Share

Bab 7 : Misi

Author: Adrienne Hera
last update Last Updated: 2024-10-07 06:24:54

Joanna sedang menjalankan tugasnya sebagai notulen sekarang, mendengarkan jalannya rapat dengan seksama. Di depan sana—tepat di depan layar proyektor, sudah ada presentator yang tengah menyampaikan rancangan ide baru, ini terkait dengan sektor perhotelan yang juga berada di bawah naungan William Company. Salah satu hotel terbesar dengan kemajuan terpesat mereka akan membuka cabang baru di wilayah lain. Sesekali, Joanna mencuri pandang ke arah Aiden yang duduk di kursi paling ujung sebagai pemimpin rapat, tampak memperhatikan layar proyektor dengan wajah seriusnya. Ah, memangnya sejak kapan Aiden si pria kaku itu menanggalkan raut seriusnya? Wajahnya jarang sekali menampakkan ekspresi, tetapi perintah-perintah menyebalkan selalu sukses keluar dari mulutnya. Tapi, sekali pun sedang kesal Joanna tidak bisa mengabaikan kesempurnaan wajah Aiden bahkan dalam kondisi apa pun. Dari tempatnya duduk saat ini—di deretan kursi sebelah kanan—Joanna bisa melihat dengan jelas rahang dan struktur wajah laki-laki itu yang tampak tegas, maskulin, dan tentu saja sempurna. Joanna tidak bisa menyangkal hal itu.

“Apakah ada yang ingin menambahkan ide baru?”

Suara bariton Aiden memecah keheningan setelah presentator selesai menyampaikan gagasannya. Joanna sedang menunduk untuk melihat hasil catatannya, memastikan semuanya sudah ia tulis di sana.

“Nona Joanna, mungkin Anda memiliki ide.”

“Huh?”

Joanna seolah baru tersadar dari lamunan ketika tiba-tiba saja Aiden memanggilnya. Joanna mengangkat satu alisnya, mengamati ekspresi Aiden yang tampak datar. Apa laki-laki itu sengaja? Seperti ketika Aiden membuatnya kewalahan dengan hukuman laki-laki itu tempo lalu, mungkin saja sekarang laki-laki itu ingin membuatnya seperti itu lagi.

Mengenai hotel...

Joanna berdehem kecil. “Saya menyetujui ide untuk membangun cabang hotel di wilayah tersebut, Sir. Mengingat wilayah tersebut merupakan kawasan turis yang jumlahnya pun terus meningkat setiap tahunnya. Tetapi, saya memiliki ide konsep lain yang mungkin bisa dipertimbangkan. Wilayah dengan turis yang banyak artinya mendorong pengusaha lain untuk membangun hotel dengan konsep yang beragam. Di wilayah itu sendiri sudah banyak hotel-hotel yang menjamur, baik di kawasan kota maupun wisata. Namun, menurut sepengetahuan saya, turis lebih banyak berada di kawasan wisata, diikuti dengan bisnis-bisnis yang ikut berkembang di sana. Daripada sebuah hotel mewah dengan gedung pencakar langit seperti konsep hotel sebelumnya, saya menyarankan konsep resort atau vila untuk cabang kali ini. Tentunya dengan tidak menghilangkan ciri khas dari hotel kita sebagai pembeda dengan yang lain. Bisa dibangun di tepi pantai dengan kolaborasi konsep antara modern dan tradisional. Kita bisa membuat inovasi seperti resort di atas air, peluang objek wisata baru, dan menambahkan variasi layanan tamu.”

Joanna yang selama ini terlihat lebih banyak diam dan bertingkah menyebalkan di depan Aiden ternyata bisa mengemukakan pendapatnya di depan orang lain dengan tenang dan terencana. Banyak orang di ruang rapat itu yang menyukai ide Joanna, memasukkannya sebagai bahan pertimbangan—tentunya atas persetujuan Aiden. Sementara laki-laki itu diam-diam mengamati Joanna, tetapi harus berakhir ketika tiba-tiba saja perempuan gila itu tersenyum menggoda seraya mengedipkan mata.

Aiden berdehem.

“Rapat hari ini sudah berakhir. Kalian bisa kembali bekerja.”

Tentu saja tidak ada dari mereka yang berani keluar ruangan sebelum Aiden yang keluar. Laki-laki itu berdiri dari kursinya, merapikan jas yang membalut tubuh tegapnya, lalu berjalan keluar diikuti oleh David, Joanna, dan beberapa orang di belakang mereka.

“Mr. Anderson. Apa setelah ini kita langsung pergi menemui Mr. Jefferson?” Joanna berbisik sembari terus berjalan mengekori Aiden, sementara David mengangkat satu alisnya. “Kita? Aku tidak ikut. Hanya kau dan Mr. William.”

