Kehausan, kelaparan, kelahan, dan kesialan yang menimpanya bertubi-tubi—termasuk kejadian dimana kakinya terjerembab ke dalam lubang lumpur, membuat kaki, celana, dan sepatunya kotor. Entah yang keberapa kali Joanna mengelap peluh yang mengucur di pelipisnya karena cuaca yang sangat terik.
“Joanna! Cepatlah, nanti kita tertinggal!” Sialan. Joanna tidak tahu harus melampiaskan kemana rasa kesalnya yang tersimpan selama dua hari ini karena ia tahu ini disebabkan oleh kecerobohannya sendiri. Joanna menatap punggung Aiden dan David yang sudah beberapa langkah di depannya, ditemani oleh pengelola proyek yang dan satu orang lelaki yang senantiasa memegang payung untuk Aiden. Joanna mencebikkan bibir. Perempuan itu seratus persen yakin bahwa Aiden sengaja melakukan ini. Sebagai hukuman untuknya, Aiden sengaja memberinya penderitaan beruntun selama ia ikut meninjau proyek selama dua hari di tempat antah berantah ini. Tidak tahu pastinya dimana, tetapi tempat ini seolah tidak punya peradaban. Tidak ada bangunan tinggi, penerangan yang memadai, atau sejenisnya. Yang ada hanya hutan dengan satu-satunya jalan beraspal di tepinya, pemukiman penduduk, pasar, dan ribuan hektar tanah lapang dengan proyek yang sedang dibangun di atasnya. “Joanna!” “Sebentar, Sir!” Tidak mau David terus memanggilnya, Joanna memilih untuk memasang senyum dan kembali melangkahkan kakinya yang sudah pegal untuk menyusul mereka. “Ada hal lain yang perlu saya perhatikan, Sir?” Aiden menggeleng singkat atas pertanyaan yang diajukan oleh pengelola proyek. “Tidak. Progres pembangunannya sudah cukup masif. Kau hanya perlu melanjutkan pekerjaanmu sesuai pemetaan awal.” “Baik, saya mengerti.” Aiden melirik ke arah Joanna yang sudah berdiri di samping David. Keadaan perempuan itu cukup kacau. Celana bahan dan sepatunya sudah kotor karena lumpur—efek Aiden yang memintanya kesana kemari untuk alasan pekerjaan, rambutnya yang lepek karena keringat dikucir kuda, lengan kemeja yang dilipat, dan raut lesunya. “Nona Joanna, sepertinya Anda perlu mengganti pakaian. Apa perlu saya antar ke penginapan?” tawar si pengelola proyek sementara Aiden sudah berpindah dua langkah di depan mereka untuk melihat pembangunan di depannya. Namun, telinganya masih terpasang baik untuk mendengar percakapan di belakangnya. Sementara itu, Joanna mengernyit samar, agak heran ketika si pengelola memberinya tawaran demikian. Ia masih memiliki kaki, ia bisa berjalan dengan baik menuju penginapan sendiri. Untuk apa diantar? Namun, mata yang jelalatan dan lirikan yang memang sedari kemarin ia dapatkan dari pria yang ia perkirakan berusia awal 40-an itu membuat Joanna tersadar. Perempuan itu bergidik ngeri, merasa sangsi jika pria itu tertarik padanya. “Bahkan penampilanmu yang sekacau ini masih bisa menarik perhatian pria itu. Aku tidak heran. Maka, sudah sepantasnya kau waspada, Joanna.” David terkikik geli ketika berbisik, membuat Joanna menelan ludah, melirik tajam. “Jangan mengada-ngada, Sir.” Obrolan mereka terdengar lebih santai karena memang baik Joanna maupun David adalah orang yang supel dan mudah akrab. Dalam beberapa hari, mereka bisa berbicara santai dan melempar candaan seperti saat ini. Di saat ia ditimpa kesulitan atas banyaknya pekerjaan yang Aiden bebankan untuknya, David yang