Share

Bab 4. Teror

Penulis: Yasmin_imaji
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-20 10:26:02

Malam semakin larut, suasana dalam rumah terasa semakin menegangkan. Ketiga anggota keluarga itu hanya bisa duduk terdiam, mendengarkan suara-suara aneh yang datang dari luar, disertai dengan derap langkah yang membuat jantung mereka berdegup kencang. Setiap detik terasa seperti satu jam.

Ketika ketegangan semakin tak terkendali, Murni merasakan hawa mistis di sekelilingnya. "Bu, bagaimana jika itu benar-benar Bapak?" tanyanya, suaranya bergetar. "Aku... aku ndak mau percaya kalau Bapak sudah pergi."

Lasmi mengusap punggung Murni, berusaha menenangkannya. "Kita harus percaya, Murni. Yang kita lihat barusan adalah sesuatu yang lain. Kekuatan jahat sedang berusaha memanfaatkan kerinduanmu kepada Bapak."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Aji kemudian. Dia merasa perlu melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya, karena memang dirinyalah kini yang menjadi satu-satunya lelaki di keluarga Raharjo.

“Jangan berpikir macam-macam!" jawab Lasmi tegas. "Kita tidak bisa membiarkan perasaan kita diambil alih oleh kekuatan itu."

"Kreeek .... Kreeek ...."

Namun, saat mereka berbicara, suara di atap semakin mengerikan. Suara itu terdengar seperti seretan kuku-kuku tajam yang berat, disertai dengan bisikan halus yang datang dari segala arah, seolah mengundang mereka untuk keluar. "Buka pintu... Bapak pulang," suara itu bergetar dalam kegelapan, membuat bulu kuduk mereka meremang.

"Murni ...."

Tiba-tiba, dari arah jendela, terdengar suara ketukan halus yang diikuti oleh suara desisan. Lasmi menoleh cepat, dan saat dia melakukannya, bayangan putih melintas cepat di jendela. Jantungnya hampir copot.

“Murni, Aji! Jangan lihat!” teriak Lasmi saat Murni mulai menggerakkan kepala. Dengan cepat, ia berlari menutup tirai jendela dengan, berusaha menghalangi pandangan dari luar.

“Bu, ada apa?” tanya Murni dengan suara hampir tak terdengar, wajahnya pun sudah terlihat begitu pucat. Aji menggenggam tangan kakaknya, merasakan ketakutan yang sama seperti yang Murni rasakan.

“Ndak ada apa-apa. Cuma angin, iya ... hanya angin,” jawab Lasmi, berusaha meyakinkan dirinya sendiri lebih dari anak-anaknya. Meskipun sejujurnya, hatinya sendiri berdebar tak karuan.

"Bukaaa!"

Mendadak, suara ketukan yang semakin keras kembali terdengar, kali ini dari pintu belakang. "Lasmi" suara itu menggema hingganke dalam rumah.

Aji merinding. “Ibu, itu-itu suara Bapak!” teriaknya.

“Murni, Aji, tutup telinga kalian!” Lasmi memerintahkan, tetapi sudah terlambat. Mereka sudah mendengar suara itu, dan kini mereka bisa melihat bayangan samar di balik pintu. Sesosok tubuh dengan kain putih melilit, wajahnya tidak terlihat, tetapi aura kegelapan menyelimuti sosok itu.

Murni terisak, tidak bisa menahan air matanya. "Tapi... suaranya mirip suaranya Bapak," lirihnya, melangkah mundur tanpa sadar.

“TIDAK! Itu bukan Bapak, Mbak!” seru Aji, berusaha mengingatkan kakaknya. “Dia... Bapak sudah mati!"

Lasmi tidak dapat lagi menahan diri. Dia bergerak menuju pintu, menggenggam pegangan dengan kuat. “Siapa pun di luar, kami tidak ingin melihatmu! Pergi dari sini!”

