Lasmi masih berdiri terdiam di ruang tamu, sorot matanya waspada dan napasnya terengah. Ketukan itu semakin keras, menggema, seolah-olah memaksa masuk.
“Ji… kamu dengar itu?” bisik Murni, suaranya gemetar. Aji mengangguk, tangannya meremas lengan kakaknya untuk memberikan sedikit ketenangan. "Mbak, tunggu di sini. Biar aku lihat," katanya berusaha tenang, meski hatinya diliputi kegelisahan. Aji perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan, setiap langkahnya terasa berat. Lasmi menunggu di ujung ruang tamu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketukan itu semakin kencang, nyaris seperti dobrakan. BRAK! BRAK! BRAK! Aji menggenggam pegangan pintu dengan tangan bergetar. Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu itu perlahan, menahan rasa takut yang kian mencengkram. Namun, di luar hanya ada kegelapan yang pekat, tidak ada tanda-tanda siapa pun. “Aji, siapa itu?” tanya Lasmi dari belakang. Aji menatap ke luar dengan ragu, mencoba menembus kegelapan dengan matanya. Hanya hembusan angin malam yang terasa dingin, dan suara jangkrik di kejauhan yang terdengar. Tak ada siapapun. Namun, perasaan aneh tetap menyelimutinya, seperti ada sesuatu yang mengintai mereka dari kegelapan. “Aku... nggak ada siapa-siapa, Bu,” Aji menjawab dengan suara serak. Baru saja ia akan menutup pintu, tiba-tiba angin dingin menerpa wajahnya. Dari sudut matanya, ia melihat sesuatu yang bergerak di halaman, samar-samar seperti bayangan hitam yang merayap di tanah. Seketika jantungnya berdegup lebih cepat, pandangannya fokus pada sosok itu. Perlahan, bayangan itu berubah jelas, memperlihatkan sesosok tubuh yang dililit sesuatu yang hitam berkilat. Mata Aji membelalak. Tubuhnya mematung. "Bapak?" bisiknya, nyaris tak terdengar. Bayangan itu kian mendekat, tubuhnya penuh dengan lumpur dan lilitan ular hitam yang melingkari seluruh badannya. Wajah yang dahulu dikenalnya sebagai sang ayah kini tampak pucat, dengan mata yang menghitam. Namun dari bola matanya... ia masih menatap aji dengan penuh kesakitan. Ular-ular itu bergerak pelan, seolah memperkuat cengkeramannya di sekitar tubuh Raharjo. "Aji," panggil Murni yang menyusul adiknya itu karena merasa penasaran. Hening... tak ada jawaban yang terdengar. Tubuh Aji kaku di depan pintu. "Ajik!" Kembali Murni memanggil nama sang adik seraya menepuk pundaknya. Aji pun kemudian menoleh dan menatap kebingungan pada kakaknya. "Mbak ...," ucapnya terbata. "Siapa?" tanya Murni. "Ndak ada, Mbak," jawab Aji yang tidak ingin menambah beban pikiran Murni. Tak percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Aji, Murni menghempas tubuh Aji, dan kini dirinya sudah berada di depan pintu. Tak ada apapun yang dapar dilihat Murni. Hanya gelap dan desau angin berbisik lirih di telinganya, "Murni ...." "Bapak," lirih Murni mencari dari mana suara itu berasal. "Murni, masuk!" titah sang ibu–Lasmi. Murni hanya menoleh sekilas pada sang ibu, tapi sejurus kemudian, ia justru kembali berjalan ke luar. Dengan sangat jelas, ia mendengar suara berisik dari ranting yang seolah terinjak. "Mbak Murni, berhenti!" pekik Aji yang merasa khawatir melihat Murni berjalan semakin jauh. Aji pun berjalan cepat menarik tangan Murni untuk kembali masuk ke dalam rumah. Sreeet! Murni terjatuh, dengan tangan yang masih digenggam oleh Aji. "Mbak Murni ...!" "Aww, Aji. Tolong!" pekik Murni keras. Saat menoleh ke belakang, betapa terkejutnya Murni dan Aji saat seekor ulat hitam dan besar melilit pada