Joanna sontak membelalakkan mata. “Apa?! Tapi, kenapa? Bukankah Anda adalah Personal Assistant Mr. William?”

“Ya, memang. Tapi, baru tadi Mr. William menugaskanku untuk hal lain. Lagipula, kau baru saja ikut mengemukakan ide cemerlang mu di rapat tadi dan asal kau tahu, pertemuan antara Mr. William dan Mr. Anderson adalah untuk membahas rencana kerjasama pembangunan hotel itu. Mereka ingin berkolaborasi.”

Joanna menjatuhkan rahang, tercengang.

“Bersiaplah, Joanna. Jangan membuat masalah lagi kalau kau tidak mau disusahkan. Aku heran mengapa dulu kau bisa melempar heels mu hingga mengenai Mr. William saat Mr. Jefferson juga ada di sana.” David menampakkan raut penuh tanya, semnetara Joanna meneguk ludah. “Mr. Anderson ... sepertinya aku tidak akan bisa datang. Bisakah Anda saja yang menggantikan saya?”

“Jangan bercanda. Kenapa kau tidak bisa datang?”

“Karena ... karena aku merasa tidak enak badan. Kepalaku pening sekali. Jika dipaksakan, aku tidak akan bisa fokus,” jawab Joanna setelah memikirkan alasan secepat kilat. Tentu saja ia hanya membual. Jika tahu begini, ia memilih untuk menutup mulut saja tadi. Ah, sial. Bukannya takut, Joanna hanya malas bertemu dengan si bajingan Andrew itu lagi. Apalagi ada Aiden juga nanti. Bukankah akan sangat canggung dan aneh?

“Kalau itu sebaiknya kau tanyakan langsung pada Mr. William.”

***

Tentu saja percuma. Bertanya pada Aiden? Sedari awal Joanna sudah tahu jika itu hanya sia-sia, sudah terbukti ketika Aiden tetap memintanya ikut sekali pun ia sudah mengeluh tidak enak badan. Laki-laki itu pasti memang sengaja.

“Kopi, Sir.”

Aiden mengangkat satu alisnya ketika Joanna tiba-tiba meminta izin masuk ke dalam ruangannya, lalu meletakkan secangkir kopi di atas mejanya.

“Apa aku memintamu untuk membuatnya?”

Joanna menggeleng, tersenyum manis. “Tidak. Ini atas keinginan saya sendiri. Anda harus mencoba kopi buatan saya karena sejauh ini semua orang selalu memujinya enak,” ucapnya penuh percaya diri. Ini masih hari kedua dan Joanna tidak mengendurkan niat. Mendekati Aiden—walau dengan cara konyol—akan terus ia lakukan selama satu bulan ke depan. Anggap saja kopi ini sebagai pemanasan.

“Bawa pergi,” ucap Aiden tak acuh, kembali mengalihkan pandangannya ke arah layar laptop yang ada di depannya. Namun, Joanna tidak menyerah.

“Sedih sekali karena Anda menolaknya.” Joanna memasang raut kecewa. “Lalu, apa yang ingin Anda makan atau minum sekarang? Saya akan membawakannya.”

“Pergi.”

Joanna menulikan telinga, memilih untuk duduk di sofa ruangan itu dan meraih berkas yang memang harus ia periksa sebelum Aiden menandatanganinya. Sikap Joanna yang tidak mematuhi ucapannya mau tidak mau membuat Aiden geram. Laki-laki itu beralih ke arah Joanna yang tampak acuh tak acuh, duduk di sofa sembari membolak-balikkan lembar kertas. Luka lebam di dahi Joanna sudah hampir hilang, sementara Aiden tidak bisa melihat luka yang ada di lengan karena tertutup oleh blazer yang Joanna kenakan.

“Darimana kau belajar bela diri?”

Pertanyaan itu mengucur begitu saja dari mulut Aiden. Laki-laki itu sendiri tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Aiden sudah penasaran sedari awal ia melihat Joanna menghajar para begal itu tanpa kesulitan. Sudah jelas keahlian bela diri yang perempuan itu miliki bukan keahlian yang ecek-ecek. Joanna menguasai teknik bela diri dengan baik, bahkan mampu menumbangkan lawan dengan pukulan dan tendangan yang mengenai bagian yang tepat. Diam-diam, Aiden memerhatikan setiap gerakan yang Joanna buat malam itu.

