Share

Bab 6. Pikiran Kalut

Author: Yasmin_imaji
last update Last Updated: 2024-11-21 12:05:34

Murni duduk di tepi tempat tidur, pandangannya kosong menatap ke arah jendela yang tersibak. Bayangan tentang pria tua di pemakaman, kata-katanya yang samar, dan sosok arwah Raharjo yang hadir dalam keheningan malam itu seolah terus menghantui pikirannya. Bulan di langit memancarkan cahaya yang sayu, sinarnya memudar di balik tirai yang bergerak pelan ditiup angin malam. Sunyi, begitu mencekam, hingga setiap detak jantung Murni terdengar dalam dada.

"Mungkinkah Bapak belum pergi…?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar di tengah kesunyian.

Namun tiba-tiba, suara ketukan halus terdengar, datang dari balik dinding di samping tempat tidurnya. Suara itu mengetuk pelan, seolah mengetuk batinnya yang diliputi rasa takut. Murni menggigit bibirnya, berharap suara itu hanyalah ilusi. Ia menutup matanya rapat-rapat, menahan napas, tetapi ketukan itu semakin keras, membuatnya tak mampu mengabaikannya lagi.

Tok... tok... tok...

Hawa dingin merayap di tengkuknya, membuat bulu kuduknya meremang. Perlahan, ia membuka matanya, menatap ke arah dinding dengan perasaan tak karuan. Tubuhnya bergetar, takut bercampur penasaran. Ia tahu, sesuatu yang ganjil sedang terjadi, namun ketakutan menahannya untuk bergerak.

Tok... tok... tok...

Suara itu berpindah, kini berasal dari pintu kamarnya. Suara ketukan terdengar makin jelas, seolah ada yang mengetuk dari sisi lain. Jantung Murni berdegup kencang, tetapi tubuhnya seakan terpaku di tempat. Ia hanya bisa memandang ke arah pintu, dengan tubuh menggigil.

Lalu, tiba-tiba gagang pintu berputar perlahan, terdengar bunyi klik pelan yang memecah keheningan. Pintu itu terbuka, menampakkan ruang tamu yang gelap dan kosong, namun terasa dingin seperti mengundang kehadiran yang tak kasat mata.

Tidak ada siapa pun di sana. Hanya bayangan hitam pekat yang mengisi setiap sudut ruangan.

Dengan tangan gemetar, Murni bangkit dari tempat tidur, langkahnya tertahan saat ia mendekati pintu. Hawa dingin yang tak biasa menyelimuti tubuhnya, membuat setiap helaan napasnya terasa berat. Pandangannya menyapu ruangan yang kosong, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya halusinasi.

Namun, matanya tiba-tiba menangkap sesuatu di sudut ruangan. Di ujung ruang tamu yang gelap, sebuah bayangan putih berdiri kaku, sosok yang begitu tinggi dengan kain kafan yang menjuntai ke lantai. Wajahnya pucat, matanya kosong, menatap lurus ke arahnya.

“Bapak...” Suara Murni hampir tercekik dalam tenggorokannya. Tubuhnya bergetar, darahnya seolah membeku. Pocong itu berdiri tak bergerak, hanya menatapnya dalam keheningan yang menyesakkan. Wajahnya pucat dengan lingkar mata gelap yang tampak dalam dan kosong, seolah mengintip ke dalam jiwa Murni.

"Ba-Bapak…?" panggilnya sekali lagi, setengah tak percaya pada apa yang ia lihat. Pocong itu tak menjawab, tetapi tatapannya terasa mengikat, seolah ada sesuatu yang ingin disampaikan namun tertahan di ujung lidah.

Tanpa sadar, Murni mundur selangkah, tubuhnya limbung. Namun sosok itu maju, melangkah perlahan, kaku, dan pasti. Setiap langkahnya terdengar begitu hampa, disertai suara gesekan kain kafan yang menciptakan gemerisik lirih namun menakutkan. Murni terdiam, matanya membesar saat pocong itu semakin mendekat, hingga jaraknya hanya beberapa langkah darinya.

