Share

Bab 2 : Sebuah Kecelakaan Kecil

“Oh, Astaga! Sial!”

Berbagai umpatan keluar dari bibir manis Joanna, terburu-buru mengenakan heels tujuh senti yang tadi ia pilih secara asal. Persetan. Ia sudah tidak ada waktu lagi. Berlari keluar dari apartemen dan memesan taksi secepat mungkin, memilih merias diri di dalam mobil. Kakinya mulai terasa sakit dan nyeri. Berlari dengan mengenakan heels memang ide yang buruk.

“Pak, lebih cepat, ya.”

Bodoh. Joanna bodoh. Perempuan itu hanya bisa berdoa agar dirinya tidak dipecat di hari pertama bekerja. Salahnya sendiri karena menonton film berjam-jam semalam hingga ia tidur larut. Suara alarm yang nyaring bahkan tidak kuasa membangunkannya. Joanna tidak berhenti merutuki dirinya sendiri. Mood-nya juga buruk karena ia tidak menata rambut panjang nan indahnya dengan benar. Double sial.

Setelah memberi supir taksi tip, Joanna langsung keluar dengan terburu-buru.

William Company Building, at the lobby.

Joanna tidak punya waktu untuk sekadar mengagumi gedung pencakar langit yang menjulang di depannya dan segera masuk dengan napas terengah-engah, menggunakan kartu aksesnya untuk bisa menuju lantai teratas sesuai arahan. Joanna sempat melirik ke arah jam tangannya, masih tersisa lima menit.

“Joanna Stephanie, right?”

Joanna masih berusaha mengatur napas ketika seorang pria jangkung berpakaian formal ia temui tak jauh dari lift. Dengan wajah bingung, Joanna mengangguk. “Betul, saya sendiri.”

“Saya David Anderson, orang yang akan membimbingmu hari ini.”

Joanna meringis kecil, sekali lagi merasa bodoh. “Ah, iya, maafkan saya, Sir. Hari ini saya sedikit terlambat. Saya benar-benar minta maaf. Tidak akan saya ulangi hal ceroboh ini di kemudian hari,” ucapnya dengan jantung yang berpacu cepat, apalagi ketika melihat pria bernama David itu memerhatikannya dari atas sampai bawah. Apakah ada yang salah?

“Tidak. Kau tepat waktu. Tapi, mungkin lain kali kau bisa datang sedikit lebih awal, apalagi ini hari pertamamu.”

Joanna menelan ludah. “Sekali lagi saya minta maaf.”

“Permintaan maaf diterima. Sekarang bisa kita mulai bekerja, Joanna?”

Melewati proses pemberkasan dan interview yang rumit demi bisa masuk ke dalam perusahaan sebesar ini tentunya tidak akan Joanna sia-siakan begitu saja. Kecerobohannya hari ini tidak akan terulang lagi. Susah payah Joanna melamar pekerjaan dan mendapat posisi ini. Perempuan itu tidak rela jika ia harus dipecat di hari pertamanya bekerja.

“Tentu. Saya sangat mengharapkan bimbingan Anda, Sir.”

“Okay, pertama kau harus tahu tugasmu dulu. Masa percobaanmu adalah satu bulan. Setiap hari kau harus menyusun jadwal Mr. William, mengaturnya ulang jika beliau meminta demikian. Setiap rapat, catat bagian penting. Kau juga bisa bertanya pada notulen yang hadir. Beberapa kali Mr. William harus pergi ke luar kota bahkan ke luar negeri, kau harus siap untuk ikut jika memang diperlukan, begitu juga saat sedang pemantauan proyek. Adakalanya Mr. William harus menghadiri acara perusahaan dan kau juga harus ikut mendampingi jika beliau meminta. Soal jam kerja, kau juga harus disiplin. Pulang jika memang sudah waktunya pulang dan datang tanpa terlambat. Satu hal yang harus kau ingat, Mr. William tidak suka jika kau terlalu banyak bicara dan tidak fokus pada pekerjaanmu. Beliau juga tidak suka keterlambatan atau seseorang yang tidak cekatan. Tapi, tenang saja. Kau tidak akan kerepotan jika kau melakukan pekerjaanmu sesuai jobdesk dengan benar. Sekali lagi, jangan sesekali terlambat. Mr. William tidak akan menoleransi keterlambatanmu.”

Joanna mencatat semua perkataan David di otaknya, berusaha mengingat semuanya tanpa ada satu pun yang ia lewatkan. Baik, ternyata cukup banyak yang harus ia perhatikan dengan posisi sebagai seorang sekretaris dari presiden direktur perusahaan ini. Joanna masih bisa tersenyum, mengingat gaji yang ia dapatkan sangat besar. Itu sepadan.

“Baik, apakah ada lagi yang perlu saya perhatikan, Sir?”

