Malam semakin larut, suasana dalam rumah terasa semakin menegangkan. Ketiga anggota keluarga itu hanya bisa duduk terdiam, mendengarkan suara-suara aneh yang datang dari luar, disertai dengan derap langkah yang membuat jantung mereka berdegup kencang. Setiap detik terasa seperti satu jam.
Ketika ketegangan semakin tak terkendali, Murni merasakan hawa mistis di sekelilingnya. "Bu, bagaimana jika itu benar-benar Bapak?" tanyanya, suaranya bergetar. "Aku... aku ndak mau percaya kalau Bapak sudah pergi." Lasmi mengusap punggung Murni, berusaha menenangkannya. "Kita harus percaya, Murni. Yang kita lihat barusan adalah sesuatu yang lain. Kekuatan jahat sedang berusaha memanfaatkan kerinduanmu kepada Bapak." "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Aji kemudian. Dia merasa perlu melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya, karena memang dirinyalah kini yang menjadi satu-satunya lelaki di keluarga Raharjo. “Jangan berpikir macam-macam!" jawab Lasmi tegas. "Kita tidak bisa membiarkan perasaan kita diambil alih oleh kekuatan itu." "Kreeek .... Kreeek ...." Namun, saat mereka berbicara, suara di atap semakin mengerikan. Suara itu terdengar seperti seretan kuku-kuku tajam yang berat, disertai dengan bisikan halus yang datang dari segala arah, seolah mengundang mereka untuk keluar. "Buka pintu... Bapak pulang," suara itu bergetar dalam kegelapan, membuat bulu kuduk mereka meremang. "Murni ...." Tiba-tiba, dari arah jendela, terdengar suara ketukan halus yang diikuti oleh suara desisan. Lasmi menoleh cepat, dan saat dia melakukannya, bayangan putih melintas cepat di jendela. Jantungnya hampir copot. “Murni, Aji! Jangan lihat!” teriak Lasmi saat Murni mulai menggerakkan kepala. Dengan cepat, ia berlari menutup tirai jendela dengan, berusaha menghalangi pandangan dari luar. “Bu, ada apa?” tanya Murni dengan suara hampir tak terdengar, wajahnya pun sudah terlihat begitu pucat. Aji menggenggam tangan kakaknya, merasakan ketakutan yang sama seperti yang Murni rasakan. “Ndak ada apa-apa. Cuma angin, iya ... hanya angin,” jawab Lasmi, berusaha meyakinkan dirinya sendiri lebih dari anak-anaknya. Meskipun sejujurnya, hatinya sendiri berdebar tak karuan. "Bukaaa!" Mendadak, suara ketukan yang semakin keras kembali terdengar, kali ini dari pintu belakang. "Lasmi" suara itu menggema hingganke dalam rumah. Aji merinding. “Ibu, itu-itu suara Bapak!” teriaknya. “Murni, Aji, tutup telinga kalian!” Lasmi memerintahkan, tetapi sudah terlambat. Mereka sudah mendengar suara itu, dan kini mereka bisa melihat bayangan samar di balik pintu. Sesosok tubuh dengan kain putih melilit, wajahnya tidak terlihat, tetapi aura kegelapan menyelimuti sosok itu. Murni terisak, tidak bisa menahan air matanya. "Tapi... suaranya mirip suaranya Bapak," lirihnya, melangkah mundur tanpa sadar. “TIDAK! Itu bukan Bapak, Mbak!” seru Aji, berusaha mengingatkan kakaknya. “Dia... Bapak sudah mati!" Lasmi tidak dapat lagi menahan diri. Dia bergerak menuju pintu, menggenggam pegangan dengan kuat. “Siapa pun di luar, kami tidak ingin melihatmu! Pergi dari sini!” Untuk beberapa saat, suara itu mulai hilang. Tapi setelahnya pintu bergerak-gerak cepat, seolah ingin didobrak. Suaranya begitu riuh. Aji berlari menuju ke pintu. "Aji, jangan buka pintu! Sembunyi!” Lasmi berteriak, menahan napasnya. Tapi ternyata ketakutan Lasmi tidak terbukti. Aji justru berdiri dan menahan pintu itu kuat-kuat. Semakin kuat ia menahannya, semakin keras gebrakan dari