Share

40 Hari Setelah Kematian Bapak
40 Hari Setelah Kematian Bapak
Penulis: Yasmin_imaji

Bab 1. Kematian Bapak

Penulis: Yasmin_imaji
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-20 16:08:50

“Bapak! Bangun, Pak!”

Murni masih memeluk tubuh Raharjo yang kini telah terbujur kaku. Beberapa kali ia menggoyangkan tubuh bapaknya, berharap agar laki-laki yang begitu ia cintai dapat membuka kedua matanya kembali.

“Bu, ini ndak mungkin. Bapak belum meninggal kan, Bu?” tanya Murni yang kemudian beralih memeluk sang ibu yang juga duduk di samping jenazah suaminya.

Memang sulit untuk dipercaya, tak ada angin tak ada hujan, Raharjo meninggal begitu saja. Dia yang lebih dikenal sebagai Juragan Harjo sama sekali tak sakit. Bahkan, pagi harinya Juragan Harjo masih mampu pergi menagih utang dari para warga yang kerap kali meminjam uang padanya.

Raharjo merupakan seorang tuan tanah yang sangat disegani. Luasnya area lahan yang dia miliki, serta kekayaan yang mungkin tak akan habis untuk tujuh turunan membuatnya begitu berkuasa di desa itu, Desa Juwono namanya.

“Murni … ikhlaskan bapakmu, Nduk,” ucap Lasmi seraya mengusap punggung putrinya itu dengan lembut.

“Tapi, Bu. Murni ndak sempat berpamitan sama Bapak.” Murni kembali terisak di dalam pelukan sang ibu.

Beberapa hari yang lalu memang Raharjo sempat menghubungi Murni dan memintanya untuk pulang. Juragan Harjo adalah satu-satunya orang yang memiliki telepon rumah di desa itu. Dengan kekayaan yang ia miliki, Juragan Harjo memang sengaja menyekolahkan Murni di kota. Dia tidak ingin jika Murni menjadi seperti warga desa lainnya yang tidak berpendidikan tinggi.

Murni, yang pada saat itu tengah berharap dengan tugas yang menumpuk, tentu saja tidak dapat pulang ke desa begitu saja. Ia harus mencari waktu yang tepat untuk meminta izin dari universitas. Namun, inilah yang saat ini ia temui. Sang ayah sudah terbaring, terbujur kaku dan menjadi mayat tepat di hadapannya. Bendera kuning menyambutnya tatkala ia memasuki pekarangan rumahnya sore itu.

“Biarkan bapakmu tenang, Nduk. Jangan tangisi lagi.” Lasmi melonggarkan pelukan dan mengusap pipi Murni yang masih dibanjiri dengan air mata.

“Aji, ajak mbakmu ini masuk ke dalam,” titah Lasmi pada Aji–anak keduanya yang masih berusia 17 tahun.

“Iya, Bu,” jawab Aji singkat.

“Ayo, Mbak,” ajak Aji lembut.

“Ndak mau! Mbak mau di sini, mau nemenin Bapak!” Murni berteriak, menolak ajakan Aji untuk masuk ke dalam.

“Murni!” seru Lasmi yang terlihat tidak ingin dibantah.

Semua orang yang ikut hadir, segera menoleh setelah mendengar suara Lasmi yang menggema di seluruh ruangan. Suasana di rumah Juragan Harjo semakin hening. Para pelayat yang datang hanya bisa menunduk, tak berani berkata apa-apa. Murni sendiri terhenyak saat sang ibu membentaknya. Seumur-umur, baru kali ini Lasmi bersuara tinggi padanya.

Di sudut ruangan, Aji berdiri memandangi kakaknya. Di usianya yang baru menginjak 17 tahun, ia merasa beban berat tiba-tiba menimpa pundaknya. Kepergian bapaknya begitu mendadak, dan meskipun ia bukan putra sulung, Aji tahu ia harus mulai bersiap menjadi laki-laki dewasa di keluarganya.

