Aiden memang harus melewati satu-satunya jalan yang ada di tepi hutan untuk bisa keluar dari area proyek dan memenuhu urusannya. Namun, siapa sangka jika sekarang ia malah menemukan sesuatu yang tidak diduga.
Joanna. Sekretaris ceroboh dan menyebalkannya itu ada di depan matanya. Tidak, bukan itu yang membuat Aiden nyaris melompat keluar dari mobil begitu melihatnya, melainkan karena beberapa orang bersenjata yang ada di sekeliling perempuan itu. Tidak perlu penasaran mengapa Aiden tidak melangsungkan niatnya untuk keluar dari mobil—malah diam di dalam dengan jarak beberapa meter, mengamati keadaan di depannya. Sepertinya justru para begal itu yang tengah membutuhkan bantuan. Aiden menajamkan mata, yakin betul bahwa yang tengah bertarung di depan sana benar-benar Joanna. Perempuan itu dengan tangan kosong berhasil menumbangkan tiga dari lima orang begal. Ah, tidak. Sekarang perempuan itu bahkan mencuri senjata mereka sebagai alat perlindungannya. Tidak ada yang menyangka bahwa Joanna bisa bertarung. Mungkin, Aiden memang sinting. Alih-alih keluar dan membantu, laki-laki itu malah menjadikan hal ini sebagai tontonan. Kedua tangannya masih memegang stir, sementara tanpa sadar sudut bibirnya naik membentuk senyuman tipis. Dalam beberapa saat, Aiden sudah berhasil menetralkan keterkejutannya. “Ah, sial! Kalian membuat lengan mulusku tergores!” Beralih pada Joanna, perempuan itu berdecak kesal ketika belati dari orang yang baru saja ia tumbangkan berhasil menggores sedikit lengannya. Walau sedikit, Joanna tidak terima. Darah tetap keluar dari lengan mulusnya. Itu pasti akan berbekas walau bisa hilang dengan beberapa kali perawatan. “Baik, tersisa dirimu. Majulah. Aku tidak sabar ingin merobek mulutmu yang beraninya melecehkanku tadi!” Empat orang sudah tergeletak tak berdaya berkat tendangan, pukulan, dan sabetan senjata yang sengaja tidak Joanna layangkan ke organ vital. Ia hanya ingin melumpuhkan dan membela diri, bukan membunuh. Sekarang, hanya tersisa satu pria kekar dengan tato yang memenuhi lengannya. Pria itu menyembunyikan kegusarannya di balik wajah garang yang ia tunjukkan. Bagaimana tidak? Wanita secantik Joanna berhasil menumbangkan teman-temannya dengan mudah selama beberapa menit pertarungan yang sengit. Sementara itu, Joanna melayangkan tatapan tajam. Perempuan itu ingat betul beberapa pelecehan verbal yang pria tua dan jelek itu layangkan sebelum akhirnya menyerangnya. Sayangnya, pria jelek itu telah memilih lawan yang salah. Kasihan sekali. Joanna mengeratkan belati yang ia genggam ketika pria tua dengan senjata yang sama mulai maju untuk menyerang. Namun, sesuatu terjadi begitu cepat. Joanna sedikit tersentak ketika tiba-tiba saja pria itu tersungkur di depannya dengan posisi kepala di bawah kakinya. Lalu, di belakang pria itu muncul seorang laki-laki yang tentu saja sangat Joanna kenali. Laki-laki itu pelakunya, membuat si pria pingsan hanya dengan satu pukulan. Joanna tercengang, menjatuhkan rahang ketika melihat laki-laki yang tengah merapikan kerah kemejanya, menatapnya datar. “Sudah selesai? Ayo kembali. Kau merepotkan semua orang yang berusaha keras mencarimu.” Aiden menatap satu persatu pria yang sudah tergeletak di atas aspal, melihat keadaan mereka yang jauh dari kata baik-baik saja. Hal itu sudah menunjukkan betapa besarnya tenaga Joanna. Sebenarnya, perempuan spesies apa dia? Aiden menyembunyikan