pergelangan kaki Murni. Ular itu berusaha untuk bisa menarik tubuh Murni kuat-kuat. "Mbak!" Dengan panik, Aji mengambil ranting kayu yang ia arahkan di depan sang ular. Dia berharap agar ular itu mau pergi. Tapi tidak, seberapa keras usaha Murni untuk bisa lepas. Ular hitam itu justru menarik kaki Murni dengan semakin kuat, membuat dirinya tertarik beberapa jengkal ke belakang. "Lepaskan!" teriak Lasmi yang kini sudah berdiri di dekat kedua anaknya. Seketika gerakan sang ular pun terhenti. "Lepaskan Murni!" titah Lasmi sekali lagi. Hingga akhirnya, ular hitam besar tersebut melepaskan lilitannya dari kaki Muri secara perlahan. Murni bergegas berdiri dan segera menghambur ke pelukan Lasmi dengan tubuh yang gemetar. "Sudah Ibu katakan, masuk!" ucap Lasmi tegas. "Ma-maaf, Bu." Murni berkata dengan terbata karena isak tangis yang tertahan. Mereka bertiga pun kemudian masuk kembali ke dalam rumah, mengistirahatkan dori dari lelah dan takut yang luar biasa. Malam semakin larut, tetapi ketenangan tak kunjung datang bagi Lasmi, Aji, dan Murni. Di dalam rumah yang seolah terasa semakin menyempit, ketegangan memenuhi udara. Murni masih gemetar dalam pelukan Lasmi, sementara Aji mencoba menenangkan diri di kursi kayu tua di sudut ruangan. Pikiran mereka semua kembali pada kejadian aneh yang baru saja terjadi. Lasmi memandang kedua anaknya, matanya penuh kekhawatiran. “Kalian harus mendengarkan Ibu. Mulai sekarang, apapun yang terjadi di luar, jangan pernah membuka pintu tanpa izin,” ujar Lasmi dengan nada yang tegas namun lembut. “Ada sesuatu di luar sana yang sedang mengintai kita.” Aji mengangguk pelan, tetapi pikirannya masih tertuju pada sosok yang dilihatnya di luar—sosok yang ia yakini sebagai ayahnya, Raharjo. Meski tubuh ayahnya dililit ular dan penuh lumpur, Aji tahu betul tatapan penuh kesakitan yang terarah kepadanya. Tetapi apakah itu benar-benar ayahnya? Atau hanya ilusi yang diciptakan oleh kekuatan jahat di luar sana? Suasana dalam rumah kembali sunyi. Hanya terdengar suara napas berat Murni yang masih terisak pelan. Lasmi menutup pintu dengan rapat, memastikan tidak ada celah sedikitpun. Dia lalu berjalan menuju jendela dan menutupnya, menutup seluruh tirai, berusaha melindungi keluarganya dari apa pun yang mengintai di luar. “Bu, apa itu tadi benar-benar Bapak?” tanya Aji tiba-tiba, memecah keheningan. Suaranya pelan, nyaris tak terdengar, tetapi penuh harap akan jawaban yang ia butuhkan. Lasmi terdiam sejenak. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun, tetapi hatinya terasa berat. “Apa yang kamu lihat, Ji?” Aji ragu sejenak. “Aku... aku melihat Bapak, Bu. Tapi... dia terlihat berbeda. Matanya hitam, tubuhnya... seperti dipenuhi lumpur dan ular.” Suaranya gemetar, tidak yakin apakah yang ia lihat adalah kenyataan atau bayangan semata. Lasmi menatap putranya dalam-dalam. “Itu bukan bapakmu, Ji. Bapakmu sudah pergi." "Tapi, Bu ...," sela Aji. Tiba-tiba, suara keras terdengar dari atap. Seperti ada sesuatu yang merayap dengan cepat di atas rumah mereka. Suara itu membuat ketiganya terpaku, tubuh mereka kaku di tempat masing-masing. Murni mengerutkan tubuhnya lebih dekat pada Lasmi, sementara Aji berdiri dari kursinya dengan mata terbelalak, memandang ke atas. “Apa itu?” bisik Murni, suaranya nyaris tak terdengar. Lasmi menutup matanya sejenak, menarik napas panjang. Dia tahu, kekuatan yang ada di luar tidak akan berhenti sampai mereka masuk ke dalam rumah ini. Dia berdiri, menatap anak-anaknya