luar. Suara di luar semakin memekakkan telinga, seolah ada banyak suara yang berteriak bersamaan, menuntut perhatian mereka. Tak hanya pintu, bahkan jendela-jendela kamar yang terbuat dari papan kayu pun ikut bergerak-gerak. Bayangan pocong dengan mata melotot, wajah yang penuh kesedihan, seolah baru saja bangkit dari kuburnya. Lasmi terkejut, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “TIDAK!” teriaknya, memalingkan wajahnya. Suara ketukan di pintu semakin menggila, dan saat itu, sosok pocong mulai mendekat dan mengantukkan kepala di jendela, Murni menjerit kuat-kuat. "Hentikaaan!" Cukup dengan satu teriakan, semua teror itu berhenti, semua kengerian hilang. Hening, tak ada lagi suara yang dapat didengar kecuali dari napas mereka sendiri-sendiri. Malam itu ketegangan pun berakhir. -- Pagi itu, ketika sinar matahari pertama menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, suasana mencekam yang meliputi rumah Raharjo semalam juga ikut menghilang. Murni, Aji, dan Lasmi masih terduduk di ruang tengah, letih namun sedikit lega karena akhirnya malam penuh teror itu telah berlalu. Mereka bertiga belum tidur sama sekali, berjaga-jaga hingga fajar menyingsing, memastikan bahwa tidak akan ada lagi ketukan pintu atau bisikan misterius yang akan mengganggu. Murni menghela napas panjang, menatap ibunya dengan wajah lelah. "Bu... Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah benar-benar bukan Bapak?" tanyanya dengan suara yang nyaris tenggelam dalam keheningan pagi. Lasmi menggeleng pelan, menenangkan putrinya. "Ndak, Murni... Itu bukan Bapakmu. Terkadang, ketika seseorang pergi meninggalkan kita, ada kekuatan-kekuatan gelap yang memanfaatkan sedikit untuk bisa masuk melalui kesedihan kita. Semalam, mereka mencoba memasuki pikiran dan hati kita," jawabnya dengan suara tenang. Aji, yang sejak tadi duduk terdiam, memandangi lantai dengan ekspresi termenung. "Apa Bapak ... apa mungkin Bapak ndak tenang di sana, Bu?" tanyanya lirih, suaranya penuh dengan keraguan, takut jika sang ibu akan tersinggung. Lasmi merengkuh bahu kedua anaknya, menggenggam tangan mereka erat. "Kita harus percaya bahwa Bapak sudah tenang di sana. Apa pun yang terjadi, kita tidak boleh biarkan rasa kehilangan ini membuat kita lengah." "Murni mau ke makam Bapak, Bu," ucap Murni tiba-tiba. Sontak saja kata-kata yang batu saja keluar itu membuat Lasmi dan juga Aji menoleh, menatap Murni secara bersamaan. "Untuk apa, Murni?" tanya Lasmi. "Aku mau lihat makam Bapak. Aku –" "Jangan katakan kamu merindukannya, Murni." Lasmi segera memutus ucapan Murni yang belum selesai. "Apapun yang Ibu katakan, aku akan tetap pergi ke makam Bapak!" Murni segera beranjak dari tempat duduknya untuk membersihkan diri. "Bu," lirih Aji menatap sang ibu. "Kita juga akan pergi ke sana, Ji," ujar Lasmi kemudian. Hari itu mereka memutuskan untuk mengunjungi makam Raharjo. Murni merasa sedikit lega karena sang ibu dan juga adiknya ikut menemani. Ia berharap untuk bisa melepaskan segala kecemasan dan rasa bersalah atas pesan sang ayah yang pernah diabaikannya. Di tengah keheningan pemakaman, ketiganya duduk di dekat makam Raharjo. Lasmi menundukkan kepala, merapalkan doa. Ah Murni meraih sekuntum bunga yang ia petik di halaman rumahnya, lalu meletakkannya di atas pusara Raharjo yang benar-benar masih basah. "Pak, semalam kami mendengar suaramu, tapi... itu bukan dirimu, kan?" bisiknya lirih, berusaha menenangkan hatinya sendiri. "Pergi!" ucapan dan suara tersebut