“Mbok Tum, tolong bawa Murni ke kamarnya,” ucap Lasmi pelan kepada salah satu pelayan yang sudah begitu lama tinggal bersama keluarganya. Mbok Tumini yang sejak tadi duduk di dekat pintu pun mengangguk paham.

“Cah ayu, ayo Nduk, istirahat dulu. Biar bapakmu didoakan yang baik-baik oleh yang lain,” ucap Mbok Tumini. Dengan suara bergetar, ia mencoba mengajak Murni untuk bangkit.

Murni masih bergeming. Matanya yang sembab tertuju pada wajah pucat bapaknya. Dalam benaknya, ia teringat berbagai kenangan bersama Raharjo—bapaknya yang selama ini menjadi tumpuan hidup keluarga. Sebuah rasa sesal terus menghantui benaknya. Seandainya ia sempat pulang lebih cepat, mungkin ia masih bisa bercengkerama dengan bapaknya. Dan ….

Seketika itu juga terbesit dalam ingatan Murni saat almarhum bapaknya mengatakan, “cepat pulang, Nduk. Ada yang ingin Bapak sampaikan.”

Degh!

Perasaannya menjadi bergemuruh. Apa itu? Apa yang ingin disampaikan? Murni kembali menangis saat kembali menyadari jika semua sudah terlambat sekarang.

“Maafkan Murni, Pak,” ucapnya dalam hati.

“Ndak, Mbok. Murni mau di sini. Bapak ndak boleh ditinggalin sendirian.” Air mata kembali jatuh membasahi pipinya yang semakin pucat.

"Bu Lasmi, almarhum sudah siap dibawa ke kubur," ucap seorang laki-laki paruh baya yang bernama Kasnan.

"Baiklah, Pak. Bawa saja!" jawab Lasmi singkat.

"Astaghfirullah, Bapak kenapa pergi secepat ini." Murni mencoba untuk mengumpulkan tenaga yang tadi sempat terkuras untuk menangis.

Akhirnya, dengan mencoba melapangkan dada atas apa yang terjadi, Murni pun ikut mengiring jenazah almarhum sang ayah ke peristirahatan terakhirnya.

Awalnya, semua masih berjalan normal dan baik-baik saja, tapi tidak setelah mayat mulai diangkat. Saat keranda keluar rumah, suasana yang semula khusyuk mulai berubah. Tiba-tiba, para pengangkat keranda merasakan sesuatu yang aneh.

"Berat sekali, Pak!" seru Kasnan. Tampak keringat mulai membasahi wajahnya.

Kasnan, yang berada di bagian depan, segera memanggil beberapa pria lain untuk membantu. Delapan orang kini berkumpul, berusaha keras mengangkat keranda Juragan Harjo, namun tetap saja keranda itu terasa semakin berat. Bahkan, delapan orang pun tampaknya tidak cukup.

"Kenapa jadi begini? Biasanya keranda tidak seberat ini," gumam Paimin yang mulai merasakan keanehan.

Lasmi, Murni dan Aji yang mengikuti di belakang, juga merasakan perubahan suasana. Murni menoleh ke arah ibunya, wajahnya memancarkan kekhawatiran. Lasmi menahan napas, tatapan matanya kosong, seolah ia merasakan sesuatu yang tak terkatakan. Tiba-tiba, angin kencang datang, menggulung dedaunan dan membuat suasana semakin tegang. Suara gemerisik angin yang berhembus di antara pepohonan terdengar seperti bisikan-bisikan gaib yang mencekam.

Langit mendung mulai menutupi sinar matahari yang memang tengah menuju peraduannya. Setiap langkah menuju pemakaman terasa semakin berat, seolah ada tangan tak terlihat yang menarik keranda ke arah yang berlawanan.

"Ya Allah, apa ini?" desis salah satu pemanggul keranda yang mulai pucat. Mereka berusaha tetap melangkah, namun angin yang terus berhembus makin kencang seolah menolak keberadaan jenazah Raharjo di dunia ini.