Joanna sendiri langsung mendongak, beralih dari kertas menuju wajah Aiden, lalu tersenyum jenaka. “Memangnya kenapa, Sir? Tidak mungkin malam itu Anda menonton saya berkelahi saja hanya karena ingin melihat cara saya memukul dan menendang, bukan?” Joanna sedikit menyindir. Ia masih sedikit kesal tentang itu.

Aiden mengangkat alis, merasa bodoh karena telah bertanya. Ia bahkan sempat penasaran dan ... tertarik. Bukan tertarik dalam artian sesungguhnya. Aiden hanya mengagumi keahlian bela diri Joanna yang tidak ia sangka. Tapi, laki-laki itu jengah dengan tingkah Joanna yang makin tidak tahu takut padanya. Bahkan, kini Joanna tampak berdiri dari duduknya, melangkah menghampiri Aiden.

“Apa yang kau lakukan?”

Aiden tampak waspada ketika Joanna makin mendekat, lalu tanpa izin mengusap dadanya, lebih tepatnya kemejanya. Lalu, Joanna tersenyum konyol. “Ada kotoran pada kemeja Anda, Sir. Saya hanya berniat membersihkannya. Kenapa Anda tampak waspada sekali?”

Joanna hendak menarik tangan setelah puas bertingkah. Namun, setelah itu suara ringisannya terdengar ketika Aiden malah mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat. Joanna yakin tangannya memerah. Namun, perempuan itu bisa menahan rasa sakitnya dengan baik, menatap mata Aiden yang tengah menghunus tajam ke arahnya. Aura mengintimidasi keluar dari diri laki-laki itu, membuatnya diam-diam meneguk ludah.

“Sebenarnya apa yang kau inginkan? Semakin hari bukankah tingkahmu semakin kurangajar?” tanya Aiden dengan nada rendah penuh penekanan. Ia sudah cukup geram.

Sementara Joanna menebalkan mental, tersenyum tanpa dosa untuk menyembunyikan gelagatnya yang mulai terintimidasi dengan pesona seorang Aiden Cairo William. “Saya? Memangnya apa yang saya lakukan?”

Joanna menahan ringisan ketika cengkeraman itu makin kuat.

“Hentikan kelakuan konyolmu jika kau tidak ingin ku tendang keluar dari sini.”

Joanna tersenyum miring. “Kenapa, Sir? Apakah sekarang Anda mulai terganggu dengan saya yang tidak penting ini?” Joanna mengedikkan bahu. “Abaikan saja saya, anggap saya orang tidak penting dan tidak berguna yang kebetulan menjadi sekretaris Anda,” sambungnya dengan tenang.

Aiden tidak tahu spesies jenis apa perempuan di depannya kini. Sangat menyebalkan dan kurangajar. Laki-laki itu semakin mengeratkan cengkeraman, seolah ingin membuat tulang Joanna remuk. “Katakan apa maumu.”

“Mau saya? Bagaimana jika saya katakan bahwa saya ingin membuat Anda jatuh cinta pada saya? Anggap saja itu adalah misi saya.”

Konyol. Joanna tahu ucapannya sangat konyol. Namun, perempuan itu bisa mengatakannya dengan lancar dan penuh percaya diri. Untuk sesaat, Joanna mengira bahwa setelah ini ia akan menerima kemarahan dari Aiden atau mungkin laki-laki itu benar-benar akan mematahkan lengannya. Namun, ternyata dugaannya salah. Joanna mengerutkan kening ketika Aiden malah melepaskan cengkeramannya hingga tampak tangannya yang memerah. Lalu, senyuman miring laki-laki itu muncul, sebuah senyuman yang tampak menyeramkan dan membuat bulu kuduk Joanna seakan berdiri.

Ah, begitu, ya? Jatuh cinta?

Alih-alih mendepak Joanna atau membunuhnya detik ini juga karena telah lancang menyentuhnya, Aiden lebih tertarik untuk melakukan hal lain. Bukankah menyenangkan jika ia mengikuti permainan perempuan itu? Joanna hanya perempuan konyol yang haus perhatian. Menghadapinya tidak akan berhasil jika dengan kekerasan.

“Misi katamu?”

Joanna diam. Entah kemana kemampuannya bersilat lidah.

“Kalau begitu kita harus berangkat untuk pertemuan dengan Andrew Jefferson sekarang.” Aiden mengamati ekspresi Joanna yang tampak menegang. “Bukankah akan menyenangkan jika kau harus mengatasinya lebih dulu sebelum melaksanakan misimu itu? Aku ingin menonton lagi pertunjukan cinderella yang melayangkan sepatu kacanya. Tapi, kali ini sepatu itu akan berbalik ke arahmu, Nona Joanna Stephanie.”