dengan ketegasan seorang ibu yang siap melindungi mereka apa pun yang terjadi. “Dengarkan Ibu. Kita harus terus bersama. Ingat, jangan membuka pintu atau jendela. Apapun yang kalian dengar, jangan tergoda untuk keluar. Paham?” Murni dan Aji mengangguk dengan cepat, rasa takut menyelimuti mereka, tetapi mereka berdua percaya pada yang ibu mereka katakan.Malam semakin larut, suasana dalam rumah terasa semakin menegangkan. Ketiga anggota keluarga itu hanya bisa duduk terdiam, mendengarkan suara-suara aneh yang datang dari luar, disertai dengan derap langkah yang membuat jantung mereka berdegup kencang. Setiap detik terasa seperti satu jam. Ketika ketegangan semakin tak terkendali, Murni merasakan hawa mistis di sekelilingnya. "Bu, bagaimana jika itu benar-benar Bapak?" tanyanya, suaranya bergetar. "Aku... aku ndak mau percaya kalau Bapak sudah pergi." Lasmi mengusap punggung Murni, berusaha menenangkannya. "Kita harus percaya, Murni. Yang kita lihat barusan adalah sesuatu yang lain. Kekuatan jahat sedang berusaha memanfaatkan kerinduanmu kepada Bapak." "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Aji kemudian. Dia merasa perlu melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya, karena memang dirinyalah kini yang menjadi satu-satunya lelaki di keluarga Raharjo. “Jangan berpikir macam-macam!" jawab Lasmi tegas. "Kita tidak bisa mem
Ketiganya berjalan menyusuri pemakaman menuju pintu keluar. Saat itulah, seorang pria tua tampak berdiri di bawah pohon besar di pinggir jalan setapak. Penampilannya lusuh, pakaian yang ia kenakan terlihat usang, kotor, dan penuh tambalan. Ia memegang tongkat kayu yang panjang, berfungsi sebagai penopang sekaligus alat bantu berjalan. Saat melihat Lasmi dan kedua anaknya, pria tua itu tersenyum tipis, memperlihatkan gigi-giginya yang sudah tak utuh lagi.Saat tatapan dari pria tua itu jatuh pada Murni, tiba-tiba saja Murni merasa ada hawa tak nyaman, dan ia menggenggam lengan ibunya lebih erat. Namun, pria itu justru melangkah perlahan mendekati mereka, matanya yang sayu menatap tajam ke arah Murni. Ada sorot mata yang sulit dijelaskan, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tak diketahui siapa pun. "Cah Ayu…," gumamnya, mengendus-endus udara seakan ingin menangkap aroma dari arah tubuh Murni. Sontak saja gadis itu segera melangkah mundur dengan perasaan risih, merasa dipelototi oleh oran
Murni duduk di tepi tempat tidur, pandangannya kosong menatap ke arah jendela yang tersibak. Bayangan tentang pria tua di pemakaman, kata-katanya yang samar, dan sosok arwah Raharjo yang hadir dalam keheningan malam itu seolah terus menghantui pikirannya. Bulan di langit memancarkan cahaya yang sayu, sinarnya memudar di balik tirai yang bergerak pelan ditiup angin malam. Sunyi, begitu mencekam, hingga setiap detak jantung Murni terdengar dalam dada."Mungkinkah Bapak belum pergi…?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar di tengah kesunyian.Namun tiba-tiba, suara ketukan halus terdengar, datang dari balik dinding di samping tempat tidurnya. Suara itu mengetuk pelan, seolah mengetuk batinnya yang diliputi rasa takut. Murni menggigit bibirnya, berharap suara itu hanyalah ilusi. Ia menutup matanya rapat-rapat, menahan napas, tetapi ketukan itu semakin keras, membuatnya tak mampu mengabaikannya lagi.Tok... tok... tok...Hawa dingin merayap di tengkuknya, membuat bulu kuduknya mere