rasa penasarannya di balik raut datar yang selalu ia tampilkan. “Sejak kapan Anda di sini?!” tanya Joanna setelah keluar dari keterkejutannya. Aiden melirik jam yang melingkar di pergelangannya. “Kurang lebih lima belas menit.” Ucapan santai laki-laki itu kembali membuat Joanna tercengang. “Sudah lima belas menit dan Anda hanya menonton tanpa membantu saya?!” Aiden mengangkat satu alisnya. “Yang kulihat kau tidak membutuhkan bantuan.” Joanna menggertakkan gigi. Kekesalannya memuncak ketika mengetahui fakta bahwa sedari tadi Aiden hanya diam tanpa membantunya, bahkan setelah ia kelelahan dan lengannya tergores, berikut penampilannya yang sudah sangat kacau seperti gelandangan. Dasar laki-laki sinting! Joanna melempar belati di tangannya begitu saja. “Ayo pergi.” Aiden berbalik badan, melangkah menuju mobilnya. Smeentara di belakangnya, Joanna menghentak-hentakkan kakinya di atas aspal, mencebik kesal. Tak lupa perempuan itu memberi gestur seakan ingin meremat Aiden menjadi buntalan kecil. Untuk saat ini, Joanna tidak peduli jika laki-laki itu adalah atasannya. Persetan! Ia sangat kesal sekarang. “Kau mau tetap diam di sana?” Mau tidak mau, Joanna melangkah cepat menuju mobil. Sebelum atasannya itu benar-benar meninggalkannya di tempat ini. *** “Bukankah kita akan kembali ke penginapan? Tapi, dimana ini?” Joanna mengerutkan dahi ketika melihat ke arah luar jendela, mendapati sebuah minimarket di sini. Mereka berkendara kurang lebih setengah jam dan Joanna kira mereka sudah keluar dari area tempat pembangunan proyek karena tempat ini jauh lebih ramai banyak penerangan. Tapi, dimana mereka sekarang? Bukannya menjawab, Aiden melirik sejenak ke arah luka gores di lengan Joanna yang masih mengeluarkan darah. “Tunggu di sini.” Joanna belum sempat membuka mulut lagi ketika Aiden malah keluar dari mobil dan berjalan menuju minimarket. Joanna hanya mendengus sebal, melirik cermin yang ada di dalam mobil. Perempuan itu menatap nanar pantulan wajahnya sekarang. Sangat buruk. Wajah cantiknya dipenuhi noda tanah. Rambutnya lepek dan keringat yang kering membasahi tubuh. Pakaiannya juga basah karena tadi sempat hujan gerimis. Penampilannya benar-benar menjijikkan. Sebenarnya sedikit malu tampil di depan Aiden dengan penampilan seperti ini. Namun, untuk saat ini Joanna tidak peduli. Lagipula ia masih kesal pada laki-laki itu. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, Aiden keluar dari minimarket dengan membawa paperbag yang entah apa isinya. Laki-laki itu kembali masuk ke dalam mobil, mengulurkan paperbag itu ke arah Joanna. “Pinjam toilet minimarket dan ganti bajumu dengan ini. Di dalamnya ada obat dan kain kasa. Balut lukamu dengan itu.” Joanna mengernyit, tak ayal menerima pemberian Aiden. “Waktumu hanya lima belas menit.” Joanna mendengus, lalu keluar dari mobil. “Dimana rasa terimakasihmu? Apa begini caramu bersikap dengan atasanmu?” sindir Aiden sebelum Joanna menutup pintu mobil. Perempuan itu tampak mengambil napas dalam-dalam, membuangnya perlahan. Lalu, ia berusaha menampilkan senyuman paksa. “Terimakasih, Sir. Anda sangat baik dan perhatian pada saya.” Setelah mengatakan itu, Joanna menutup pintu, lalu berjalan cepat menuju minimarket. Sementara Aiden tidak bereaksi lebih, hanya tersenyum tipis, sangat tipis hingga nyaris tidak terlihat. Aiden tidak tahu apa yang ia lakukan. Sekali pun selama ini ia bukan