Tanpa diduga, terdengar suara retakan keras. Kayu penyangga keranda mulai patah. Kasnan yang berada di depan terpeleset, dan dalam sekejap keranda terjatuh ke tanah dengan suara yang cukup keras. Orang-orang berteriak kaget. Jenazah Raharjo yang terbungkus kain kafan—pocong—tergelinding keluar dari keranda, tubuhnya berputar-putar di tanah basah, membuat semua orang yang menyaksikan terpaku dalam ketakutan.

"Pocongnya jatuh!" teriak salah seorang warga dengan suara bergetar. Ketakutan segera menyelimuti para pelayat.

Murni langsung berlari menuju jenazah bapaknya. "Bapak! Ya Allah, jangan tinggalkan Bapak begini!" tangisnya pecah, tubuhnya bergetar hebat. Tapi ketika tangannya hampir menyentuh kain kafan itu, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Kain kafan yang membungkus tubuh Raharjo bergerak perlahan, seolah ada sesuatu yang hidup di dalamnya. Semua orang yang menyaksikan mundur dengan cepat, ketakutan menjalar di antara mereka.

"Astaghfirullah, apa ini?!" pekik Murni.

- Bersambung -

Bab terkait

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 2. Pemakaman

    Murni terkesiap. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Kain kafan bapaknya bergerak semakin nyata, seolah ada yang berusaha keluar dari dalam sana. Para pelayat pun saling berbisik, beberapa bahkan berlari menjauh, sementara yang lain masih terpaku di tempat, tak mampu mengalihkan pandangan mereka. "Mundur, Nduk! Mundur!" seru Lasmi dengan panik, menarik Murni menjauh dari jenazah Raharjo. Namun, Murni seperti tak mendengar teriakan ibunya, kedua matanya masih terpaku pada kain kafan yang perlahan tergerak ke kanan, seakan mengisyaratkan sesuatu. "Murniii ...." Murni menoleh, ke sana kemari mencari suara bisikan yang baru saja menelusup ke dalam telinganya. "Ba-Bapak ...," terbata Murni menyebut nama bapaknya. Iya, Murni sangat mengenali suara itu, suara sang ayah. "Kalian kenapa masih berdiri di sana? Tolong angkat Bapak," pinta Murni bersungguh-sungguh. Kasnan yang memang bekerja pada Juragan Raharjo pun lantas maju, dengan menyeret lengan Pai

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 3. Ketegangan

    Lasmi masih berdiri terdiam di ruang tamu, sorot matanya waspada dan napasnya terengah. Ketukan itu semakin keras, menggema, seolah-olah memaksa masuk. “Ji… kamu dengar itu?” bisik Murni, suaranya gemetar. Aji mengangguk, tangannya meremas lengan kakaknya untuk memberikan sedikit ketenangan. "Mbak, tunggu di sini. Biar aku lihat," katanya berusaha tenang, meski hatinya diliputi kegelisahan. Aji perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan, setiap langkahnya terasa berat. Lasmi menunggu di ujung ruang tamu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketukan itu semakin kencang, nyaris seperti dobrakan. BRAK! BRAK! BRAK! Aji menggenggam pegangan pintu dengan tangan bergetar. Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu itu perlahan, menahan rasa takut yang kian mencengkram. Namun, di luar hanya ada kegelapan yang pekat, tidak ada tanda-tanda siapa pun. “Aji, siapa itu?” tanya Lasmi dari belakang. Aji menatap ke luar dengan ragu, mencoba menembus kegelapan dengan mat