"To... Long...." "Aarrkh!! Tidaaak! Bapak ...." Murni berteriak histeris melihat semua itu terjadi tepat di depan matanya. Lasmi yang sebelumnya sudah pergi, segera berlari cepat untuk kembali ke kamar Murni. Di sana, ia melihat Murni yang menendang-nendang dengan masih berteriak. Namun dengan kedua mata yang tertutup rapat. "Murni! Murni! Bangun, Murni!" Lasmi menggoyangkan tubuh Murni agar terbangun dari mimpi buruknya. Segera setelah mata Murni terbuka, ia mendekap tubuh sang ibu dengan sangat erat. "Ibu, Murni takut, Bu." "Jangan takut, Ibu ada di sini," ucap Lasmi menenangkan. "Bapak, Bu. Bapak —" Lasmi menghela napas panjang, meletakkan tangan lembutnya di bahu Murni. "Mungkin kamu hanya lelah, Nak. Sejak Bapakmu pergi, bebanmu bertambah berat. Pikiranmu pasti dipenuhi banyak hal yang membuatmu berhalusinasi." Murni menelan ludah, merasakan kegetiran di ujung tenggorokannya. "Bu, aku tahu ini terdengar tidak masuk akal, tapi aku benar-benar melihat Bapak… dalam
"Ibu... Buku itu punya Bapak." Murni berusaha untuk meraih buku itu kembali, matanya memancarkan rasa penasaran yang tak terbendung. Buku itu, dengan sampul kulitnya yang usang dan aroma kertas tua, seperti menyimpan rahasia yang selama ini terkubur. "Iya, Ibu tahu itu, Murni. Dan justru karena Ibu tahu ini milik Bapakmu, Ibu melarangmu untuk membacanya," tegas Lasmi, suaranya bergetar di antara kekhawatiran dan ketegasan. "Kenapa, Bu? Ada apa sebenarnya? Apa yang Ibu tutupi dari Murni, Bu?" tanya Murni, nadanya mulai meninggi. Rasa penasarannya semakin mendesak, seperti ada sesuatu yang harus segera ia ketahui sebelum semuanya terlambat. Murni menatap buku itu dengan sorot mata yang bercampur antara takut dan penasaran. Tangan mungilnya gemetar saat mencoba menyentuh sampul buku tersebut. "Semua tulisan di dalamnya, Bu. Aku rasa... Bapak melakukan sesuatu. Sesuatu yang berhubungan dengan jiwa dan dunia lain." Lasmi memandang buku itu dengan tatapan nanar, seperti mengenang mas
Lasmi tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Murni dengan erat, seolah mencoba melindungi putrinya dari sesuatu yang tidak kasat mata. "Nduk, kalau kamu benar-benar peduli dengan Bapakmu, satu-satunya hal yang harus kamu lakukan adalah menjauhi buku itu. Jangan sampai kamu membuka jalan bagi mereka untuk datang ke sini." Namun, bagi Murni, kata-kata ibunya justru semakin menguatkan tekadnya. "Bu, kalau benar ada jalan masuk, berarti ada cara untuk menutupnya, bukan? Aku harus tahu caranya. Bapak terlalu menderita, Bu. Aku tidak bisa diam saja." "Tapi kamu tidak tahu risiko yang harus kamu hadapi, Murni," sergah Lasmi. "Dunia mereka penuh tipu daya. Apa yang kamu lihat mungkin bukan kebenaran. Mereka akan memanfaatkan kelemahanmu, ingat itu!." "Aku akan berhati-hati, Bu," jawab Murni dengan tegas. "Aku tidak akan menyerah begitu saja. Kalau Bapak membuat kesalahan, aku yakin ada cara untuk memperbaikinya." Murni tidak menjawab. Ia menatap buku itu dengan sorot mata yang penuh
"Aji!" Seketika bayangan yang tadi melesat cepat ke arah Aji langsung menghilang, dan tubuh Aji pun sudah bisa untuk digerakkan kembali. "Kamu ngapain diam aja di situ, Ji?" tanya Murni.Aji menoleh cepat tapi tak mengatakan apa-apa. Ia hanya berpura-pura menggigil kedinginan, berharap kakaknya tidak menanyakan lebih lanjut. “Aku cuma... kedinginan, Mbak,” jawabnya pelan, suaranya sedikit bergetar.Murni menatap Aji dengan raut wajah khawatir. “Ya wis, sudah tahu dingin malah anteng di situ. Masuk ke kamarmu sana. Tutup pintu dan selimut yang rapat, ya?” katanya sambil menepuk pundak adiknya.Aji hanya mengangguk pelan, kemudian berjalan menuju kamarnya tanpa banyak bicara. Setelah menutup pintu, ia duduk di sudut ruangan, memeluk lututnya erat. Pikirannya masih terjebak pada bayangan mengerikan yang baru saja ia lihat. Namun, ia memutuskan untuk tidak menceritakan apa pun kepada Murni. Ia tidak ingin membuat kakaknya semakin cemas.Sementara itu, di tempat lain, Lasmi terlihat duduk
