"To... Long...."
"Aarrkh!! Tidaaak! Bapak ...." Murni berteriak histeris melihat semua itu terjadi tepat di depan matanya. Lasmi yang sebelumnya sudah pergi, segera berlari cepat untuk kembali ke kamar Murni. Di sana, ia melihat Murni yang menendang-nendang dengan masih berteriak. Namun dengan kedua mata yang tertutup rapat. "Murni! Murni! Bangun, Murni!" Lasmi menggoyangkan tubuh Murni agar terbangun dari mimpi buruknya. Segera setelah mata Murni terbuka, ia mendekap tubuh sang ibu dengan sangat erat. "Ibu, Murni takut, Bu." "Jangan takut, Ibu ada di sini," ucap Lasmi menenangkan. "Bapak, Bu. Bapak —" Lasmi menghela napas panjang, meletakkan tangan lembutnya di bahu Murni. "Mungkin kamu hanya lelah, Nak. Sejak Bapakmu pergi, bebanmu bertambah berat. Pikiranmu pasti dipenuhi banyak hal yang membuatmu berhalusinasi." Murni menelan ludah, merasakan kegetiran di ujung tenggorokannya. "Bu, aku tahu ini terdengar tidak masuk akal, tapi aku benar-benar melihat Bapak… dalam wujud —pocong." "Murni, cukup!" Murni menatap ibunya dalam-dalam, matanya memohon pengertian. "Tapi, Bu, ini bukan sekadar ilusi. Aku merasakan hawa dinginnya, mendengar suaranya, dia... Benar-benar meminta tolong." Lasmi hanya diam, seakan mencari jawaban di antara kerutan di dahinya. Dalam keheningan itu, Murni merasakan dinding yang seakan semakin mendekat, menekan dirinya dengan rasa frustasi yang menggumpal. Ia tahu, ibunya tak akan mudah percaya. "Sudahlah, Murni. Jangan biarkan pikiran aneh ini membuatmu takut. Semua sudah berlalu, Bapakmu sudah tenang di alam sana," Lasmi berujar dengan suara pelan namun tegas, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Dengan rasa kecewa, Murni mengangguk. "Baik, Bu," gumamnya, meski dalam hati, ia merasa yakin bahwa yang ia alami lebih dari sekadar mimpi belaka. Setelah percakapan itu, Murni meminta agar Lasmi menemaninya tidur. Bukan, bukan karena rasa takutnya. Tapi dia ingin meyakinkan dirinya sendiri. Ketika sang ibu sudah terlelap dalam buainya, Murni dengan langkah perlahan meninggalkan kamar. Dengan kaki yang berjinjit, ia berjalan ke dalam kamar bapaknya. Ruangan yang beberapa waktu ini ia hindari sejak pemakaman. Ia membuka pintu dengan sangat hati-hati, berusaha agar tak menimbulkan suara sedikit pun. Dalam hening, ia membiarkan udara dingin menyergap tubuhnya. Suasana di dalam kamar terasa sunyi, seakan menyimpan sebuah rahasia besar yang tak pernah diketahui oleh siapa pun. Pandangan Murni menyapu seluruh ruangan. Meja kayu yang biasa digunakan oleh sang ayah untuk bekerja. Kursi goyang yang masih tetap berada di tempatnya, serta tumpukan buku-buku berdebu di rak, dan lemari kayu tua yang tertutup rapat. Namun, ada satu benda yang menarik perhatiannya. Di sudut rak, ada sebuah buku yang berdiri terpisah dari tumpukan buku lainnya. Sebuah buku tua dengan sampul hitam legam, tergeletak di sana. Murni memicingkan kedua matanya saat melihat buku itu yang tampak usang, berdebu, dan menimbulkan aura aneh yang membuat Murni bergidik ngeri. "Buku apa ini?" gumamnya. Dengan tangan bergetar, Murni meraih buku itu dan membuka halaman pertama. "Raharjo" Iya, memang itulah yang tertulis di halaman pertama buku tersebut. Tak cukup sampai di situ, Murni kembali membalik halaman kedua. Murni membalik halaman berikutnya dengan jantung yang berdegup kencang. Tulisan tangan beraksara Jawa memenuhi halaman itu, namun terasa asing dan menyeramkan. Tulisan tersebut tidak hanya