begitu pelan, tapi sangat jelas di indera pendengaran Murni. Mendadak, angin sepoi berembus lembut, membuat dedaunan pohon bergemerisik. Seolah ada kehadiran halus yang menemani mereka di sana, memberikan ketenangan tanpa kata. Murni merasakan sedikit beban di hatinya terangkat, dan dia tersenyum samar. "Ayo pulang," ajak Lasmi tak lama kemudian.Ketiganya berjalan menyusuri pemakaman menuju pintu keluar. Saat itulah, seorang pria tua tampak berdiri di bawah pohon besar di pinggir jalan setapak. Penampilannya lusuh, pakaian yang ia kenakan terlihat usang, kotor, dan penuh tambalan. Ia memegang tongkat kayu yang panjang, berfungsi sebagai penopang sekaligus alat bantu berjalan. Saat melihat Lasmi dan kedua anaknya, pria tua itu tersenyum tipis, memperlihatkan gigi-giginya yang sudah tak utuh lagi.Saat tatapan dari pria tua itu jatuh pada Murni, tiba-tiba saja Murni merasa ada hawa tak nyaman, dan ia menggenggam lengan ibunya lebih erat. Namun, pria itu justru melangkah perlahan mendekati mereka, matanya yang sayu menatap tajam ke arah Murni. Ada sorot mata yang sulit dijelaskan, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tak diketahui siapa pun. "Cah Ayu…," gumamnya, mengendus-endus udara seakan ingin menangkap aroma dari arah tubuh Murni. Sontak saja gadis itu segera melangkah mundur dengan perasaan risih, merasa dipelototi oleh oran
Murni duduk di tepi tempat tidur, pandangannya kosong menatap ke arah jendela yang tersibak. Bayangan tentang pria tua di pemakaman, kata-katanya yang samar, dan sosok arwah Raharjo yang hadir dalam keheningan malam itu seolah terus menghantui pikirannya. Bulan di langit memancarkan cahaya yang sayu, sinarnya memudar di balik tirai yang bergerak pelan ditiup angin malam. Sunyi, begitu mencekam, hingga setiap detak jantung Murni terdengar dalam dada."Mungkinkah Bapak belum pergi…?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar di tengah kesunyian.Namun tiba-tiba, suara ketukan halus terdengar, datang dari balik dinding di samping tempat tidurnya. Suara itu mengetuk pelan, seolah mengetuk batinnya yang diliputi rasa takut. Murni menggigit bibirnya, berharap suara itu hanyalah ilusi. Ia menutup matanya rapat-rapat, menahan napas, tetapi ketukan itu semakin keras, membuatnya tak mampu mengabaikannya lagi.Tok... tok... tok...Hawa dingin merayap di tengkuknya, membuat bulu kuduknya mere
"To... Long...." "Aarrkh!! Tidaaak! Bapak ...." Murni berteriak histeris melihat semua itu terjadi tepat di depan matanya. Lasmi yang sebelumnya sudah pergi, segera berlari cepat untuk kembali ke kamar Murni. Di sana, ia melihat Murni yang menendang-nendang dengan masih berteriak. Namun dengan kedua mata yang tertutup rapat. "Murni! Murni! Bangun, Murni!" Lasmi menggoyangkan tubuh Murni agar terbangun dari mimpi buruknya. Segera setelah mata Murni terbuka, ia mendekap tubuh sang ibu dengan sangat erat. "Ibu, Murni takut, Bu." "Jangan takut, Ibu ada di sini," ucap Lasmi menenangkan. "Bapak, Bu. Bapak —" Lasmi menghela napas panjang, meletakkan tangan lembutnya di bahu Murni. "Mungkin kamu hanya lelah, Nak. Sejak Bapakmu pergi, bebanmu bertambah berat. Pikiranmu pasti dipenuhi banyak hal yang membuatmu berhalusinasi." Murni menelan ludah, merasakan kegetiran di ujung tenggorokannya. "Bu, aku tahu ini terdengar tidak masuk akal, tapi aku benar-benar melihat Bapak… dalam