Untuk beberapa saat, suara itu mulai hilang. Tapi setelahnya pintu bergerak-gerak cepat, seolah ingin didobrak. Suaranya begitu riuh. Aji berlari menuju ke pintu.

"Aji, jangan buka pintu! Sembunyi!” Lasmi berteriak, menahan napasnya.

Tapi ternyata ketakutan Lasmi tidak terbukti. Aji justru berdiri dan menahan pintu itu kuat-kuat. Semakin kuat ia menahannya, semakin keras gebrakan dari luar. Suara di luar semakin memekakkan telinga, seolah ada banyak suara yang berteriak bersamaan, menuntut perhatian mereka.

Tak hanya pintu, bahkan jendela-jendela kamar yang terbuat dari papan kayu pun ikut bergerak-gerak. Bayangan pocong dengan mata melotot, wajah yang penuh kesedihan, seolah baru saja bangkit dari kuburnya. Lasmi terkejut, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “TIDAK!” teriaknya, memalingkan wajahnya.

Suara ketukan di pintu semakin menggila, dan saat itu, sosok pocong mulai mendekat dan mengantukkan kepala di jendela, Murni menjerit kuat-kuat.

"Hentikaaan!"

Cukup dengan satu teriakan, semua teror itu berhenti, semua kengerian hilang. Hening, tak ada lagi suara yang dapat didengar kecuali dari napas mereka sendiri-sendiri. Malam itu ketegangan pun berakhir.

--

Pagi itu, ketika sinar matahari pertama menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, suasana mencekam yang meliputi rumah Raharjo semalam juga ikut menghilang. Murni, Aji, dan Lasmi masih terduduk di ruang tengah, letih namun sedikit lega karena akhirnya malam penuh teror itu telah berlalu. Mereka bertiga belum tidur sama sekali, berjaga-jaga hingga fajar menyingsing, memastikan bahwa tidak akan ada lagi ketukan pintu atau bisikan misterius yang akan mengganggu.

Murni menghela napas panjang, menatap ibunya dengan wajah lelah. "Bu... Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah benar-benar bukan Bapak?" tanyanya dengan suara yang nyaris tenggelam dalam keheningan pagi.

Lasmi menggeleng pelan, menenangkan putrinya. "Ndak, Murni... Itu bukan Bapakmu. Terkadang, ketika seseorang pergi meninggalkan kita, ada kekuatan-kekuatan gelap yang memanfaatkan sedikit untuk bisa masuk melalui kesedihan kita. Semalam, mereka mencoba memasuki pikiran dan hati kita," jawabnya dengan suara tenang.

Aji, yang sejak tadi duduk terdiam, memandangi lantai dengan ekspresi termenung. "Apa Bapak ... apa mungkin Bapak ndak tenang di sana, Bu?" tanyanya lirih, suaranya penuh dengan keraguan, takut jika sang ibu akan tersinggung.

Lasmi merengkuh bahu kedua anaknya, menggenggam tangan mereka erat. "Kita harus percaya bahwa Bapak sudah tenang di sana. Apa pun yang terjadi, kita tidak boleh biarkan rasa kehilangan ini membuat kita lengah."

"Murni mau ke makam Bapak, Bu," ucap Murni tiba-tiba. Sontak saja kata-kata yang batu saja keluar itu membuat Lasmi dan juga Aji menoleh, menatap Murni secara bersamaan.

"Untuk apa, Murni?" tanya Lasmi.

"Aku mau lihat makam Bapak. Aku –"

"Jangan katakan kamu merindukannya, Murni." Lasmi segera memutus ucapan Murni yang belum selesai.

"Apapun yang Ibu katakan, aku akan tetap pergi ke makam Bapak!" Murni segera beranjak dari tempat duduknya untuk membersihkan diri.

"Bu," lirih Aji menatap sang ibu.

"Kita juga akan pergi ke sana, Ji," ujar Lasmi kemudian.

