Share

Bab 6. Pikiran Kalut

Penulis: Yasmin_imaji
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-21 12:05:34

Murni duduk di tepi tempat tidur, pandangannya kosong menatap ke arah jendela yang tersibak. Bayangan tentang pria tua di pemakaman, kata-katanya yang samar, dan sosok arwah Raharjo yang hadir dalam keheningan malam itu seolah terus menghantui pikirannya. Bulan di langit memancarkan cahaya yang sayu, sinarnya memudar di balik tirai yang bergerak pelan ditiup angin malam. Sunyi, begitu mencekam, hingga setiap detak jantung Murni terdengar dalam dada.

"Mungkinkah Bapak belum pergi…?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar di tengah kesunyian.

Namun tiba-tiba, suara ketukan halus terdengar, datang dari balik dinding di samping tempat tidurnya. Suara itu mengetuk pelan, seolah mengetuk batinnya yang diliputi rasa takut. Murni menggigit bibirnya, berharap suara itu hanyalah ilusi. Ia menutup matanya rapat-rapat, menahan napas, tetapi ketukan itu semakin keras, membuatnya tak mampu mengabaikannya lagi.

Tok... tok... tok...

Hawa dingin merayap di tengkuknya, membuat bulu kuduknya meremang. Perlahan, ia membuka matanya, menatap ke arah dinding dengan perasaan tak karuan. Tubuhnya bergetar, takut bercampur penasaran. Ia tahu, sesuatu yang ganjil sedang terjadi, namun ketakutan menahannya untuk bergerak.

Tok... tok... tok...

Suara itu berpindah, kini berasal dari pintu kamarnya. Suara ketukan terdengar makin jelas, seolah ada yang mengetuk dari sisi lain. Jantung Murni berdegup kencang, tetapi tubuhnya seakan terpaku di tempat. Ia hanya bisa memandang ke arah pintu, dengan tubuh menggigil.

Lalu, tiba-tiba gagang pintu berputar perlahan, terdengar bunyi klik pelan yang memecah keheningan. Pintu itu terbuka, menampakkan ruang tamu yang gelap dan kosong, namun terasa dingin seperti mengundang kehadiran yang tak kasat mata.

Tidak ada siapa pun di sana. Hanya bayangan hitam pekat yang mengisi setiap sudut ruangan.

Dengan tangan gemetar, Murni bangkit dari tempat tidur, langkahnya tertahan saat ia mendekati pintu. Hawa dingin yang tak biasa menyelimuti tubuhnya, membuat setiap helaan napasnya terasa berat. Pandangannya menyapu ruangan yang kosong, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya halusinasi.

Namun, matanya tiba-tiba menangkap sesuatu di sudut ruangan. Di ujung ruang tamu yang gelap, sebuah bayangan putih berdiri kaku, sosok yang begitu tinggi dengan kain kafan yang menjuntai ke lantai. Wajahnya pucat, matanya kosong, menatap lurus ke arahnya.

“Bapak...” Suara Murni hampir tercekik dalam tenggorokannya. Tubuhnya bergetar, darahnya seolah membeku. Pocong itu berdiri tak bergerak, hanya menatapnya dalam keheningan yang menyesakkan. Wajahnya pucat dengan lingkar mata gelap yang tampak dalam dan kosong, seolah mengintip ke dalam jiwa Murni.

"Ba-Bapak…?" panggilnya sekali lagi, setengah tak percaya pada apa yang ia lihat. Pocong itu tak menjawab, tetapi tatapannya terasa mengikat, seolah ada sesuatu yang ingin disampaikan namun tertahan di ujung lidah.

Tanpa sadar, Murni mundur selangkah, tubuhnya limbung. Namun sosok itu maju, melangkah perlahan, kaku, dan pasti. Setiap langkahnya terdengar begitu hampa, disertai suara gesekan kain kafan yang menciptakan gemerisik lirih namun menakutkan. Murni terdiam, matanya membesar saat pocong itu semakin mendekat, hingga jaraknya hanya beberapa langkah darinya.