menyemangatinya. “Aku serius. Lihat matanya. Sangat jelalatan.” Memilih tidak menanggapi ucapan David, Joanna berdehem kecil, tersenyum sopan hanya untuk formalitas. Namun, dalam hati ia geram juga. “Tidak perlu, Sir. Saya akan pergi ke penginapan setelah ini.” Penginapan yang dimaksud adalah penginapan yang berada lumayan jauh dari tempat ini, di kota seberang. Hal itu dikarenakan tidak ada penginapan di tempat ini. Mereka harus mengemudi jauh dari penginapan ke tempat pembangunan proyek. Oleh karena itu, bukankah cukup janggal jika tiba-tiba si pengelola menawarinya bantuan? Bahkan untuk berbasa-basi saja itu tetap aneh. “Joanna.” Suara berat Aiden menyelamatkan Joanna dari si pria yang hendak mengeluarkan suara lagi. Namun, Joanna tidak lantas senang karena ia yakin setelah ini ia akan mendapat kesialan lagi dengan pekerjaan yang hendak dibebankan Aiden. *** “Pergi ke pos. Aku ingin kau mengambil berkas.” “Lagi?” Ucapan refleks Joanna mengundang lirikan Aiden. Pria itu menaikkan satu alisnya, melihat Joanna yang sedang menutup mulutnya yang asal ceplos dengan tangan. “Kenapa? Kau keberatan?” Joanna tentu menggeleng walau rasa kesalnya mencuat. “Tidak, Sir. Saya hanya bertanya-tanya, pasalnya sudah tiga kali Anda meminta saya untuk pergi ke pos dan mengambil berkas,” ujarnya, sedikit mengeluarkan keluhan walau dibungkus oleh senyum. Aiden tampak tidak peduli. Luka di wajahnya yang Joanna sebabkan memang sudah hampir hilang, tetapi niat untuk menghukum Joanna masih ingin ia lanjutkan. “Ah, atau kau lebih suka ku tugaskan untuk meninjau proyek bersama pengelola?” “Tidak! Tentu tidak.” Joanna mejawab cepat. Bersama pria mata jelalatan itu tentu adalah pilihan buruk. Sementara itu, Aiden tidak berekspresi. “Kalau begitu tidak perlu banyak protes. Kita kembali malam ini. Sebelum sore, pekerjaan harus selesai.” Setelah mengatakan hal itu, Aiden pergi begitu saja menuju ruang khusus yang ada di sana. Sementara Joanna mendesah kecil, berusaha sabar. “Baiklah, Joanna. Nanti malam kau sudah pulang. Jalankan saja perintah bos-mu dan kau akan segera keluar dari penderitaan ini.” Joanna meyakinkan dirinya sendiri sembari berusaha tersenyum. Aiden memerintahkannya untuk segera mengambil berkas dan menyelesaikan pekerjaan sebelum sore. Namun, sudah beberapa jam berlalu perempuan itu belum kembali. Hari sudah sore, bahkan menjelang malam. Langit mulai menggelap dengan cepat. “Hubungi dia. Aku tidak punya banyak waktu.” Aiden kembali melirik jam seharga jutaan dollar yang melingkar di pergelangannya, berbicara pada David yang sedari tadi terus mengekor. Sudah berjam-jam. Tidak mungkin pergi ke pos dan kembali lagi membutuhkan waktu selama itu. Aiden sendiri tidak terlalu memperhatikan Joanna karena sibuk berbicara dengan investor. Sampai kemudian, dua jam setelahnya ia baru sadar bahwa Joanna tidak memperlihatkan batang hidungnya, padahal sudah sore dan seharusnya sekarang mereka sudah ada di perjalanan pulang. “Ponselnya tidak bisa dihubungi sedari tadi, Sir. Saya juga sudah meminta bantuan pada penduduk sekitar, tetapi Joanna belum ditemukan.” Perempuan itu ... Aiden memijat pelipisnya karena merasa pening. Sedari awal, perempuan itu tidak habis membuatnya pusing dan naik pitam. Aiden bahkan tidak tahu dimana Joanna sekarang di tempat