"Ibu... Buku itu punya Bapak." Murni berusaha untuk meraih buku itu kembali, matanya memancarkan rasa penasaran yang tak terbendung. Buku itu, dengan sampul kulitnya yang usang dan aroma kertas tua, seperti menyimpan rahasia yang selama ini terkubur. "Iya, Ibu tahu itu, Murni. Dan justru karena Ibu tahu ini milik Bapakmu, Ibu melarangmu untuk membacanya," tegas Lasmi, suaranya bergetar di antara kekhawatiran dan ketegasan. "Kenapa, Bu? Ada apa sebenarnya? Apa yang Ibu tutupi dari Murni, Bu?" tanya Murni, nadanya mulai meninggi. Rasa penasarannya semakin mendesak, seperti ada sesuatu yang harus segera ia ketahui sebelum semuanya terlambat. Murni menatap buku itu dengan sorot mata yang bercampur antara takut dan penasaran. Tangan mungilnya gemetar saat mencoba menyentuh sampul buku tersebut. "Semua tulisan di dalamnya, Bu. Aku rasa... Bapak melakukan sesuatu. Sesuatu yang berhubungan dengan jiwa dan dunia lain." Lasmi memandang buku itu dengan tatapan nanar, seperti mengenang mas
Lasmi tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Murni dengan erat, seolah mencoba melindungi putrinya dari sesuatu yang tidak kasat mata. "Nduk, kalau kamu benar-benar peduli dengan Bapakmu, satu-satunya hal yang harus kamu lakukan adalah menjauhi buku itu. Jangan sampai kamu membuka jalan bagi mereka untuk datang ke sini." Namun, bagi Murni, kata-kata ibunya justru semakin menguatkan tekadnya. "Bu, kalau benar ada jalan masuk, berarti ada cara untuk menutupnya, bukan? Aku harus tahu caranya. Bapak terlalu menderita, Bu. Aku tidak bisa diam saja." "Tapi kamu tidak tahu risiko yang harus kamu hadapi, Murni," sergah Lasmi. "Dunia mereka penuh tipu daya. Apa yang kamu lihat mungkin bukan kebenaran. Mereka akan memanfaatkan kelemahanmu, ingat itu!." "Aku akan berhati-hati, Bu," jawab Murni dengan tegas. "Aku tidak akan menyerah begitu saja. Kalau Bapak membuat kesalahan, aku yakin ada cara untuk memperbaikinya." Murni tidak menjawab. Ia menatap buku itu dengan sorot mata yang penuh
"Aji!" Seketika bayangan yang tadi melesat cepat ke arah Aji langsung menghilang, dan tubuh Aji pun sudah bisa untuk digerakkan kembali. "Kamu ngapain diam aja di situ, Ji?" tanya Murni.Aji menoleh cepat tapi tak mengatakan apa-apa. Ia hanya berpura-pura menggigil kedinginan, berharap kakaknya tidak menanyakan lebih lanjut. “Aku cuma... kedinginan, Mbak,” jawabnya pelan, suaranya sedikit bergetar.Murni menatap Aji dengan raut wajah khawatir. “Ya wis, sudah tahu dingin malah anteng di situ. Masuk ke kamarmu sana. Tutup pintu dan selimut yang rapat, ya?” katanya sambil menepuk pundak adiknya.Aji hanya mengangguk pelan, kemudian berjalan menuju kamarnya tanpa banyak bicara. Setelah menutup pintu, ia duduk di sudut ruangan, memeluk lututnya erat. Pikirannya masih terjebak pada bayangan mengerikan yang baru saja ia lihat. Namun, ia memutuskan untuk tidak menceritakan apa pun kepada Murni. Ia tidak ingin membuat kakaknya semakin cemas.Sementara itu, di tempat lain, Lasmi terlihat duduk
“Murni, kadang ada hal-hal yang lebih baik tidak kamu ketahui. Ibu hanya berusaha menjaga semuanya tetap baik-baik saja." Lasmi berkata dengan datar sebelum meninggalkan Murni. Malam itu, Murni menghabiskan malamnya dengan pikiran yang masih melayang. Keesokan malamnya, suasana desa Juwono terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin bertiup kencang, membuat daun-daun bambu berderak seperti bisikan samar. Murni berdiri di depan rumah dengan buku misterius itu dalam genggaman tangannya. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia menepis ketakutannya. Ia tahu ini bukan saat untuk mundur. Sebelum melangkah keluar, ia menoleh ke arah kamar Aji. Pintu kamar itu sedikit terbuka, cukup untuk memperlihatkan bayangan tubuh adiknya yang sedang tidur pulas di ranjang. Murni menahan napas, mengintip sejenak untuk memastikan Aji benar-benar terlelap. Ia tak ingin Aji curiga dan mencoba mengikutinya. “Tidurlah, Aji,” bisiknya pelan, meski ia tahu suaranya tak akan terdengar. “Mbak akan kembali sebelu