Related chapters

  • 30 Hari Mengejar Sang Milyarder   Bab 8 : Ciuman Pipi

    Joanna tidak lagi bisa bersembunyi atau mencari-cari alasan lagi. Mau tidak mau suka tidak suka pada akhirnya ia harus bertemu dengan Andrew Jefferson—mantan kekasihnya. Seakan tidak pernah terjadi apa pun, seakan tidak pernah saling mengenal, Joanna memasang raut datar, tidak bereaksi lebih selama duduk di meja yang sama dengan Aiden dan Andrew. Perempuan itu menjalankan tugasnya sebagai sekretaris, menyiapkan keperluan berkas dan mengeluarkan suara jika Aiden bertanya. Namun, Joanna tidak bodoh bahwa selama berada di ruang VIP ini, Andrew selalu mencuri pandang ke arahnya beberapa kali. Joanna memilih untuk bersikap tidak peduli dan berharap pertemuan ini akan cepat berakhir. Tetapi, sepertinya tidak bisa secepat itu. Dari yang ia lihat, hubungan antara Andrew dan Aiden tidak hanya sebagai rekan kerja. Sepertinya mereka teman.“Nona Joanna, berikan berkas revisi kontraknya pada Mr. Jefferson.”Dengan tetap bersikap profesional, Joanna menuruti ucapan Aiden, tentunya tanpa menatap

    Last Updated : 2024-10-08
  • 30 Hari Mengejar Sang Milyarder   Bab 9 : Tuntutan Untuk Menikah

    “Hai, Lily. Kemarilah.”Joanna memutuskan untuk memanfaatkan jeda makan siang untuk menjemput Lily ke sekolahnya, membawanya ke apartemen beserta Bibi May yang akan menyusul. Panggilan Joanna membuat seorang anak perempuan yang tengah berdiri di depan gerbang lantas menoleh. Lalu, senyumnya terpasang lebar.“AUNTY!”“Hey, jangan berlari! Nanti kau jatuh!”Joanna terkekeh kecil ketika Lily tidak mengindahkan ucapannya, terus berlari hingga sampai ke pelukannya. Joanna sudah bersimpuh untuk menyambut anak itu. “Kau sangat merindukanku, ya?”“Sangat! Sangat! Sangat! Mama bilang aunty sangat sibuk sekarang!”“Hm, kau benar. Aku sangat sibuk. Tapi, untuk beberapa hari ke depan kau akan melihatku setiap hari. Apa kau senang?”Lily mengurai pelukannya, lantas mengangguk antusias dan tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya. Ah, anak itu sangat manis. Namun, baru beberapa saat senyumannya memudar. “Kapan mama dan papa akan pulang?”“Tidak akan lama. Jangan sedih. Katanya kau

    Last Updated : 2024-10-09
  • 30 Hari Mengejar Sang Milyarder   Bab 10 : Latar Belakang Aiden Yang Tersembunyi

    Kali ini, Joanna menyempatkan diri untuk mengantar Lily ke sekolah. Sebenarnya ada Bibi May, tetapi Joanna memilih untuk mengantar gadis kecil itu sendiri mengingat sekolahnya searah dengan kantornya. “Besok weekend dan aunty libur. Kau mau pergi jalan-jalan, Lily?” Lily tersenyum lebar. “Tentu!” Joanna terkekeh, mengusap pelan puncak kepala Lily. “Baiklah. Besok kita jalan-jalan sepuasnya.” Joanna lalu mengulurkan kotak bekal yang pagi-pagi tadi ia buat. “Ini makan siangmu. Jangan lupa dihabiskan, okay? Di dalamnya juga ada cookies yang aunty buat kemarin.” Lily mengangguk, menerima kotak bekal itu. “Ruby!” Lily yang tidak sengaja melihat Ruby berjalan memasuki gerbang pun langsung memanggil dengan nada cerianya, membuat Ruby yang di sana lantas menoleh dan ikut tersenyum dan menghampiri. “Ah, kebetulan sekali.” Joanna tersenyum cerah, mengulurkan paperbag berisi cookies. “Aunty juga membuatkan cookies untuk Ruby. Kalian bisa memakannya bersama nanti.” Ruby tersen

    Last Updated : 2024-10-10
  • 30 Hari Mengejar Sang Milyarder   Bab 11 : Sebuah Kesempatan