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 4. Teror

    Malam semakin larut, suasana dalam rumah terasa semakin menegangkan. Ketiga anggota keluarga itu hanya bisa duduk terdiam, mendengarkan suara-suara aneh yang datang dari luar, disertai dengan derap langkah yang membuat jantung mereka berdegup kencang. Setiap detik terasa seperti satu jam. Ketika ketegangan semakin tak terkendali, Murni merasakan hawa mistis di sekelilingnya. "Bu, bagaimana jika itu benar-benar Bapak?" tanyanya, suaranya bergetar. "Aku... aku ndak mau percaya kalau Bapak sudah pergi." Lasmi mengusap punggung Murni, berusaha menenangkannya. "Kita harus percaya, Murni. Yang kita lihat barusan adalah sesuatu yang lain. Kekuatan jahat sedang berusaha memanfaatkan kerinduanmu kepada Bapak." "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Aji kemudian. Dia merasa perlu melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya, karena memang dirinyalah kini yang menjadi satu-satunya lelaki di keluarga Raharjo. “Jangan berpikir macam-macam!" jawab Lasmi tegas. "Kita tidak bisa mem

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 5. Pria Misterius

    Ketiganya berjalan menyusuri pemakaman menuju pintu keluar. Saat itulah, seorang pria tua tampak berdiri di bawah pohon besar di pinggir jalan setapak. Penampilannya lusuh, pakaian yang ia kenakan terlihat usang, kotor, dan penuh tambalan. Ia memegang tongkat kayu yang panjang, berfungsi sebagai penopang sekaligus alat bantu berjalan. Saat melihat Lasmi dan kedua anaknya, pria tua itu tersenyum tipis, memperlihatkan gigi-giginya yang sudah tak utuh lagi.Saat tatapan dari pria tua itu jatuh pada Murni, tiba-tiba saja Murni merasa ada hawa tak nyaman, dan ia menggenggam lengan ibunya lebih erat. Namun, pria itu justru melangkah perlahan mendekati mereka, matanya yang sayu menatap tajam ke arah Murni. Ada sorot mata yang sulit dijelaskan, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tak diketahui siapa pun. "Cah Ayu…," gumamnya, mengendus-endus udara seakan ingin menangkap aroma dari arah tubuh Murni. Sontak saja gadis itu segera melangkah mundur dengan perasaan risih, merasa dipelototi oleh oran

Bab terbaru

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 5. Pria Misterius

    Ketiganya berjalan menyusuri pemakaman menuju pintu keluar. Saat itulah, seorang pria tua tampak berdiri di bawah pohon besar di pinggir jalan setapak. Penampilannya lusuh, pakaian yang ia kenakan terlihat usang, kotor, dan penuh tambalan. Ia memegang tongkat kayu yang panjang, berfungsi sebagai penopang sekaligus alat bantu berjalan. Saat melihat Lasmi dan kedua anaknya, pria tua itu tersenyum tipis, memperlihatkan gigi-giginya yang sudah tak utuh lagi.Saat tatapan dari pria tua itu jatuh pada Murni, tiba-tiba saja Murni merasa ada hawa tak nyaman, dan ia menggenggam lengan ibunya lebih erat. Namun, pria itu justru melangkah perlahan mendekati mereka, matanya yang sayu menatap tajam ke arah Murni. Ada sorot mata yang sulit dijelaskan, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tak diketahui siapa pun. "Cah Ayu…," gumamnya, mengendus-endus udara seakan ingin menangkap aroma dari arah tubuh Murni. Sontak saja gadis itu segera melangkah mundur dengan perasaan risih, merasa dipelototi oleh oran

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 4. Teror

    Malam semakin larut, suasana dalam rumah terasa semakin menegangkan. Ketiga anggota keluarga itu hanya bisa duduk terdiam, mendengarkan suara-suara aneh yang datang dari luar, disertai dengan derap langkah yang membuat jantung mereka berdegup kencang. Setiap detik terasa seperti satu jam. Ketika ketegangan semakin tak terkendali, Murni merasakan hawa mistis di sekelilingnya. "Bu, bagaimana jika itu benar-benar Bapak?" tanyanya, suaranya bergetar. "Aku... aku ndak mau percaya kalau Bapak sudah pergi." Lasmi mengusap punggung Murni, berusaha menenangkannya. "Kita harus percaya, Murni. Yang kita lihat barusan adalah sesuatu yang lain. Kekuatan jahat sedang berusaha memanfaatkan kerinduanmu kepada Bapak." "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bu?" tanya Aji kemudian. Dia merasa perlu melakukan sesuatu untuk melindungi keluarganya, karena memang dirinyalah kini yang menjadi satu-satunya lelaki di keluarga Raharjo. “Jangan berpikir macam-macam!" jawab Lasmi tegas. "Kita tidak bisa mem