sekadar aksara, tapi seolah memiliki daya tarik yang dengan sengaja meminta Murni untuk menyentuhnya. Ia mendekatkan buku itu ke cahaya lampu, berusaha membaca dengan lebih jelas. Di antara tulisan itu, ia menemukan kata-kata yang membuat bulu kuduknya berdiri: "Sawijining sukmo kang digadai, bakal tabet marang jagad astral, nganti kuwajiban lunas utawa panggawe dipungkasi." Murni mencoba memahami artinya dengan pengetahuan bahasa Jawa seadanya: "Sebuah jiwa yang digadaikan, akan terikat di dunia astral, sampai tanggung jawab terpenuhi atau tugas diselesaikan." Mata Murni membelalak. Tangannya gemetar hebat hingga hampir menjatuhkan buku itu. “Gadai sukmo?” gumamnya tak percaya. Pikiran-pikiran aneh mulai menyerbu benaknya. Ia membalik halaman-halaman berikutnya, menemukan lebih banyak mantra dan tulisan yang menjelaskan proses penggadaian jiwa. Salah satu halaman menampilkan diagram tangan manusia dengan simbol-simbol aneh di sekitar telapak tangan, sementara halaman lainnya menjelaskan ritual penggadaian jiwa dengan detail mengerikan. Di tengah rasa takutnya, Murni terus membaca, hingga tiba pada satu halaman yang membuat napasnya tertahan: "Panglumpukan sukma bakal kabukti ing wewayangane kang nggolek pitulungan." "Jiwa yang terikat akan terlihat dalam wujud yang meminta pertolongan." Kata-kata itu menghantam Murni seperti badai. Ia segera teringat pada sosok bapaknya yang muncul sebagai pocong, memohon bantuan. Tidak mungkin ini kebetulan. Dengan tangan gemetar, Murni menutup buku itu dan memeluknya erat. Hatinya diliputi ketakutan yang tak tertahankan, namun di saat yang sama, ia merasakan dorongan kuat untuk mencari tahu lebih jauh. “Bapak… apa yang sebenarnya terjadi pada Bapak?” bisiknya dengan suara bergetar. Di dalam kamar Murni, Lasmi terbangun mendadak, merasa ada sesuatu yang ganjil. Ia mengulurkan tangan ke sisi tempat tidur, mencari keberadaan Murni, tapi yang ia temukan hanyalah dinginnya kain seprai. "Murni?" panggilnya pelan, namun tidak ada jawaban. Lasmi segera duduk dan melirik jam dinding. Hampir pukul dua pagi. Pikirannya mulai dipenuhi kekhawatiran. Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Langkahnya berhenti sejenak saat matanya tertuju ke arah pintu kamarnya yang sedikit terbuka. "Apa kamu di dalam sana, Nduk? Ibu sudah bilang, jangan masuk," gumamnya sendiri. "Apa yang kamu cari, Nduk?..." bisik Lasmi dalam hati. Ketika ia mendorong pintu dengan perlahan, pemandangan di dalam kamar membuatnya tercekat. Murni duduk di lantai dengan buku tua yang terlihat tak asing di matanya. Cahaya lampu redup membuat suasana kamar terasa semakin mencekam. "Murni!" seru Lasmi. Murni terlonjak, lalu menoleh dengan mata penuh rasa bersalah dan rasa takut. "Ibu... aku..." Dengan cepat, Lasmi masuk ke dalam kamar. Sedang dapat terlihat jika tatapannya tertuju pada buku yang ada di tangan Murni. Rasa tidak nyaman menyelimutinya. Iya, Lasmi mengenali buku itu—buku milik suaminya yang selama ini ia anggap hilang. "Kenapa kamu ada di sini, Murni? Apa yang kamu lakukan dengan buku itu?" Lasmi bertanya dengan suara bergetar, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba saja datang. "Ibu, aku menemukan ini. Buku ini... sepertinya berisi rahasia tentang Bapak," jawab Murni yang masih terus memeluk buku itu erat-erat. "Bawa sini!" sentak Lasmi. Lasmi meraih buku itu dengan paksa, membukanya, dan membaca sekilas halaman yang telah dilihat Murni. Wajahnya