orang yang penuh belas kasihan, tetapi melihat Joanna dengan wajah pucat, pakaian basah, dan luka di lengannya membuat Aiden merasa tidak bisa membiarkannya begitu saja. Membawa Joanna kembali ke penginapan dengan keadaan seperti itu hanya akan menghebohkan orang-orang. Sejauh ini, ia sudah memberi kabar pada David dan meminta para begal itu untuk diringkus. *** Sekali lagi, Joanna kira mereka akan kembali ke penginapan. Namun, melihat Aiden yang memberhentikan mobilnya di tempat yang lagi-lagi tidak ia ketahui kembali membuat Joanna bertanya-tanya. Kali ini, ia melihat sebuah bangunan terurus di depan sana dengan penerangan yang bagus. Hanya bangunan biasa dua lantai, bukan bangunan terbengkalai. “Kau tunggu di sini, jangan kemana-mana dan jangan menyusahkan.” “Tapi, Anda mau kemana? Menuju bangunan itu? Untuk apa?” Joanna tidak lagi bisa menahan rasa penasarannya. “Bukan urusanmu.” Jika saja ini bukan keadaan terdesak, Aiden tidak akan turut serta membawa Joanna untuk memenuhi urusannya. Tidak memungkinkan baginya untuk bolak-balik dari penginapan ke sini lagi, jadi mau tidak mau Aiden membawa Joanna ikut. Joanna hanya mencebik ketika kemudian Aiden keluar. Seharusnya malam ini ia sudah ada di perjalanan pulang. Tetapi karena kesialannya, kepulangannya pasti ditunda. Joanna kembali merutuki diri. Seharusnya ia menghapal jalan dengan lebih baik lagi. Merasa sedikit pusing, Joanna memutuskan keluar dari mobil untuk menghirup udara segar. Perempuan itu mengamati sekitar, melihat bangunan yang di depannya terdapat rerumputan, pohon-pohon rindang, dan suara jangkrik yang bersahut-sahutan. Lingkungannya tampak asri. Karena sedikit remang-remang, Joanna kurang memperhatikan satu hal. Perempuan itu menyipitkan mata, melihat ayunan dan perosotan yang ada di halaman berumput. Lalu, matanya beralih ke arah papan nama yang baru ia sadari. Panti asuhan. Tempat ini adalah sebuah panti asuhan. Joanna mengernyit bingung. Untuk apa Aiden kemari? “Hey.” Joanna memanggil seseorang yang ia ketahui tengah mengintip dari jendela. “Ada seseorang di sana? Kau mau keluar?” Joanna memanggil lagi. *** Aiden menyelesaikan urusannya dengan cepat. Belum ada dua puluh menit, laki-laki itu sudah keluar dari sana. Samar-samar, laki-laki itu mendengar percakapan. Lalu, dengan cepat matanya bisa menangkap sosok Joanna yang tengah berbincang dengan seorang anak perempuan di ayunan. Perempuan itu tampak tertawa lepas setelah mendengar ocehan si anak. “Oh, ya? Kau memukul anak laki-laki itu? Seharusnya kau menjewernya lebih keras! Berani sekali dia merebut permen gula itu darimu!” Anak itu tampak mengerjap polos. “Apa boleh aku menjewernya keras?” Joanna terkekeh. “Tidak, aku hanya bercanda. Lain kali, lebih baik kau adukan saja perbuatannya pada ibu, supaya ibu yang menjewernya.” Ibu yang dimaksud adalah ibu panti. Selama kurang dari dua puluh menit, anak perempuan itu sudah menceritakan banyak hal pada Joanna. Padahal, mulanya anak itu tampak takut dan ragu. Namun, Joanna yang pada dasarnya menyukai anak kecil dengan cepat meluluhkannya dan mengajaknya berbicara. “Kalau kakak jadi aku bagaimana? Apa kakak akan mengadu?” Joanna tersenyum, menggeleng. “Kalau aku akan langsung menendangnya sampai menangis! Tapi, sepertinya itu buruk. Jangan tiru aku. Kadang, berdamai lebih baik daripada kau susah-susah berkelahi dengan orang lain. Mengerti?” “Kakak