“Jadi, kau sudah memiliki seorang anak?” Aiden pikir, Joanna akan berhenti mengejarnya setelah mengetahui fakta itu. Aiden pikir, Joanna akan menyerah dan berhenti membuatnya goyah. Tapi, ternyata tidak. Joanna tetap melanjutkan usahanya untuk mengobrak-abrik perasaan Aiden, membuat pria dingin tak tersentuh itu akhirnya tunduk di hadapannya, menyerah untuk menahan perasaan yang mencuat tidak terkendali. Pada akhirnya, Aiden jatuh. Pria itu meruntuhkan segala tembok pertahanan yang telah ia bangun. Aiden jatuh cinta pada Joanna Stephanie, seorang perempuan yang telah berhasil merenggut sisa-sisa kewarasannya. Namun, masa bahagia yang Aiden kira akan datang ternyata harus kacau balau, tepat ketika mantan istirnya kembali dan saat dimana Aiden mengetahui segala fakta tentang Joanna yang selama ini tersembunyi. Akankah mereka tetap bertahan untuk bersama? Atau Aiden akan membangun kembali dinding pertahanannya yang telah runtuh?
View MoreMusik yang berdentum keras, para manusia yang menari-nari di atas dance floor mengikuti alunan musik, aroma alkohol, aroma parfum mahal yang menyebar kemana-mana, dan pemandangan percumbuan yang terlihat di beberapa sudut. Semuanya terlihat normal, termasuk seorang perempuan yang telah berada di ambang batas kesadarannya, hanyut dalam efek alkohol yang ia teguk secara berlebihan di depan meja bartender.
“Berengsek, bajingan. Aku mengutukmu!” “Kau benar-benar pria bajingan! Dasar sialan!” Mulutnya terus meracau dengan nada yang mulai terdengar tidak jelas. Satu tangannya masih menggenggam gelas yang kemudian kembali ia teguk isinya. Di depannya, sudah ada beberapa botol alkohol kosong yang benar-benar ia habiskan sendirian. Keadaannya tampak sangat kacau. Mata hinga wajahnya memerah. Rambutnya tak lagi bisa disebut rapi. Untungnya, dress hitam masih membungkus tubuhnya dengan baik. Belum ada pria hidung belang yang mencoba mendekati dan menggerayangi wanita mabuk sepertinya. Ah, tidak. Sepertinya hal itu tidak berlaku lagi ketik seorang pria mulai mendekat, mengincarnya sejak beberapa menit yang lalu. Perempuan cantik yang tengah mabuk berat, bagaimana mungkin ia melewatkannya? Senyum miringnya tampak menyeramkan, sampai kemudian perempuan itu mendongak ketika pria itu sudah berdiri tepat di depannya. “Hey, butuh ditemani?” Dengan kedua mata indahnya yang tidak lagi terbuka lebar, perempuan itu mengerjap, lalu berusaha mendorong pria itu agar tidak terlalu dekat dengannya. “Pergi,” ujarnya lirih, nyaris kehilangan kesadaran. “Kenapa kita tidak bermain-main dulu?” Senyum miringnya semakin menyeramkan saja. Untungnya, perempuan itu masih punya sedikit kesadaran ketika melawan para pria hidung belang. Tangannya kembali mendorong pria itu yang mulai berani mendekat, berusaha menggapainya. “Pergi atau akan kupukul wajah jelekmu!” Perempuan itu berdiri sempoyongan, berusaha melindungi diri. “Ayolah, jangan munafik. Lagipula kau tidak akan bisa melawan dengan keadaan mabuk seperti itu.” Kurangajar. Perempuan itu sudah bersiap memukul ketika pria itu mulai berani menyentuh pinggangnya. Ia benar-benar merealisasikan ucapannya. Perempuan itu benar-benar melayangkan satu pukulan, berhasil mengenai wajah pria yang ia sebut jelek itu. Namun, rupanya pria itu tidak terima. Wajahnya berubah marah. “Beraninya kau...” “Harusnya aku yang berkata begitu! Beraninya kau menyentuhku!” Perempuan itu tampak tidak gentar ketika pria itu terlihat semakin marah, bahkan sudah mulai melayangkan tangan untuk balas memukulnya. Dalam