Hari itu mereka memutuskan untuk mengunjungi makam Raharjo. Murni merasa sedikit lega karena sang ibu dan juga adiknya ikut menemani. Ia berharap untuk bisa melepaskan segala kecemasan dan rasa bersalah atas pesan sang ayah yang pernah diabaikannya. Di tengah keheningan pemakaman, ketiganya duduk di dekat makam Raharjo. Lasmi menundukkan kepala, merapalkan doa. Ah

Murni meraih sekuntum bunga yang ia petik di halaman rumahnya, lalu meletakkannya di atas pusara Raharjo yang benar-benar masih basah. "Pak, semalam kami mendengar suaramu, tapi... itu bukan dirimu, kan?" bisiknya lirih, berusaha menenangkan hatinya sendiri.

"Pergi!" ucapan dan suara tersebut begitu pelan, tapi sangat jelas di indera pendengaran Murni.

Mendadak, angin sepoi berembus lembut, membuat dedaunan pohon bergemerisik. Seolah ada kehadiran halus yang menemani mereka di sana, memberikan ketenangan tanpa kata. Murni merasakan sedikit beban di hatinya terangkat, dan dia tersenyum samar.

"Ayo pulang," ajak Lasmi tak lama kemudian.

Bab terkait

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 5. Pria Misterius

    Ketiganya berjalan menyusuri pemakaman menuju pintu keluar. Saat itulah, seorang pria tua tampak berdiri di bawah pohon besar di pinggir jalan setapak. Penampilannya lusuh, pakaian yang ia kenakan terlihat usang, kotor, dan penuh tambalan. Ia memegang tongkat kayu yang panjang, berfungsi sebagai penopang sekaligus alat bantu berjalan. Saat melihat Lasmi dan kedua anaknya, pria tua itu tersenyum tipis, memperlihatkan gigi-giginya yang sudah tak utuh lagi.Saat tatapan dari pria tua itu jatuh pada Murni, tiba-tiba saja Murni merasa ada hawa tak nyaman, dan ia menggenggam lengan ibunya lebih erat. Namun, pria itu justru melangkah perlahan mendekati mereka, matanya yang sayu menatap tajam ke arah Murni. Ada sorot mata yang sulit dijelaskan, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tak diketahui siapa pun. "Cah Ayu…," gumamnya, mengendus-endus udara seakan ingin menangkap aroma dari arah tubuh Murni. Sontak saja gadis itu segera melangkah mundur dengan perasaan risih, merasa dipelototi oleh oran

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 1. Kematian Bapak

    “Bapak! Bangun, Pak!” Murni masih memeluk tubuh Raharjo yang kini telah terbujur kaku. Beberapa kali ia menggoyangkan tubuh bapaknya, berharap agar laki-laki yang begitu ia cintai dapat membuka kedua matanya kembali. “Bu, ini ndak mungkin. Bapak belum meninggal kan, Bu?” tanya Murni yang kemudian beralih memeluk sang ibu yang juga duduk di samping jenazah suaminya. Memang sulit untuk dipercaya, tak ada angin tak ada hujan, Raharjo meninggal begitu saja. Dia yang lebih dikenal sebagai Juragan Harjo sama sekali tak sakit. Bahkan, pagi harinya Juragan Harjo masih mampu pergi menagih utang dari para warga yang kerap kali meminjam uang padanya. Raharjo merupakan seorang tuan tanah yang sangat disegani. Luasnya area lahan yang dia miliki, serta kekayaan yang mungkin tak akan habis untuk tujuh turunan membuatnya begitu berkuasa di desa itu, Desa Juwono namanya. “Murni … ikhlaskan bapakmu, Nduk,” ucap Lasmi seraya mengusap punggung putrinya itu dengan lembut. “Tapi, Bu. Murni ndak