memucat, tangannya gemetar hebat saat menyadari isi dari tulisan-tulisan itu. "Ibu ...." Murni mencoba untuk berdiri saat melihat tubuh sang ibu sedikit gontai. "Murni ...." lirihnya. "Buku ini tidak seharusnya kamu baca!" bentaknya, lalu buru-buru menutup buku tersebut."Ibu... Buku itu punya Bapak." Murni berusaha untuk meraih buku itu kembali, matanya memancarkan rasa penasaran yang tak terbendung. Buku itu, dengan sampul kulitnya yang usang dan aroma kertas tua, seperti menyimpan rahasia yang selama ini terkubur. "Iya, Ibu tahu itu, Murni. Dan justru karena Ibu tahu ini milik Bapakmu, Ibu melarangmu untuk membacanya," tegas Lasmi, suaranya bergetar di antara kekhawatiran dan ketegasan. "Kenapa, Bu? Ada apa sebenarnya? Apa yang Ibu tutupi dari Murni, Bu?" tanya Murni, nadanya mulai meninggi. Rasa penasarannya semakin mendesak, seperti ada sesuatu yang harus segera ia ketahui sebelum semuanya terlambat. Murni menatap buku itu dengan sorot mata yang bercampur antara takut dan penasaran. Tangan mungilnya gemetar saat mencoba menyentuh sampul buku tersebut. "Semua tulisan di dalamnya, Bu. Aku rasa... Bapak melakukan sesuatu. Sesuatu yang berhubungan dengan jiwa dan dunia lain." Lasmi memandang buku itu dengan tatapan nanar, seperti mengenang mas
Lasmi tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Murni dengan erat, seolah mencoba melindungi putrinya dari sesuatu yang tidak kasat mata. "Nduk, kalau kamu benar-benar peduli dengan Bapakmu, satu-satunya hal yang harus kamu lakukan adalah menjauhi buku itu. Jangan sampai kamu membuka jalan bagi mereka untuk datang ke sini." Namun, bagi Murni, kata-kata ibunya justru semakin menguatkan tekadnya. "Bu, kalau benar ada jalan masuk, berarti ada cara untuk menutupnya, bukan? Aku harus tahu caranya. Bapak terlalu menderita, Bu. Aku tidak bisa diam saja." "Tapi kamu tidak tahu risiko yang harus kamu hadapi, Murni," sergah Lasmi. "Dunia mereka penuh tipu daya. Apa yang kamu lihat mungkin bukan kebenaran. Mereka akan memanfaatkan kelemahanmu, ingat itu!." "Aku akan berhati-hati, Bu," jawab Murni dengan tegas. "Aku tidak akan menyerah begitu saja. Kalau Bapak membuat kesalahan, aku yakin ada cara untuk memperbaikinya." Murni tidak menjawab. Ia menatap buku itu dengan sorot mata yang penuh
"Aji!" Seketika bayangan yang tadi melesat cepat ke arah Aji langsung menghilang, dan tubuh Aji pun sudah bisa untuk digerakkan kembali. "Kamu ngapain diam aja di situ, Ji?" tanya Murni.Aji menoleh cepat tapi tak mengatakan apa-apa. Ia hanya berpura-pura menggigil kedinginan, berharap kakaknya tidak menanyakan lebih lanjut. “Aku cuma... kedinginan, Mbak,” jawabnya pelan, suaranya sedikit bergetar.Murni menatap Aji dengan raut wajah khawatir. “Ya wis, sudah tahu dingin malah anteng di situ. Masuk ke kamarmu sana. Tutup pintu dan selimut yang rapat, ya?” katanya sambil menepuk pundak adiknya.Aji hanya mengangguk pelan, kemudian berjalan menuju kamarnya tanpa banyak bicara. Setelah menutup pintu, ia duduk di sudut ruangan, memeluk lututnya erat. Pikirannya masih terjebak pada bayangan mengerikan yang baru saja ia lihat. Namun, ia memutuskan untuk tidak menceritakan apa pun kepada Murni. Ia tidak ingin membuat kakaknya semakin cemas.Sementara itu, di tempat lain, Lasmi terlihat duduk