    “Naik apa kau kemari?”Joanna memainkan kuku-kuku indahnya, tampak tidak peduli. “Taksi.”Suara decakan terdengar. Seorang pria paruh baya yang kini tengah menggendong Lily menatap putrinya tak habis pikir. “Kau semiskin itu sekarang? Tidak punya mobil?”“Ya, memang. Salah papa sendiri mengapa meminta aku untuk menjemput papa.”“Dasar anak kurangajar.”“I am. Setidaknya menjadi miskin dan kurangajar membuat papa berhenti merepotkanku. Tapi, tampaknya hari ini aku terpaksa direpotakan sekali lagi.”Jika tidak ingat bahwa Joanna adalah putrinya, mungkin pria paruh baya itu sudah benar-benar melemparnya ke dasar laut. “Kau ini!” Hardin menggeram. Pria paruh baya yang masih tampak gagah di usianya yang menginjak kepala lima itu selalu dibuat mengerang kesal begitu berhadapan dengan Joanna—putri pembangkangnya.“Sekarang dimana hadiahku? Balasan karena aku telah mau repot-repot menjemput papa ke sini,” ujar Joanna, enggan membuang waktu. Sekilas perempuan itu melihat ke arah Lily ya

    Last Updated : 2024-10-11
  • 30 Hari Mengejar Sang Milyarder   Bab 12 : Menculik Ruby

    Suara langkah kaki yang terdengar konstan beradu dengan lantai keramik, berhasil menarik perhatian seorang gadis kecil yang tengah bermain dengan nanny-nya. Sosok sang ayah yang tampak di matanya membuat gadis itu berbinar, langsung meninggalkan bonekanya dan berlari ke arah seorang laki-laki yang baru saja menginjakkan kaki ke mansion yang jarang ia kunjungi. Setelah mendengar teriakan gadis kecil itu yang memanggilnya dengan nada gembira, kedua kakinya dipeluk erat.“Papa pulang!”Seulas senyum yang jarang sekali terlihat di wajah kaku Aiden kali ini muncul, sangat menawan. Laki-laki itu mengangkat Ruby—putrinya ke gendongannya. “Apa yang kau lakukan? Sedang apa sekarang?”“Bermain!”“Oh, ya? Bolehkah papa bergabung?”Aiden belum mendapat jawaban. Ruby justru memeluk erat lehernya, seakan tidak mau lepas. Hal itu membuat Aiden merasa bersalah. Seharusnya ia lebih sering mengunjungi putrinya, tidak terus berkutat dengan pekerjaan. Ruby bahkan merengek untuk ikut menjemputnya di

    Last Updated : 2024-10-12
  • 30 Hari Mengejar Sang Milyarder   Bab 13 : Keberhasilan Joanna

    Aiden pikir, Joanna akan berhenti mengejarnya seperti orang gila setelah mengetahui fakta tentang Ruby. Aiden pikir, Joanna akan menyerah dan berhenti membuatnya geram karena tingkahnya. Tapi, ternyata tidak. Joanna tetap melanjutkan usahanya untuk mengobrak-abrik perasaan Aiden, sekali pun sampai detik ini laki-laki itu belum terpengaruh.Awalnya, Aiden berniat untuk meminta orang suruhannya saja yang menjemput Ruby. Namun, ia urungkan. Aiden takut Joanna bertingkah di luar nalar atau mungkin orang suruhannya bisa menakuti Ruby. Enggan membuat putrinya merasa bertanya-tanya, maka dengan berat hati Aiden turun tangan sendiri, pergi ke sebuah gedung apartemen tempat perempuan gila itu menculik putrinya.Aiden menghela napas gusar. Laki-laki itu tahu bahwa Joanna tidak akan menyakiti Ruby. Namun, Aiden lebih takut perempuan itu mencemari pikiran Ruby, menjejalinya dengan pengaruh-pengaruh buruk. Tetapi, ternyata ketakutan itu tidaklah terjadi. Begitu menekan bel unit apartemen dan pin

    Last Updated : 2024-10-13
  • 30 Hari Mengejar Sang Milyarder   Bab 14 : Joanna dan Keluarganya

    “Apa ini?”“Makanan.”“Ya, aku tahu. Tapi, dalam rangka apa kau membeli makanan sebanyak ini?”“Dalam rangka aku sedang senang,” jawab Joanna tanpa menghilangkan senyuman dii wajahnya. Perempuan itu telah menghabiskan banyak uang untuk membeli beberapa cup kopi dan makanan untuk dibagikan kepada staff kantor. Namun, Joanna sama sekali tidak menyesal. Ia sedang senang. Joanna hanya ingin membagi kesenangannya saja.“Dasar aneh.” David mencibir, tak ayal laki-laki itu mencomot kopi dan makanan itu, sisanya dibagikan pada staff yang lain. “Besok lusa Mr. William memiliki jadwal perjalanan bisnis, ke Manila. Seperti biasa, kau harus ikut.”Joanna mengangguk antusias. “Tentu!”Hari ini, Joanna harus mengerjakan pekerjaannya dengan cepat. Ia harus mengurus Lily walau siang ini Bibi May yang menjemput bocah itu ke sekolah. “Apa Mr. William memiliki tamu penting? Aku lihat beberapa orang masuk ke ruangan beliau tadi.”David mengangguk. “Beberapa orang dari BlueChips Interprise.”“Ada