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 2. Pemakaman

    Murni terkesiap. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Kain kafan bapaknya bergerak semakin nyata, seolah ada yang berusaha keluar dari dalam sana. Para pelayat pun saling berbisik, beberapa bahkan berlari menjauh, sementara yang lain masih terpaku di tempat, tak mampu mengalihkan pandangan mereka. "Mundur, Nduk! Mundur!" seru Lasmi dengan panik, menarik Murni menjauh dari jenazah Raharjo. Namun, Murni seperti tak mendengar teriakan ibunya, kedua matanya masih terpaku pada kain kafan yang perlahan tergerak ke kanan, seakan mengisyaratkan sesuatu. "Murniii ...." Murni menoleh, ke sana kemari mencari suara bisikan yang baru saja menelusup ke dalam telinganya. "Ba-Bapak ...," terbata Murni menyebut nama bapaknya. Iya, Murni sangat mengenali suara itu, suara sang ayah. "Kalian kenapa masih berdiri di sana? Tolong angkat Bapak," pinta Murni bersungguh-sungguh. Kasnan yang memang bekerja pada Juragan Raharjo pun lantas maju, dengan menyeret lengan Pai

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 3. Ketegangan

    Lasmi masih berdiri terdiam di ruang tamu, sorot matanya waspada dan napasnya terengah. Ketukan itu semakin keras, menggema, seolah-olah memaksa masuk. “Ji… kamu dengar itu?” bisik Murni, suaranya gemetar. Aji mengangguk, tangannya meremas lengan kakaknya untuk memberikan sedikit ketenangan. "Mbak, tunggu di sini. Biar aku lihat," katanya berusaha tenang, meski hatinya diliputi kegelisahan. Aji perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan, setiap langkahnya terasa berat. Lasmi menunggu di ujung ruang tamu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketukan itu semakin kencang, nyaris seperti dobrakan. BRAK! BRAK! BRAK! Aji menggenggam pegangan pintu dengan tangan bergetar. Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu itu perlahan, menahan rasa takut yang kian mencengkram. Namun, di luar hanya ada kegelapan yang pekat, tidak ada tanda-tanda siapa pun. “Aji, siapa itu?” tanya Lasmi dari belakang. Aji menatap ke luar dengan ragu, mencoba menembus kegelapan dengan mat

Bab terbaru

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 5. Pria Misterius

    Ketiganya berjalan menyusuri pemakaman menuju pintu keluar. Saat itulah, seorang pria tua tampak berdiri di bawah pohon besar di pinggir jalan setapak. Penampilannya lusuh, pakaian yang ia kenakan terlihat usang, kotor, dan penuh tambalan. Ia memegang tongkat kayu yang panjang, berfungsi sebagai penopang sekaligus alat bantu berjalan. Saat melihat Lasmi dan kedua anaknya, pria tua itu tersenyum tipis, memperlihatkan gigi-giginya yang sudah tak utuh lagi.Saat tatapan dari pria tua itu jatuh pada Murni, tiba-tiba saja Murni merasa ada hawa tak nyaman, dan ia menggenggam lengan ibunya lebih erat. Namun, pria itu justru melangkah perlahan mendekati mereka, matanya yang sayu menatap tajam ke arah Murni. Ada sorot mata yang sulit dijelaskan, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tak diketahui siapa pun. "Cah Ayu…," gumamnya, mengendus-endus udara seakan ingin menangkap aroma dari arah tubuh Murni. Sontak saja gadis itu segera melangkah mundur dengan perasaan risih, merasa dipelototi oleh oran

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 4. Teror

    Malam semakin larut, suasana dalam rumah terasa semakin menegangkan. Ketiga anggota keluarga itu hanya bisa duduk terdiam, mendengarkan suara-suara aneh yang datang dari luar, disertai dengan derap langkah yang membuat jantung mereka berdegup kencang. Setiap detik terasa seperti satu jam. Ketika ketegangan semakin tak terkendali, Murni merasakan hawa mistis di sekelilingnya. "Bu, bagaimana jika itu benar-benar Bapak?" tanyanya, suaranya bergetar. "Aku... aku ndak mau percaya kalau Bapak sudah pergi." Lasmi mengusap punggung Murni, berusaha menenangkannya. "Kita harus percaya, Murni. Yang kita lihat barusan adalah sesuatu yang lain. Kekuatan jahat sedang berusaha memanfaatkan kerinduanmu kepada Bapak." "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Aji kemudian. Dia merasa perlu melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya, karena memang dirinyalah kini yang menjadi satu-satunya lelaki di keluarga Raharjo. “Jangan berpikir macam-macam!" jawab Lasmi tegas. "Kita tidak bisa mem