Pocong itu membuka mulutnya, perlahan, seolah hendak mengucapkan sesuatu. Bibirnya kaku, namun dari celah mulutnya, terdengar sebuah suara serak yang nyaris tak terdengar. "To... long..." katanya perlahan, suara yang terputus-putus, seperti berasal dari dunia yang berbeda.

Murni mencengkeram dadanya, perasaannya bergolak, ketakutan dan kesedihan bercampur menjadi satu. Ia tahu, ini bukan sekadar teror biasa. Ada sesuatu yang mendalam dalam tatapan hampa pocong itu, seolah-olah arwah ayahnya masih terjebak di antara kehidupan dan kematian, tak bisa melangkah maju.

“Bapak, apa yang bisa Murni lakukan?” lirihnya, nyaris terisak, meskipun ia tahu bahwa tak ada jawaban yang mungkin ia dapatkan. Namun sosok itu hanya menatapnya, matanya penuh dengan duka yang dalam, memancarkan pesan yang tak terucap.

Seketika, sosok itu menghilang, lenyap begitu saja di depan Murni, meninggalkan ruangan yang kembali sunyi, seolah-olah segala kehadiran itu hanya ilusi.

Murni memandang ke sekeliling ruangan dengan mata yang masih terbuka lebar, berusaha mencari bayangan terakhir dari ayahnya. Namun, tak ada apa pun di sana. Hanya kehampaan yang merayap dalam kesunyian, meninggalkan rasa dingin di hatinya.

“Apa yang terjadi dengan Bapak?” gumamnya, setengah kepada dirinya sendiri. Pikirannya berkecamuk, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang membelenggu jiwanya, memaksa untuk terus menatap ke kegelapan.

Murni terdorong untuk menuju kamar ibunya, ingin membangunkannya, ingin menceritakan segala yang ia alami. Namun, rasa ragu menahan langkahnya. Pikirannya kembali teringat pria tua di pemakaman, yang memperingatkannya tentang arwah Raharjo yang tersesat di antara dua dunia.

Dengan langkah gontai, Murni kembali ke kamar, membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Namun, matanya tetap terbuka lebar, waspada, takut kejadian yang sama akan terulang. Setiap desiran angin yang masuk melalui celah jendela terdengar seperti bisikan halus yang menakutkan, membuatnya menggigil.

Srak... Srak... Srak...

Kali ini bukan lagi suara ketukan, melainkan suara guratan yang lebih mirip seperti kuku yang sedang menggaruk dari lantai di bawah tempat tidurnya. Murni menahan napas, memejamkan mata sejenak. Ketukan itu semakin keras, hingga tak mungkin lagi diabaikan.

Ia mengintip dari balik selimut, tubuhnya gemetar hebat. Dengan penuh keberanian, ia menurunkan kakinya ke lantai, membiarkan dingin merambat ke kulitnya. Perlahan-lahan, ia menundukkan kepala, mencoba mencari sumber ketukan di bawah tempat tidurnya.

Namun, tak ada apa-apa di sana. Hanya keheningan yang semakin pekat dan suara jantungnya yang berdetak tak karuan.

"Murni?" Suara ibunya terdengar dari kamar sebelah, membuat Murni tersentak kaget.

Dengan cepat, ia melangkah ke arah pintu kamar ibunya, membuka pintu dengan tangan yang gemetar. Di sana, Lasmi berdiri dengan wajah yang tampak cemas.

"Ada apa, Nak? Kenapa belum tidur?" Lasmi bertanya, suaranya lembut, berusaha menenangkan Murni yang tampak ketakutan.