yang bahkan tidak familiar ini. Kemungkinan besar, Joanna tersesat. David sendiri juga khawatir, apalagi kawasan ini cukup marak begal dan perampok. Ia sudah cukup kasihan dengan Joanna yang kesusahan selama dua hari ini. Akan sangat mengenaskan jika perempuan itu sampai tersesat juga. Apalagi ponselnya mati, tidak bisa dihubungi. “Aku mau dia ditemukan sebelum larut, David.” Setelah mengatakan itu, Aiden keluar dari ruangan entah kemana. Aiden dengan raut datar, kesal, dan tampak tidak peduli. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya ia juga memikirkan Joanna. Bukan apa-apa, ia hanya takut jika ia terlalu keterlaluan hingga menyebabkan perempuan itu hilang. Namun, masih ada pekerjaan yang harus ia lakukan, ada orang yang harus ia temui. Persetan dengan Joanna. Ia yakin David akan segera menemukan perempuan gila itu. *** Bedebah! Terkutuk! Joanna tidak punya pilihan lain selain memaki dirinya sendiri. Ia sudah seperti gelandangan sekarang. Berjalan tanpa alas kaki di atas aspal berlubang di tepi hutan. Hanya ada beberapa lampu jalan yang berkedip-kedip, seakan mau padam. Sekarang, ia sendirian dengan wajah kelelahan, pakaian kotor dan kusut, sepatu sobek yang ia tenteng, dan ponsel yang mati karena kehabisan baterai. Kesialan yang lengkap. Joanna tidak tahu bahwa menolong seorang anak kecil yang tersesat dan mengantarkannya kembali ke rumah membuatnya ikut tersesat juga., Ia sampai terdampar di sini, di tempat yang bahkan tidak ia ketahui. Semua hal yang ada di sini tampak sama saja, aspal dan pepohonan. Tentu saja Joanna tidak bisa mengenali jalan ini sekali pun ia pernah melewatinya saat menuju lokasi proyek. Sungguh sial. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Tentu tidak ada selain terus berjalan dan mengharapkan keajaiban. Sesekali Joanna berjongkok karena kakinya yang terasa pegal. Ia juga kelaparan, kehausan. Ia bisa dehidrasi dan mati karena kelaparan jika begini. “Mama ... papa...” Joanna mencebik. Tidak, ia tidak menangis. Ia hanya kesal dengan keadaannya. Bedebah tampan itu ... Aiden Cairo William. Sekali pun ia melakukan kesalahan, tidak semestinya pria itu menyusahkannya seperti ini! Joanna berdecak kesal. Awas saja pria itu! Harapan dan semangat Joanna yang redup dan suasana hatinya yang buruk mulai membaik ketika perempuan itu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang. Joanna menghentikan langkahnya, berbalik ke belakang dan tersenyum cerah ketika melihat siluet beberapa orang dari kejauhan. Joanna senang, mengira bahwa mereka adalah warga sekitar yang tidak sengaja lewat. “Hey! Maaf, bisakah kalian menolongku? Aku tersesat!” teriaknya penuh harap sambil melambai. Namun, Joanna harus mengubur harapannya itu ketika ia malah melihat senjata tajam yang mereka pegang masing-masing ketika mereka makin dekat. Senyumnya luntur.Aiden memang harus melewati satu-satunya jalan yang ada di tepi hutan untuk bisa keluar dari area proyek dan memenuhu urusannya. Namun, siapa sangka jika sekarang ia malah menemukan sesuatu yang tidak diduga.Joanna.Sekretaris ceroboh dan menyebalkannya itu ada di depan matanya. Tidak, bukan itu yang membuat Aiden nyaris melompat keluar dari mobil begitu melihatnya, melainkan karena beberapa orang bersenjata yang ada di sekeliling perempuan