“Murni, kadang ada hal-hal yang lebih baik tidak kamu ketahui. Ibu hanya berusaha menjaga semuanya tetap baik-baik saja." Lasmi berkata dengan datar sebelum meninggalkan Murni. Malam itu, Murni menghabiskan malamnya dengan pikiran yang masih melayang. Keesokan malamnya, suasana desa Juwono terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin bertiup kencang, membuat daun-daun bambu berderak seperti bisikan samar. Murni berdiri di depan rumah dengan buku misterius itu dalam genggaman tangannya. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia menepis ketakutannya. Ia tahu ini bukan saat untuk mundur. Sebelum melangkah keluar, ia menoleh ke arah kamar Aji. Pintu kamar itu sedikit terbuka, cukup untuk memperlihatkan bayangan tubuh adiknya yang sedang tidur pulas di ranjang. Murni menahan napas, mengintip sejenak untuk memastikan Aji benar-benar terlelap. Ia tak ingin Aji curiga dan mencoba mengikutinya. “Tidurlah, Aji,” bisiknya pelan, meski ia tahu suaranya tak akan terdengar. “Mbak akan kembali sebelu
"Bu? Apa yang Ibu lakukan di sini?" Murni tergagap, tangannya gemetar memegang buku itu dan segera menyembunyikannya di belakang tubuhnya. "Hentikan, Murni!" sentak Lasmi. "Ta-tapi, Bu. Bapak...." Lasmi tidak menjawab. Ia hanya menatap Murni dengan mata yang berkilat, penuh dengan amarah. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Lasmi membuat pria tua itu waspada. Ia segera memegang bahu Murni, menahannya untuk tetap diam di tempat. "Jangan percaya padanya, Nduk," bisiknya. "Itu bukan ibumu." Murni tertegun. Ia menatap Lasmi lagi, mencoba menemukan sesuatu yang salah. Tapi wajah itu... begitu mirip. Begitu nyata. "Murni, dengarkan Ibu. Keluar dari lingkaran itu sekarang juga! Kamu ndak tahu apa yang sedang kamu mainkan itu," Lasmi berkata lagi, seolah memaksa Murni untuk menuruti apa kemauannya. Namun, sebelum Murni bisa menjawab, pria tua itu melafalkan mantra lainnya. "Aja lumaku, aja ngomong, aja obah. Sak jeroning ati, kaku badan, kekunci sak jeroning bumi. Mantra iki mateg, ora
"Dari mana kamu, Murni!" Murni yang baru saja masuk ke rumah dengan mengendap-endap sudah disambut dengan bentakan keras dari sang ibu. "I-ibu...," ucap Murni terbata. "Katakan! Dari mana kamu?" tanya Lasmi dengan penuh intimidasi. "Murni... Murni dari —" "Sudah berani kamu melawan perintah Ibu?" sentak Lasmi sebelum Murni menyelesaikan kata-katanya. Murni terdiam, tubuhnya gemetar melihat amarah di wajah ibunya. Namun, ia tak bisa menghilangkan bayangan peristiwa yang terjadi di kuburan sang ayah tadi. Di mana angin kencang, mantra mengerikan, dan juga sosok menyeramkan yang mengaku sebagai ibunya. Bahkan sekarang saja, Murni merasa ragu jika wanita yang ada di hadapannya itu adalah benar ibunya. "Ibu, dengarkan Murni dulu..." ujarnya lirih, mencoba meredakan suasana. "Dengarkan? Kamu pikir Ibu akan percaya dengan kata-katamu setelah kamu berbuat sembarangan?!" Lasmi melangkah maju, menatap putrinya tajam. "Jawab Ibu, Murni. Apa kamu pergi ke kuburan bapakmu?" Murni m
Sejak malam mengerikan itu, Murni merasa kehidupannya berubah. Buku tua milik Raharjo yang sempat ia genggam kini tersimpan rapat di balik lemari kayu tua di kamarnya. Tidak ada yang tahu keberadaan buku itu selain dirinya. Bahkan, ibunya, Lasmi, tampak menghindari pembicaraan tentang buku tersebut, meskipun ketakutan terlihat jelas setiap kali mata mereka bertemu.Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan sudah saatnya Murni kembali ke kota untuk melanjutkan kuliahnya. Namun, ada sesuatu yang menahannya di Desa Juwono, sesuatu yang tak mampu ia jelaskan. Lasmi sendiri melarang keras kepergian Murni sebelum genap 40 hari sejak kematian Raharjo.“Ndak baik meninggalkan rumah di saat seperti ini, Nduk,” ujar Lasmi pagi itu, suaranya tegas namun terdengar samar-samar seperti menutupi sesuatu.Murni mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa berat. Desa Juwono bukan lagi tempat yang sama baginya. Udara yang dulu terasa sejuk kini seperti membawa aroma kematian. "Nggih, Bu," jawabnya.Pagi it