David tampak berpikir sejenak, lalu menggeleng. “Untuk saat ini hanya itu. Jika ada tambahan, aku akan segera memberitahumu.”

Joanna tersenyum formal. “Baik, bisa dimengerti.”

“Kau bisa mulai bekerja sekarang. Sepuluh menit lagi ada rapat dengan dewan direksi. Temui Mr. William terlebih dahulu. Ruangannya di sebelah utara. Itu adalah adalah satu-satunya ruangan di lantai ini. Kau pasti bisa menemukannya dengan mudah. Sementara tempatmu bekerja ada tepat di depannya.”

Joanna patuh. Setelah David pergi, perempuan itu bergegas untuk pergi ke arah yang David tunjukkan. Joanna lebih dulu mengatur napas, merapikan penampilannya dan memastikan kemeja maupun rok selututnya tidak kusut. Seperti kata David, dengan mudah Joanna bisa menemukan ruangan yang dimaksud. Sebelum masuk melewati pintu, Joanna memastikan senyum formalnya terpasang. Perempuan itu mengetuk pintu beberapa kali, hingga suara bariton terdengar dari dalam sana, memintanya untuk masuk.

“Permisi, selamat pagi, Sir. Perkenalkan saya—“

Bungkam. Joanna gagal meneruskan kalimatnya.

Oh, God.

Dimana ia berada sekarang? Surga? Kenapa bisa ada malaikat berwajah setampan itu?

Joanna membeku, terdiam tanpa sadar. Sementara matanya menatap lurus ke arah seorang pria yang tengah duduk di kursi kebesarannya. Pahatan wajah dan tubuh yang sempurna, bahkan mata tajamnya dengan manik biru terang yang memesona ketika bersitatap dengan netranya. Joanna tidak tahu kata apa yang bisa mendeskripsikan pria itu selain kata luar biasa yang bahkan sulit keluar dari mulutnya. Lidahnya terlalu kelu. Joanna nyaris menganga tanpa berkedip.

“Joanna Stephanie?”

Err, suara berat itu seperti sedang menggodanya, memanggil namanya dengan cara yang dapat menggetarkan jiwa. Tapi, untung saja kewarasan Joanna masih terisa walau sedikit terkikis. Perempuan itu langsung mengerjap, tersadar dari keterpakuannya. Joanna gelagapan ketika pria itu menatapnya tajam dengan satu alis naik.

Jadi, pria memesona itu sekarang adalah atasannya?

Wah, setelah ini hidupnya pasti akan sangat menenangkan.

“A-ah, iya. Perkenalkan, saya Joanna Stephanie. Mulai hari ini, saya adalah sekretaris Anda. Senang bisa bekerja di sini, Sir.” Joanna mengembalikan sikap formalnya, berusaha menunduk dengan senyum tertahan. Kacau sekali. Jika ia mendongak dan menatap wajah itu, Joanna pikir ia bisa tercengang untuk yang kedua kalinya.

Tahan dirimu, Joanna. Pria tampan memang langka. Tapi, tidak perlu bersikap norak.

“Persiapkan dirimu untuk menghadiri rapat.”

Hanya sebuah kalimat singkat tanpa ekspresi. Pria itu bangkit berdiri dari kursi kebesarannya, membenarkan posisi jas-nya, lalu berjalan melewati Joanna begitu saja untuk menuju pintu. Wah, bahkan harumnya yang tertinggal saja sangat menggoda. Ketika pria itu sudah keluar, Joanna memukul kepalanya sendiri, merasa sudah gila.

Joanna hendak keluar mengikuti pria itu yang pasti akan menuju ruang rapat, tetapi matanya lebih dulu beralih ke arah papan nama yang ada di atas meja.

Aiden Cairo William as a President Director of William Group.

Ah, jadi Aiden.

Tampan, seperti namanya.

***

Layar proyektor menampilkan isi materi presentasi yang sedang menjadi titik fokus Joanna saat ini. Sekali pun rasanya tidak tahan untuk tidak melihat ke arah Aiden Cairo yang sama fokusnya, Joanna tetap berusaha untuk profesional. Pria matang dengan tatapan tajamnya yang menatap lurus ke arah layar itu benar-benar membuat keimanan Joanna goyah.

“Rapat selesai sampai di sini.”

Uh, suara bariton itu.

Cukup Joanna! Sepertinya kau sudah gila!

Perempuan itu berdehem kecil, dengan cepat bangkit berdiri ketika Aiden juga bangkit dari kursinya. Bersama David yang sepanjang rapat selalu membimbingnya, mereka berjalan di belakang Aiden. Aura kekuasaan menguar melingkupi laki-laki itu, sama sekali tidak terbantahkan. Apalagi ketika semua staff yang mereka lewati langsung menundukkan kepala begitu seorang Aiden Cairo tampak di depan mata mereka.