Pocong itu membuka mulutnya, perlahan, seolah hendak mengucapkan sesuatu. Bibirnya kaku, namun dari celah mulutnya, terdengar sebuah suara serak yang nyaris tak terdengar. "To... long..." katanya perlahan, suara yang terputus-putus, seperti berasal dari dunia yang berbeda.

Murni mencengkeram dadanya, perasaannya bergolak, ketakutan dan kesedihan bercampur menjadi satu. Ia tahu, ini bukan sekadar teror biasa. Ada sesuatu yang mendalam dalam tatapan hampa pocong itu, seolah-olah arwah ayahnya masih terjebak di antara kehidupan dan kematian, tak bisa melangkah maju.

“Bapak, apa yang bisa Murni lakukan?” lirihnya, nyaris terisak, meskipun ia tahu bahwa tak ada jawaban yang mungkin ia dapatkan. Namun sosok itu hanya menatapnya, matanya penuh dengan duka yang dalam, memancarkan pesan yang tak terucap.

Seketika, sosok itu menghilang, lenyap begitu saja di depan Murni, meninggalkan ruangan yang kembali sunyi, seolah-olah segala kehadiran itu hanya ilusi.

Murni memandang ke sekeliling ruangan dengan mata yang masih terbuka lebar, berusaha mencari bayangan terakhir dari ayahnya. Namun, tak ada apa pun di sana. Hanya kehampaan yang merayap dalam kesunyian, meninggalkan rasa dingin di hatinya.

“Apa yang terjadi dengan Bapak?” gumamnya, setengah kepada dirinya sendiri. Pikirannya berkecamuk, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang membelenggu jiwanya, memaksa untuk terus menatap ke kegelapan.

Murni terdorong untuk menuju kamar ibunya, ingin membangunkannya, ingin menceritakan segala yang ia alami. Namun, rasa ragu menahan langkahnya. Pikirannya kembali teringat pria tua di pemakaman, yang memperingatkannya tentang arwah Raharjo yang tersesat di antara dua dunia.

Dengan langkah gontai, Murni kembali ke kamar, membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Namun, matanya tetap terbuka lebar, waspada, takut kejadian yang sama akan terulang. Setiap desiran angin yang masuk melalui celah jendela terdengar seperti bisikan halus yang menakutkan, membuatnya menggigil.

Srak... Srak... Srak...

Kali ini bukan lagi suara ketukan, melainkan suara guratan yang lebih mirip seperti kuku yang sedang menggaruk dari lantai di bawah tempat tidurnya. Murni menahan napas, memejamkan mata sejenak. Ketukan itu semakin keras, hingga tak mungkin lagi diabaikan.

Ia mengintip dari balik selimut, tubuhnya gemetar hebat. Dengan penuh keberanian, ia menurunkan kakinya ke lantai, membiarkan dingin merambat ke kulitnya. Perlahan-lahan, ia menundukkan kepala, mencoba mencari sumber ketukan di bawah tempat tidurnya.

Namun, tak ada apa-apa di sana. Hanya keheningan yang semakin pekat dan suara jantungnya yang berdetak tak karuan.

"Murni?" Suara ibunya terdengar dari kamar sebelah, membuat Murni tersentak kaget.

Dengan cepat, ia melangkah ke arah pintu kamar ibunya, membuka pintu dengan tangan yang gemetar. Di sana, Lasmi berdiri dengan wajah yang tampak cemas.

"Ada apa, Nak? Kenapa belum tidur?" Lasmi bertanya, suaranya lembut, berusaha menenangkan Murni yang tampak ketakutan.

Murni hanya memandang ibunya, ingin mengatakan segalanya, tentang pocong yang terus mengikutinya, tentang sosok ayahnya yang seolah terjebak di antara dua dunia. Namun bibirnya terasa kaku, tertahan oleh rasa takut dan bingung. Ia tak ingin menambah beban ibunya yang jelas-jelas sudah begitu letih.