itu. Tidak perlu penasaran mengapa Aiden tidak melangsungkan niatnya untuk keluar dari mobil—malah diam di dalam dengan jarak beberapa meter, mengamati keadaan di depannya.Sepertinya justru para begal itu yang tengah membutuhkan bantuan.Aiden menajamkan mata, yakin betul bahwa yang tengah bertarung di depan sana benar-benar Joanna. Perempuan itu dengan tangan kosong berhasil menumbangkan tiga dari lima orang begal. Ah, tidak. Sekarang perempuan itu bahkan mencuri senjata mereka sebagai alat perlindungannya. Tidak ada yang menyangka bahwa Joa
“Astaga, kau tidak apa-apa?”Joanna kembali ke penginapan dengan keadaan yang tidak terlalu buruk. Baju kotornya sudah diganti dengan kaus dan jeans. Ia juga sudah membersihkan diri. Namun, ternyata itu tidak cukup baik di mata David. Setelah menghilang selama beberapa jam, tentu saja laki-laki itu tidak tahan untuk tidak bertanya.“Saya tidak apa-apa.”“Tidak apa-apa bagaimana? Dahimu lebam.”Ah, benarkah? Joanna meraba dahinya, meringis kecil ketika merasakan sedikit sakit. Namun, itu bukan apa-apa. Ia sendiri bahkan belum menyadari adanya luka lebam ini jika saja David tidak menyadarinya lebih dulu.Joanna terdiam sejenak, melirik Aiden yang sudah menghilang di balik lift. Laki-laki itu lebih dulu pergi ke kamarnya, sementara David tetap bersama Joanna di lobby. Joanna membiarkannya saja. Anggap saja ini adalah hari terakhir ia memberi David Cairo William kelonggaran. Joanna pastikan setelah ini laki-laki angkuh itu tidak akan bisa hidup tenang. Aiden tidak akan bernapas lega
Joanna sedang menjalankan tugasnya sebagai notulen sekarang, mendengarkan jalannya rapat dengan seksama. Di depan sana—tepat di depan layar proyektor, sudah ada presentator yang tengah menyampaikan rancangan ide baru, ini terkait dengan sektor perhotelan yang juga berada di bawah naungan William Company. Salah satu hotel terbesar dengan kemajuan terpesat mereka akan membuka cabang baru di wilayah lain. Sesekali, Joanna mencuri pandang ke arah Aiden yang duduk di kursi paling ujung sebagai pemimpin rapat, tampak memperhatikan layar proyektor dengan wajah seriusnya. Ah, memangnya sejak kapan Aiden si pria kaku itu menanggalkan raut seriusnya? Wajahnya jarang sekali menampakkan ekspresi, tetapi perintah-perintah menyebalkan selalu sukses keluar dari mulutnya. Tapi, sekali pun sedang kesal Joanna tidak bisa mengabaikan kesempurnaan wajah Aiden bahkan dalam kondisi apa pun. Dari tempatnya duduk saat ini—di deretan kursi sebelah kanan—Joanna bisa melihat dengan jelas rahang dan struktur waj
Joanna tidak lagi bisa bersembunyi atau mencari-cari alasan lagi. Mau tidak mau suka tidak suka pada akhirnya ia harus bertemu dengan Andrew Jefferson—mantan kekasihnya. Seakan tidak pernah terjadi apa pun, seakan tidak pernah saling mengenal, Joanna memasang raut datar, tidak bereaksi lebih selama duduk di meja yang sama dengan Aiden dan Andrew. Perempuan itu menjalankan tugasnya sebagai sekretaris, menyiapkan keperluan berkas dan mengeluarkan suara jika Aiden bertanya. Namun, Joanna tidak bodoh bahwa selama berada di ruang VIP ini, Andrew selalu mencuri pandang ke arahnya beberapa kali. Joanna memilih untuk bersikap tidak peduli dan berharap pertemuan ini akan cepat berakhir. Tetapi, sepertinya tidak bisa secepat itu. Dari yang ia lihat, hubungan antara Andrew dan Aiden tidak hanya sebagai rekan kerja. Sepertinya mereka teman.“Nona Joanna, berikan berkas revisi kontraknya pada Mr. Jefferson.”Dengan tetap bersikap profesional, Joanna menuruti ucapan Aiden, tentunya tanpa menatap