Lasmi terhuyung ke belakang saat melihat sosok pocong itu menempelkan dahinya ke dahi Murni. Napasnya tercekat. Ia ingin menolong, tetapi tubuhnya terasa lemas, seolah semua kekuatannya dirampas oleh pemandangan yang saat ini terpampang di hadapannya. “Murni!” teriaknya lagi, tetapi anaknya tetap berdiri kaku. Mata Murni yang sebelumnya penuh ketakutan kini berubah kosong, seakan tidak ada lagi jiwa di dalam tubuhnya. Wajah hitam dari pocong Raharjo mulai meleleh, meneteskan lendir hitam yang begitu menyengat. Mulut pocong itu perlahan terbuka, memperlihatkan gigi-gigi yang hampir hancur dan lidah hitam yang mengering. Dari celah mulutnya, asap hitam pekat mulai mengepul, berputar-putar seperti ular sebelum masuk ke dalam mulut Murni yang juga terbuka secara sendirinya tanpa kendali. Khhhaarkh!!! Suara Raharjo terdengar mengerikan saat mulutnya terbuka semakin lebar. “Asap hitam itu...?!” gumam Lasmi. Ia mencoba bangkit, tetapi kakinya terasa berat. Suasana kamar pun berubah
Murni dan Aji terus melangkah tanpa arah yang jelas, menyusuri jalan setapak yang penuh duri dan akar-akar pohon menjulur. Hutan itu gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang remang-remang. Udara malam begitu dingin, seakan membekukan harapan yang tersisa. Tapi, di tengah keheningan itu, tekad untuk kembali ke desa mereka terus memupuk keberanian dalam hati.Setelah berjalan selama berjam-jam, mereka tiba di sebuah pondok kecil di tengah hutan. Pondok itu tampak tua dan nyaris roboh, tapi pintunya sedikit terbuka, mengisyaratkan kehadiran seseorang di dalamnya. Murni ragu sejenak, tapi kemudian mengetuk pintu dengan hati-hati.“Siapa di luar sana?” Suara tua dan serak terdengar dari dalam.“Kami… kami hanya butuh tempat untuk beristirahat,” jawab Murni dengan suara gemetar.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria tua berambut putih kusut dengan jubah panjang yang tampak usang. Sorot matanya tajam, tapi ada kehangatan yang tersembunyi di balik kerut wajahnya. Ia memandang Mu
Murni menarik Aji keluar dari kamar melalui pintu belakang, seperti yang diperintahkan Raharjo. Langkah mereka tergesa-gesa, namun bayangan dingin yang mengikuti di belakang mereka semakin menambah beban di dada. Setiap langkah terasa berat, udara malam yang dingin menusuk tulang, dan suara-suara samar di kejauhan mengiringi mereka, seperti bisikan yang tak dapat dimengerti.Aji meremas tangan kakaknya dengan kuat, takut kehilangan pegangan. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya sedikit gemetar. “Mbak, sebenarnya siapa yang benar, dan siapa yang salah? Siapa yang teman dan siapa yang lawan?"Murni menoleh sejenak ke arah adiknya, namun pandangannya tertuju ke bayangan biru samar di kejauhan. Prana masih ada di sana, seperti melayang-layang, menjaga jarak namun tetap mengikuti mereka dengan langkah perlahan. Bayangan itu seperti pilar harapan yang menjulang di tengah kegelapan, meskipun aura misteriusnya tidak sepenuhnya membawa rasa aman."Sama sepertimu, Mbak juga masih bertanya-tanya, Ji.