"Enggak ada apa-apa, Bu. Murni cuma enggak bisa tidur," jawabnya singkat, memaksakan senyum yang terlihat pucat.

Lasmi menariknya ke dalam pelukan, mengusap kepala Murni dengan lembut. "Kamu harus istirahat, Nak. Jangan biarkan pikiranmu bermain-main dengan hal-hal yang tak perlu," bisiknya lembut.

Murni menutup matanya, mencoba menenangkan diri di pelukan ibunya. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa apa yang ia alami bukanlah sekadar mimpi atau ilusi. Ada sesuatu yang nyata dan mengerikan, yang tengah mengintai keluarganya dalam kegelapan.

Setelah memastikan Murni kembali berbaring, Lasmi pun kembali ke kamarnya. Namun saat Murni hampir memejamkan mata, ketukan itu kembali terdengar, kali ini semakin keras dan penuh desakan.

Kriiieet...

Pintu kamarnya perlahan terbuka, menampakkan sosok pocong yang sama, dengan mata kosong yang menatapnya dalam kegelapan. Tubuh Murni membeku, rasa takut merayap hingga ke dalam tulang sumsum. Pocong itu mengulangi kata-kata yang sama dengan suara yang bergetar.

“To...long.. “

Comments (52)
goodnovel comment avatar
Trie Sumanti
pocong ga tau tempat ya datangnya ... untung murni ga pingsan ditempat
goodnovel comment avatar
Erisa Zulfa
Jd hawatir lama lama kesehatan murni bisa menurun Krn kurang istirahat, digangguin Mulu sm bapaknya tp mungkin Krn murni anak kesayangan Raharjo makanya murni yg dimintai tolong dan yg bisa menolong
goodnovel comment avatar
Al-rayan Sandi Sya
banyak rahasia yg di simpan Lasmi kayaknya yah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 7. Rahasia Kamar Bapak

    "To... Long...." "Aarrkh!! Tidaaak! Bapak ...." Murni berteriak histeris melihat semua itu terjadi tepat di depan matanya. Lasmi yang sebelumnya sudah pergi, segera berlari cepat untuk kembali ke kamar Murni. Di sana, ia melihat Murni yang menendang-nendang dengan masih berteriak. Namun dengan kedua mata yang tertutup rapat. "Murni! Murni! Bangun, Murni!" Lasmi menggoyangkan tubuh Murni agar terbangun dari mimpi buruknya. Segera setelah mata Murni terbuka, ia mendekap tubuh sang ibu dengan sangat erat. "Ibu, Murni takut, Bu." "Jangan takut, Ibu ada di sini," ucap Lasmi menenangkan. "Bapak, Bu. Bapak —" Lasmi menghela napas panjang, meletakkan tangan lembutnya di bahu Murni. "Mungkin kamu hanya lelah, Nak. Sejak Bapakmu pergi, bebanmu bertambah berat. Pikiranmu pasti dipenuhi banyak hal yang membuatmu berhalusinasi." Murni menelan ludah, merasakan kegetiran di ujung tenggorokannya. "Bu, aku tahu ini terdengar tidak masuk akal, tapi aku benar-benar melihat Bapak… dalam

    Last Updated : 2024-11-28
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 8. Buku Tua

    "Ibu... Buku itu punya Bapak." Murni berusaha untuk meraih buku itu kembali, matanya memancarkan rasa penasaran yang tak terbendung. Buku itu, dengan sampul kulitnya yang usang dan aroma kertas tua, seperti menyimpan rahasia yang selama ini terkubur. "Iya, Ibu tahu itu, Murni. Dan justru karena Ibu tahu ini milik Bapakmu, Ibu melarangmu untuk membacanya," tegas Lasmi, suaranya bergetar di antara kekhawatiran dan ketegasan. "Kenapa, Bu? Ada apa sebenarnya? Apa yang Ibu tutupi dari Murni, Bu?" tanya Murni, nadanya mulai meninggi. Rasa penasarannya semakin mendesak, seperti ada sesuatu yang harus segera ia ketahui sebelum semuanya terlambat. Murni menatap buku itu dengan sorot mata yang bercampur antara takut dan penasaran. Tangan mungilnya gemetar saat mencoba menyentuh sampul buku tersebut. "Semua tulisan di dalamnya, Bu. Aku rasa... Bapak melakukan sesuatu. Sesuatu yang berhubungan dengan jiwa dan dunia lain." Lasmi memandang buku itu dengan tatapan nanar, seperti mengenang mas

