Ketiganya berjalan menyusuri pemakaman menuju pintu keluar. Saat itulah, seorang pria tua tampak berdiri di bawah pohon besar di pinggir jalan setapak. Penampilannya lusuh, pakaian yang ia kenakan terlihat usang, kotor, dan penuh tambalan. Ia memegang tongkat kayu yang panjang, berfungsi sebagai penopang sekaligus alat bantu berjalan. Saat melihat Lasmi dan kedua anaknya, pria tua itu tersenyum tipis, memperlihatkan gigi-giginya yang sudah tak utuh lagi.
Saat tatapan dari pria tua itu jatuh pada Murni, tiba-tiba saja Murni merasa ada hawa tak nyaman, dan ia menggenggam lengan ibunya lebih erat. Namun, pria itu justru melangkah perlahan mendekati mereka, matanya yang sayu menatap tajam ke arah Murni. Ada sorot mata yang sulit dijelaskan, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tak diketahui siapa pun. "Cah Ayu…," gumamnya, mengendus-endus udara seakan ingin menangkap aroma dari arah tubuh Murni. Sontak saja gadis itu segera melangkah mundur dengan perasaan risih, merasa dipelototi oleh orang asing yang sama sekali tak ia kenal. "Ibu, ayo cepat kita pulang," bisik Murni gugup, menarik tangan ibunya untuk mempercepat langkah. Namun, pria tua itu mengangkat tongkatnya, menghalangi jalan mereka. "Tunggu sebentar, Nduk," ucap pria tua itu dengan suara serak. "Apa yang kamu cari di sini? Kamu kehilangan seseorang, bukan?" Lasmi mengernyit, tak paham dengan apa yang dimaksudkan oleh pria tersebut. "Maaf, Pak, kami harus segera pulang," ujarnya pelan, mencoba bersikap sopan sambil tetap menjaga jarak. Pria itu tertawa kecil, getir, membuat bulu kuduk mereka meremang. "Apa yang kamu hindari?" tanya orang itu lagi seraya menatap tajam ke arah Lasmi. "Apa maksud sampeyan itu, Pak? Kenapa bicara seperti?" Lasmi terlihat mulai tak suka dengan perkataan si pria tua yang terkesan ngawur. Tanpa menghiraukan Lasmi, dia kembali menoleh pada Murni. "Cah Ayu, orang yang kau kira sudah pergi… dia belum benar-benar mati." Tatapan pria itu kini mengunci mata Murni, seolah menyampaikan pesan yang hanya ia yang tahu maknanya. Murni menelan ludah, hatinya berdebar. "Ap-apa?" tanyanya ragu, walau setengah dari dirinya tentu saja tak mempercayai akan hal itu. "Cukup, Pak Tua. Jangan bicara ngawur. Suami saya sudah meninggal," sahut Lasmi. "Kamu sungguh tahu apa yang terjadi, bukan? Kenapa kamu kaget?" Sedikit senyum yang ditampilkan oleh pria tersebut membuat Lasmi bergidik ngeri. Pria tua itu mencondongkan tubuhnya, membisikkan sesuatu pelan di samping telinga Murni, “Raharjo… dia masih di antara dunia ini dan dunia sana. Kau tak akan menemukannya di sini,” ujarnya, menunjuk pusara yang baru saja mereka tinggalkan. “Dia… tersesat!” DEGH! Sungguh, perasaan Murni terasa berdentam dua kali lebih cepat dari biasanya. Aji menatap pria itu dengan tatapan penuh kebingungan dan tabda tanya. "Bapak bilang… Bapak kami masih hidup?" Aji berusaha memahami, tapi kata-kata itu seolah mengoyak kenyataan yang ia yakini. “Bukan hidup… tapi juga bukan mati,” sahut pria itu. “Dia terjebak, dan hanya dia yang bisa menolongnya untuk kembali," ujarnya seraya menujuk ke arah Murni. "Cukup!" Lasmi menarik Murni dan Aji ke belakangnya, ingin menjauh dari pria itu. Namun, ia tak bisa memungkiri bahwa perasaan takut mulai merasuki hatinya. "Kau ini siapa?" tanyanya dengan nada yang terdengar bergetar. Pria tua itu tersenyum pahit. "Aku bukan siapa-siapa. Tak perlu kamu tahu siapa aku. Aku cuma orang tua yang sudah terlalu lama berkelana. Aku pernah melihat banyak orang yang tersesat, tak mampu kembali, tak mampu menemukan jalan pulang. Namun, Raharjo… dia masih menunggu." Setelah berkata demikian, pria itu berbalik, melangkah menjauh dengan perlahan, punggungnya terlihat semakin rapuh seiring jaraknya yang kian jauh. Namun, ia meninggalkan sesuatu yang tak bisa mereka abaikan—sebuah pesan misterius dan harapan samar akan kebenaran. "Sudahlah, ayo kita pergi, Murni, Aji." Lasmi mengajak kedua anaknya berbalik badan dan menjauh dari sang pria tua. Murni menatap