keadaan mabuk, perempuan itu menunggu pukulan itu mendarat, tetapi ia tidak merasakan apa pun kecuali mendengar teriakan kesakitan dari mulut pria itu. “Apa yang kau lakukan?! Lepaskan berengsek!” Pria itu merintih kesakitan ketika tangannya dipelintir ke belakang. Namun, seorang pria yang tiba-tiba datang dan menjadi pelakunya tampak tidak bergeming atau bahkan melepaskan cengkeramannya. Wajahnya tampak datar tanpa ekspresi kemarahan. Bahkan, sedikit pun ia tidak melihat ke arah perempuan yang baru saja ia selamatkan dari pukulan. Perempuan itu mengerjap. Lalu, tanpa aba-aba ia mendaratkan tendangan lututnya ke arah bagian bawah si pria hidung belang, membuatnya mengerang lebih keras. “Yah, kuharap adik kecilmu itu akan bengkak setelah ini. Dasar pria jelek!” Perempuan itu tampak sangat puas, membiarkan saja ketika si pria melepaskannya dan pria hidung belang itu lari tergopoh-gopoh dengan menahan rasa sakit di lengan dan bagian bawahnya yang baru saja kena tendang. Sekarang, tinggal si pria dan si perempuan. Pria itu melirik ke arah perempuan dalam hitungan detik, beralih, lalu hendak pergi begitu saja dari sana tanpa mengatakan apa pun. “Tunggu!” Karena si pria tidak berbalik, perempuan itu yang menghampirinya, berdiri tepat di hadapannya dengan tubuh yang hampir rubuh karena mabuk. Dengan kedua mata sayu dan hanya terbuka setengah, perempuan itu mendongak, memiringkan kepala, lalu tersenyum ketika baru menyadari bahwa wajah si pria sangat tampan. Ia tidak berbohong. Wajahnya memang sangat tampan, berbeda jauh dengan pria jelek tadi. Ah, ia memang sulit mengabaikan pria tampan. “Terimakasih. Karena kau telah menolongku, maka aku mau memberimu imbalan.” Si pria menaikkan satu alisnya tanpa berbicara. Ia hanya diam ketika perempuan itu mulai merogoh saku dress-nya selama beberapa saat dengan dahi mengerut, seolah kesulitan menemukan apa yang ia cari. Sampai kemudian, ia mengeluarkan sesuatu dari sana dan menyodorkannya pada si pria. “Ini uang. Gunakanlah untuk membeli minuman. Aku sudah terlalu mabuk, jadi kau saja. Aku mau pulang.” Uang katanya? Bukankah yang di tangannya itu adalah daun maple? Ketika si pria hanya diam dengan alis terangkat, perempuan itu langsung meraih tangannya tanpa izin, meletakkan daun maple itu di genggamannya. “Ambillah. Jangan malu-malu. Aku pergi dulu!” Perempuan aneh. Tapi, itu belum apa-apa, sampai kemudian hal tidak terduga terjadi. Dengan bodohnya, perempuan itu tersandung kakinya sendiri ketika melangkah, terdorong ke depan, lalu mendaratkan bibirnya di atas benda kenyal yang sama. Mereka berciuman! Tidak. Bukan berciuman dalam arti sesungguhnya. Bibirnya hanya menempel, tetapi tetap saja hal itu membuat keduanya mematung terkejut. Si pria yang masih tidak menampakkan ekspresi dan si perempuan yang memelototkan mata. Si pria yang masih waras sepenuhnya langsung berniat mendorong perempuan itu dengan cara yang kasar. Namun, baru mencengkram bahunya, si perempuan malah melakukan sesuatu yang lebih tidak terduga. Perempuan itu mulai melumat bibirnya, melakukan ciuman yang sesungguhnya. Gila! Yang lebih gila adalah apa yang perempuan itu katakan setelah pria itu kembali berusaha mendorongnya, dengan cara yang kasar hingga tubuhnya yang sempoyongan terhuyung ke belakang dan nyaris jatuh jika saja perempuan itu tidak bisa menahan keseimbangannya. “Itu first kiss ku, kau tahu! Karena sudah terlanjur, lebih baik ku teruskan saja. Tapi, kenapa kau malah mendorongku?!” Oh, tidak. Sepertinya perempuan itu