"Bu? Apa yang Ibu lakukan di sini?" Murni tergagap, tangannya gemetar memegang buku itu dan segera menyembunyikannya di belakang tubuhnya. "Hentikan, Murni!" sentak Lasmi. "Ta-tapi, Bu. Bapak...." Lasmi tidak menjawab. Ia hanya menatap Murni dengan mata yang berkilat, penuh dengan amarah. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Lasmi membuat pria tua itu waspada. Ia segera memegang bahu Murni, menahannya untuk tetap diam di tempat. "Jangan percaya padanya, Nduk," bisiknya. "Itu bukan ibumu." Murni tertegun. Ia menatap Lasmi lagi, mencoba menemukan sesuatu yang salah. Tapi wajah itu... begitu mirip. Begitu nyata. "Murni, dengarkan Ibu. Keluar dari lingkaran itu sekarang juga! Kamu ndak tahu apa yang sedang kamu mainkan itu," Lasmi berkata lagi, seolah memaksa Murni untuk menuruti apa kemauannya. Namun, sebelum Murni bisa menjawab, pria tua itu melafalkan mantra lainnya. "Aja lumaku, aja ngomong, aja obah. Sak jeroning ati, kaku badan, kekunci sak jeroning bumi. Mantra iki mateg, ora
Murni dan Aji terus melangkah tanpa arah yang jelas, menyusuri jalan setapak yang penuh duri dan akar-akar pohon menjulur. Hutan itu gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang remang-remang. Udara malam begitu dingin, seakan membekukan harapan yang tersisa. Tapi, di tengah keheningan itu, tekad untuk kembali ke desa mereka terus memupuk keberanian dalam hati.Setelah berjalan selama berjam-jam, mereka tiba di sebuah pondok kecil di tengah hutan. Pondok itu tampak tua dan nyaris roboh, tapi pintunya sedikit terbuka, mengisyaratkan kehadiran seseorang di dalamnya. Murni ragu sejenak, tapi kemudian mengetuk pintu dengan hati-hati.“Siapa di luar sana?” Suara tua dan serak terdengar dari dalam.“Kami… kami hanya butuh tempat untuk beristirahat,” jawab Murni dengan suara gemetar.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria tua berambut putih kusut dengan jubah panjang yang tampak usang. Sorot matanya tajam, tapi ada kehangatan yang tersembunyi di balik kerut wajahnya. Ia memandang Mu
Murni menarik Aji keluar dari kamar melalui pintu belakang, seperti yang diperintahkan Raharjo. Langkah mereka tergesa-gesa, namun bayangan dingin yang mengikuti di belakang mereka semakin menambah beban di dada. Setiap langkah terasa berat, udara malam yang dingin menusuk tulang, dan suara-suara samar di kejauhan mengiringi mereka, seperti bisikan yang tak dapat dimengerti.Aji meremas tangan kakaknya dengan kuat, takut kehilangan pegangan. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya sedikit gemetar. “Mbak, sebenarnya siapa yang benar, dan siapa yang salah? Siapa yang teman dan siapa yang lawan?"Murni menoleh sejenak ke arah adiknya, namun pandangannya tertuju ke bayangan biru samar di kejauhan. Prana masih ada di sana, seperti melayang-layang, menjaga jarak namun tetap mengikuti mereka dengan langkah perlahan. Bayangan itu seperti pilar harapan yang menjulang di tengah kegelapan, meskipun aura misteriusnya tidak sepenuhnya membawa rasa aman."Sama sepertimu, Mbak juga masih bertanya-tanya, Ji.