Murni menarik Aji ke belakang, tubuhnya gemetar hebat. Sosok di ambang pintu tetap diam, hanya menatap mereka dengan mata merah menyala. Suara napasnya terdengar berat, bergema di dalam rumah kosong itu. “Aji, jangan lihat ke arahnya!” bisik Murni, berusaha menyembunyikan ketakutannya. Ia melangkah mundur, perlahan menjauh dari pintu. Sebaliknya, Aji tak bisa mengalihkan pandangannya, seolah terhipnotis oleh tatapan makhluk itu. “Keluar…” Suara serak menggema dari sosok itu, pelan namun penuh ancaman. Kata itu seperti memerintah, memaksa, mengikat mereka dalam ketakutan. Murni menggeleng cepat. “Kita tidak boleh keluar! Pak Prawiro bilang jangan keluar!” Ia memeluk Aji erat, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya sendiri gemetar tanpa henti. Sosok itu melangkah maju, kain kafannya berderak pelan seiring gerakannya. Setiap langkahnya membuat udara di dalam ruangan semakin dingin. Kabut tipis mulai merembes masuk melalui celah-celah dinding, membawa bau anyir yang membuat Murni mua
Murni dan Aji mengikuti Prawiro dengan langkah ragu, menembus hutan yang semakin gelap dan sunyi. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah tanah di bawah kaki mereka mencoba menahan perjalanan mereka. Namun, tatapan tegas Prawiro memberikan rasa aman meski hanya sedikit. Obor kecil di tangannya menjadi satu-satunya sumber cahaya di tengah kegelapan malam. "Apa desa itu benar-benar aman, Pak?" tanya Murni, suaranya pelan namun penuh kekhawatiran. "Selama kalian berada di bawah perlindunganku, kalian akan aman," jawab Prawiro tanpa menoleh. Suaranya tegas, namun ada nada ketegangan yang sulit disembunyikan. Aji, yang berjalan di samping Murni, menarik-narik lengan kakaknya. "Mbak, kenapa kita nggak langsung pulang saja? Kenapa harus ke desa itu?" Murni menunduk, mencoba memberikan senyum yang menenangkan kepada adiknya. "Percaya sama Mbak, Ji. Kita akan baik-baik saja." Namun, jawaban itu tidak cukup menenangkan Aji. Ia merasakan sesuatu yang aneh sejak pria tua itu muncul, meski i
Di tengah malam yang sunyi, di rumah kecil Raharjo tempat Murni dan Aji tinggal, suara aneh mulai terdengar dari luar. Angin berhembus kencang, menciptakan suara desis seperti bisikan yang menyeramkan. Di dalam rumah, Murni memeluk Aji yang tertidur di pangkuannya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi tidak tahu pasti apa itu. Tiba-tiba, lampu di rumahnya berkedip-kedip sebelum padam sepenuhnya. Suasana menjadi gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar-samar masuk melalui jendela. Dari luar, suara langkah berat terdengar, seolah ada sesuatu yang besar mendekat. Murni merasa napasnya tertahan, tubuhnya gemetar. Ia mencoba membangunkan Aji. Pintu rumah berderit pelan, lalu terbuka dengan sendirinya. Di ambang pintu, sosok itu muncul—Danyang. Tinggi, menyeramkan, dan mengeluarkan aura kegelapan yang begitu pekat. Matanya bersinar merah menyala, sementara tubuhnya diselimuti kabut hitam yang terus bergerak seperti hidup. Murni mundur, memeluk Aji erat-erat. "