memang sangat mabuk hingga kewarasannya hilang. Harga dirinya seperti diinjak-injak. Perempuan itu merasa ditolak. Kepalanya yang terasa berputar-putar dan penglihatannya yang mulai buram membuatnya tidak bisa melihat ekspresi pria itu dengan jelas. Namun, raut kesal, marah, sekaligus malu tidak bisa ia sembunyikan. Perempuan itu makin tercengang ketika pria yang baru saja menerima ciuman pertamanya itu pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun, seolah ia adalah serangga yang tidak perlu dipedulikan. “Hey! Kenapa kau malah pergi?! Harusnya aku yang pergi setelah kau mendorongku!”. “Dasar pria sialan! Percuma tampan karena bagiku kau sangat menyebalkan!” “Lihat saja suatu hari nanti kau akan memohon padaku hanya untuk menciumku! Aku bersumpah! Kita akan bertemu lagi nanti! Tunggu dan lihat saja!” Sayang sekali. Seolah suaranya teredam oleh dentuman musik, percuma ia berteriak sampai tenggorokannya terasa sakit. Pria itu juga tampak tidak menghentikan langkah dan mulai tidak terlihat di balik keramaian. Ah, jangan-jangan pria itu memang sengaja mengabaikannya, membiarkannya berteriak seperti orang tidak waras. Perempuan itu mencebik. Untuk apa pria itu menolongnya jika pada akhirnya ia tetao ditinggalkan di sini?! Bagaimana jika ada pria hidung belang yang mendekatinya lagi?! Ia sudah tidak sanggup mengeluarkan energi untuk menendang selangkangan pria lagi dengan keadaan kepalanya yang berputar-putar seperti ini. Oh, sekarang ia mulai menyesal karena datang ke tempat terkutuk ini.Ah, sial.Entah berapa kali Joanna melayangkan umpatannya. Hujan sedang turun deras-derasnya. Sialnya, tidak ada taksi yang mau menerima pesanannya di saat seperti ini. Seharusnya dia langsung pulang saja tadi, bukannya malah mampir ke minimarket terlebih dahulu. Ah, tidak. Memang seharusnya sedari awal ia tidak perlu makan malam di kediaman Hardin Madison. Sejak awal ia harusnya tetap keukeuh menolak.Joanna hanya diam di pinggiran minimarket, berdiri seraya mengulurkan tangan untuk menangkap tetesan hujan. Joanna bahkan tidak memedulikan pakaiannya yang basah. Lagipula, ia sudah lebih dulu basah kuyup saat turun dari taksi begitu tiba di minimarket tadi. Sekarang, ia mulai kedinginan.“Aunty Joanna!”Joanna menyipitkan mata, meragukan pendengarannya sendiri yang baru saja mendengar sebuah suara memanggilnya dengan nada ceria. Namun, ternyata Joanna tidak salah. Di depan sana—di pinggir jalan depan minimarket, Joanna melihat sebuah mobil yang tampak asing. Namun, kepala seseorang
“Apa ini?”“Makanan.”“Ya, aku tahu. Tapi, dalam rangka apa kau membeli makanan sebanyak ini?”“Dalam rangka aku sedang senang,” jawab Joanna tanpa menghilangkan senyuman dii wajahnya. Perempuan itu telah menghabiskan banyak uang untuk membeli beberapa cup kopi dan makanan untuk dibagikan kepada staff kantor. Namun, Joanna sama sekali tidak menyesal. Ia sedang senang. Joanna hanya ingin membagi kesenangannya saja.“Dasar aneh.” David mencibir, tak ayal laki-laki itu mencomot kopi dan makanan itu, sisanya dibagikan pada staff yang lain. “Besok lusa Mr. William memiliki jadwal perjalanan bisnis, ke Manila. Seperti biasa, kau harus ikut.”Joanna mengangguk antusias. “Tentu!”Hari ini, Joanna harus mengerjakan pekerjaannya dengan cepat. Ia harus mengurus Lily walau siang ini Bibi May yang menjemput bocah itu ke sekolah. “Apa Mr. William memiliki tamu penting? Aku lihat beberapa orang masuk ke ruangan beliau tadi.”David mengangguk. “Beberapa orang dari BlueChips Interprise.”“Ada