    Last Updated : 2024-11-28
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 9. Keras Kepala

    Lasmi tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Murni dengan erat, seolah mencoba melindungi putrinya dari sesuatu yang tidak kasat mata. "Nduk, kalau kamu benar-benar peduli dengan Bapakmu, satu-satunya hal yang harus kamu lakukan adalah menjauhi buku itu. Jangan sampai kamu membuka jalan bagi mereka untuk datang ke sini." Namun, bagi Murni, kata-kata ibunya justru semakin menguatkan tekadnya. "Bu, kalau benar ada jalan masuk, berarti ada cara untuk menutupnya, bukan? Aku harus tahu caranya. Bapak terlalu menderita, Bu. Aku tidak bisa diam saja." "Tapi kamu tidak tahu risiko yang harus kamu hadapi, Murni," sergah Lasmi. "Dunia mereka penuh tipu daya. Apa yang kamu lihat mungkin bukan kebenaran. Mereka akan memanfaatkan kelemahanmu, ingat itu!." "Aku akan berhati-hati, Bu," jawab Murni dengan tegas. "Aku tidak akan menyerah begitu saja. Kalau Bapak membuat kesalahan, aku yakin ada cara untuk memperbaikinya." Murni tidak menjawab. Ia menatap buku itu dengan sorot mata yang penuh

    Last Updated : 2024-11-30
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 10. Bayang Hitam

    "Aji!" Seketika bayangan yang tadi melesat cepat ke arah Aji langsung menghilang, dan tubuh Aji pun sudah bisa untuk digerakkan kembali. "Kamu ngapain diam aja di situ, Ji?" tanya Murni.Aji menoleh cepat tapi tak mengatakan apa-apa. Ia hanya berpura-pura menggigil kedinginan, berharap kakaknya tidak menanyakan lebih lanjut. “Aku cuma... kedinginan, Mbak,” jawabnya pelan, suaranya sedikit bergetar.Murni menatap Aji dengan raut wajah khawatir. “Ya wis, sudah tahu dingin malah anteng di situ. Masuk ke kamarmu sana. Tutup pintu dan selimut yang rapat, ya?” katanya sambil menepuk pundak adiknya.Aji hanya mengangguk pelan, kemudian berjalan menuju kamarnya tanpa banyak bicara. Setelah menutup pintu, ia duduk di sudut ruangan, memeluk lututnya erat. Pikirannya masih terjebak pada bayangan mengerikan yang baru saja ia lihat. Namun, ia memutuskan untuk tidak menceritakan apa pun kepada Murni. Ia tidak ingin membuat kakaknya semakin cemas.Sementara itu, di tempat lain, Lasmi terlihat duduk

    Last Updated : 2024-11-30
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 11. Pemanggilan Arwah

    “Murni, kadang ada hal-hal yang lebih baik tidak kamu ketahui. Ibu hanya berusaha menjaga semuanya tetap baik-baik saja." Lasmi berkata dengan datar sebelum meninggalkan Murni. Malam itu, Murni menghabiskan malamnya dengan pikiran yang masih melayang. Keesokan malamnya, suasana desa Juwono terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin bertiup kencang, membuat daun-daun bambu berderak seperti bisikan samar. Murni berdiri di depan rumah dengan buku misterius itu dalam genggaman tangannya. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia menepis ketakutannya. Ia tahu ini bukan saat untuk mundur. Sebelum melangkah keluar, ia menoleh ke arah kamar Aji. Pintu kamar itu sedikit terbuka, cukup untuk memperlihatkan bayangan tubuh adiknya yang sedang tidur pulas di ranjang. Murni menahan napas, mengintip sejenak untuk memastikan Aji benar-benar terlelap. Ia tak ingin Aji curiga dan mencoba mengikutinya. “Tidurlah, Aji,” bisiknya pelan, meski ia tahu suaranya tak akan terdengar. “Mbak akan kembali sebelu