Tubuh Raharjo yang baru saja bergerak itu kini bangkit sepenuhnya dari lantai gua. Namun, gerakannya terasa asing. Ia bergerak seperti boneka yang sedang dipaksa berdiri oleh tali yang tak terlihat. Prawiro menyaksikan semuanya dengan mata terbelalak. Kekuatan besar yang ia panggil telah berhasil, tetapi apa yang berdiri di hadapannya bukan lagi sepenuhnya Raharjo. Itu adalah sesuatu yang lain—sesuatu yang hanya menggunakan tubuh adiknya sebagai wadah. "Bangkitlah, Harjo," ulang Prawiro dengan suara yang sedikit bergetar. "Kini saatnya kau melindungi mereka." Raharjo, atau apapun yang kini berada dalam tubuhnya, menoleh ke arah Prawiro dengan gerakan yang kaku. Matanya memancarkan cahaya redup, seperti bara api yang hampir padam. "Melindungi...?" suaranya serak, menggema di dalam gua. "Apa kau tahu apa yang telah kau lakukan, Prawiro?" Prawiro terdiam, tubuhnya gemetar. "Aku tahu... aku tahu jika yang aku lakukan ini salah, tapi aku tak punya pilihan! Mereka—anak-anakmu—mereka akan
Di dalam gua yang tersembunyi di balik hutan lebat, Prawiro berdiri di tengah kegelapan, menyirami sesosok tubuh yang terbungkus kain kafan dengan air bercampur minyak misik dan bunga setaman. Suasana di sekitar gua itu terasa berat, dan udara dingin malam berdesir lembut, membawa aroma tanah basah yang menyeruak. Prawiro menatap tubuh yang terbaring diam, wajahnya masih dapat ia kenali. Namun, ada sesuatu yang begitu akrab. Senyumannya tetap terukir, meskipun ada kesan kesedihan yang tak terungkapkan.Dengan tangan yang halus, Prawiro memegang kendi tanah yang sudah hampir kosong, memercikkan air itu ke tubuh yang terbungkus kafan yang sudah tampak lusuh itu. Secara perlahan, suara lembut lagu Jawa mengalun dari bibirnya. Lagu itu tidak hanya sekedar melodi; setiap baitnya adalah doa, adalah pengorbanan, adalah harapan yang diselubungi penyesalan."Harjo, adikku... jangan khawatirkan apa yang telah terjadi. Anak-anakmu masih kulindungi. Karmamu sudah terjalani, saatnya kini untukku m
Malam itu memang terasa lebih dingin daripada biasanya. Angin yang bertiup seolah-olah membawa pesan dari kegelapan, sementara suara-suara malam terdengar semakin mencekam. Murni dan Aji tidak tidur semalaman. Mereka berjaga-jaga, duduk di ruang tengah dengan pisau dapur dan kayu bakar sebagai senjata seadanya. Piring tanah busuk berbelatung itu mereka bungkus dengan plastik dan letakkan di sudut ruangan. Namun, meskipun dibungkus rapat, bau busuknya tetap saja menguar, menambah rasa mual dan ketegangan di dalam rumah.Ketika cahaya pertama matahari mulai menyembul di ufuk timur, Murni memutuskan bahwa mereka harus segera pergi menemui Nyai Warsih.“Ayo, Ji. Kita bawa ini sekarang. Sebelum hal lain terjadi,” ucap Murni tegas.Aji mengangguk setuju. Ia mengambil plastik yang berisi piring itu dengan hati-hati, seolah-olah memegang benda yang bisa meledak kapan saja.Mereka berjalan cepat menuju rumah Nyai Warsih. Jalanan desa masih sepi, hanya suara ayam berkokok dan anjing menggonggon
Beberapa waktu berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Danyang di tepi hutan. Desa Juwono perlahan kembali hidup. Kehangatan matahari yang menyentuh dedaunan menciptakan pemandangan menyejukkan hati. Suara burung-burung kembali riang berkicau di pagi hari, dan warga desa mulai beraktivitas dengan semangat yang baru. Meski masih ada segelintir penduduk yang memendam ketakutan terhadap kehadiran Murni dan Aji, suasana desa tak lagi diliputi kecurigaan seperti sebelumnya. Terlebih setelah Nyai Warsih memimpin doa bersama di lapangan desa, memohon perlindungan bagi seluruh warga dan memulai kembali kehidupan mereka yang baru. Di salah satu sudut desa, rumah Raharjo yang dulu terlihat kusam dan dipenuhi aura gelap kini menjadi pusat perhatian. Para warga bahu-membahu membantu memperbaiki rumah itu. Mereka memperbaiki atap yang bocor, mengganti pintu yang rusak, dan membersihkan halaman yang dulu ditumbuhi semak belukar. “Ini bukan hanya rumah kalian, Murni. Ini adalah bagian dari des