ibunya, kebingungan. "Bu, apa maksudnya itu?" Lasmi menggeleng perlahan, mencoba menenangkan anak-anaknya meski hatinya penuh keraguan. “Entahlah, Murni… Kamu tahu jika apa yang dikatakannya itu ngawur dan mengada-ada." "Tapi, Bu? Tunggu, Pak!" Murni berbalik untuk menanyakan kembali tentang maksud kata-kata sang pria tua. "Hah, hilang?" Sungguh di luar nalar, mereka hanya berbalik sejenak, tetapi pria itu sudah tak lagi terlihat, lenyap begitu saja. Sepanjang perjalanan pulang, Murni terus memikirkan kata-kata yang ia dengar, membuat pikirannya penuh dengan teka-teki. Dia menoleh sesekali, berharap menemukan jejak pria tua itu di belakang mereka, tetapi jalan setapak di pemakaman sudah kosong. Sosok pria tua misterius itu lenyap seakan ditelan bumi. -- Malam semakin larut, angin berdesir melalui celah-celah jendela, dan setiap bunyi terdengar lebih keras daripada biasanya. Lasmi menyuruh Aji dan Murni beristirahat, berharap tidur akan membuat mereka melupakan kejadian di pemakaman tadi. Namun, Murni tak bisa memejamkan matanya. Kata-kata pria tua itu terngiang di kepalanya. "Bapakmu... bukan hidup, tapi juga bukan mati. Dia tersesat." Pikirannya berputar, berusaha mencerna pesan yang begitu aneh dan tak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa tersesat di antara dunia ini dan dunia sana? Dia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir kegelisahan, tetapi hal itu justru membuatnya semakin penasaran. Ketika kedua matanya hampir terpejam, Murni mendengar suara samar seperti ketukan di jendela. Awalnya dia mengira itu hanya ranting yang terbawa angin, tetapi ketukan itu semakin keras dan berirama. Jantungnya berdentam keras. Dengan hati-hati, ia merangkak keluar dari tempat tidur, mendekati jendela sambil menahan napas. Saat ia mengintip dari balik tirai, tak ada apa pun di luar. Namun, ketika ia berbalik, sebuah bayangan buram muncul di sudut ruangan. Murni terdiam, membeku dalam ketakutan. Perlahan, bayangan itu semakin jelas, menampakkan sosok pria dengan wajah yang tak asing. "Bapak..." Murni tergagap, merasakan campuran rasa takut dan haru. Itu adalah sosok ayahnya, Raharjo, dengan tubuh yabg berbalut kain kafan lusuh dan wajah pucat, dan kedua matanya yang mengeluarkan dar*h segar. "Bapak?" gumamnya lagi, setengah tak percaya. Sosok itu tampak membuka mulut, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi suaranya tidak terdengar jelas. Hanya gerakan bibirnya yang tampak mengucapkan satu kata berulang kali. "To-long ...." “Bapak, apa maksudnya?” tanya Murni lirih, tetapi sosok itu tetap membisu, hanya mengulangi kata yang sama sambil menatap Murni dengan mata penuh kesedihan. Murni mengulurkan tangan, ingin menyentuhnya, tetapi sosok itu tiba-tiba memudar, lenyap begitu saja. Hanya tersisa keheningan yang menegangkan di ruangan itu. Hati Murni berdebar tak karuan. Ia mencoba memanggil ibunya, namun kata-kata pria tua di pemakaman kembali bergaung dalam pikirannya, membuatnya ragu. "Apa benar Bapak belum sepenuhnya pergi?"“Bapak! Bangun, Pak!” Murni masih memeluk tubuh Raharjo yang kini telah terbujur kaku. Beberapa kali ia menggoyangkan tubuh bapaknya, berharap agar laki-laki yang begitu ia cintai dapat membuka kedua matanya kembali. “Bu, ini ndak mungkin. Bapak belum meninggal kan, Bu?” tanya Murni yang kemudian beralih memeluk sang ibu yang juga duduk di samping jenazah suaminya. Memang sulit untuk dipercaya, tak ada angin tak ada hujan, Raharjo meninggal begitu saja. Dia yang lebih dikenal sebagai Juragan Harjo sama sekali tak sakit. Bahkan, pagi harinya Juragan Harjo masih mampu pergi menagih utang dari para warga yang kerap kali meminjam uang padanya. Raharjo merupakan seorang tuan tanah yang sangat disegani. Luasnya area lahan yang dia miliki, serta kekayaan yang mungkin tak akan habis untuk tujuh turunan membuatnya begitu berkuasa di desa itu, Desa Juwono namanya. “Murni … ikhlaskan bapakmu, Nduk,” ucap Lasmi seraya mengusap punggung putrinya itu dengan lembut. “Tapi, Bu. Murni ndak