“Hai, Lily. Kemarilah.”Joanna memutuskan untuk memanfaatkan jeda makan siang untuk menjemput Lily ke sekolahnya, membawanya ke apartemen beserta Bibi May yang akan menyusul. Panggilan Joanna membuat seorang anak perempuan yang tengah berdiri di depan gerbang lantas menoleh. Lalu, senyumnya terpasang lebar.“AUNTY!”“Hey, jangan berlari! Nanti kau jatuh!”Joanna terkekeh kecil ketika Lily tidak mengindahkan ucapannya, terus berlari hingga sampai ke pelukannya. Joanna sudah bersimpuh untuk menyambut anak itu. “Kau sangat merindukanku, ya?”“Sangat! Sangat! Sangat! Mama bilang aunty sangat sibuk sekarang!”“Hm, kau benar. Aku sangat sibuk. Tapi, untuk beberapa hari ke depan kau akan melihatku setiap hari. Apa kau senang?”Lily mengurai pelukannya, lantas mengangguk antusias dan tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya. Ah, anak itu sangat manis. Namun, baru beberapa saat senyumannya memudar. “Kapan mama dan papa akan pulang?”“Tidak akan lama. Jangan sedih. Katanya kau
Kali ini, Joanna menyempatkan diri untuk mengantar Lily ke sekolah. Sebenarnya ada Bibi May, tetapi Joanna memilih untuk mengantar gadis kecil itu sendiri mengingat sekolahnya searah dengan kantornya. “Besok weekend dan aunty libur. Kau mau pergi jalan-jalan, Lily?” Lily tersenyum lebar. “Tentu!” Joanna terkekeh, mengusap pelan puncak kepala Lily. “Baiklah. Besok kita jalan-jalan sepuasnya.” Joanna lalu mengulurkan kotak bekal yang pagi-pagi tadi ia buat. “Ini makan siangmu. Jangan lupa dihabiskan, okay? Di dalamnya juga ada cookies yang aunty buat kemarin.” Lily mengangguk, menerima kotak bekal itu. “Ruby!” Lily yang tidak sengaja melihat Ruby berjalan memasuki gerbang pun langsung memanggil dengan nada cerianya, membuat Ruby yang di sana lantas menoleh dan ikut tersenyum dan menghampiri. “Ah, kebetulan sekali.” Joanna tersenyum cerah, mengulurkan paperbag berisi cookies. “Aunty juga membuatkan cookies untuk Ruby. Kalian bisa memakannya bersama nanti.” Ruby tersen
“Naik apa kau kemari?”Joanna memainkan kuku-kuku indahnya, tampak tidak peduli. “Taksi.”Suara decakan terdengar. Seorang pria paruh baya yang kini tengah menggendong Lily menatap putrinya tak habis pikir. “Kau semiskin itu sekarang? Tidak punya mobil?”“Ya, memang. Salah papa sendiri mengapa meminta aku untuk menjemput papa.”“Dasar anak kurangajar.”“I am. Setidaknya menjadi miskin dan kurangajar membuat papa berhenti merepotkanku. Tapi, tampaknya hari ini aku terpaksa direpotakan sekali lagi.”Jika tidak ingat bahwa Joanna adalah putrinya, mungkin pria paruh baya itu sudah benar-benar melemparnya ke dasar laut. “Kau ini!” Hardin menggeram. Pria paruh baya yang masih tampak gagah di usianya yang menginjak kepala lima itu selalu dibuat mengerang kesal begitu berhadapan dengan Joanna—putri pembangkangnya.“Sekarang dimana hadiahku? Balasan karena aku telah mau repot-repot menjemput papa ke sini,” ujar Joanna, enggan membuang waktu. Sekilas perempuan itu melihat ke arah Lily ya