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 3. Ketegangan

    Lasmi masih berdiri terdiam di ruang tamu, sorot matanya waspada dan napasnya terengah. Ketukan itu semakin keras, menggema, seolah-olah memaksa masuk. “Ji… kamu dengar itu?” bisik Murni, suaranya gemetar. Aji mengangguk, tangannya meremas lengan kakaknya untuk memberikan sedikit ketenangan. "Mbak, tunggu di sini. Biar aku lihat," katanya berusaha tenang, meski hatinya diliputi kegelisahan. Aji perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan, setiap langkahnya terasa berat. Lasmi menunggu di ujung ruang tamu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketukan itu semakin kencang, nyaris seperti dobrakan. BRAK! BRAK! BRAK! Aji menggenggam pegangan pintu dengan tangan bergetar. Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu itu perlahan, menahan rasa takut yang kian mencengkram. Namun, di luar hanya ada kegelapan yang pekat, tidak ada tanda-tanda siapa pun. “Aji, siapa itu?” tanya Lasmi dari belakang. Aji menatap ke luar dengan ragu, mencoba menembus kegelapan dengan mat

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 2. Pemakaman

    Murni terkesiap. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Kain kafan bapaknya bergerak semakin nyata, seolah ada yang berusaha keluar dari dalam sana. Para pelayat pun saling berbisik, beberapa bahkan berlari menjauh, sementara yang lain masih terpaku di tempat, tak mampu mengalihkan pandangan mereka. "Mundur, Nduk! Mundur!" seru Lasmi dengan panik, menarik Murni menjauh dari jenazah Raharjo. Namun, Murni seperti tak mendengar teriakan ibunya, kedua matanya masih terpaku pada kain kafan yang perlahan tergerak ke kanan, seakan mengisyaratkan sesuatu. "Murniii ...." Murni menoleh, ke sana kemari mencari suara bisikan yang baru saja menelusup ke dalam telinganya. "Ba-Bapak ...," terbata Murni menyebut nama bapaknya. Iya, Murni sangat mengenali suara itu, suara sang ayah. "Kalian kenapa masih berdiri di sana? Tolong angkat Bapak," pinta Murni bersungguh-sungguh. Kasnan yang memang bekerja pada Juragan Raharjo pun lantas maju, dengan menyeret lengan Pai

  • 40 Hari Setelah Kematian Bapak   Bab 1. Kematian Bapak

    “Bapak! Bangun, Pak!” Murni masih memeluk tubuh Raharjo yang kini telah terbujur kaku. Beberapa kali ia menggoyangkan tubuh bapaknya, berharap agar laki-laki yang begitu ia cintai dapat membuka kedua matanya kembali. “Bu, ini ndak mungkin. Bapak belum meninggal kan, Bu?” tanya Murni yang kemudian beralih memeluk sang ibu yang juga duduk di samping jenazah suaminya. Memang sulit untuk dipercaya, tak ada angin tak ada hujan, Raharjo meninggal begitu saja. Dia yang lebih dikenal sebagai Juragan Harjo sama sekali tak sakit. Bahkan, pagi harinya Juragan Harjo masih mampu pergi menagih utang dari para warga yang kerap kali meminjam uang padanya. Raharjo merupakan seorang tuan tanah yang sangat disegani. Luasnya area lahan yang dia miliki, serta kekayaan yang mungkin tak akan habis untuk tujuh turunan membuatnya begitu berkuasa di desa itu, Desa Juwono namanya. “Murni … ikhlaskan bapakmu, Nduk,” ucap Lasmi seraya mengusap punggung putrinya itu dengan lembut. “Tapi, Bu. Murni ndak

DMCA.com Protection Status