    Last Updated : 2024-12-01
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 12. Dia Bukan Ibumu!

    "Bu? Apa yang Ibu lakukan di sini?" Murni tergagap, tangannya gemetar memegang buku itu dan segera menyembunyikannya di belakang tubuhnya. "Hentikan, Murni!" sentak Lasmi. "Ta-tapi, Bu. Bapak...." Lasmi tidak menjawab. Ia hanya menatap Murni dengan mata yang berkilat, penuh dengan amarah. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Lasmi membuat pria tua itu waspada. Ia segera memegang bahu Murni, menahannya untuk tetap diam di tempat. "Jangan percaya padanya, Nduk," bisiknya. "Itu bukan ibumu." Murni tertegun. Ia menatap Lasmi lagi, mencoba menemukan sesuatu yang salah. Tapi wajah itu... begitu mirip. Begitu nyata. "Murni, dengarkan Ibu. Keluar dari lingkaran itu sekarang juga! Kamu ndak tahu apa yang sedang kamu mainkan itu," Lasmi berkata lagi, seolah memaksa Murni untuk menuruti apa kemauannya. Namun, sebelum Murni bisa menjawab, pria tua itu melafalkan mantra lainnya. "Aja lumaku, aja ngomong, aja obah. Sak jeroning ati, kaku badan, kekunci sak jeroning bumi. Mantra iki mateg, ora

    Last Updated : 2024-12-02
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 13. Peringatan

    "Dari mana kamu, Murni!" Murni yang baru saja masuk ke rumah dengan mengendap-endap sudah disambut dengan bentakan keras dari sang ibu. "I-ibu...," ucap Murni terbata. "Katakan! Dari mana kamu?" tanya Lasmi dengan penuh intimidasi. "Murni... Murni dari —" "Sudah berani kamu melawan perintah Ibu?" sentak Lasmi sebelum Murni menyelesaikan kata-katanya. Murni terdiam, tubuhnya gemetar melihat amarah di wajah ibunya. Namun, ia tak bisa menghilangkan bayangan peristiwa yang terjadi di kuburan sang ayah tadi. Di mana angin kencang, mantra mengerikan, dan juga sosok menyeramkan yang mengaku sebagai ibunya. Bahkan sekarang saja, Murni merasa ragu jika wanita yang ada di hadapannya itu adalah benar ibunya. "Ibu, dengarkan Murni dulu..." ujarnya lirih, mencoba meredakan suasana. "Dengarkan? Kamu pikir Ibu akan percaya dengan kata-katamu setelah kamu berbuat sembarangan?!" Lasmi melangkah maju, menatap putrinya tajam. "Jawab Ibu, Murni. Apa kamu pergi ke kuburan bapakmu?" Murni m

    Last Updated : 2024-12-03
  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 14. Malam Kelam

    Sejak malam mengerikan itu, Murni merasa kehidupannya berubah. Buku tua milik Raharjo yang sempat ia genggam kini tersimpan rapat di balik lemari kayu tua di kamarnya. Tidak ada yang tahu keberadaan buku itu selain dirinya. Bahkan, ibunya, Lasmi, tampak menghindari pembicaraan tentang buku tersebut, meskipun ketakutan terlihat jelas setiap kali mata mereka bertemu.Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan sudah saatnya Murni kembali ke kota untuk melanjutkan kuliahnya. Namun, ada sesuatu yang menahannya di Desa Juwono, sesuatu yang tak mampu ia jelaskan. Lasmi sendiri melarang keras kepergian Murni sebelum genap 40 hari sejak kematian Raharjo.“Ndak baik meninggalkan rumah di saat seperti ini, Nduk,” ujar Lasmi pagi itu, suaranya tegas namun terdengar samar-samar seperti menutupi sesuatu.Murni mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa berat. Desa Juwono bukan lagi tempat yang sama baginya. Udara yang dulu terasa sejuk kini seperti membawa aroma kematian. "Nggih, Bu," jawabnya.Pagi it

