Lasmi masih berdiri terdiam di ruang tamu, sorot matanya waspada dan napasnya terengah. Ketukan itu semakin keras, menggema, seolah-olah memaksa masuk.
“Ji… kamu dengar itu?” bisik Murni, suaranya gemetar. Aji mengangguk, tangannya meremas lengan kakaknya untuk memberikan sedikit ketenangan. "Mbak, tunggu di sini. Biar aku lihat," katanya berusaha tenang, meski hatinya diliputi kegelisahan. Aji perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan, setiap langkahnya terasa berat. Lasmi menunggu di ujung ruang tamu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketukan itu semakin kencang, nyaris seperti dobrakan. BRAK! BRAK! BRAK! Aji menggenggam pegangan pintu dengan tangan bergetar. Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu itu perlahan, menahan rasa takut yang kian mencengkram. Namun, di luar hanya ada kegelapan yang pekat, tidak ada tanda-tanda siapa pun. “Aji, siapa itu?” tanya Lasmi dari belakang. Aji menatap ke luar dengan ragu, mencoba menembus kegelapan dengan matanya. Hanya hembusan angin malam yang terasa dingin, dan suara jangkrik di kejauhan yang terdengar. Tak ada siapapun. Namun, perasaan aneh tetap menyelimutinya, seperti ada sesuatu yang mengintai mereka dari kegelapan. “Aku... nggak ada siapa-siapa, Bu,” Aji menjawab dengan suara serak. Baru saja ia akan menutup pintu, tiba-tiba angin dingin menerpa wajahnya. Dari sudut matanya, ia melihat sesuatu yang bergerak di halaman, samar-samar seperti bayangan hitam yang merayap di tanah. Seketika jantungnya berdegup lebih cepat, pandangannya fokus pada sosok itu. Perlahan, bayangan itu berubah jelas, memperlihatkan sesosok tubuh yang dililit sesuatu yang hitam berkilat. Mata Aji membelalak. Tubuhnya mematung. "Bapak?" bisiknya, nyaris tak terdengar. Bayangan itu kian mendekat, tubuhnya penuh dengan lumpur dan lilitan ular hitam yang melingkari seluruh badannya. Wajah yang dahulu dikenalnya sebagai sang ayah kini tampak pucat, dengan mata yang menghitam. Namun dari bola matanya... ia masih menatap aji dengan penuh kesakitan. Ular-ular itu bergerak pelan, seolah memperkuat cengkeramannya di sekitar tubuh Raharjo. "Aji," panggil Murni yang menyusul adiknya itu karena merasa penasaran. Hening... tak ada jawaban yang terdengar. Tubuh Aji kaku di depan pintu. "Ajik!" Kembali Murni memanggil nama sang adik seraya menepuk pundaknya. Aji pun kemudian menoleh dan menatap kebingungan pada kakaknya. "Mbak ...," ucapnya terbata. "Siapa?" tanya Murni. "Ndak ada, Mbak," jawab Aji yang tidak ingin menambah beban pikiran Murni. Tak percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Aji, Murni menghempas tubuh Aji, dan kini dirinya sudah berada di depan pintu. Tak ada apapun yang dapar dilihat Murni. Hanya gelap dan desau angin berbisik lirih di telinganya, "Murni ...." "Bapak," lirih Murni mencari dari mana suara itu berasal. "Murni, masuk!" titah sang ibu–Lasmi. Murni hanya menoleh sekilas pada sang ibu, tapi sejurus kemudian, ia justru kembali berjalan ke luar. Dengan sangat jelas, ia mendengar suara berisik dari ranting yang seolah terinjak. "Mbak Murni, berhenti!" pekik Aji yang merasa khawatir melihat Murni berjalan semakin jauh. Aji pun berjalan cepat menarik tangan Murni untuk kembali masuk ke dalam rumah. Sreeet! Murni