Joanna berdehem kecil, menoleh ke arah David untuk bertanya sesuatu. Namun, mulutnya belum sempat bersuara ketika matanya menangkap seseorang pria yang baru saja keluar dari lift, membuatnya membelalak lebar.

Damn. Kenapa pria itu bisa ada di sini?!

“Ada apa, Joanna? Kau—“

David belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika tiba-tiba saja Joanna pergi dengan langkah terburu-buru diiringi suara heels-nya terdengar beradu dengan lantai keramik. David mengernyit bingung. Ada apa dengan sekretaris baru itu? Setelah ini masih ada pekerjaan yang harus Joanna kerjakan, tetapi perempuan itu malah pergi tiba-tiba.

“Selamat siang, Mr. William.”

“Oh, rupanya kau sudah di sini?”

Pikiran David terputus ketika perbincangan antara Aiden dan seorang pria terdengar.

“Tentu saja aku akan datang lebih awal jika Anda sendiri yang mengundangku.” Mereka berjabat tangan. Aiden dengan raut datarnya menepuk pundak pria itu pelan. “Bicara santai saja denganku, Andrew. Tidak perlu terlalu kaku.”

Andrew Jefferson, pria berlesung pipit itu terkekeh kecil. “Tentu.”

“Kalau begitu ayo ke ruanganku. Kita bahas apa yang sebelumnya hendak kita bahas.”

***

Sial. Sial. Sial!

Joanna bahkan tidak bisa lagi menghitung berapa kali kesialan yang datang padanya hari ini. Sebenarnya ini hari apa? Kenapa takdirnya hari ini buruk sekali?! Bukannya bekerja dengan tenang dan nyaman, baru saja Joanna malah mendapati mantan kekasihnya di kantor ini. Bukankah itu gila?! Demi Tuhan, Joanna bahkan berharap untuk tidak melihat wajahnya lagi. Tetapi sepertinya dunia memang suka sekali bercanda dengannya.

Sudah berapa menit ia berdiam diri dibalik bilik toilet? Sepertinya lumayan lama. Karena yang sedari tadi Joanna lakukan hanya bercermin sembari terus merutuk dan mengumpat, bahkan mencuci tangannya berkali-kali.

Baik, Joanna. Tenangkan dirimu.

Entah apa yang bajingan lakukan itu di sini, Joanna yakin dia pasti sudah pergi.

Ini waktunya ia kembali bekerja. Ingat, ini masih hari pertamanya. Joanna tidak boleh bertindak ceroboh dan tidak disiplin seperti ini. Sekarang waktunya kembali. Ia tahu masih ada banyak hal yang harus ia pelajari dan ia kerjakan. Bagaimana kalau sekarang David sedang menunggu? Atau mungkin Aiden si bos tampan itu marah karena ia tidak ada di tempat? Uh, memikirkannya saja membuat Joanna was-was.

Perempuan itu merapikan penampilannya, memastikan pakaiannya masih rapi dan tidak ada yang salah dengan wajah cantiknya. Setelah menormalkan ekspresi, Joanna keluar dari toilet, berjalan menuju lift untuk naik ke lantai teratas—tempat dimana ia bekerja.

Joanna memasang senyum. Ini yang ia impikan, bekerja di sebuah kantor besar. Betapa beruntungnya dia di saat banyak orang di luar sana juga menginginkan posisi ini. Sayang sekali, Joanna-lah yang mendapatkannya.

“Joanna!”

Begitu keluar dari lift dan berjalan menuju tempatnya, David muncul. Tentu Joanna langsung bergegas menghampiri pria itu yang kini terlihat gelisah.

“Tolong bawa ini ke dalam ruangan, ya. Aku sedang terburu-buru,” David menyerahkan sebuah berkas padanya. Sebelum Joanna sempat bersuara, ia lebih dulu pergi buru-buru, entah kemana perginya.

Joanna tahu bahwa berkas yang ada di tangannya ini mungkin berkas yang sangat penting. Untuk itu, sesuai permintaan David perempuan itu berniat langsung memberikannya pada Aiden. Suara heels-nya kembali terdengar, melangkah menuju pintu. Sesuai etika yang baik, Joanna lebih dulu mengetuk pintu beberapa kali sampai kemudian suara bariton Aiden terdengar dari dalam sana dan memintanya masuk.

Joanna membuka pintu itu.

“Permisi, Sir. Ada berkas untuk—“

Oh, motherfucker! Apalagi ini?!

Joanna pikir ia berhasil kabur dari kandang buaya, tetapi sekarang ia sendiri yang malah mendatangi buaya itu! Joanna langsung bisa melihat wajah Andrew Jefferson begitu pria itu menoleh ke arah pintu, sama terkejutnya dengan dirinya.

“Jo? Kau di sini?”

Tanpa sadar, Joanna mundur selangkah ketika Andrew berdiri dari duduknya, menghampiri Joanna. Perempuan itu langsung memasang tatapan tajam dan memeringatkan, memasang temboknya tinggi-tinggi. Seolah tahu Joanna melarangnya mendekat, Andrew berhenti saat jarak mereka tersisa dua langkah.

Joanna berusaha mengendalikan diri, mengembuskan napas pelan sebelum kemudian berjalan anggun dan tenang ke arah Aiden yang sedari tadi hanya diam memerhatikan. Pria itu tidak menampakkan reaksi atau ekspresi apa pun. Rautnya tetap datar, seolah tidak tertarik dengan apa yang terjadi di sekitarnya.

“Mr. Anderson meminta saya untuk mengantarkan berkas ini,” ujar Joanna dengan sikap profesionalnya, meletakkan berkas itu ke atas meja. Aiden tampak tidak bereaksi, sementara Joanna menunduk hormat. “Kalau begitu saya permisi, Sir.”

Joanna berbalik badan, melangkah untuk keluar dari ruangan. Namun, sialnya tiba-tiba si bajingan Andrew menahan lengannya, mau tidak mau membuat pergerakannya terhenti. “Tunggu dulu, kita perlu bicara.”

Ugh, si bajingan ini! Joanna benar-benar muak. Perempuan itu berusaha keras melepaskan lengannya, menatap pria itu dengan tatapan kebencian. Namun, sayangnya cekalan Andrew lebih kuat dari tenaganya. Usahanya berakhir sia-sia.

“Lepaskan aku.”

“Kumohon, sekali saja.”

Astaga, apa dia tidak tahu tempat?! Di sini ada atasannya demi Tuhan! Walau Aiden hanya diam, tentu saja Joanna tetap malu!

Tidak punya pilihan lain daripada membuat keributan, Joanna pun menarik tangan Aiden untuk keluar dari ruangan. Setidaknya atasannya tidak melihat drama memuakkan ini. Joanna sudah cukup malu.

“Kau gila? Dimana akalmu? Apa otakmu masih tertinggal di apartemen selingkuhan sialanmu itu?” ujar Joanna langsung dengan sarkas, tentu dengan memberi jarak antara mereka sebesar dua langkah. Namun, Andrew tampak tidak peduli dengan sindiran Joanna itu. Terlihat tersinggung pun tidak.

“Kau salah paham, Jo. Itu semua tidak seperti yang kau lihat.”

“Oh, ya? Memangnya apa yang ku lihat? Ah, saat kau berciuman dengan jalang itu maksudmu?”

“Joanna...”

“Apa? Kau mau marah? Asal kau tahu saja, aku sudah tidak peduli denganmu atau dengan kalian. Persetan jika kau mau berhubungan sejauh apa dengan dia. Kita tidak punya urusan lagi dan aku juga sama sekali tidak mau melihat wajahmu itu. Mengerti? Harus berapa kali ku ulangi lagi?” Mulut Joanna sudah tidak bisa terkontrol. Perempuan itu sudah terlanjur terbawa emosi. Tatapannya nyalang mengarah kepada Andrew—seorang pria yang dulu pernah ia cintai. Tapi, sekarang pria itu tidak lebih dari seorang bajingan sialan.

“Tidak. Kau memutuskan hubungan kita secara sepihak. Aku tidak mau berpisah darimu. Soal Valerie, aku akui bahwa aku salah. Aku hanya melakukan itu sekali dan aku tidak berpikir jernih. Jadi, ku mohon beri aku kesempatan sekali lagi.”

Joanna terkekeh. “Ah, jadi ini penjelasan yang kau maksud? Sangat tidak berguna.”

“Ayolah, Jo. Aku tahu kau masih mencintaiku. Aku hanya berciuman dengannya sekali. Tidak bisakah kau memaafkanku saja? Lagipula, Valerie itu temanmu. Kau tahu bahwa mungkin dia sama sekali tidak bermaksud melukaimu.”

Berengsek.

Benar-benar berengsek.

Joanna benar-benar tidak bisa mengontrol dirinya lagi. Hatinya benar-benar panas seperti mau mendidih. Dengan impulsif, Joanna melepaskan satu high heels-nya, mengayunkan dan melempar benda itu ke arah Andrew.

Sayang sekali, lemparannya meleset.

Bukannya mengenai wajah sok tampan Andrew, sepatunya malah mengenai wajah Aiden yang baru saja membuka pintu ruangan. Joanna terkejut sampai menutup mulutnya sendiri, melihat bagaimana darah mengalir dari pelipis Aiden yang terkena lemparan sepatunya. Selanjutnya, tatapan setajam elang pria itu mengarah ke arahnya, seolah hendak membunuhnya detik ini juga.

Oh, Tuhan. Kesialan apalagi ini?

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status