Murni hanya memandang ibunya, ingin mengatakan segalanya, tentang pocong yang terus mengikutinya, tentang sosok ayahnya yang seolah terjebak di antara dua dunia. Namun bibirnya terasa kaku, tertahan oleh rasa takut dan bingung. Ia tak ingin menambah beban ibunya yang jelas-jelas sudah begitu letih.

"Enggak ada apa-apa, Bu. Murni cuma enggak bisa tidur," jawabnya singkat, memaksakan senyum yang terlihat pucat.

Lasmi menariknya ke dalam pelukan, mengusap kepala Murni dengan lembut. "Kamu harus istirahat, Nak. Jangan biarkan pikiranmu bermain-main dengan hal-hal yang tak perlu," bisiknya lembut.

Murni menutup matanya, mencoba menenangkan diri di pelukan ibunya. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa apa yang ia alami bukanlah sekadar mimpi atau ilusi. Ada sesuatu yang nyata dan mengerikan, yang tengah mengintai keluarganya dalam kegelapan.

Setelah memastikan Murni kembali berbaring, Lasmi pun kembali ke kamarnya. Namun saat Murni hampir memejamkan mata, ketukan itu kembali terdengar, kali ini semakin keras dan penuh desakan.

Kriiieet...

Pintu kamarnya perlahan terbuka, menampakkan sosok pocong yang sama, dengan mata kosong yang menatapnya dalam kegelapan. Tubuh Murni membeku, rasa takut merayap hingga ke dalam tulang sumsum. Pocong itu mengulangi kata-kata yang sama dengan suara yang bergetar.

“To...long.. “

Komen (52)
goodnovel comment avatar
Trie Sumanti
pocong ga tau tempat ya datangnya ... untung murni ga pingsan ditempat
goodnovel comment avatar
Erisa Zulfa
Jd hawatir lama lama kesehatan murni bisa menurun Krn kurang istirahat, digangguin Mulu sm bapaknya tp mungkin Krn murni anak kesayangan Raharjo makanya murni yg dimintai tolong dan yg bisa menolong
goodnovel comment avatar
Al-rayan Sandi Sya
banyak rahasia yg di simpan Lasmi kayaknya yah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 7. Rahasia Kamar Bapak

    "To... Long...." "Aarrkh!! Tidaaak! Bapak ...." Murni berteriak histeris melihat semua itu terjadi tepat di depan matanya. Lasmi yang sebelumnya sudah pergi, segera berlari cepat untuk kembali ke kamar Murni. Di sana, ia melihat Murni yang menendang-nendang dengan masih berteriak. Namun dengan kedua mata yang tertutup rapat. "Murni! Murni! Bangun, Murni!" Lasmi menggoyangkan tubuh Murni agar terbangun dari mimpi buruknya. Segera setelah mata Murni terbuka, ia mendekap tubuh sang ibu dengan sangat erat. "Ibu, Murni takut, Bu." "Jangan takut, Ibu ada di sini," ucap Lasmi menenangkan. "Bapak, Bu. Bapak —" Lasmi menghela napas panjang, meletakkan tangan lembutnya di bahu Murni. "Mungkin kamu hanya lelah, Nak. Sejak Bapakmu pergi, bebanmu bertambah berat. Pikiranmu pasti dipenuhi banyak hal yang membuatmu berhalusinasi." Murni menelan ludah, merasakan kegetiran di ujung tenggorokannya. "Bu, aku tahu ini terdengar tidak masuk akal, tapi aku benar-benar melihat Bapak… dalam