“Murni, kadang ada hal-hal yang lebih baik tidak kamu ketahui. Ibu hanya berusaha menjaga semuanya tetap baik-baik saja." Lasmi berkata dengan datar sebelum meninggalkan Murni. Malam itu, Murni menghabiskan malamnya dengan pikiran yang masih melayang. Keesokan malamnya, suasana desa Juwono terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin bertiup kencang, membuat daun-daun bambu berderak seperti bisikan samar. Murni berdiri di depan rumah dengan buku misterius itu dalam genggaman tangannya. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia menepis ketakutannya. Ia tahu ini bukan saat untuk mundur. Sebelum melangkah keluar, ia menoleh ke arah kamar Aji. Pintu kamar itu sedikit terbuka, cukup untuk memperlihatkan bayangan tubuh adiknya yang sedang tidur pulas di ranjang. Murni menahan napas, mengintip sejenak untuk memastikan Aji benar-benar terlelap. Ia tak ingin Aji curiga dan mencoba mengikutinya. “Tidurlah, Aji,” bisiknya pelan, meski ia tahu suaranya tak akan terdengar. “Mbak akan kembali sebelu
Murni dan Aji terus melangkah tanpa arah yang jelas, menyusuri jalan setapak yang penuh duri dan akar-akar pohon menjulur. Hutan itu gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang remang-remang. Udara malam begitu dingin, seakan membekukan harapan yang tersisa. Tapi, di tengah keheningan itu, tekad untuk kembali ke desa mereka terus memupuk keberanian dalam hati.Setelah berjalan selama berjam-jam, mereka tiba di sebuah pondok kecil di tengah hutan. Pondok itu tampak tua dan nyaris roboh, tapi pintunya sedikit terbuka, mengisyaratkan kehadiran seseorang di dalamnya. Murni ragu sejenak, tapi kemudian mengetuk pintu dengan hati-hati.“Siapa di luar sana?” Suara tua dan serak terdengar dari dalam.“Kami… kami hanya butuh tempat untuk beristirahat,” jawab Murni dengan suara gemetar.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria tua berambut putih kusut dengan jubah panjang yang tampak usang. Sorot matanya tajam, tapi ada kehangatan yang tersembunyi di balik kerut wajahnya. Ia memandang Mu
Murni menarik Aji keluar dari kamar melalui pintu belakang, seperti yang diperintahkan Raharjo. Langkah mereka tergesa-gesa, namun bayangan dingin yang mengikuti di belakang mereka semakin menambah beban di dada. Setiap langkah terasa berat, udara malam yang dingin menusuk tulang, dan suara-suara samar di kejauhan mengiringi mereka, seperti bisikan yang tak dapat dimengerti.Aji meremas tangan kakaknya dengan kuat, takut kehilangan pegangan. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya sedikit gemetar. “Mbak, sebenarnya siapa yang benar, dan siapa yang salah? Siapa yang teman dan siapa yang lawan?"Murni menoleh sejenak ke arah adiknya, namun pandangannya tertuju ke bayangan biru samar di kejauhan. Prana masih ada di sana, seperti melayang-layang, menjaga jarak namun tetap mengikuti mereka dengan langkah perlahan. Bayangan itu seperti pilar harapan yang menjulang di tengah kegelapan, meskipun aura misteriusnya tidak sepenuhnya membawa rasa aman."Sama sepertimu, Mbak juga masih bertanya-tanya, Ji.
