasar dari Damar. Tenggorokannya kering, dan dadanya terasa sesak seakan udara di sekitar mereka semakin menipis. Tapi yang lebih menyesakkan adalah tatapan Rani—tatapan penuh keputusasaan yang masih tertinggal di benaknya. "Laras! Bangun! Kita harus lari!" Damar berusaha menariknya berdiri, tapi kaki Laras seperti kehilangan tenaga. "Damar ... tolong. Aku udah nggak kuat." Laras menatap nanae kw arah Damar. "Ras! Fokus!" Damar mengguncang tubuhnya, suaranya penuh putus asa. "Kalau kita berhenti sekarang, kita akan mati!" Laras menarik napas dalam-dalam. Ia memaksa dirinya untuk kembali ke kenyataan, menepis rasa bimbang yang menggerogoti hatinya. Matanya bertemu dengan mata Damar—sarat dengan ketakutan dan kepanikan, tapi juga keyakinan. Damar percaya mereka bisa keluar dari sini. Mereka harus bisa. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Laras bangkit. Tangannya masih gemetar, tapi ia menggenggam erat tangan
"Aaaa...!" Laras menjerit, tubuhnya terhuyung ke belakang hingga hampir jatuh. Damar mematung, tubuhnya membeku seperti batu. Tenggorokannya terasa kering, napasnya pendek-pendek, dan dadanya berdebar kencang. Itu… mereka. Tubuh mereka sendiri."Tidak! Ini pasti mimpi!" Laras mengguncang kepalanya dengan putus asa. Matanya menatap nanar ke arah mayat yang terduduk di dalam mobil. Itu—adalah wajahnya sendiri, matanya sendiri—tetapi kosong. Mati.Damar mundur selangkah, lalu dua langkah, tangannya terangkat gemetar. "Ini... ini tidak masuk akal," bisiknya.Wanita tua itu masih berdiri di tempatnya, menatap mereka dengan sorot mata iba bercampur ngeri. "Aku sudah bilang... tidak ada yang bisa keluar dari desa itu tanpa meninggalkan sesuatu di dalamnya."Laras menatap wanita itu dengan mata berkaca-kaca, menggeleng keras. "Tapi... tapi kami ada di sini! Kami masih hidup!"Wanita tua itu menghela napas panjang, lalu perlahan berjalan mendekat. Suaranya melembut, tetapi tetap terdengar sep
"Selamat tinggal, Rani."Laras jatuh berlutut di tanah yang masih dingin oleh embun pagi. Isak tangisnya pecah, dadanya bergemuruh dengan kesedihan yang tak tertahankan. Kedua tangannya mencengkeram rumput liar di sekitarnya, seakan ingin meraih sesuatu yang telah hilang.Joko dan Damar saling berpandangan, napas mereka masih tersengal setelah berlari menembus gelapnya hutan. Damar sendiri tahu betul bahwa mereka telah kehilangan sesuatu yang tak akan pernah kembali.Joni dan Rani. Mereka terjebak di desa terkutuk itu dan tak bisa lagi diselamatkan.Laras menggeleng keras, menolak kenyataan yang baru saja terjadi. "Tidak... mereka masih bisa kita bawa pulang... 'kan?" Joko mengalihkan pandangannya, rahangnya mengatup rapat. "Sudah terlambat." gumamnya.Damar menggenggam bahu Laras, mencoba menenangkannya meski dirinya sendiri masih dikejar rasa takut. "Kita harus pergi. Hutan itu... desa itu... tempat ini bukan untuk kita."Laras menoleh, matanya yang basah penuh amarah. "Jadi kita a
Joko memejamkan mata, rahangnya mengatup rapat. Napasnya tertahan di tenggorokan.Bodoh!Ia sudah memperingatkan mereka untuk tidak bersuara, tapi Laras justru berteriak. Itu adalah kesalahan besar.Angin malam bertiup lebih kencang, membawa aroma busuk yang menusuk hidung. Seperti bau bangkai yang telah membusuk selama berhari-hari.Damar merasakan tengkuknya meremang. Ia melangkah mundur dengan hati-hati, tetapi sesuatu dalam tatapan Rani membuatnya sulit berpaling."Bukan Rani. Itu bukan Rani," ucap Damar di dalam hatinya. Sosok di hadapan mereka berdiri kaku, tubuhnya sedikit membungkuk dengan tangan tergantung lemas di sisi tubuhnya. Bibirnya pecah-pecah, dan dari sudut bibirnya menetes cairan hitam yang berbau busuk. Matanya… kosong. Sepasang bola mata itu hitam legam, tak ada putihnya sama sekali.“Larasss… Kenapa… lari? Ini aku.”Suara Rani bergetar, seperti ada sesuatu yang bergema di dalamnya. Seperti bukan hanya satu suara, tapi banyak suara yang bertumpuk menjadi satu.La
Di luar, gedoran di pintu semakin menggila. Suara kayu berderit dan engsel berdecit, seolah sesuatu di luar sana menggaruk dengan kuku panjangnya. “Tolong aku!”"Rani!" Laras berteriak. "Damar, itu Rani!" Laras terlonjak. Matanya membulat, dan ia hampir saja berlari ke pintu kalau saja Damar tidak menahannya. “Jangan, Laras!” Damar mencengkram pergelangan tangannya erat. “Dengar baik-baik suaranya… itu bukan Rani.” Laras mematung. Suara di luar terdengar mirip dengan Rani, tapi ada sesuatu yang janggal—nada suaranya datar, tanpa emosi, seperti sedang meniru manusia. “Tolong… Aku kedinginan… Buka pintunya, Laras…”"Damar, Please!" sentak Laras. Joko menarik napas tajam, lalu berbisik, “Itu bukan dia. Itu mereka.” Seketika, suara ketukan berubah menjadi benturan keras. Brak! Brak!Damar mengepalkan tangannya, sorot matanya dipenuhi tekad yang tak tergoyahkan. "Kita nggak bisa terus bersembunyi di sini. Rani butuh kita!" katanya dengan suara mantap.Laras menggigit bibirnya, ragu