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 8. Buku Tua

    "Ibu... Buku itu punya Bapak." Murni berusaha untuk meraih buku itu kembali, matanya memancarkan rasa penasaran yang tak terbendung. Buku itu, dengan sampul kulitnya yang usang dan aroma kertas tua, seperti menyimpan rahasia yang selama ini terkubur. "Iya, Ibu tahu itu, Murni. Dan justru karena Ibu tahu ini milik Bapakmu, Ibu melarangmu untuk membacanya," tegas Lasmi, suaranya bergetar di antara kekhawatiran dan ketegasan. "Kenapa, Bu? Ada apa sebenarnya? Apa yang Ibu tutupi dari Murni, Bu?" tanya Murni, nadanya mulai meninggi. Rasa penasarannya semakin mendesak, seperti ada sesuatu yang harus segera ia ketahui sebelum semuanya terlambat. Murni menatap buku itu dengan sorot mata yang bercampur antara takut dan penasaran. Tangan mungilnya gemetar saat mencoba menyentuh sampul buku tersebut. "Semua tulisan di dalamnya, Bu. Aku rasa... Bapak melakukan sesuatu. Sesuatu yang berhubungan dengan jiwa dan dunia lain." Lasmi memandang buku itu dengan tatapan nanar, seperti mengenang mas

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 9. Keras Kepala

    Lasmi tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Murni dengan erat, seolah mencoba melindungi putrinya dari sesuatu yang tidak kasat mata. "Nduk, kalau kamu benar-benar peduli dengan Bapakmu, satu-satunya hal yang harus kamu lakukan adalah menjauhi buku itu. Jangan sampai kamu membuka jalan bagi mereka untuk datang ke sini." Namun, bagi Murni, kata-kata ibunya justru semakin menguatkan tekadnya. "Bu, kalau benar ada jalan masuk, berarti ada cara untuk menutupnya, bukan? Aku harus tahu caranya. Bapak terlalu menderita, Bu. Aku tidak bisa diam saja." "Tapi kamu tidak tahu risiko yang harus kamu hadapi, Murni," sergah Lasmi. "Dunia mereka penuh tipu daya. Apa yang kamu lihat mungkin bukan kebenaran. Mereka akan memanfaatkan kelemahanmu, ingat itu!." "Aku akan berhati-hati, Bu," jawab Murni dengan tegas. "Aku tidak akan menyerah begitu saja. Kalau Bapak membuat kesalahan, aku yakin ada cara untuk memperbaikinya." Murni tidak menjawab. Ia menatap buku itu dengan sorot mata yang penuh

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 10. Bayang Hitam

    "Aji!" Seketika bayangan yang tadi melesat cepat ke arah Aji langsung menghilang, dan tubuh Aji pun sudah bisa untuk digerakkan kembali. "Kamu ngapain diam aja di situ, Ji?" tanya Murni.Aji menoleh cepat tapi tak mengatakan apa-apa. Ia hanya berpura-pura menggigil kedinginan, berharap kakaknya tidak menanyakan lebih lanjut. “Aku cuma... kedinginan, Mbak,” jawabnya pelan, suaranya sedikit bergetar.Murni menatap Aji dengan raut wajah khawatir. “Ya wis, sudah tahu dingin malah anteng di situ. Masuk ke kamarmu sana. Tutup pintu dan selimut yang rapat, ya?” katanya sambil menepuk pundak adiknya.Aji hanya mengangguk pelan, kemudian berjalan menuju kamarnya tanpa banyak bicara. Setelah menutup pintu, ia duduk di sudut ruangan, memeluk lututnya erat. Pikirannya masih terjebak pada bayangan mengerikan yang baru saja ia lihat. Namun, ia memutuskan untuk tidak menceritakan apa pun kepada Murni. Ia tidak ingin membuat kakaknya semakin cemas.Sementara itu, di tempat lain, Lasmi terlihat duduk