Suara langkah kaki yang terdengar konstan beradu dengan lantai keramik, berhasil menarik perhatian seorang gadis kecil yang tengah bermain dengan nanny-nya. Sosok sang ayah yang tampak di matanya membuat gadis itu berbinar, langsung meninggalkan bonekanya dan berlari ke arah seorang laki-laki yang baru saja menginjakkan kaki ke mansion yang jarang ia kunjungi. Setelah mendengar teriakan gadis kecil itu yang memanggilnya dengan nada gembira, kedua kakinya dipeluk erat.“Papa pulang!”Seulas senyum yang jarang sekali terlihat di wajah kaku Aiden kali ini muncul, sangat menawan. Laki-laki itu mengangkat Ruby—putrinya ke gendongannya. “Apa yang kau lakukan? Sedang apa sekarang?”“Bermain!”“Oh, ya? Bolehkah papa bergabung?”Aiden belum mendapat jawaban. Ruby justru memeluk erat lehernya, seakan tidak mau lepas. Hal itu membuat Aiden merasa bersalah. Seharusnya ia lebih sering mengunjungi putrinya, tidak terus berkutat dengan pekerjaan. Ruby bahkan merengek untuk ikut menjemputnya di
Ah, sial.Entah berapa kali Joanna melayangkan umpatannya. Hujan sedang turun deras-derasnya. Sialnya, tidak ada taksi yang mau menerima pesanannya di saat seperti ini. Seharusnya dia langsung pulang saja tadi, bukannya malah mampir ke minimarket terlebih dahulu. Ah, tidak. Memang seharusnya sedari awal ia tidak perlu makan malam di kediaman Hardin Madison. Sejak awal ia harusnya tetap keukeuh menolak.Joanna hanya diam di pinggiran minimarket, berdiri seraya mengulurkan tangan untuk menangkap tetesan hujan. Joanna bahkan tidak memedulikan pakaiannya yang basah. Lagipula, ia sudah lebih dulu basah kuyup saat turun dari taksi begitu tiba di minimarket tadi. Sekarang, ia mulai kedinginan.“Aunty Joanna!”Joanna menyipitkan mata, meragukan pendengarannya sendiri yang baru saja mendengar sebuah suara memanggilnya dengan nada ceria. Namun, ternyata Joanna tidak salah. Di depan sana—di pinggir jalan depan minimarket, Joanna melihat sebuah mobil yang tampak asing. Namun, kepala seseorang
“Apa ini?”“Makanan.”“Ya, aku tahu. Tapi, dalam rangka apa kau membeli makanan sebanyak ini?”“Dalam rangka aku sedang senang,” jawab Joanna tanpa menghilangkan senyuman dii wajahnya. Perempuan itu telah menghabiskan banyak uang untuk membeli beberapa cup kopi dan makanan untuk dibagikan kepada staff kantor. Namun, Joanna sama sekali tidak menyesal. Ia sedang senang. Joanna hanya ingin membagi kesenangannya saja.“Dasar aneh.” David mencibir, tak ayal laki-laki itu mencomot kopi dan makanan itu, sisanya dibagikan pada staff yang lain. “Besok lusa Mr. William memiliki jadwal perjalanan bisnis, ke Manila. Seperti biasa, kau harus ikut.”Joanna mengangguk antusias. “Tentu!”Hari ini, Joanna harus mengerjakan pekerjaannya dengan cepat. Ia harus mengurus Lily walau siang ini Bibi May yang menjemput bocah itu ke sekolah. “Apa Mr. William memiliki tamu penting? Aku lihat beberapa orang masuk ke ruangan beliau tadi.”David mengangguk. “Beberapa orang dari BlueChips Interprise.”“Ada