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 3. Ketegangan

    Lasmi masih berdiri terdiam di ruang tamu, sorot matanya waspada dan napasnya terengah. Ketukan itu semakin keras, menggema, seolah-olah memaksa masuk. “Ji… kamu dengar itu?” bisik Murni, suaranya gemetar. Aji mengangguk, tangannya meremas lengan kakaknya untuk memberikan sedikit ketenangan. "Mbak, tunggu di sini. Biar aku lihat," katanya berusaha tenang, meski hatinya diliputi kegelisahan. Aji perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan, setiap langkahnya terasa berat. Lasmi menunggu di ujung ruang tamu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketukan itu semakin kencang, nyaris seperti dobrakan. BRAK! BRAK! BRAK! Aji menggenggam pegangan pintu dengan tangan bergetar. Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu itu perlahan, menahan rasa takut yang kian mencengkram. Namun, di luar hanya ada kegelapan yang pekat, tidak ada tanda-tanda siapa pun. “Aji, siapa itu?” tanya Lasmi dari belakang. Aji menatap ke luar dengan ragu, mencoba menembus kegelapan dengan mat

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 2. Pemakaman

    Murni terkesiap. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Kain kafan bapaknya bergerak semakin nyata, seolah ada yang berusaha keluar dari dalam sana. Para pelayat pun saling berbisik, beberapa bahkan berlari menjauh, sementara yang lain masih terpaku di tempat, tak mampu mengalihkan pandangan mereka. "Mundur, Nduk! Mundur!" seru Lasmi dengan panik, menarik Murni menjauh dari jenazah Raharjo. Namun, Murni seperti tak mendengar teriakan ibunya, kedua matanya masih terpaku pada kain kafan yang perlahan tergerak ke kanan, seakan mengisyaratkan sesuatu. "Murniii ...." Murni menoleh, ke sana kemari mencari suara bisikan yang baru saja menelusup ke dalam telinganya. "Ba-Bapak ...," terbata Murni menyebut nama bapaknya. Iya, Murni sangat mengenali suara itu, suara sang ayah. "Kalian kenapa masih berdiri di sana? Tolong angkat Bapak," pinta Murni bersungguh-sungguh. Kasnan yang memang bekerja pada Juragan Raharjo pun lantas maju, dengan menyeret lengan Pai

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 1. Kematian Bapak

    “Bapak! Bangun, Pak!” Murni masih memeluk tubuh Raharjo yang kini telah terbujur kaku. Beberapa kali ia menggoyangkan tubuh bapaknya, berharap agar laki-laki yang begitu ia cintai dapat membuka kedua matanya kembali. “Bu, ini ndak mungkin. Bapak belum meninggal kan, Bu?” tanya Murni yang kemudian beralih memeluk sang ibu yang juga duduk di samping jenazah suaminya. Memang sulit untuk dipercaya, tak ada angin tak ada hujan, Raharjo meninggal begitu saja. Dia yang lebih dikenal sebagai Juragan Harjo sama sekali tak sakit. Bahkan, pagi harinya Juragan Harjo masih mampu pergi menagih utang dari para warga yang kerap kali meminjam uang padanya. Raharjo merupakan seorang tuan tanah yang sangat disegani. Luasnya area lahan yang dia miliki, serta kekayaan yang mungkin tak akan habis untuk tujuh turunan membuatnya begitu berkuasa di desa itu, Desa Juwono namanya. “Murni … ikhlaskan bapakmu, Nduk,” ucap Lasmi seraya mengusap punggung putrinya itu dengan lembut. “Tapi, Bu. Murni ndak

DMCA.com Protection Status