    Last Updated : 2024-12-04

Latest chapter

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 137. Kembali ke Desa

    Damar membuka matanya perlahan. Udara di sekelilingnya terasa dingin dan lembap, menusuk sampai ke tulang. Kepalanya terasa begitu berat, seperti baru saja ditarik dari mimpi buruk yang sangat panjang. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami situasi.Namun, yang pertama kali tertangkap oleh matanya bukanlah langit-langit rumah Darto, melainkan sebuah atap tua yang reyot, penuh dengan sarang laba-laba. Damar menelan ludah, rasa cemas menjalari tubuhnya."Laras ...?" bisiknya serak.Di sebelahnya, Laras menggeliat pelan, lalu perlahan membuka mata. Begitu ia melihat sekeliling, napasnya tercekat."Damar ... k-kita ... di mana ini?" suaranya bergetar, kepalanya menoleh ke kana dan ke kiri, menyadari jika saat ini mereka berdua telah berpindah tempat.Damar buru-buru bangkit dan segera menarik tangan Laras untuk duduk. Mereka berdua kini benar-benar sadar sepenuhnya—mereka tidak lagi berada di rumah Darto.Mereka ada di depan rumah tua itu. Rumah yang seharusnya telah mereka tinggalk

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 136. Mereka Pergi

    Asap hitam terus berputar, membentuk sosok yang semakin jelas di tengah kobaran api. Wajahnya berubah-ubah—kadang seperti seorang wanita dengan mata kosong yang penuh kebencian, kadang menyerupai tengkorak yang menganga dengan senyum mengerikan.Laras mundur selangkah, napasnya memburu. Damar meremas bahunya erat, berusaha menahan ketakutan yang menjalari tubuhnya.Tiba-tiba, sosok itu membuka mulutnya, mengeluarkan suara yang bukan milik manusia."Panas!! Beraninya kalian membakarnya?"Suaranya menggaung, bergema di seluruh ruangan, membuat dada mereka terasa sesak.Giman mengatupkan rahangnya rapat. "Kita harus mengusirnya sebelum semuanya terlambat!"Darto dengan sigap meraih segenggam garam dari kantong kecil di pinggangnya, lalu melemparkannya ke arah bayangan itu. "Pergi! Kau tidak punya tempat di sini!"Cesss!Begitu garam mengenai asap hitam itu, suara mendesis terdengar. Sosok tersebut bergetar hebat, mengeluarkan jeritan melengking yang membuat telinga mereka berdenging.Nam

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 135. Sosok Liar

    "Dan ada bekas cakaran di wajahnya?" sela Giman.Laras tersentak. Matanya melebar, menatap Giman dengan penuh keterkejutan. "Bagaimana Bapak tahu?" suaranya nyaris berbisik, bergetar oleh ketakutan yang semakin menusuk.Giman menelan ludah, sementara Warso dan Darto semakin tegang. Darto bahkan tanpa sadar meremas ujung sarung yang melilit pinggangnya, seolah mencari pegangan agar tetap berdiri tegak."Kalian benar-benar sudah celaka!" Suara Giman terdengar berat. "Karena kalau yang kalian temui itu memang Joko, berarti kalian tidak bertemu dengan manusia."Laras merasakan lututnya melemas. "Apa maksudnya, Pak?"Warso mendesah panjang, matanya menatap lurus ke arah Laras dan Damar. "Joko memang kepala desa Juwono ... dulu. Tapi dia sudah mati sejak lebih dari dua puluh tahun yang lalu."Damar menegang. "Tidak mungkin! Kami berbicara dengannya, bahkan dia menyambut kami, memberi kami makan!""Dia juga membiarkan kami meng