Aiden pikir, Joanna akan berhenti mengejarnya seperti orang gila setelah mengetahui fakta tentang Ruby. Aiden pikir, Joanna akan menyerah dan berhenti membuatnya geram karena tingkahnya. Tapi, ternyata tidak. Joanna tetap melanjutkan usahanya untuk mengobrak-abrik perasaan Aiden, sekali pun sampai detik ini laki-laki itu belum terpengaruh.Awalnya, Aiden berniat untuk meminta orang suruhannya saja yang menjemput Ruby. Namun, ia urungkan. Aiden takut Joanna bertingkah di luar nalar atau mungkin orang suruhannya bisa menakuti Ruby. Enggan membuat putrinya merasa bertanya-tanya, maka dengan berat hati Aiden turun tangan sendiri, pergi ke sebuah gedung apartemen tempat perempuan gila itu menculik putrinya.Aiden menghela napas gusar. Laki-laki itu tahu bahwa Joanna tidak akan menyakiti Ruby. Namun, Aiden lebih takut perempuan itu mencemari pikiran Ruby, menjejalinya dengan pengaruh-pengaruh buruk. Tetapi, ternyata ketakutan itu tidaklah terjadi. Begitu menekan bel unit apartemen dan pin
Suara langkah kaki yang terdengar konstan beradu dengan lantai keramik, berhasil menarik perhatian seorang gadis kecil yang tengah bermain dengan nanny-nya. Sosok sang ayah yang tampak di matanya membuat gadis itu berbinar, langsung meninggalkan bonekanya dan berlari ke arah seorang laki-laki yang baru saja menginjakkan kaki ke mansion yang jarang ia kunjungi. Setelah mendengar teriakan gadis kecil itu yang memanggilnya dengan nada gembira, kedua kakinya dipeluk erat.“Papa pulang!”Seulas senyum yang jarang sekali terlihat di wajah kaku Aiden kali ini muncul, sangat menawan. Laki-laki itu mengangkat Ruby—putrinya ke gendongannya. “Apa yang kau lakukan? Sedang apa sekarang?”“Bermain!”“Oh, ya? Bolehkah papa bergabung?”Aiden belum mendapat jawaban. Ruby justru memeluk erat lehernya, seakan tidak mau lepas. Hal itu membuat Aiden merasa bersalah. Seharusnya ia lebih sering mengunjungi putrinya, tidak terus berkutat dengan pekerjaan. Ruby bahkan merengek untuk ikut menjemputnya di
“Naik apa kau kemari?”Joanna memainkan kuku-kuku indahnya, tampak tidak peduli. “Taksi.”Suara decakan terdengar. Seorang pria paruh baya yang kini tengah menggendong Lily menatap putrinya tak habis pikir. “Kau semiskin itu sekarang? Tidak punya mobil?”“Ya, memang. Salah papa sendiri mengapa meminta aku untuk menjemput papa.”“Dasar anak kurangajar.”“I am. Setidaknya menjadi miskin dan kurangajar membuat papa berhenti merepotkanku. Tapi, tampaknya hari ini aku terpaksa direpotakan sekali lagi.”Jika tidak ingat bahwa Joanna adalah putrinya, mungkin pria paruh baya itu sudah benar-benar melemparnya ke dasar laut. “Kau ini!” Hardin menggeram. Pria paruh baya yang masih tampak gagah di usianya yang menginjak kepala lima itu selalu dibuat mengerang kesal begitu berhadapan dengan Joanna—putri pembangkangnya.“Sekarang dimana hadiahku? Balasan karena aku telah mau repot-repot menjemput papa ke sini,” ujar Joanna, enggan membuang waktu. Sekilas perempuan itu melihat ke arah Lily ya
Kali ini, Joanna menyempatkan diri untuk mengantar Lily ke sekolah. Sebenarnya ada Bibi May, tetapi Joanna memilih untuk mengantar gadis kecil itu sendiri mengingat sekolahnya searah dengan kantornya. “Besok weekend dan aunty libur. Kau mau pergi jalan-jalan, Lily?” Lily tersenyum lebar. “Tentu!” Joanna terkekeh, mengusap pelan puncak kepala Lily. “Baiklah. Besok kita jalan-jalan sepuasnya.” Joanna lalu mengulurkan kotak bekal yang pagi-pagi tadi ia buat. “Ini makan siangmu. Jangan lupa dihabiskan, okay? Di dalamnya juga ada cookies yang aunty buat kemarin.” Lily mengangguk, menerima kotak bekal itu. “Ruby!” Lily yang tidak sengaja melihat Ruby berjalan memasuki gerbang pun langsung memanggil dengan nada cerianya, membuat Ruby yang di sana lantas menoleh dan ikut tersenyum dan menghampiri. “Ah, kebetulan sekali.” Joanna tersenyum cerah, mengulurkan paperbag berisi cookies. “Aunty juga membuatkan cookies untuk Ruby. Kalian bisa memakannya bersama nanti.” Ruby tersen