Murni terkesiap. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Kain kafan bapaknya bergerak semakin nyata, seolah ada yang berusaha keluar dari dalam sana. Para pelayat pun saling berbisik, beberapa bahkan berlari menjauh, sementara yang lain masih terpaku di tempat, tak mampu mengalihkan pandangan mereka. "Mundur, Nduk! Mundur!" seru Lasmi dengan panik, menarik Murni menjauh dari jenazah Raharjo. Namun, Murni seperti tak mendengar teriakan ibunya, kedua matanya masih terpaku pada kain kafan yang perlahan tergerak ke kanan, seakan mengisyaratkan sesuatu. "Murniii ...." Murni menoleh, ke sana kemari mencari suara bisikan yang baru saja menelusup ke dalam telinganya. "Ba-Bapak ...," terbata Murni menyebut nama bapaknya. Iya, Murni sangat mengenali suara itu, suara sang ayah. "Kalian kenapa masih berdiri di sana? Tolong angkat Bapak," pinta Murni bersungguh-sungguh. Kasnan yang memang bekerja pada Juragan Raharjo pun lantas maju, dengan menyeret lengan Pai
Lasmi masih berdiri terdiam di ruang tamu, sorot matanya waspada dan napasnya terengah. Ketukan itu semakin keras, menggema, seolah-olah memaksa masuk. “Ji… kamu dengar itu?” bisik Murni, suaranya gemetar. Aji mengangguk, tangannya meremas lengan kakaknya untuk memberikan sedikit ketenangan. "Mbak, tunggu di sini. Biar aku lihat," katanya berusaha tenang, meski hatinya diliputi kegelisahan. Aji perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan, setiap langkahnya terasa berat. Lasmi menunggu di ujung ruang tamu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketukan itu semakin kencang, nyaris seperti dobrakan. BRAK! BRAK! BRAK! Aji menggenggam pegangan pintu dengan tangan bergetar. Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu itu perlahan, menahan rasa takut yang kian mencengkram. Namun, di luar hanya ada kegelapan yang pekat, tidak ada tanda-tanda siapa pun. “Aji, siapa itu?” tanya Lasmi dari belakang. Aji menatap ke luar dengan ragu, mencoba menembus kegelapan dengan mat
Malam semakin larut, suasana dalam rumah terasa semakin menegangkan. Ketiga anggota keluarga itu hanya bisa duduk terdiam, mendengarkan suara-suara aneh yang datang dari luar, disertai dengan derap langkah yang membuat jantung mereka berdegup kencang. Setiap detik terasa seperti satu jam. Ketika ketegangan semakin tak terkendali, Murni merasakan hawa mistis di sekelilingnya. "Bu, bagaimana jika itu benar-benar Bapak?" tanyanya, suaranya bergetar. "Aku... aku ndak mau percaya kalau Bapak sudah pergi." Lasmi mengusap punggung Murni, berusaha menenangkannya. "Kita harus percaya, Murni. Yang kita lihat barusan adalah sesuatu yang lain. Kekuatan jahat sedang berusaha memanfaatkan kerinduanmu kepada Bapak." "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Aji kemudian. Dia merasa perlu melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya, karena memang dirinyalah kini yang menjadi satu-satunya lelaki di keluarga Raharjo. “Jangan berpikir macam-macam!" jawab Lasmi tegas. "Kita tidak bisa mem
Ketiganya berjalan menyusuri pemakaman menuju pintu keluar. Saat itulah, seorang pria tua tampak berdiri di bawah pohon besar di pinggir jalan setapak. Penampilannya lusuh, pakaian yang ia kenakan terlihat usang, kotor, dan penuh tambalan. Ia memegang tongkat kayu yang panjang, berfungsi sebagai penopang sekaligus alat bantu berjalan. Saat melihat Lasmi dan kedua anaknya, pria tua itu tersenyum tipis, memperlihatkan gigi-giginya yang sudah tak utuh lagi.Saat tatapan dari pria tua itu jatuh pada Murni, tiba-tiba saja Murni merasa ada hawa tak nyaman, dan ia menggenggam lengan ibunya lebih erat. Namun, pria itu justru melangkah perlahan mendekati mereka, matanya yang sayu menatap tajam ke arah Murni. Ada sorot mata yang sulit dijelaskan, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tak diketahui siapa pun. "Cah Ayu…," gumamnya, mengendus-endus udara seakan ingin menangkap aroma dari arah tubuh Murni. Sontak saja gadis itu segera melangkah mundur dengan perasaan risih, merasa dipelototi oleh oran
Malam semakin larut, suasana dalam rumah terasa semakin menegangkan. Ketiga anggota keluarga itu hanya bisa duduk terdiam, mendengarkan suara-suara aneh yang datang dari luar, disertai dengan derap langkah yang membuat jantung mereka berdegup kencang. Setiap detik terasa seperti satu jam. Ketika ketegangan semakin tak terkendali, Murni merasakan hawa mistis di sekelilingnya. "Bu, bagaimana jika itu benar-benar Bapak?" tanyanya, suaranya bergetar. "Aku... aku ndak mau percaya kalau Bapak sudah pergi." Lasmi mengusap punggung Murni, berusaha menenangkannya. "Kita harus percaya, Murni. Yang kita lihat barusan adalah sesuatu yang lain. Kekuatan jahat sedang berusaha memanfaatkan kerinduanmu kepada Bapak." "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Aji kemudian. Dia merasa perlu melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya, karena memang dirinyalah kini yang menjadi satu-satunya lelaki di keluarga Raharjo. “Jangan berpikir macam-macam!" jawab Lasmi tegas. "Kita tidak bisa mem
Lasmi masih berdiri terdiam di ruang tamu, sorot matanya waspada dan napasnya terengah. Ketukan itu semakin keras, menggema, seolah-olah memaksa masuk. “Ji… kamu dengar itu?” bisik Murni, suaranya gemetar. Aji mengangguk, tangannya meremas lengan kakaknya untuk memberikan sedikit ketenangan. "Mbak, tunggu di sini. Biar aku lihat," katanya berusaha tenang, meski hatinya diliputi kegelisahan. Aji perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan, setiap langkahnya terasa berat. Lasmi menunggu di ujung ruang tamu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketukan itu semakin kencang, nyaris seperti dobrakan. BRAK! BRAK! BRAK! Aji menggenggam pegangan pintu dengan tangan bergetar. Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu itu perlahan, menahan rasa takut yang kian mencengkram. Namun, di luar hanya ada kegelapan yang pekat, tidak ada tanda-tanda siapa pun. “Aji, siapa itu?” tanya Lasmi dari belakang. Aji menatap ke luar dengan ragu, mencoba menembus kegelapan dengan mat
Murni terkesiap. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Kain kafan bapaknya bergerak semakin nyata, seolah ada yang berusaha keluar dari dalam sana. Para pelayat pun saling berbisik, beberapa bahkan berlari menjauh, sementara yang lain masih terpaku di tempat, tak mampu mengalihkan pandangan mereka. "Mundur, Nduk! Mundur!" seru Lasmi dengan panik, menarik Murni menjauh dari jenazah Raharjo. Namun, Murni seperti tak mendengar teriakan ibunya, kedua matanya masih terpaku pada kain kafan yang perlahan tergerak ke kanan, seakan mengisyaratkan sesuatu. "Murniii ...." Murni menoleh, ke sana kemari mencari suara bisikan yang baru saja menelusup ke dalam telinganya. "Ba-Bapak ...," terbata Murni menyebut nama bapaknya. Iya, Murni sangat mengenali suara itu, suara sang ayah. "Kalian kenapa masih berdiri di sana? Tolong angkat Bapak," pinta Murni bersungguh-sungguh. Kasnan yang memang bekerja pada Juragan Raharjo pun lantas maju, dengan menyeret lengan Pai
“Bapak! Bangun, Pak!” Murni masih memeluk tubuh Raharjo yang kini telah terbujur kaku. Beberapa kali ia menggoyangkan tubuh bapaknya, berharap agar laki-laki yang begitu ia cintai dapat membuka kedua matanya kembali. “Bu, ini ndak mungkin. Bapak belum meninggal kan, Bu?” tanya Murni yang kemudian beralih memeluk sang ibu yang juga duduk di samping jenazah suaminya. Memang sulit untuk dipercaya, tak ada angin tak ada hujan, Raharjo meninggal begitu saja. Dia yang lebih dikenal sebagai Juragan Harjo sama sekali tak sakit. Bahkan, pagi harinya Juragan Harjo masih mampu pergi menagih utang dari para warga yang kerap kali meminjam uang padanya. Raharjo merupakan seorang tuan tanah yang sangat disegani. Luasnya area lahan yang dia miliki, serta kekayaan yang mungkin tak akan habis untuk tujuh turunan membuatnya begitu berkuasa di desa itu, Desa Juwono namanya. “Murni … ikhlaskan bapakmu, Nduk,” ucap Lasmi seraya mengusap punggung putrinya itu dengan lembut. “Tapi, Bu. Murni ndak