    Last Updated : 2024-10-14
  • 30 Hari Mengejar Sang Milyarder   Bab 15 : Adriana Harvey

    Ah, sial.Entah berapa kali Joanna melayangkan umpatannya. Hujan sedang turun deras-derasnya. Sialnya, tidak ada taksi yang mau menerima pesanannya di saat seperti ini. Seharusnya dia langsung pulang saja tadi, bukannya malah mampir ke minimarket terlebih dahulu. Ah, tidak. Memang seharusnya sedari awal ia tidak perlu makan malam di kediaman Hardin Madison. Sejak awal ia harusnya tetap keukeuh menolak.Joanna hanya diam di pinggiran minimarket, berdiri seraya mengulurkan tangan untuk menangkap tetesan hujan. Joanna bahkan tidak memedulikan pakaiannya yang basah. Lagipula, ia sudah lebih dulu basah kuyup saat turun dari taksi begitu tiba di minimarket tadi. Sekarang, ia mulai kedinginan.“Aunty Joanna!”Joanna menyipitkan mata, meragukan pendengarannya sendiri yang baru saja mendengar sebuah suara memanggilnya dengan nada ceria. Namun, ternyata Joanna tidak salah. Di depan sana—di pinggir jalan depan minimarket, Joanna melihat sebuah mobil yang tampak asing. Namun, kepala seseorang

    Last Updated : 2024-10-15

Latest chapter

  • 30 Hari Mengejar Sang Milyarder   Bab 15 : Adriana Harvey

    Ah, sial.Entah berapa kali Joanna melayangkan umpatannya. Hujan sedang turun deras-derasnya. Sialnya, tidak ada taksi yang mau menerima pesanannya di saat seperti ini. Seharusnya dia langsung pulang saja tadi, bukannya malah mampir ke minimarket terlebih dahulu. Ah, tidak. Memang seharusnya sedari awal ia tidak perlu makan malam di kediaman Hardin Madison. Sejak awal ia harusnya tetap keukeuh menolak.Joanna hanya diam di pinggiran minimarket, berdiri seraya mengulurkan tangan untuk menangkap tetesan hujan. Joanna bahkan tidak memedulikan pakaiannya yang basah. Lagipula, ia sudah lebih dulu basah kuyup saat turun dari taksi begitu tiba di minimarket tadi. Sekarang, ia mulai kedinginan.“Aunty Joanna!”Joanna menyipitkan mata, meragukan pendengarannya sendiri yang baru saja mendengar sebuah suara memanggilnya dengan nada ceria. Namun, ternyata Joanna tidak salah. Di depan sana—di pinggir jalan depan minimarket, Joanna melihat sebuah mobil yang tampak asing. Namun, kepala seseorang

  • 30 Hari Mengejar Sang Milyarder   Bab 14 : Joanna dan Keluarganya

    “Apa ini?”“Makanan.”“Ya, aku tahu. Tapi, dalam rangka apa kau membeli makanan sebanyak ini?”“Dalam rangka aku sedang senang,” jawab Joanna tanpa menghilangkan senyuman dii wajahnya. Perempuan itu telah menghabiskan banyak uang untuk membeli beberapa cup kopi dan makanan untuk dibagikan kepada staff kantor. Namun, Joanna sama sekali tidak menyesal. Ia sedang senang. Joanna hanya ingin membagi kesenangannya saja.“Dasar aneh.” David mencibir, tak ayal laki-laki itu mencomot kopi dan makanan itu, sisanya dibagikan pada staff yang lain. “Besok lusa Mr. William memiliki jadwal perjalanan bisnis, ke Manila. Seperti biasa, kau harus ikut.”Joanna mengangguk antusias. “Tentu!”Hari ini, Joanna harus mengerjakan pekerjaannya dengan cepat. Ia harus mengurus Lily walau siang ini Bibi May yang menjemput bocah itu ke sekolah. “Apa Mr. William memiliki tamu penting? Aku lihat beberapa orang masuk ke ruangan beliau tadi.”David mengangguk. “Beberapa orang dari BlueChips Interprise.”“Ada