“Hai, Lily. Kemarilah.”Joanna memutuskan untuk memanfaatkan jeda makan siang untuk menjemput Lily ke sekolahnya, membawanya ke apartemen beserta Bibi May yang akan menyusul. Panggilan Joanna membuat seorang anak perempuan yang tengah berdiri di depan gerbang lantas menoleh. Lalu, senyumnya terpasang lebar.“AUNTY!”“Hey, jangan berlari! Nanti kau jatuh!”Joanna terkekeh kecil ketika Lily tidak mengindahkan ucapannya, terus berlari hingga sampai ke pelukannya. Joanna sudah bersimpuh untuk menyambut anak itu. “Kau sangat merindukanku, ya?”“Sangat! Sangat! Sangat! Mama bilang aunty sangat sibuk sekarang!”“Hm, kau benar. Aku sangat sibuk. Tapi, untuk beberapa hari ke depan kau akan melihatku setiap hari. Apa kau senang?”Lily mengurai pelukannya, lantas mengangguk antusias dan tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya. Ah, anak itu sangat manis. Namun, baru beberapa saat senyumannya memudar. “Kapan mama dan papa akan pulang?”“Tidak akan lama. Jangan sedih. Katanya kau
Joanna tidak lagi bisa bersembunyi atau mencari-cari alasan lagi. Mau tidak mau suka tidak suka pada akhirnya ia harus bertemu dengan Andrew Jefferson—mantan kekasihnya. Seakan tidak pernah terjadi apa pun, seakan tidak pernah saling mengenal, Joanna memasang raut datar, tidak bereaksi lebih selama duduk di meja yang sama dengan Aiden dan Andrew. Perempuan itu menjalankan tugasnya sebagai sekretaris, menyiapkan keperluan berkas dan mengeluarkan suara jika Aiden bertanya. Namun, Joanna tidak bodoh bahwa selama berada di ruang VIP ini, Andrew selalu mencuri pandang ke arahnya beberapa kali. Joanna memilih untuk bersikap tidak peduli dan berharap pertemuan ini akan cepat berakhir. Tetapi, sepertinya tidak bisa secepat itu. Dari yang ia lihat, hubungan antara Andrew dan Aiden tidak hanya sebagai rekan kerja. Sepertinya mereka teman.“Nona Joanna, berikan berkas revisi kontraknya pada Mr. Jefferson.”Dengan tetap bersikap profesional, Joanna menuruti ucapan Aiden, tentunya tanpa menatap
Joanna sedang menjalankan tugasnya sebagai notulen sekarang, mendengarkan jalannya rapat dengan seksama. Di depan sana—tepat di depan layar proyektor, sudah ada presentator yang tengah menyampaikan rancangan ide baru, ini terkait dengan sektor perhotelan yang juga berada di bawah naungan William Company. Salah satu hotel terbesar dengan kemajuan terpesat mereka akan membuka cabang baru di wilayah lain. Sesekali, Joanna mencuri pandang ke arah Aiden yang duduk di kursi paling ujung sebagai pemimpin rapat, tampak memperhatikan layar proyektor dengan wajah seriusnya. Ah, memangnya sejak kapan Aiden si pria kaku itu menanggalkan raut seriusnya? Wajahnya jarang sekali menampakkan ekspresi, tetapi perintah-perintah menyebalkan selalu sukses keluar dari mulutnya. Tapi, sekali pun sedang kesal Joanna tidak bisa mengabaikan kesempurnaan wajah Aiden bahkan dalam kondisi apa pun. Dari tempatnya duduk saat ini—di deretan kursi sebelah kanan—Joanna bisa melihat dengan jelas rahang dan struktur waj
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments