Share

Bab 3 : Permintaan Maaf

“Suruh dia keluar, David.”

Suara berat itu berhasil menambah kesan mencekam di ruangan itu. David yang tengah berdiri di sisi Aiden pun berdehem kecil, melirik ke arah Joanna yang sedari dua puluh menit yang lalu terus berdiri empat langkah di depan meja Aiden, menundukkan kepala dengan kedua kakinya yang gemetar. Keringatnya menetes di tengah ruangan yang dingin dan jantungnya tidak berhenti berdetak kencang. Telapak tangannya juga berkeringat, merematnya kuat di sisi tubuh. Tenggorokannya juga terasa kering. Situasi ini mengingatkan Joanna bertahun-tahun lalu saat ia lupa mengerjakan tugas dari dosen. Tapi, ini versi yang lebih parah. Joanna merasa ingin buang air kecil saking takutnya.

Joanna ingin menertawakan nasibnya sendiri. Siapa dirinya? Cinderella abad ini yang baru beberapa saat lalu salah melempar sepatu kacanya?

“Joanna, kau bisa keluar. Aku akan memanggilmu jika ada hal yang harus kau kerjakan,” ucap David akhirnya ketika Joanna sama sekali tidak mengangkat kepala dan tidak melihat kode matanya.

Joanna menggeleng seperti anak kecil. “Saya belum meminta maaf dengan benar dan Mr. William belum memaafkan saya. Sebelum mendapatkan maaf, saya tidak bisa pergi, Sir. Maafkan saya.” Joanna berusaha keras mengendalikan suaranya yang nyaris gemetar. Demi Tuhan, ia ketakutan. Ia bahkan tidak berani menatap wajah Aiden yang pasti masih tampak bekas luka hasil lemparan heels-nya. Tepat beberapa menit setelah kejadian memalukan itu, Aiden meminta Andrew untuk pergi, lalu Aiden dengan tatapan marahnya langsung masuk begitu saja ke ruangannya tanpa memedulikan Joanna yang menahan malu dan takut. Aiden bahkan hanya mengelap darah yang keluar dari lukanya tanpa membiarkan David mengobatinya. Lalu, selama dua puluh menit ke belakang, mereka sudah membahas pekerjaan, sementara Joanna masih berdiri di tempatnya untuk memohon ampunan sekali pun Aiden benar-benar memberikan aura tidak bersahabat. Pria itu benar-benar menyeramkan.

“Kau tuli? Atau kau mau ku pecat saja?”

“Jangan! Saya mohon jangan pecat saya...”

Kedua mata Joanna sudah berkaca-kaca. Sungguh, ia takut sekali. Perempuan itu bahkan sudah berani mendongak, menatap Aiden penuh permohonan. “Saya akan lakukan apa pun, asal jangan pecat saya, Sir.”

Demi Tuhan, ini masih hari pertamanya bekerja. Joanna tidak mau dipecat.

“Keluar.”

“Tapi—“

“Aku masih berusaha bersabar mengingat kau seorang wanita. Cepat keluar sebelum aku kehilangan kendaliku.” Suara rendah penuh penekanan itu benar-benar terdengar seperti neraka di telinga Joanna. Perempuan itu tidak punya pilihan lain.

“Baik. Permisi, Sir.”

Lalu, Joanna keluar dari ruangan.

***

“Anda tidak mau mengobati luka Anda terlebih dahulu, Sir?”

Ini sudah kesekian kali David menawarkan. Jika sebelumnya Aiden hanya menolak, kali ini pria itu menatapnya tajam. “Pulanglah, David. Soal lukaku itu bukan ranahmu.”

Baiklah, David memilih menutup mulut. David berkali-kali bergidik ngeri saat menghadapi Aiden hari ini, tepatnya setelah insiden sepatu. Auranya lebih mencekam daripada sebelumnya. Total ada tiga pertemuan yang Aiden hadiri hari ini dan ketiganya berjalan dengan suasana yang mengerikan. Tidak ada yang berani menegur sapa. David bahkan meminta Joanna untuk tidak menampakkan diri terlebih dahulu di depan Aiden jika perempuan itu mau aman.

Kini, jam kerja sudah usai. Di luar sana langit telah menggelap, tetapi Aiden tampak tidak berniat beranjak dari kursi kebesarannya. Pria itu masih berkutat dengan laptop, kertas, dan pena. David sebagai asistennya pun tidak punya nyali untuk pulang lebih dulu sekali pun Aiden yang meminta.

“Saya bisa menunggu, Sir.”

“Ku bilang pulang. Jam kerjamu sudah habis.”

“Tapi—“

“Apa kau mau ku beri ancaman yang sama, David?”

Ancaman yang sama seperti yang pria itu berikan pada Joanna. Pemecatan.

David merasa ngeri. Pada akhirnya, pria itu mengangguk. “Baik, Sir. Jika ada yang Anda perlukan, Anda bisa langsung menghubungi saya.”

Aiden tidak menjawab, memilih kembali fokus pada pekerjaannya. Pria itu memperbaiki letak kacamata yang bertengger di hidungnya tak lama setelah David keluar. Di belakangnya terdapat dinding kaca yang menampakkan view kota saat malam, penuh cahaya lampu-lampu dari gedung-gedung pencakar langit. Aiden tidak tertarik. Pria itu memilih untuk segera menyelesaikan pekerjaannya hingga semua itu selesai pada pukul sembilan malam.

“I’m going home now,” ujar Aiden melalui sambungan telepon, langsung mematikannya tanpa mengatakan apa pun lagi.

Aiden tidak tahu sejak kapan langit berubah mendung. Tepat ketika pria itu tiba di basement, hujan tampak mengguyur deras. Aiden langsung masuk ke dalam mobil bernilai ratusan ribu dollar miliknya, mengendarai mobil itu keluar dari basement. Namun, seorang perempuan yang tengah berjongkok tak jauh dari pintu masuk membuat Aiden memberhentikan mobil, melihat ke arah perempuan itu melalui kaca jendela mobil yang mulai diguyur hujan. Walau begitu, Aiden bisa mengenali perempuan itu. Seorang perempuan ceroboh yang membuat harinya sial.

Si sekretaris baru itu—Joanna Stephanie.

Tidak. Aiden tidak turun atau bahkan menawari tumpangan. Pria itu justru kembali tancap gas, menjauh dari sana. Keberadaan Joanna yang sedang meringkuk kedinginan tampak sama sekali tidak mengganggunya. Dengan raut tanpa ekspresi, Aiden pergi begitu saja.

***

“Aku tidak mau kembali ke Canada. Tidakkah papa mendengarku? Aku tidak mau!”

Joanna masih sempat berteriak di tengah derasnya hujan. Memang nasib sial. Ketika ia ingin memesan taksi, hujan yang awalnya hanya gerimis malah turun lebih deras. Tidak ada satu pun taksi yang mau berhenti atau menerima pesanannya. Sekarang, ia terjebak di halte tak jauh dari gedung utama William Company. Pakaiannya basah, rambutnya juga lepek. Intinya, penampilannya berantakan, tidak serapih ketika tiba pagi tadi. Lupakan saja. Setidaknya, penampilannya sama berantakan dengan nasibnya hari ini. Benar-benar sial.

Di tengah suasana hatinya yang sudah buruk itu, Joanna mati-matian menahan kekesalan ketika suara papanya kembali terdengar melalui sambungan telepon.

“Apa papa memberimu pilihan?”

“Tapi, papa tidak bisa memaksaku! Aku tidak akan mau kembali sekeras apa pun papa membujukku untuk pergi!” Joanna tetap bersikeras. Persetan, ia tidak akan mengalah kali ini. Joanna suka di sini. Canada dan segala tekanan dari papanya sudah lebih dari cukup untuk membuatnya depresi. Joanna ingin bebas dari papanya yang otoriter.

“Oh, ya? Kalau begitu kau mau pilihan, ‘kan? Kalau begitu baik. Papa memberimu dua pilihan. Kembali ke Canada dan menikah dengan pria yang sudah papa tetapkan, atau tetap di sana dan dapatkan calon suami yang berada jauh di atas pria itu.”

Joanna sukses tercengang.

“Pilihan macam apa itu?! Papa benar-benar ingin menjodohkanku?! Wtf?!”

“Jaga bicaramu dan jangan terlalu dini untuk melayangkan protes. Karena waktumu hanya satu bulan. Lebih dari itu, papa akan menyeretmu sampai ke Canada bahkan ke atas altar. Kau tahu jika kau membutuhkan pria kaya untuk bertahan hidup, ‘kan? Hidupmu akan terjamin jika kau mengikuti ucapan papa. Pertimbangkan sebelum waktumu benar-benar habis, Joanna.”

Joanna belum sempat membuka mulutnya untuk melayangkan protes kedua ketika sambungan telepon tiba-tiba saja terputus. Bagus, bahkan pria otoriter itu telah mematikan telepon tanpa mendengarkannya dulu. Sekarang kesialan apalagi yang perlu Joanna ratapi? Apa ia perlu menangis berguling-guling di bawah derasnya hujan sekarang?

“ARGH, SIAL! MENYEBALKAN!”

“PAPA DAN SI BAJINGAN ANDREW, SEMUANYA MENYEBALKAN!”

“AKU BENCI KALIAN!”

Joanna berteriak layaknya orang gila, mengeluarkan semua emosi.

Calon suami.

Sekarang Joanna harus mencari calon suami agar papanya tidak menyeretnya ke sana. Namun, dengan syarat seperti itu, bagaimana Joanna bisa melakukannya?! Apa di abad ini ada pangeran yang bisa ia nikahi?!

Persetan dengan pangeran. Ini bukan waktunya untuk bermain-main. Joanna menjambak rambutnya sendiri. Segala pemikiran rumit muncul di kepala Joanna saat ini, membuat kepalanya nyaris pecah. Baru kali ini dalam hidup perempuan itu kehilangan akal yang sebelumnya tidak pernah habis. Sekarang, apa yang harus ia lakukan?

***

“Mr. Anderson, berapa lama lagi aku harus menganggur seperti ini? Apa benar-benar tidak ada pekerjaan untukku?”

Pukul delapan pagi.

Sudah dari pukul delapan pagi Joanna datang ke kantor, memastikan ia tidak terlambat lagi dan memicu masalah baru. Namun, hingga waktu menunjukkan pukul sebelas pun, ia belum melakukan apa-apa. Tidak ada kesibukan apa pun, pekerjaan yang harus ia selesaikan pun tidak ada. David yang sedari pagi memang sudah kewalahan mencari alasan pun mulai menampilkan ringisan kecil.

“Maaf, Joanna. Bukannya aku tidak mau memberikan pekerjaan, tetapi Mr. William tidak ingin melihatmu hari ini. Beliau bahkan tidak ingin kau datang, tetapi aku lupa memberitahumu dan kau datang lebih awal dari jam kerja.”

Joanna tercengang. Posisinya yang semula menopang dagu di atas meja pun mulai menegakkan tubuh. “Jadi, Anda berbohong? Jadi, karena Mr. William tidak mau melihat saya, Anda tidak memberi saya pekerjaan sedari pagi dan bahkan meminta saya tetap berada di ruangan ini?” Perempuan itu mengerjap tidak percaya, apalagi ketika David mengangguk, membenarkan perkataannya.

“Benar. Jadi, lebih baik kau tidak keluar dari ruangan ini, setidaknya untuk hari ini.”

Joanna menganga. “Tapi, kenapa? Apa karena kejadian kemarin?”

“Mungkin.”

Kalau iya, Joanna tidak bisa berkutik. Padahal, hari ini ia berniat untuk kembali meminta maaf dan bertanggung jawab atas tindakannya walau itu tidak sengaja. Tapi, Aiden malah memintanya untuk tidak memunculkan wajah, bahkan sampai membuat David harus membuatnya diam di dalam ruangan yang terletak satu lantai di bawah ruangan Aiden dan di samping ruangan David. Joanna bahkan sampai harus nekat keluar dan menghampiri David di ruangannya untuk bertanya secara langsung.

“Tapi, saya harus meminta maaf. Jika begini, bagaimana saya bisa meminta maaf?”

Joanna memelas.

“Tidak perlu. Mr. William juga tidak akan membutuhkan permintaan maafmu. Anggap saja ini sebagai pelajaran bagimu untuk lebih berhati-hati dan tidak membuat masalah lagi. Itu pun jika kau masih bekerja di sini.”

Joanna mengernyit. “Apa maksud Anda? Saya dipecat?”

David mengedikkan bahu, beranjak berdiri sembari merapikan lembaran kertas yang hendak ia bawa ke hadapan Aiden. “Jangan bertanya padaku karena aku sendiri pun tidak tahu. Keputusan ada di tangan Mr. William. Jadi, lebih baik kau banyak berdoa untuk nasibmu.”

Saking terkejutnya, Joanna hanya bisa diam ketika David berlalu melewatinya, keluar dari ruangan.

Tidak. Tidak boleh seperti ini. Joanna harus melakukan sesuatu.

“Apa pun?”

Nyatanya, Joanna benar-benar nekat.

Perempuan itu nekat keluar dari ruangan dan masuk ke dalam kandang harimau. Sekaranng, ia berdiri tegang tepat di hadapan Aiden Cairo William—pria yang saat ini tengah menghunusnya dengan tatapan tajam, seakan ingin membunuh. Joanna hanya bisa menunduk sekali pun ia tidak main-main dengan ucapannya beberapa saat lalu—bahwa ia sanggup melakukan apa pun untuk mendapatkan maaf dari Aiden. Ia patut bersyukur ketika pria itu tidak mengusirnya lagi atau membentaknya. Atasannya itu cenderung tenang walau kedua matanya selalu menatap tajam.

“Benar, apapun. Asal jangan pecat saya, Sir.” Karena Joanna membutuhkan pekerjaan ini untuk keberlangsungan hidupnya. Ia sudah jatuh miskin sekarang. Untuk tetap bisa hidup, ia perlu bekerja. Apalagi, ini masih hari kedua. Joanna tidak bisa membiarkan kecerobohannya kemarin membuatnya kehilangan pekerjaan.

“Hidupku ada di tanganmu, Mr. William. Jangan pecat aku ... setidaknya sampai aku menemukan solusi dari pilihan menjebak yang papa berikan.”

Joanna memejamkan mata, memohon dalam hati.

“Alright.”

Joanna membuka matanya, mengembangkan senyum tanpa sadar ketika mendengar itu. Perempuan itu bahkan berani untuk mulai mendongak sejak memasuki ruangan ini, membuatnya dapat melihat plester luka di pelipis Aiden, terlihat lebih menyeramkan ketika dipadukan dengan wajah tegas dan tatapan bak elang. Aih, apa lukanya separah itu?

“Hal pertama yang harus kau lakukan adalah menjauh dari hadapanku. Hal lain akan kau lakukan mulai besok. Jadi, bersiaplah.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status