sangat cantik.” Joanna mengernyit ketika mendengar itu, terlebih ketika melihat binar di mata anak perempuan bernama Nala di depannya. “Kenapa tiba-tiba kau memujiku?” “Karena kakak memang sangat cantik. Apa ketika besar aku akan secantik kakak?” Joanna terkekeh. “Tentu. Kau bahkan akan lebih cantik dariku.” “Benarkah?” Joanna baru saja akan membuka mulut lagi ketika ia mendengar suara deheman seseorang. Mengalihkan perhatian, ia melihat ke arah Aiden yang ternyata sudah berdiri di depan pintu entah sejak kapan. “Apa kau tuli? Aku memintamu untuk tidak kemana-mana.” Joanna berdecak pelan. “Jangan banyak marah-marah, Sir. Kau nanti cepat tua.” Aiden tidak menyangka balasan seperti itu yang akan ia dapatkan. “Masuk ke mobil. Kita harus kembali sekarang.” *** Terpaksa, perbincangannya dengan Nala tidak Joanna lanjutkan. Mereka langsung kembali setelahnya karena hari memang sudah nyaris larut dan sekarang Joanna kelelahan. Pikirannya juga bertambah banyak, apalagi beberapa saat yang lalu ia menerima pesan peringatan dari papanya, mengingatkannya dengan ancaman pria paruh baya itu. Joanna sudah cukup pusing dan tertekan. Selama di perjalanan, tidak ada yang membuka suara. Aiden diam, begitu juga dengan Joanna. “Lain kali, hentikan kecerobohanmu itu. Kau telah menggemparkan semua orang. Berhenti menyusahkan orang lain.” Ucapan Aiden yang terkesan tiba-tiba membuat Joanna membuka matanya yang sudah sempat tertutup. Perempuan itu menoleh, mengela napas. “Maafkan atas kecerobohan saya, Sir. Saya tidak sengaja. Setelah saya membantu seorang anak yang tersesat, saya tidak mengingat jalan kembali.” Joanna berusaha mengabaikan raut Aiden yang tampak berbeda, seperti terlihat kaku dan ... marah? Joanna sendiri tidak mengerti. Raut Aiden sudah berubah seperti itu sejak keluar dari panti. Joanna baru sadar hal itu. “Kau mengacaukan rencana yang telah dibuat. Kau tahu kan seharusnya kita sudah ada di perjalanan pulang sekarang?” Ya, Joanna tahu. Tapi, bukankah tidak semestinya Aiden terus memojokkannya seperti ini? Joanna tahu dirinya bersalah, tetapi ia sendiri juga tidak menginginkan hal ini terjadi. Ia baru saja tertimpa kesialan. Tubuhnya juga melemah sekarang. Mendengar Aiden terus memojokkannya membuat Joanna kesal. “Satu lagi, berhenti menarik perhatian para pria. Bukannya bekerja dengan benar, semua pria termasuk pengelola proyek terus memperhatikanmu sedari awal tiba di sini. Tidak bisakah kau bersikap profesional?” “Maaf?” Joanna mengernyit. “Apa maksud Anda berkata seperti itu?” Aiden melirik seakan tidak peduli. “Bukankah faktanya memang begitu?” Sudah cukup. Joanna sudah cukup tersinggung dengan ucapan Aiden. “Apa maksud Anda bahwa saya sengaja menggoda mereka, Sir?” “Aku tidak berkata seperti itu.” “Tapi, saya tahu maksud Anda demikian.” Joanna mengepalkan tangan, berusaha menekan emosinya dalam-dalam. “Anda sudah keterlaluan, Sir. Saya menerima setiap perintah Anda yang diluar jobdesk saya karena menganggap itu adalah hukuman atas kesalahan saya, tetapi itu bukan berarti Anda bisa terus memojokkan, menghina, bahkan berlaku seenaknya seperti ini.” Joanna menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan. “Saya meminta maaf atas segala kesalahan yang telah saya perbuat, tetapi saya tidak menerima dengan ucapan terkesan menuduh yang Anda layangkan. Lagipula, apa Anda cukup memperhatikan saya hingga menyadari tatapan