terjatuh, dengan tangan yang masih digenggam oleh Aji. "Mbak Murni ...!" "Aww, Aji. Tolong!" pekik Murni keras. Saat menoleh ke belakang, betapa terkejutnya Murni dan Aji saat seekor ulat hitam dan besar melilit pada pergelangan kaki Murni. Ular itu berusaha untuk bisa menarik tubuh Murni kuat-kuat. "Mbak!" Dengan panik, Aji mengambil ranting kayu yang ia arahkan di depan sang ular. Dia berharap agar ular itu mau pergi. Tapi tidak, seberapa keras usaha Murni untuk bisa lepas. Ular hitam itu justru menarik kaki Murni dengan semakin kuat, membuat dirinya tertarik beberapa jengkal ke belakang. "Lepaskan!" teriak Lasmi yang kini sudah berdiri di dekat kedua anaknya. Seketika gerakan sang ular pun terhenti. "Lepaskan Murni!" titah Lasmi sekali lagi. Hingga akhirnya, ular hitam besar tersebut melepaskan lilitannya dari kaki Muri secara perlahan. Murni bergegas berdiri dan segera menghambur ke pelukan Lasmi dengan tubuh yang gemetar. "Sudah Ibu katakan, masuk!" ucap Lasmi tegas. "Ma-maaf, Bu." Murni berkata dengan terbata karena isak tangis yang tertahan. Mereka bertiga pun kemudian masuk kembali ke dalam rumah, mengistirahatkan dori dari lelah dan takut yang luar biasa. Malam semakin larut, tetapi ketenangan tak kunjung datang bagi Lasmi, Aji, dan Murni. Di dalam rumah yang seolah terasa semakin menyempit, ketegangan memenuhi udara. Murni masih gemetar dalam pelukan Lasmi, sementara Aji mencoba menenangkan diri di kursi kayu tua di sudut ruangan. Pikiran mereka semua kembali pada kejadian aneh yang baru saja terjadi. Lasmi memandang kedua anaknya, matanya penuh kekhawatiran. “Kalian harus mendengarkan Ibu. Mulai sekarang, apapun yang terjadi di luar, jangan pernah membuka pintu tanpa izin,” ujar Lasmi dengan nada yang tegas namun lembut. “Ada sesuatu di luar sana yang sedang mengintai kita.” Aji mengangguk pelan, tetapi pikirannya masih tertuju pada sosok yang dilihatnya di luar—sosok yang ia yakini sebagai ayahnya, Raharjo. Meski tubuh ayahnya dililit ular dan penuh lumpur, Aji tahu betul tatapan penuh kesakitan yang terarah kepadanya. Tetapi apakah itu benar-benar ayahnya? Atau hanya ilusi yang diciptakan oleh kekuatan jahat di luar sana? Suasana dalam rumah kembali sunyi. Hanya terdengar suara napas berat Murni yang masih terisak pelan. Lasmi menutup pintu dengan rapat, memastikan tidak ada celah sedikitpun. Dia lalu berjalan menuju jendela dan menutupnya, menutup seluruh tirai, berusaha melindungi keluarganya dari apa pun yang mengintai di luar. “Bu, apa itu tadi benar-benar Bapak?” tanya Aji tiba-tiba, memecah keheningan. Suaranya pelan, nyaris tak terdengar, tetapi penuh harap akan jawaban yang ia butuhkan. Lasmi terdiam sejenak. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun, tetapi hatinya terasa berat. “Apa yang kamu lihat, Ji?” Aji ragu sejenak. “Aku... aku melihat Bapak, Bu. Tapi... dia terlihat berbeda. Matanya hitam, tubuhnya... seperti dipenuhi lumpur dan ular.” Suaranya gemetar, tidak yakin apakah yang ia lihat adalah kenyataan atau bayangan semata. Lasmi menatap putranya dalam-dalam. “Itu bukan bapakmu, Ji. Bapakmu sudah pergi." "Tapi, Bu ...," sela Aji. Tiba-tiba, suara keras terdengar dari atap. Seperti ada sesuatu yang merayap dengan cepat di atas rumah mereka. Suara itu membuat