Aiden pikir, Joanna akan berhenti mengejarnya seperti orang gila setelah mengetahui fakta tentang Ruby. Aiden pikir, Joanna akan menyerah dan berhenti membuatnya geram karena tingkahnya. Tapi, ternyata tidak. Joanna tetap melanjutkan usahanya untuk mengobrak-abrik perasaan Aiden, sekali pun sampai detik ini laki-laki itu belum terpengaruh.Awalnya, Aiden berniat untuk meminta orang suruhannya saja yang menjemput Ruby. Namun, ia urungkan. Aiden takut Joanna bertingkah di luar nalar atau mungkin orang suruhannya bisa menakuti Ruby. Enggan membuat putrinya merasa bertanya-tanya, maka dengan berat hati Aiden turun tangan sendiri, pergi ke sebuah gedung apartemen tempat perempuan gila itu menculik putrinya.Aiden menghela napas gusar. Laki-laki itu tahu bahwa Joanna tidak akan menyakiti Ruby. Namun, Aiden lebih takut perempuan itu mencemari pikiran Ruby, menjejalinya dengan pengaruh-pengaruh buruk. Tetapi, ternyata ketakutan itu tidaklah terjadi. Begitu menekan bel unit apartemen dan pin
Suara langkah kaki yang terdengar konstan beradu dengan lantai keramik, berhasil menarik perhatian seorang gadis kecil yang tengah bermain dengan nanny-nya. Sosok sang ayah yang tampak di matanya membuat gadis itu berbinar, langsung meninggalkan bonekanya dan berlari ke arah seorang laki-laki yang baru saja menginjakkan kaki ke mansion yang jarang ia kunjungi. Setelah mendengar teriakan gadis kecil itu yang memanggilnya dengan nada gembira, kedua kakinya dipeluk erat.“Papa pulang!”Seulas senyum yang jarang sekali terlihat di wajah kaku Aiden kali ini muncul, sangat menawan. Laki-laki itu mengangkat Ruby—putrinya ke gendongannya. “Apa yang kau lakukan? Sedang apa sekarang?”“Bermain!”“Oh, ya? Bolehkah papa bergabung?”Aiden belum mendapat jawaban. Ruby justru memeluk erat lehernya, seakan tidak mau lepas. Hal itu membuat Aiden merasa bersalah. Seharusnya ia lebih sering mengunjungi putrinya, tidak terus berkutat dengan pekerjaan. Ruby bahkan merengek untuk ikut menjemputnya di
“Naik apa kau kemari?”Joanna memainkan kuku-kuku indahnya, tampak tidak peduli. “Taksi.”Suara decakan terdengar. Seorang pria paruh baya yang kini tengah menggendong Lily menatap putrinya tak habis pikir. “Kau semiskin itu sekarang? Tidak punya mobil?”“Ya, memang. Salah papa sendiri mengapa meminta aku untuk menjemput papa.”“Dasar anak kurangajar.”“I am. Setidaknya menjadi miskin dan kurangajar membuat papa berhenti merepotkanku. Tapi, tampaknya hari ini aku terpaksa direpotakan sekali lagi.”Jika tidak ingat bahwa Joanna adalah putrinya, mungkin pria paruh baya itu sudah benar-benar melemparnya ke dasar laut. “Kau ini!” Hardin menggeram. Pria paruh baya yang masih tampak gagah di usianya yang menginjak kepala lima itu selalu dibuat mengerang kesal begitu berhadapan dengan Joanna—putri pembangkangnya.“Sekarang dimana hadiahku? Balasan karena aku telah mau repot-repot menjemput papa ke sini,” ujar Joanna, enggan membuang waktu. Sekilas perempuan itu melihat ke arah Lily ya
Kali ini, Joanna menyempatkan diri untuk mengantar Lily ke sekolah. Sebenarnya ada Bibi May, tetapi Joanna memilih untuk mengantar gadis kecil itu sendiri mengingat sekolahnya searah dengan kantornya. “Besok weekend dan aunty libur. Kau mau pergi jalan-jalan, Lily?” Lily tersenyum lebar. “Tentu!” Joanna terkekeh, mengusap pelan puncak kepala Lily. “Baiklah. Besok kita jalan-jalan sepuasnya.” Joanna lalu mengulurkan kotak bekal yang pagi-pagi tadi ia buat. “Ini makan siangmu. Jangan lupa dihabiskan, okay? Di dalamnya juga ada cookies yang aunty buat kemarin.” Lily mengangguk, menerima kotak bekal itu. “Ruby!” Lily yang tidak sengaja melihat Ruby berjalan memasuki gerbang pun langsung memanggil dengan nada cerianya, membuat Ruby yang di sana lantas menoleh dan ikut tersenyum dan menghampiri. “Ah, kebetulan sekali.” Joanna tersenyum cerah, mengulurkan paperbag berisi cookies. “Aunty juga membuatkan cookies untuk Ruby. Kalian bisa memakannya bersama nanti.” Ruby tersen