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 11. Pemanggilan Arwah

    “Murni, kadang ada hal-hal yang lebih baik tidak kamu ketahui. Ibu hanya berusaha menjaga semuanya tetap baik-baik saja." Lasmi berkata dengan datar sebelum meninggalkan Murni. Malam itu, Murni menghabiskan malamnya dengan pikiran yang masih melayang. Keesokan malamnya, suasana desa Juwono terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin bertiup kencang, membuat daun-daun bambu berderak seperti bisikan samar. Murni berdiri di depan rumah dengan buku misterius itu dalam genggaman tangannya. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia menepis ketakutannya. Ia tahu ini bukan saat untuk mundur. Sebelum melangkah keluar, ia menoleh ke arah kamar Aji. Pintu kamar itu sedikit terbuka, cukup untuk memperlihatkan bayangan tubuh adiknya yang sedang tidur pulas di ranjang. Murni menahan napas, mengintip sejenak untuk memastikan Aji benar-benar terlelap. Ia tak ingin Aji curiga dan mencoba mengikutinya. “Tidurlah, Aji,” bisiknya pelan, meski ia tahu suaranya tak akan terdengar. “Mbak akan kembali sebelu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 12. Dia Bukan Ibumu!

    "Bu? Apa yang Ibu lakukan di sini?" Murni tergagap, tangannya gemetar memegang buku itu dan segera menyembunyikannya di belakang tubuhnya. "Hentikan, Murni!" sentak Lasmi. "Ta-tapi, Bu. Bapak...." Lasmi tidak menjawab. Ia hanya menatap Murni dengan mata yang berkilat, penuh dengan amarah. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Lasmi membuat pria tua itu waspada. Ia segera memegang bahu Murni, menahannya untuk tetap diam di tempat. "Jangan percaya padanya, Nduk," bisiknya. "Itu bukan ibumu." Murni tertegun. Ia menatap Lasmi lagi, mencoba menemukan sesuatu yang salah. Tapi wajah itu... begitu mirip. Begitu nyata. "Murni, dengarkan Ibu. Keluar dari lingkaran itu sekarang juga! Kamu ndak tahu apa yang sedang kamu mainkan itu," Lasmi berkata lagi, seolah memaksa Murni untuk menuruti apa kemauannya. Namun, sebelum Murni bisa menjawab, pria tua itu melafalkan mantra lainnya. "Aja lumaku, aja ngomong, aja obah. Sak jeroning ati, kaku badan, kekunci sak jeroning bumi. Mantra iki mateg, ora

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 13. Peringatan

    "Dari mana kamu, Murni!" Murni yang baru saja masuk ke rumah dengan mengendap-endap sudah disambut dengan bentakan keras dari sang ibu. "I-ibu...," ucap Murni terbata. "Katakan! Dari mana kamu?" tanya Lasmi dengan penuh intimidasi. "Murni... Murni dari —" "Sudah berani kamu melawan perintah Ibu?" sentak Lasmi sebelum Murni menyelesaikan kata-katanya. Murni terdiam, tubuhnya gemetar melihat amarah di wajah ibunya. Namun, ia tak bisa menghilangkan bayangan peristiwa yang terjadi di kuburan sang ayah tadi. Di mana angin kencang, mantra mengerikan, dan juga sosok menyeramkan yang mengaku sebagai ibunya. Bahkan sekarang saja, Murni merasa ragu jika wanita yang ada di hadapannya itu adalah benar ibunya. "Ibu, dengarkan Murni dulu..." ujarnya lirih, mencoba meredakan suasana. "Dengarkan? Kamu pikir Ibu akan percaya dengan kata-katamu setelah kamu berbuat sembarangan?!" Lasmi melangkah maju, menatap putrinya tajam. "Jawab Ibu, Murni. Apa kamu pergi ke kuburan bapakmu?" Murni m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 14. Malam Kelam