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 134. Salah Desa

    Laras menelan ludah, matanya masih terpaku pada kehampaan di belakang mereka. "Lalu ... siapa kalian?" Warso, pria paruh baya dengan sorot mata tajam, memandang Laras dan Damar dengan penuh selidik. Napasnya masih tersengal setelah perjuangan mereka keluar dari hutan terkutuk itu. Di sampingnya, Giman dan Darto juga tampak waspada, seolah masih khawatir akan sesuatu yang bisa saja mengikuti mereka keluar. "Kami yang seharusnya bertanya. Kalian ini siapa? Kenapa bisa sampai di tempat itu?" Warso akhirnya membuka suara. Rasa penasaran terpancar jelas dari wajahnya. Damar masih terduduk lemah di tanah. Dadanya masih terlihat naik turun, mencoba menenangkan napasnya. Bahunya yang terluka mulai membiru, tapi ia tidak punya waktu untuk mengkhawatirkannya sekarang. Laras menatap Warso dengan ragu, sebelum akhirnya berbicara. "Kami ... tersesat, Pak. Kami tidak tahu kalau tempat itu berbahaya." Giman, pria bertubuh kurus dengan wajah cekung, menatap mereka dengan sorot mata penuh ke

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 133. Selamat

    Laras terengah-engah, tubuhnya nyaris tak sanggup berdiri setelah tarikan kasar dari Damar. Tenggorokannya kering, dan dadanya terasa sesak seakan udara di sekitar mereka semakin menipis. Tapi yang lebih menyesakkan adalah tatapan Rani—tatapan penuh keputusasaan yang masih tertinggal di benaknya. "Laras! Bangun! Kita harus lari!" Damar berusaha menariknya berdiri, tapi kaki Laras seperti kehilangan tenaga. "Damar ... tolong. Aku udah nggak kuat." Laras menatap nanae kw arah Damar. "Ras! Fokus!" Damar mengguncang tubuhnya, suaranya penuh putus asa. "Kalau kita berhenti sekarang, kita akan mati!" Laras menarik napas dalam-dalam. Ia memaksa dirinya untuk kembali ke kenyataan, menepis rasa bimbang yang menggerogoti hatinya. Matanya bertemu dengan mata Damar—sarat dengan ketakutan dan kepanikan, tapi juga keyakinan. Damar percaya mereka bisa keluar dari sini. Mereka harus bisa. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Laras bangkit. Tangannya masih gemetar, tapi ia menggenggam erat tangan

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 132. Tercengang

    "Aaaa...!" Laras menjerit, tubuhnya terhuyung ke belakang hingga hampir jatuh. Damar mematung, tubuhnya membeku seperti batu. Tenggorokannya terasa kering, napasnya pendek-pendek, dan dadanya berdebar kencang. Itu… mereka. Tubuh mereka sendiri."Tidak! Ini pasti mimpi!" Laras mengguncang kepalanya dengan putus asa. Matanya menatap nanar ke arah mayat yang terduduk di dalam mobil. Itu—adalah wajahnya sendiri, matanya sendiri—tetapi kosong. Mati.Damar mundur selangkah, lalu dua langkah, tangannya terangkat gemetar. "Ini... ini tidak masuk akal," bisiknya.Wanita tua itu masih berdiri di tempatnya, menatap mereka dengan sorot mata iba bercampur ngeri. "Aku sudah bilang... tidak ada yang bisa keluar dari desa itu tanpa meninggalkan sesuatu di dalamnya."Laras menatap wanita itu dengan mata berkaca-kaca, menggeleng keras. "Tapi... tapi kami ada di sini! Kami masih hidup!"Wanita tua itu menghela napas panjang, lalu perlahan berjalan mendekat. Suaranya melembut, tetapi tetap terdengar sep