  • 30 Hari Mengejar Sang Milyarder   Bab 13 : Keberhasilan Joanna

    Aiden pikir, Joanna akan berhenti mengejarnya seperti orang gila setelah mengetahui fakta tentang Ruby. Aiden pikir, Joanna akan menyerah dan berhenti membuatnya geram karena tingkahnya. Tapi, ternyata tidak. Joanna tetap melanjutkan usahanya untuk mengobrak-abrik perasaan Aiden, sekali pun sampai detik ini laki-laki itu belum terpengaruh.Awalnya, Aiden berniat untuk meminta orang suruhannya saja yang menjemput Ruby. Namun, ia urungkan. Aiden takut Joanna bertingkah di luar nalar atau mungkin orang suruhannya bisa menakuti Ruby. Enggan membuat putrinya merasa bertanya-tanya, maka dengan berat hati Aiden turun tangan sendiri, pergi ke sebuah gedung apartemen tempat perempuan gila itu menculik putrinya.Aiden menghela napas gusar. Laki-laki itu tahu bahwa Joanna tidak akan menyakiti Ruby. Namun, Aiden lebih takut perempuan itu mencemari pikiran Ruby, menjejalinya dengan pengaruh-pengaruh buruk. Tetapi, ternyata ketakutan itu tidaklah terjadi. Begitu menekan bel unit apartemen dan pin

  • 30 Hari Mengejar Sang Milyarder   Bab 12 : Menculik Ruby

    Suara langkah kaki yang terdengar konstan beradu dengan lantai keramik, berhasil menarik perhatian seorang gadis kecil yang tengah bermain dengan nanny-nya. Sosok sang ayah yang tampak di matanya membuat gadis itu berbinar, langsung meninggalkan bonekanya dan berlari ke arah seorang laki-laki yang baru saja menginjakkan kaki ke mansion yang jarang ia kunjungi. Setelah mendengar teriakan gadis kecil itu yang memanggilnya dengan nada gembira, kedua kakinya dipeluk erat.“Papa pulang!”Seulas senyum yang jarang sekali terlihat di wajah kaku Aiden kali ini muncul, sangat menawan. Laki-laki itu mengangkat Ruby—putrinya ke gendongannya. “Apa yang kau lakukan? Sedang apa sekarang?”“Bermain!”“Oh, ya? Bolehkah papa bergabung?”Aiden belum mendapat jawaban. Ruby justru memeluk erat lehernya, seakan tidak mau lepas. Hal itu membuat Aiden merasa bersalah. Seharusnya ia lebih sering mengunjungi putrinya, tidak terus berkutat dengan pekerjaan. Ruby bahkan merengek untuk ikut menjemputnya di

  • 30 Hari Mengejar Sang Milyarder   Bab 11 : Sebuah Kesempatan

    “Naik apa kau kemari?”Joanna memainkan kuku-kuku indahnya, tampak tidak peduli. “Taksi.”Suara decakan terdengar. Seorang pria paruh baya yang kini tengah menggendong Lily menatap putrinya tak habis pikir. “Kau semiskin itu sekarang? Tidak punya mobil?”“Ya, memang. Salah papa sendiri mengapa meminta aku untuk menjemput papa.”“Dasar anak kurangajar.”“I am. Setidaknya menjadi miskin dan kurangajar membuat papa berhenti merepotkanku. Tapi, tampaknya hari ini aku terpaksa direpotakan sekali lagi.”Jika tidak ingat bahwa Joanna adalah putrinya, mungkin pria paruh baya itu sudah benar-benar melemparnya ke dasar laut. “Kau ini!” Hardin menggeram. Pria paruh baya yang masih tampak gagah di usianya yang menginjak kepala lima itu selalu dibuat mengerang kesal begitu berhadapan dengan Joanna—putri pembangkangnya.“Sekarang dimana hadiahku? Balasan karena aku telah mau repot-repot menjemput papa ke sini,” ujar Joanna, enggan membuang waktu. Sekilas perempuan itu melihat ke arah Lily ya

  • 30 Hari Mengejar Sang Milyarder   Bab 10 : Latar Belakang Aiden Yang Tersembunyi