ketiganya terpaku, tubuh mereka kaku di tempat masing-masing. Murni mengerutkan tubuhnya lebih dekat pada Lasmi, sementara Aji berdiri dari kursinya dengan mata terbelalak, memandang ke atas. “Apa itu?” bisik Murni, suaranya nyaris tak terdengar. Lasmi menutup matanya sejenak, menarik napas panjang. Dia tahu, kekuatan yang ada di luar tidak akan berhenti sampai mereka masuk ke dalam rumah ini. Dia berdiri, menatap anak-anaknya dengan ketegasan seorang ibu yang siap melindungi mereka apa pun yang terjadi. “Dengarkan Ibu. Kita harus terus bersama. Ingat, jangan membuka pintu atau jendela. Apapun yang kalian dengar, jangan tergoda untuk keluar. Paham?” Murni dan Aji mengangguk dengan cepat, rasa takut menyelimuti mereka, tetapi mereka berdua percaya pada yang ibu mereka katakan.Malam semakin larut, suasana dalam rumah terasa semakin menegangkan. Ketiga anggota keluarga itu hanya bisa duduk terdiam, mendengarkan suara-suara aneh yang datang dari luar, disertai dengan derap langkah yang membuat jantung mereka berdegup kencang. Setiap detik terasa seperti satu jam. Ketika ketegangan semakin tak terkendali, Murni merasakan hawa mistis di sekelilingnya. "Bu, bagaimana jika itu benar-benar Bapak?" tanyanya, suaranya bergetar. "Aku... aku ndak mau percaya kalau Bapak sudah pergi." Lasmi mengusap punggung Murni, berusaha menenangkannya. "Kita harus percaya, Murni. Yang kita lihat barusan adalah sesuatu yang lain. Kekuatan jahat sedang berusaha memanfaatkan kerinduanmu kepada Bapak." "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Aji kemudian. Dia merasa perlu melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya, karena memang dirinyalah kini yang menjadi satu-satunya lelaki di keluarga Raharjo. “Jangan berpikir macam-macam!" jawab Lasmi tegas. "Kita tidak bisa mem
Ketiganya berjalan menyusuri pemakaman menuju pintu keluar. Saat itulah, seorang pria tua tampak berdiri di bawah pohon besar di pinggir jalan setapak. Penampilannya lusuh, pakaian yang ia kenakan terlihat usang, kotor, dan penuh tambalan. Ia memegang tongkat kayu yang panjang, berfungsi sebagai penopang sekaligus alat bantu berjalan. Saat melihat Lasmi dan kedua anaknya, pria tua itu tersenyum tipis, memperlihatkan gigi-giginya yang sudah tak utuh lagi.Saat tatapan dari pria tua itu jatuh pada Murni, tiba-tiba saja Murni merasa ada hawa tak nyaman, dan ia menggenggam lengan ibunya lebih erat. Namun, pria itu justru melangkah perlahan mendekati mereka, matanya yang sayu menatap tajam ke arah Murni. Ada sorot mata yang sulit dijelaskan, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tak diketahui siapa pun. "Cah Ayu…," gumamnya, mengendus-endus udara seakan ingin menangkap aroma dari arah tubuh Murni. Sontak saja gadis itu segera melangkah mundur dengan perasaan risih, merasa dipelototi oleh oran