Murni menarik Aji ke belakang, tubuhnya gemetar hebat. Sosok di ambang pintu tetap diam, hanya menatap mereka dengan mata merah menyala. Suara napasnya terdengar berat, bergema di dalam rumah kosong itu. “Aji, jangan lihat ke arahnya!” bisik Murni, berusaha menyembunyikan ketakutannya. Ia melangkah mundur, perlahan menjauh dari pintu. Sebaliknya, Aji tak bisa mengalihkan pandangannya, seolah terhipnotis oleh tatapan makhluk itu. “Keluar…” Suara serak menggema dari sosok itu, pelan namun penuh ancaman. Kata itu seperti memerintah, memaksa, mengikat mereka dalam ketakutan. Murni menggeleng cepat. “Kita tidak boleh keluar! Pak Prawiro bilang jangan keluar!” Ia memeluk Aji erat, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya sendiri gemetar tanpa henti. Sosok itu melangkah maju, kain kafannya berderak pelan seiring gerakannya. Setiap langkahnya membuat udara di dalam ruangan semakin dingin. Kabut tipis mulai merembes masuk melalui celah-celah dinding, membawa bau anyir yang membuat Murni mua
Murni dan Aji mengikuti Prawiro dengan langkah ragu, menembus hutan yang semakin gelap dan sunyi. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah tanah di bawah kaki mereka mencoba menahan perjalanan mereka. Namun, tatapan tegas Prawiro memberikan rasa aman meski hanya sedikit. Obor kecil di tangannya menjadi satu-satunya sumber cahaya di tengah kegelapan malam. "Apa desa itu benar-benar aman, Pak?" tanya Murni, suaranya pelan namun penuh kekhawatiran. "Selama kalian berada di bawah perlindunganku, kalian akan aman," jawab Prawiro tanpa menoleh. Suaranya tegas, namun ada nada ketegangan yang sulit disembunyikan. Aji, yang berjalan di samping Murni, menarik-narik lengan kakaknya. "Mbak, kenapa kita nggak langsung pulang saja? Kenapa harus ke desa itu?" Murni menunduk, mencoba memberikan senyum yang menenangkan kepada adiknya. "Percaya sama Mbak, Ji. Kita akan baik-baik saja." Namun, jawaban itu tidak cukup menenangkan Aji. Ia merasakan sesuatu yang aneh sejak pria tua itu muncul, meski i
Di tengah malam yang sunyi, di rumah kecil Raharjo tempat Murni dan Aji tinggal, suara aneh mulai terdengar dari luar. Angin berhembus kencang, menciptakan suara desis seperti bisikan yang menyeramkan. Di dalam rumah, Murni memeluk Aji yang tertidur di pangkuannya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi tidak tahu pasti apa itu. Tiba-tiba, lampu di rumahnya berkedip-kedip sebelum padam sepenuhnya. Suasana menjadi gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar-samar masuk melalui jendela. Dari luar, suara langkah berat terdengar, seolah ada sesuatu yang besar mendekat. Murni merasa napasnya tertahan, tubuhnya gemetar. Ia mencoba membangunkan Aji. Pintu rumah berderit pelan, lalu terbuka dengan sendirinya. Di ambang pintu, sosok itu muncul—Danyang. Tinggi, menyeramkan, dan mengeluarkan aura kegelapan yang begitu pekat. Matanya bersinar merah menyala, sementara tubuhnya diselimuti kabut hitam yang terus bergerak seperti hidup. Murni mundur, memeluk Aji erat-erat. "