“Hai, Lily. Kemarilah.”Joanna memutuskan untuk memanfaatkan jeda makan siang untuk menjemput Lily ke sekolahnya, membawanya ke apartemen beserta Bibi May yang akan menyusul. Panggilan Joanna membuat seorang anak perempuan yang tengah berdiri di depan gerbang lantas menoleh. Lalu, senyumnya terpasang lebar.“AUNTY!”“Hey, jangan berlari! Nanti kau jatuh!”Joanna terkekeh kecil ketika Lily tidak mengindahkan ucapannya, terus berlari hingga sampai ke pelukannya. Joanna sudah bersimpuh untuk menyambut anak itu. “Kau sangat merindukanku, ya?”“Sangat! Sangat! Sangat! Mama bilang aunty sangat sibuk sekarang!”“Hm, kau benar. Aku sangat sibuk. Tapi, untuk beberapa hari ke depan kau akan melihatku setiap hari. Apa kau senang?”Lily mengurai pelukannya, lantas mengangguk antusias dan tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya. Ah, anak itu sangat manis. Namun, baru beberapa saat senyumannya memudar. “Kapan mama dan papa akan pulang?”“Tidak akan lama. Jangan sedih. Katanya kau
Joanna tidak lagi bisa bersembunyi atau mencari-cari alasan lagi. Mau tidak mau suka tidak suka pada akhirnya ia harus bertemu dengan Andrew Jefferson—mantan kekasihnya. Seakan tidak pernah terjadi apa pun, seakan tidak pernah saling mengenal, Joanna memasang raut datar, tidak bereaksi lebih selama duduk di meja yang sama dengan Aiden dan Andrew. Perempuan itu menjalankan tugasnya sebagai sekretaris, menyiapkan keperluan berkas dan mengeluarkan suara jika Aiden bertanya. Namun, Joanna tidak bodoh bahwa selama berada di ruang VIP ini, Andrew selalu mencuri pandang ke arahnya beberapa kali. Joanna memilih untuk bersikap tidak peduli dan berharap pertemuan ini akan cepat berakhir. Tetapi, sepertinya tidak bisa secepat itu. Dari yang ia lihat, hubungan antara Andrew dan Aiden tidak hanya sebagai rekan kerja. Sepertinya mereka teman.“Nona Joanna, berikan berkas revisi kontraknya pada Mr. Jefferson.”Dengan tetap bersikap profesional, Joanna menuruti ucapan Aiden, tentunya tanpa menatap
Joanna sedang menjalankan tugasnya sebagai notulen sekarang, mendengarkan jalannya rapat dengan seksama. Di depan sana—tepat di depan layar proyektor, sudah ada presentator yang tengah menyampaikan rancangan ide baru, ini terkait dengan sektor perhotelan yang juga berada di bawah naungan William Company. Salah satu hotel terbesar dengan kemajuan terpesat mereka akan membuka cabang baru di wilayah lain. Sesekali, Joanna mencuri pandang ke arah Aiden yang duduk di kursi paling ujung sebagai pemimpin rapat, tampak memperhatikan layar proyektor dengan wajah seriusnya. Ah, memangnya sejak kapan Aiden si pria kaku itu menanggalkan raut seriusnya? Wajahnya jarang sekali menampakkan ekspresi, tetapi perintah-perintah menyebalkan selalu sukses keluar dari mulutnya. Tapi, sekali pun sedang kesal Joanna tidak bisa mengabaikan kesempurnaan wajah Aiden bahkan dalam kondisi apa pun. Dari tempatnya duduk saat ini—di deretan kursi sebelah kanan—Joanna bisa melihat dengan jelas rahang dan struktur waj