    Sejak malam mengerikan itu, Murni merasa kehidupannya berubah. Buku tua milik Raharjo yang sempat ia genggam kini tersimpan rapat di balik lemari kayu tua di kamarnya. Tidak ada yang tahu keberadaan buku itu selain dirinya. Bahkan, ibunya, Lasmi, tampak menghindari pembicaraan tentang buku tersebut, meskipun ketakutan terlihat jelas setiap kali mata mereka bertemu.Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan sudah saatnya Murni kembali ke kota untuk melanjutkan kuliahnya. Namun, ada sesuatu yang menahannya di Desa Juwono, sesuatu yang tak mampu ia jelaskan. Lasmi sendiri melarang keras kepergian Murni sebelum genap 40 hari sejak kematian Raharjo.“Ndak baik meninggalkan rumah di saat seperti ini, Nduk,” ujar Lasmi pagi itu, suaranya tegas namun terdengar samar-samar seperti menutupi sesuatu.Murni mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa berat. Desa Juwono bukan lagi tempat yang sama baginya. Udara yang dulu terasa sejuk kini seperti membawa aroma kematian. "Nggih, Bu," jawabnya.Pagi it

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04

Bab terbaru

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 98. Tipuan

    Murni dan Aji terus melangkah tanpa arah yang jelas, menyusuri jalan setapak yang penuh duri dan akar-akar pohon menjulur. Hutan itu gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang remang-remang. Udara malam begitu dingin, seakan membekukan harapan yang tersisa. Tapi, di tengah keheningan itu, tekad untuk kembali ke desa mereka terus memupuk keberanian dalam hati.Setelah berjalan selama berjam-jam, mereka tiba di sebuah pondok kecil di tengah hutan. Pondok itu tampak tua dan nyaris roboh, tapi pintunya sedikit terbuka, mengisyaratkan kehadiran seseorang di dalamnya. Murni ragu sejenak, tapi kemudian mengetuk pintu dengan hati-hati.“Siapa di luar sana?” Suara tua dan serak terdengar dari dalam.“Kami… kami hanya butuh tempat untuk beristirahat,” jawab Murni dengan suara gemetar.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria tua berambut putih kusut dengan jubah panjang yang tampak usang. Sorot matanya tajam, tapi ada kehangatan yang tersembunyi di balik kerut wajahnya. Ia memandang Mu

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 97. Perlawanan

    Murni menarik Aji keluar dari kamar melalui pintu belakang, seperti yang diperintahkan Raharjo. Langkah mereka tergesa-gesa, namun bayangan dingin yang mengikuti di belakang mereka semakin menambah beban di dada. Setiap langkah terasa berat, udara malam yang dingin menusuk tulang, dan suara-suara samar di kejauhan mengiringi mereka, seperti bisikan yang tak dapat dimengerti.Aji meremas tangan kakaknya dengan kuat, takut kehilangan pegangan. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya sedikit gemetar. “Mbak, sebenarnya siapa yang benar, dan siapa yang salah? Siapa yang teman dan siapa yang lawan?"Murni menoleh sejenak ke arah adiknya, namun pandangannya tertuju ke bayangan biru samar di kejauhan. Prana masih ada di sana, seperti melayang-layang, menjaga jarak namun tetap mengikuti mereka dengan langkah perlahan. Bayangan itu seperti pilar harapan yang menjulang di tengah kegelapan, meskipun aura misteriusnya tidak sepenuhnya membawa rasa aman."Sama sepertimu, Mbak juga masih bertanya-tanya, Ji.

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 96. Raharjo Datang

    Murni menarik Aji ke belakang, tubuhnya gemetar hebat. Sosok di ambang pintu tetap diam, hanya menatap mereka dengan mata merah menyala. Suara napasnya terdengar berat, bergema di dalam rumah kosong itu. “Aji, jangan lihat ke arahnya!” bisik Murni, berusaha menyembunyikan ketakutannya. Ia melangkah mundur, perlahan menjauh dari pintu. Sebaliknya, Aji tak bisa mengalihkan pandangannya, seolah terhipnotis oleh tatapan makhluk itu. “Keluar…” Suara serak menggema dari sosok itu, pelan namun penuh ancaman. Kata itu seperti memerintah, memaksa, mengikat mereka dalam ketakutan. Murni menggeleng cepat. “Kita tidak boleh keluar! Pak Prawiro bilang jangan keluar!” Ia memeluk Aji erat, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya sendiri gemetar tanpa henti. Sosok itu melangkah maju, kain kafannya berderak pelan seiring gerakannya. Setiap langkahnya membuat udara di dalam ruangan semakin dingin. Kabut tipis mulai merembes masuk melalui celah-celah dinding, membawa bau anyir yang membuat Murni mua