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 131. Kematian

    "Selamat tinggal, Rani."Laras jatuh berlutut di tanah yang masih dingin oleh embun pagi. Isak tangisnya pecah, dadanya bergemuruh dengan kesedihan yang tak tertahankan. Kedua tangannya mencengkeram rumput liar di sekitarnya, seakan ingin meraih sesuatu yang telah hilang.Joko dan Damar saling berpandangan, napas mereka masih tersengal setelah berlari menembus gelapnya hutan. Damar sendiri tahu betul bahwa mereka telah kehilangan sesuatu yang tak akan pernah kembali.Joni dan Rani. Mereka terjebak di desa terkutuk itu dan tak bisa lagi diselamatkan.Laras menggeleng keras, menolak kenyataan yang baru saja terjadi. "Tidak... mereka masih bisa kita bawa pulang... 'kan?" Joko mengalihkan pandangannya, rahangnya mengatup rapat. "Sudah terlambat." gumamnya.Damar menggenggam bahu Laras, mencoba menenangkannya meski dirinya sendiri masih dikejar rasa takut. "Kita harus pergi. Hutan itu... desa itu... tempat ini bukan untuk kita."Laras menoleh, matanya yang basah penuh amarah. "Jadi kita a

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 130. Selamat Tinggal

    Joko memejamkan mata, rahangnya mengatup rapat. Napasnya tertahan di tenggorokan.Bodoh!Ia sudah memperingatkan mereka untuk tidak bersuara, tapi Laras justru berteriak. Itu adalah kesalahan besar.Angin malam bertiup lebih kencang, membawa aroma busuk yang menusuk hidung. Seperti bau bangkai yang telah membusuk selama berhari-hari.Damar merasakan tengkuknya meremang. Ia melangkah mundur dengan hati-hati, tetapi sesuatu dalam tatapan Rani membuatnya sulit berpaling."Bukan Rani. Itu bukan Rani," ucap Damar di dalam hatinya. Sosok di hadapan mereka berdiri kaku, tubuhnya sedikit membungkuk dengan tangan tergantung lemas di sisi tubuhnya. Bibirnya pecah-pecah, dan dari sudut bibirnya menetes cairan hitam yang berbau busuk. Matanya… kosong. Sepasang bola mata itu hitam legam, tak ada putihnya sama sekali.“Larasss… Kenapa… lari? Ini aku.”Suara Rani bergetar, seperti ada sesuatu yang bergema di dalamnya. Seperti bukan hanya satu suara, tapi banyak suara yang bertumpuk menjadi satu.La

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 129. Bangkit dari Kubur

    Di luar, gedoran di pintu semakin menggila. Suara kayu berderit dan engsel berdecit, seolah sesuatu di luar sana menggaruk dengan kuku panjangnya. “Tolong aku!”"Rani!" Laras berteriak. "Damar, itu Rani!" Laras terlonjak. Matanya membulat, dan ia hampir saja berlari ke pintu kalau saja Damar tidak menahannya. “Jangan, Laras!” Damar mencengkram pergelangan tangannya erat. “Dengar baik-baik suaranya… itu bukan Rani.” Laras mematung. Suara di luar terdengar mirip dengan Rani, tapi ada sesuatu yang janggal—nada suaranya datar, tanpa emosi, seperti sedang meniru manusia. “Tolong… Aku kedinginan… Buka pintunya, Laras…”"Damar, Please!" sentak Laras. Joko menarik napas tajam, lalu berbisik, “Itu bukan dia. Itu mereka.” Seketika, suara ketukan berubah menjadi benturan keras. Brak! Brak!Damar mengepalkan tangannya, sorot matanya dipenuhi tekad yang tak tergoyahkan. "Kita nggak bisa terus bersembunyi di sini. Rani butuh kita!" katanya dengan suara mantap.Laras menggigit bibirnya, ragu

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status