Murni menarik Aji ke belakang, tubuhnya gemetar hebat. Sosok di ambang pintu tetap diam, hanya menatap mereka dengan mata merah menyala. Suara napasnya terdengar berat, bergema di dalam rumah kosong itu. “Aji, jangan lihat ke arahnya!” bisik Murni, berusaha menyembunyikan ketakutannya. Ia melangkah mundur, perlahan menjauh dari pintu. Sebaliknya, Aji tak bisa mengalihkan pandangannya, seolah terhipnotis oleh tatapan makhluk itu. “Keluar…” Suara serak menggema dari sosok itu, pelan namun penuh ancaman. Kata itu seperti memerintah, memaksa, mengikat mereka dalam ketakutan. Murni menggeleng cepat. “Kita tidak boleh keluar! Pak Prawiro bilang jangan keluar!” Ia memeluk Aji erat, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya sendiri gemetar tanpa henti. Sosok itu melangkah maju, kain kafannya berderak pelan seiring gerakannya. Setiap langkahnya membuat udara di dalam ruangan semakin dingin. Kabut tipis mulai merembes masuk melalui celah-celah dinding, membawa bau anyir yang membuat Murni mua
Murni dan Aji mengikuti Prawiro dengan langkah ragu, menembus hutan yang semakin gelap dan sunyi. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah tanah di bawah kaki mereka mencoba menahan perjalanan mereka. Namun, tatapan tegas Prawiro memberikan rasa aman meski hanya sedikit. Obor kecil di tangannya menjadi satu-satunya sumber cahaya di tengah kegelapan malam. "Apa desa itu benar-benar aman, Pak?" tanya Murni, suaranya pelan namun penuh kekhawatiran. "Selama kalian berada di bawah perlindunganku, kalian akan aman," jawab Prawiro tanpa menoleh. Suaranya tegas, namun ada nada ketegangan yang sulit disembunyikan. Aji, yang berjalan di samping Murni, menarik-narik lengan kakaknya. "Mbak, kenapa kita nggak langsung pulang saja? Kenapa harus ke desa itu?" Murni menunduk, mencoba memberikan senyum yang menenangkan kepada adiknya. "Percaya sama Mbak, Ji. Kita akan baik-baik saja." Namun, jawaban itu tidak cukup menenangkan Aji. Ia merasakan sesuatu yang aneh sejak pria tua itu muncul, meski i
Di tengah malam yang sunyi, di rumah kecil Raharjo tempat Murni dan Aji tinggal, suara aneh mulai terdengar dari luar. Angin berhembus kencang, menciptakan suara desis seperti bisikan yang menyeramkan. Di dalam rumah, Murni memeluk Aji yang tertidur di pangkuannya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi tidak tahu pasti apa itu. Tiba-tiba, lampu di rumahnya berkedip-kedip sebelum padam sepenuhnya. Suasana menjadi gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar-samar masuk melalui jendela. Dari luar, suara langkah berat terdengar, seolah ada sesuatu yang besar mendekat. Murni merasa napasnya tertahan, tubuhnya gemetar. Ia mencoba membangunkan Aji. Pintu rumah berderit pelan, lalu terbuka dengan sendirinya. Di ambang pintu, sosok itu muncul—Danyang. Tinggi, menyeramkan, dan mengeluarkan aura kegelapan yang begitu pekat. Matanya bersinar merah menyala, sementara tubuhnya diselimuti kabut hitam yang terus bergerak seperti hidup. Murni mundur, memeluk Aji erat-erat. "