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 95. Desa Misterius

    Murni dan Aji mengikuti Prawiro dengan langkah ragu, menembus hutan yang semakin gelap dan sunyi. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah tanah di bawah kaki mereka mencoba menahan perjalanan mereka. Namun, tatapan tegas Prawiro memberikan rasa aman meski hanya sedikit. Obor kecil di tangannya menjadi satu-satunya sumber cahaya di tengah kegelapan malam. "Apa desa itu benar-benar aman, Pak?" tanya Murni, suaranya pelan namun penuh kekhawatiran. "Selama kalian berada di bawah perlindunganku, kalian akan aman," jawab Prawiro tanpa menoleh. Suaranya tegas, namun ada nada ketegangan yang sulit disembunyikan. Aji, yang berjalan di samping Murni, menarik-narik lengan kakaknya. "Mbak, kenapa kita nggak langsung pulang saja? Kenapa harus ke desa itu?" Murni menunduk, mencoba memberikan senyum yang menenangkan kepada adiknya. "Percaya sama Mbak, Ji. Kita akan baik-baik saja." Namun, jawaban itu tidak cukup menenangkan Aji. Ia merasakan sesuatu yang aneh sejak pria tua itu muncul, meski i

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 94. Bantuan

    Di tengah malam yang sunyi, di rumah kecil Raharjo tempat Murni dan Aji tinggal, suara aneh mulai terdengar dari luar. Angin berhembus kencang, menciptakan suara desis seperti bisikan yang menyeramkan. Di dalam rumah, Murni memeluk Aji yang tertidur di pangkuannya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi tidak tahu pasti apa itu. Tiba-tiba, lampu di rumahnya berkedip-kedip sebelum padam sepenuhnya. Suasana menjadi gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar-samar masuk melalui jendela. Dari luar, suara langkah berat terdengar, seolah ada sesuatu yang besar mendekat. Murni merasa napasnya tertahan, tubuhnya gemetar. Ia mencoba membangunkan Aji. Pintu rumah berderit pelan, lalu terbuka dengan sendirinya. Di ambang pintu, sosok itu muncul—Danyang. Tinggi, menyeramkan, dan mengeluarkan aura kegelapan yang begitu pekat. Matanya bersinar merah menyala, sementara tubuhnya diselimuti kabut hitam yang terus bergerak seperti hidup. Murni mundur, memeluk Aji erat-erat. "

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 93. Perjanjian Baru

    Tubuh Raharjo yang baru saja bergerak itu kini bangkit sepenuhnya dari lantai gua. Namun, gerakannya terasa asing. Ia bergerak seperti boneka yang sedang dipaksa berdiri oleh tali yang tak terlihat. Prawiro menyaksikan semuanya dengan mata terbelalak. Kekuatan besar yang ia panggil telah berhasil, tetapi apa yang berdiri di hadapannya bukan lagi sepenuhnya Raharjo. Itu adalah sesuatu yang lain—sesuatu yang hanya menggunakan tubuh adiknya sebagai wadah. "Bangkitlah, Harjo," ulang Prawiro dengan suara yang sedikit bergetar. "Kini saatnya kau melindungi mereka." Raharjo, atau apapun yang kini berada dalam tubuhnya, menoleh ke arah Prawiro dengan gerakan yang kaku. Matanya memancarkan cahaya redup, seperti bara api yang hampir padam. "Melindungi...?" suaranya serak, menggema di dalam gua. "Apa kau tahu apa yang telah kau lakukan, Prawiro?" Prawiro terdiam, tubuhnya gemetar. "Aku tahu... aku tahu jika yang aku lakukan ini salah, tapi aku tak punya pilihan! Mereka—anak-anakmu—mereka akan