Tubuh Raharjo yang baru saja bergerak itu kini bangkit sepenuhnya dari lantai gua. Namun, gerakannya terasa asing. Ia bergerak seperti boneka yang sedang dipaksa berdiri oleh tali yang tak terlihat. Prawiro menyaksikan semuanya dengan mata terbelalak. Kekuatan besar yang ia panggil telah berhasil, tetapi apa yang berdiri di hadapannya bukan lagi sepenuhnya Raharjo. Itu adalah sesuatu yang lain—sesuatu yang hanya menggunakan tubuh adiknya sebagai wadah. "Bangkitlah, Harjo," ulang Prawiro dengan suara yang sedikit bergetar. "Kini saatnya kau melindungi mereka." Raharjo, atau apapun yang kini berada dalam tubuhnya, menoleh ke arah Prawiro dengan gerakan yang kaku. Matanya memancarkan cahaya redup, seperti bara api yang hampir padam. "Melindungi...?" suaranya serak, menggema di dalam gua. "Apa kau tahu apa yang telah kau lakukan, Prawiro?" Prawiro terdiam, tubuhnya gemetar. "Aku tahu... aku tahu jika yang aku lakukan ini salah, tapi aku tak punya pilihan! Mereka—anak-anakmu—mereka akan
Di dalam gua yang tersembunyi di balik hutan lebat, Prawiro berdiri di tengah kegelapan, menyirami sesosok tubuh yang terbungkus kain kafan dengan air bercampur minyak misik dan bunga setaman. Suasana di sekitar gua itu terasa berat, dan udara dingin malam berdesir lembut, membawa aroma tanah basah yang menyeruak. Prawiro menatap tubuh yang terbaring diam, wajahnya masih dapat ia kenali. Namun, ada sesuatu yang begitu akrab. Senyumannya tetap terukir, meskipun ada kesan kesedihan yang tak terungkapkan.Dengan tangan yang halus, Prawiro memegang kendi tanah yang sudah hampir kosong, memercikkan air itu ke tubuh yang terbungkus kafan yang sudah tampak lusuh itu. Secara perlahan, suara lembut lagu Jawa mengalun dari bibirnya. Lagu itu tidak hanya sekedar melodi; setiap baitnya adalah doa, adalah pengorbanan, adalah harapan yang diselubungi penyesalan."Harjo, adikku... jangan khawatirkan apa yang telah terjadi. Anak-anakmu masih kulindungi. Karmamu sudah terjalani, saatnya kini untukku m
Malam itu memang terasa lebih dingin daripada biasanya. Angin yang bertiup seolah-olah membawa pesan dari kegelapan, sementara suara-suara malam terdengar semakin mencekam. Murni dan Aji tidak tidur semalaman. Mereka berjaga-jaga, duduk di ruang tengah dengan pisau dapur dan kayu bakar sebagai senjata seadanya. Piring tanah busuk berbelatung itu mereka bungkus dengan plastik dan letakkan di sudut ruangan. Namun, meskipun dibungkus rapat, bau busuknya tetap saja menguar, menambah rasa mual dan ketegangan di dalam rumah.Ketika cahaya pertama matahari mulai menyembul di ufuk timur, Murni memutuskan bahwa mereka harus segera pergi menemui Nyai Warsih.“Ayo, Ji. Kita bawa ini sekarang. Sebelum hal lain terjadi,” ucap Murni tegas.Aji mengangguk setuju. Ia mengambil plastik yang berisi piring itu dengan hati-hati, seolah-olah memegang benda yang bisa meledak kapan saja.Mereka berjalan cepat menuju rumah Nyai Warsih. Jalanan desa masih sepi, hanya suara ayam berkokok dan anjing menggonggon
Beberapa waktu berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Danyang di tepi hutan. Desa Juwono perlahan kembali hidup. Kehangatan matahari yang menyentuh dedaunan menciptakan pemandangan menyejukkan hati. Suara burung-burung kembali riang berkicau di pagi hari, dan warga desa mulai beraktivitas dengan semangat yang baru. Meski masih ada segelintir penduduk yang memendam ketakutan terhadap kehadiran Murni dan Aji, suasana desa tak lagi diliputi kecurigaan seperti sebelumnya. Terlebih setelah Nyai Warsih memimpin doa bersama di lapangan desa, memohon perlindungan bagi seluruh warga dan memulai kembali kehidupan mereka yang baru. Di salah satu sudut desa, rumah Raharjo yang dulu terlihat kusam dan dipenuhi aura gelap kini menjadi pusat perhatian. Para warga bahu-membahu membantu memperbaiki rumah itu. Mereka memperbaiki atap yang bocor, mengganti pintu yang rusak, dan membersihkan halaman yang dulu ditumbuhi semak belukar. “Ini bukan hanya rumah kalian, Murni. Ini adalah bagian dari des