“Bapak! Bangun, Pak!” Murni masih memeluk tubuh Raharjo yang kini telah terbujur kaku. Beberapa kali ia menggoyangkan tubuh bapaknya, berharap agar laki-laki yang begitu ia cintai dapat membuka kedua matanya kembali. “Bu, ini ndak mungkin. Bapak belum meninggal kan, Bu?” tanya Murni yang kemudian beralih memeluk sang ibu yang juga duduk di samping jenazah suaminya. Memang sulit untuk dipercaya, tak ada angin tak ada hujan, Raharjo meninggal begitu saja. Dia yang lebih dikenal sebagai Juragan Harjo sama sekali tak sakit. Bahkan, pagi harinya Juragan Harjo masih mampu pergi menagih utang dari para warga yang kerap kali meminjam uang padanya. Raharjo merupakan seorang tuan tanah yang sangat disegani. Luasnya area lahan yang dia miliki, serta kekayaan yang mungkin tak akan habis untuk tujuh turunan membuatnya begitu berkuasa di desa itu, Desa Juwono namanya. “Murni … ikhlaskan bapakmu, Nduk,” ucap Lasmi seraya mengusap punggung putrinya itu dengan lembut. “Tapi, Bu. Murni ndak
Murni terkesiap. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Kain kafan bapaknya bergerak semakin nyata, seolah ada yang berusaha keluar dari dalam sana. Para pelayat pun saling berbisik, beberapa bahkan berlari menjauh, sementara yang lain masih terpaku di tempat, tak mampu mengalihkan pandangan mereka. "Mundur, Nduk! Mundur!" seru Lasmi dengan panik, menarik Murni menjauh dari jenazah Raharjo. Namun, Murni seperti tak mendengar teriakan ibunya, kedua matanya masih terpaku pada kain kafan yang perlahan tergerak ke kanan, seakan mengisyaratkan sesuatu. "Murniii ...." Murni menoleh, ke sana kemari mencari suara bisikan yang baru saja menelusup ke dalam telinganya. "Ba-Bapak ...," terbata Murni menyebut nama bapaknya. Iya, Murni sangat mengenali suara itu, suara sang ayah. "Kalian kenapa masih berdiri di sana? Tolong angkat Bapak," pinta Murni bersungguh-sungguh. Kasnan yang memang bekerja pada Juragan Raharjo pun lantas maju, dengan menyeret lengan Pai
Ketiganya berjalan menyusuri pemakaman menuju pintu keluar. Saat itulah, seorang pria tua tampak berdiri di bawah pohon besar di pinggir jalan setapak. Penampilannya lusuh, pakaian yang ia kenakan terlihat usang, kotor, dan penuh tambalan. Ia memegang tongkat kayu yang panjang, berfungsi sebagai penopang sekaligus alat bantu berjalan. Saat melihat Lasmi dan kedua anaknya, pria tua itu tersenyum tipis, memperlihatkan gigi-giginya yang sudah tak utuh lagi.Saat tatapan dari pria tua itu jatuh pada Murni, tiba-tiba saja Murni merasa ada hawa tak nyaman, dan ia menggenggam lengan ibunya lebih erat. Namun, pria itu justru melangkah perlahan mendekati mereka, matanya yang sayu menatap tajam ke arah Murni. Ada sorot mata yang sulit dijelaskan, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tak diketahui siapa pun. "Cah Ayu…," gumamnya, mengendus-endus udara seakan ingin menangkap aroma dari arah tubuh Murni. Sontak saja gadis itu segera melangkah mundur dengan perasaan risih, merasa dipelototi oleh oran
Malam semakin larut, suasana dalam rumah terasa semakin menegangkan. Ketiga anggota keluarga itu hanya bisa duduk terdiam, mendengarkan suara-suara aneh yang datang dari luar, disertai dengan derap langkah yang membuat jantung mereka berdegup kencang. Setiap detik terasa seperti satu jam. Ketika ketegangan semakin tak terkendali, Murni merasakan hawa mistis di sekelilingnya. "Bu, bagaimana jika itu benar-benar Bapak?" tanyanya, suaranya bergetar. "Aku... aku ndak mau percaya kalau Bapak sudah pergi." Lasmi mengusap punggung Murni, berusaha menenangkannya. "Kita harus percaya, Murni. Yang kita lihat barusan adalah sesuatu yang lain. Kekuatan jahat sedang berusaha memanfaatkan kerinduanmu kepada Bapak." "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Aji kemudian. Dia merasa perlu melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya, karena memang dirinyalah kini yang menjadi satu-satunya lelaki di keluarga Raharjo. “Jangan berpikir macam-macam!" jawab Lasmi tegas. "Kita tidak bisa mem