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 92. Bangkit

    Di dalam gua yang tersembunyi di balik hutan lebat, Prawiro berdiri di tengah kegelapan, menyirami sesosok tubuh yang terbungkus kain kafan dengan air bercampur minyak misik dan bunga setaman. Suasana di sekitar gua itu terasa berat, dan udara dingin malam berdesir lembut, membawa aroma tanah basah yang menyeruak. Prawiro menatap tubuh yang terbaring diam, wajahnya masih dapat ia kenali. Namun, ada sesuatu yang begitu akrab. Senyumannya tetap terukir, meskipun ada kesan kesedihan yang tak terungkapkan.Dengan tangan yang halus, Prawiro memegang kendi tanah yang sudah hampir kosong, memercikkan air itu ke tubuh yang terbungkus kafan yang sudah tampak lusuh itu. Secara perlahan, suara lembut lagu Jawa mengalun dari bibirnya. Lagu itu tidak hanya sekedar melodi; setiap baitnya adalah doa, adalah pengorbanan, adalah harapan yang diselubungi penyesalan."Harjo, adikku... jangan khawatirkan apa yang telah terjadi. Anak-anakmu masih kulindungi. Karmamu sudah terjalani, saatnya kini untukku m

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 91. Kiriman

    Malam itu memang terasa lebih dingin daripada biasanya. Angin yang bertiup seolah-olah membawa pesan dari kegelapan, sementara suara-suara malam terdengar semakin mencekam. Murni dan Aji tidak tidur semalaman. Mereka berjaga-jaga, duduk di ruang tengah dengan pisau dapur dan kayu bakar sebagai senjata seadanya. Piring tanah busuk berbelatung itu mereka bungkus dengan plastik dan letakkan di sudut ruangan. Namun, meskipun dibungkus rapat, bau busuknya tetap saja menguar, menambah rasa mual dan ketegangan di dalam rumah.Ketika cahaya pertama matahari mulai menyembul di ufuk timur, Murni memutuskan bahwa mereka harus segera pergi menemui Nyai Warsih.“Ayo, Ji. Kita bawa ini sekarang. Sebelum hal lain terjadi,” ucap Murni tegas.Aji mengangguk setuju. Ia mengambil plastik yang berisi piring itu dengan hati-hati, seolah-olah memegang benda yang bisa meledak kapan saja.Mereka berjalan cepat menuju rumah Nyai Warsih. Jalanan desa masih sepi, hanya suara ayam berkokok dan anjing menggonggon

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 90. Misteri Baru

    Beberapa waktu berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Danyang di tepi hutan. Desa Juwono perlahan kembali hidup. Kehangatan matahari yang menyentuh dedaunan menciptakan pemandangan menyejukkan hati. Suara burung-burung kembali riang berkicau di pagi hari, dan warga desa mulai beraktivitas dengan semangat yang baru. Meski masih ada segelintir penduduk yang memendam ketakutan terhadap kehadiran Murni dan Aji, suasana desa tak lagi diliputi kecurigaan seperti sebelumnya. Terlebih setelah Nyai Warsih memimpin doa bersama di lapangan desa, memohon perlindungan bagi seluruh warga dan memulai kembali kehidupan mereka yang baru. Di salah satu sudut desa, rumah Raharjo yang dulu terlihat kusam dan dipenuhi aura gelap kini menjadi pusat perhatian. Para warga bahu-membahu membantu memperbaiki rumah itu. Mereka memperbaiki atap yang bocor, mengganti pintu yang rusak, dan membersihkan halaman yang dulu ditumbuhi semak belukar. “Ini bukan hanya rumah kalian, Murni. Ini adalah bagian dari des

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status