    Kali ini, Joanna menyempatkan diri untuk mengantar Lily ke sekolah. Sebenarnya ada Bibi May, tetapi Joanna memilih untuk mengantar gadis kecil itu sendiri mengingat sekolahnya searah dengan kantornya. “Besok weekend dan aunty libur. Kau mau pergi jalan-jalan, Lily?” Lily tersenyum lebar. “Tentu!” Joanna terkekeh, mengusap pelan puncak kepala Lily. “Baiklah. Besok kita jalan-jalan sepuasnya.” Joanna lalu mengulurkan kotak bekal yang pagi-pagi tadi ia buat. “Ini makan siangmu. Jangan lupa dihabiskan, okay? Di dalamnya juga ada cookies yang aunty buat kemarin.” Lily mengangguk, menerima kotak bekal itu. “Ruby!” Lily yang tidak sengaja melihat Ruby berjalan memasuki gerbang pun langsung memanggil dengan nada cerianya, membuat Ruby yang di sana lantas menoleh dan ikut tersenyum dan menghampiri. “Ah, kebetulan sekali.” Joanna tersenyum cerah, mengulurkan paperbag berisi cookies. “Aunty juga membuatkan cookies untuk Ruby. Kalian bisa memakannya bersama nanti.” Ruby tersen

  • 30 Hari Mengejar Sang Milyarder   Bab 9 : Tuntutan Untuk Menikah

    “Hai, Lily. Kemarilah.”Joanna memutuskan untuk memanfaatkan jeda makan siang untuk menjemput Lily ke sekolahnya, membawanya ke apartemen beserta Bibi May yang akan menyusul. Panggilan Joanna membuat seorang anak perempuan yang tengah berdiri di depan gerbang lantas menoleh. Lalu, senyumnya terpasang lebar.“AUNTY!”“Hey, jangan berlari! Nanti kau jatuh!”Joanna terkekeh kecil ketika Lily tidak mengindahkan ucapannya, terus berlari hingga sampai ke pelukannya. Joanna sudah bersimpuh untuk menyambut anak itu. “Kau sangat merindukanku, ya?”“Sangat! Sangat! Sangat! Mama bilang aunty sangat sibuk sekarang!”“Hm, kau benar. Aku sangat sibuk. Tapi, untuk beberapa hari ke depan kau akan melihatku setiap hari. Apa kau senang?”Lily mengurai pelukannya, lantas mengangguk antusias dan tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya. Ah, anak itu sangat manis. Namun, baru beberapa saat senyumannya memudar. “Kapan mama dan papa akan pulang?”“Tidak akan lama. Jangan sedih. Katanya kau

  • 30 Hari Mengejar Sang Milyarder   Bab 8 : Ciuman Pipi

    Joanna tidak lagi bisa bersembunyi atau mencari-cari alasan lagi. Mau tidak mau suka tidak suka pada akhirnya ia harus bertemu dengan Andrew Jefferson—mantan kekasihnya. Seakan tidak pernah terjadi apa pun, seakan tidak pernah saling mengenal, Joanna memasang raut datar, tidak bereaksi lebih selama duduk di meja yang sama dengan Aiden dan Andrew. Perempuan itu menjalankan tugasnya sebagai sekretaris, menyiapkan keperluan berkas dan mengeluarkan suara jika Aiden bertanya. Namun, Joanna tidak bodoh bahwa selama berada di ruang VIP ini, Andrew selalu mencuri pandang ke arahnya beberapa kali. Joanna memilih untuk bersikap tidak peduli dan berharap pertemuan ini akan cepat berakhir. Tetapi, sepertinya tidak bisa secepat itu. Dari yang ia lihat, hubungan antara Andrew dan Aiden tidak hanya sebagai rekan kerja. Sepertinya mereka teman.“Nona Joanna, berikan berkas revisi kontraknya pada Mr. Jefferson.”Dengan tetap bersikap profesional, Joanna menuruti ucapan Aiden, tentunya tanpa menatap

  • 30 Hari Mengejar Sang Milyarder   Bab 7 : Misi

    Joanna sedang menjalankan tugasnya sebagai notulen sekarang, mendengarkan jalannya rapat dengan seksama. Di depan sana—tepat di depan layar proyektor, sudah ada presentator yang tengah menyampaikan rancangan ide baru, ini terkait dengan sektor perhotelan yang juga berada di bawah naungan William Company. Salah satu hotel terbesar dengan kemajuan terpesat mereka akan membuka cabang baru di wilayah lain. Sesekali, Joanna mencuri pandang ke arah Aiden yang duduk di kursi paling ujung sebagai pemimpin rapat, tampak memperhatikan layar proyektor dengan wajah seriusnya. Ah, memangnya sejak kapan Aiden si pria kaku itu menanggalkan raut seriusnya? Wajahnya jarang sekali menampakkan ekspresi, tetapi perintah-perintah menyebalkan selalu sukses keluar dari mulutnya. Tapi, sekali pun sedang kesal Joanna tidak bisa mengabaikan kesempurnaan wajah Aiden bahkan dalam kondisi apa pun. Dari tempatnya duduk saat ini—di deretan kursi sebelah kanan—Joanna bisa melihat dengan jelas rahang dan struktur waj

DMCA.com Protection Status