Lasmi masih berdiri terdiam di ruang tamu, sorot matanya waspada dan napasnya terengah. Ketukan itu semakin keras, menggema, seolah-olah memaksa masuk. “Ji… kamu dengar itu?” bisik Murni, suaranya gemetar. Aji mengangguk, tangannya meremas lengan kakaknya untuk memberikan sedikit ketenangan. "Mbak, tunggu di sini. Biar aku lihat," katanya berusaha tenang, meski hatinya diliputi kegelisahan. Aji perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan, setiap langkahnya terasa berat. Lasmi menunggu di ujung ruang tamu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketukan itu semakin kencang, nyaris seperti dobrakan. BRAK! BRAK! BRAK! Aji menggenggam pegangan pintu dengan tangan bergetar. Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu itu perlahan, menahan rasa takut yang kian mencengkram. Namun, di luar hanya ada kegelapan yang pekat, tidak ada tanda-tanda siapa pun. “Aji, siapa itu?” tanya Lasmi dari belakang. Aji menatap ke luar dengan ragu, mencoba menembus kegelapan dengan mat
Murni terkesiap. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Kain kafan bapaknya bergerak semakin nyata, seolah ada yang berusaha keluar dari dalam sana. Para pelayat pun saling berbisik, beberapa bahkan berlari menjauh, sementara yang lain masih terpaku di tempat, tak mampu mengalihkan pandangan mereka. "Mundur, Nduk! Mundur!" seru Lasmi dengan panik, menarik Murni menjauh dari jenazah Raharjo. Namun, Murni seperti tak mendengar teriakan ibunya, kedua matanya masih terpaku pada kain kafan yang perlahan tergerak ke kanan, seakan mengisyaratkan sesuatu. "Murniii ...." Murni menoleh, ke sana kemari mencari suara bisikan yang baru saja menelusup ke dalam telinganya. "Ba-Bapak ...," terbata Murni menyebut nama bapaknya. Iya, Murni sangat mengenali suara itu, suara sang ayah. "Kalian kenapa masih berdiri di sana? Tolong angkat Bapak," pinta Murni bersungguh-sungguh. Kasnan yang memang bekerja pada Juragan Raharjo pun lantas maju, dengan menyeret lengan Pai
“Bapak! Bangun, Pak!” Murni masih memeluk tubuh Raharjo yang kini telah terbujur kaku. Beberapa kali ia menggoyangkan tubuh bapaknya, berharap agar laki-laki yang begitu ia cintai dapat membuka kedua matanya kembali. “Bu, ini ndak mungkin. Bapak belum meninggal kan, Bu?” tanya Murni yang kemudian beralih memeluk sang ibu yang juga duduk di samping jenazah suaminya. Memang sulit untuk dipercaya, tak ada angin tak ada hujan, Raharjo meninggal begitu saja. Dia yang lebih dikenal sebagai Juragan Harjo sama sekali tak sakit. Bahkan, pagi harinya Juragan Harjo masih mampu pergi menagih utang dari para warga yang kerap kali meminjam uang padanya. Raharjo merupakan seorang tuan tanah yang sangat disegani. Luasnya area lahan yang dia miliki, serta kekayaan yang mungkin tak akan habis untuk tujuh turunan membuatnya begitu berkuasa di desa itu, Desa Juwono namanya. “Murni … ikhlaskan bapakmu, Nduk,” ucap Lasmi seraya mengusap punggung putrinya itu dengan lembut. “Tapi, Bu. Murni ndak