Tubuh Raharjo yang baru saja bergerak itu kini bangkit sepenuhnya dari lantai gua. Namun, gerakannya terasa asing. Ia bergerak seperti boneka yang sedang dipaksa berdiri oleh tali yang tak terlihat. Prawiro menyaksikan semuanya dengan mata terbelalak. Kekuatan besar yang ia panggil telah berhasil, tetapi apa yang berdiri di hadapannya bukan lagi sepenuhnya Raharjo. Itu adalah sesuatu yang lain—sesuatu yang hanya menggunakan tubuh adiknya sebagai wadah. "Bangkitlah, Harjo," ulang Prawiro dengan suara yang sedikit bergetar. "Kini saatnya kau melindungi mereka." Raharjo, atau apapun yang kini berada dalam tubuhnya, menoleh ke arah Prawiro dengan gerakan yang kaku. Matanya memancarkan cahaya redup, seperti bara api yang hampir padam. "Melindungi...?" suaranya serak, menggema di dalam gua. "Apa kau tahu apa yang telah kau lakukan, Prawiro?" Prawiro terdiam, tubuhnya gemetar. "Aku tahu... aku tahu jika yang aku lakukan ini salah, tapi aku tak punya pilihan! Mereka—anak-anakmu—mereka akan
Di dalam gua yang tersembunyi di balik hutan lebat, Prawiro berdiri di tengah kegelapan, menyirami sesosok tubuh yang terbungkus kain kafan dengan air bercampur minyak misik dan bunga setaman. Suasana di sekitar gua itu terasa berat, dan udara dingin malam berdesir lembut, membawa aroma tanah basah yang menyeruak. Prawiro menatap tubuh yang terbaring diam, wajahnya masih dapat ia kenali. Namun, ada sesuatu yang begitu akrab. Senyumannya tetap terukir, meskipun ada kesan kesedihan yang tak terungkapkan.Dengan tangan yang halus, Prawiro memegang kendi tanah yang sudah hampir kosong, memercikkan air itu ke tubuh yang terbungkus kafan yang sudah tampak lusuh itu. Secara perlahan, suara lembut lagu Jawa mengalun dari bibirnya. Lagu itu tidak hanya sekedar melodi; setiap baitnya adalah doa, adalah pengorbanan, adalah harapan yang diselubungi penyesalan."Harjo, adikku... jangan khawatirkan apa yang telah terjadi. Anak-anakmu masih kulindungi. Karmamu sudah terjalani, saatnya kini untukku m
Malam itu memang terasa lebih dingin daripada biasanya. Angin yang bertiup seolah-olah membawa pesan dari kegelapan, sementara suara-suara malam terdengar semakin mencekam. Murni dan Aji tidak tidur semalaman. Mereka berjaga-jaga, duduk di ruang tengah dengan pisau dapur dan kayu bakar sebagai senjata seadanya. Piring tanah busuk berbelatung itu mereka bungkus dengan plastik dan letakkan di sudut ruangan. Namun, meskipun dibungkus rapat, bau busuknya tetap saja menguar, menambah rasa mual dan ketegangan di dalam rumah.Ketika cahaya pertama matahari mulai menyembul di ufuk timur, Murni memutuskan bahwa mereka harus segera pergi menemui Nyai Warsih.“Ayo, Ji. Kita bawa ini sekarang. Sebelum hal lain terjadi,” ucap Murni tegas.Aji mengangguk setuju. Ia mengambil plastik yang berisi piring itu dengan hati-hati, seolah-olah memegang benda yang bisa meledak kapan saja.Mereka berjalan cepat menuju rumah Nyai Warsih. Jalanan desa masih sepi, hanya suara ayam berkokok dan anjing menggonggon
Beberapa waktu berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Danyang di tepi hutan. Desa Juwono perlahan kembali hidup. Kehangatan matahari yang menyentuh dedaunan menciptakan pemandangan menyejukkan hati. Suara burung-burung kembali riang berkicau di pagi hari, dan warga desa mulai beraktivitas dengan semangat yang baru. Meski masih ada segelintir penduduk yang memendam ketakutan terhadap kehadiran Murni dan Aji, suasana desa tak lagi diliputi kecurigaan seperti sebelumnya. Terlebih setelah Nyai Warsih memimpin doa bersama di lapangan desa, memohon perlindungan bagi seluruh warga dan memulai kembali kehidupan mereka yang baru. Di salah satu sudut desa, rumah Raharjo yang dulu terlihat kusam dan dipenuhi aura gelap kini menjadi pusat perhatian. Para warga bahu-membahu membantu memperbaiki rumah itu. Mereka memperbaiki atap yang bocor, mengganti pintu yang rusak, dan membersihkan halaman yang dulu ditumbuhi semak belukar. “Ini bukan hanya rumah kalian, Murni. Ini adalah bagian dari des