para pria itu pada saya?” Emosinya tersulut. Mungkin karena efek kelelahan dan kekesalan yang ia rasakan. Sementara Aiden tersenyum miring. “Tidak ada yang menarik darimu sehingga harus diperhatikan. Turunkan kepercayaan dirimu itu. Memalukan.” Aiden dengan mulut pedasnya semakin menyulut emosi Joanna. “Oh, ya? Jadi, saya terlalu percaya diri?” “Sangat. Kau tidak terlalu penting. Justru kau adalah sumber masalah.” Sumber masalah yang telah membuat Aiden kesal sejak hari pertamanya bekerja. Joanna tahu itu, sangat tahu. Namun, perempuan itu tidak menerima Aiden mencemoohnya hingga seperti ini. Joanna berusaha menguasai diri. Alih-alih meledak-ledak, perempuan itu menarik sudut bibir, memperhatikan Aiden yang masih sibuk mengemudi dengan kedua tangannya yang masih terkepal. “Ya, Anda benar.” Terserah apa yang Aiden katakan. Karena setelah ini, Joanna akan membuat Aiden menarik kembali kata-katanya. Joanna akan membuat laki-laki itu menyesal telah melayangkan kata-kata yang seakan meremehkannya. Joanna sudah bertekad, tidak peduli jika hari-hari berikutnya ia akan membuat tindakan impulsif. Tampan, kaya raya, bermartabat, dan tanpa sedikit pun cela. Joanna tersenyum miring. Bukankah Aiden adalah kandidat sempurna persis seperti yang papanya inginkan? Kenapa ia tidak memikirkan hal ini sejak awal? Mulai sekarang, Aiden Cairo William adalah targetnya.“Astaga, kau tidak apa-apa?”Joanna kembali ke penginapan dengan keadaan yang tidak terlalu buruk. Baju kotornya sudah diganti dengan kaus dan jeans. Ia juga sudah membersihkan diri. Namun, ternyata itu tidak cukup baik di mata David. Setelah menghilang selama beberapa jam, tentu saja laki-laki itu tidak tahan untuk tidak bertanya.“Saya tidak apa-apa.”“Tidak apa-apa bagaimana? Dahimu lebam.”Ah, benarkah? Joanna meraba dahinya, meringis kecil ketika merasakan sedikit sakit. Namun, itu bukan apa-apa. Ia sendiri bahkan belum menyadari adanya luka lebam ini jika saja David tidak menyadarinya lebih dulu.Joanna terdiam sejenak, melirik Aiden yang sudah menghilang di balik lift. Laki-laki itu lebih dulu pergi ke kamarnya, sementara David tetap bersama Joanna di lobby. Joanna membiarkannya saja. Anggap saja ini adalah hari terakhir ia memberi David Cairo William kelonggaran. Joanna pastikan setelah ini laki-laki angkuh itu tidak akan bisa hidup tenang. Aiden tidak akan bernapas lega
Joanna sedang menjalankan tugasnya sebagai notulen sekarang, mendengarkan jalannya rapat dengan seksama. Di depan sana—tepat di depan layar proyektor, sudah ada presentator yang tengah menyampaikan rancangan ide baru, ini terkait dengan sektor perhotelan yang juga berada di bawah naungan William Company. Salah satu hotel terbesar dengan kemajuan terpesat mereka akan membuka cabang baru di wilayah lain. Sesekali, Joanna mencuri pandang ke arah Aiden yang duduk di kursi paling ujung sebagai pemimpin rapat, tampak memperhatikan layar proyektor dengan wajah seriusnya. Ah, memangnya sejak kapan Aiden si pria kaku itu menanggalkan raut seriusnya? Wajahnya jarang sekali menampakkan ekspresi, tetapi perintah-perintah menyebalkan selalu sukses keluar dari mulutnya. Tapi, sekali pun sedang kesal Joanna tidak bisa mengabaikan kesempurnaan wajah Aiden bahkan dalam kondisi apa pun. Dari tempatnya duduk saat ini—di deretan kursi sebelah kanan—Joanna bisa melihat dengan jelas rahang dan struktur waj
Joanna tidak lagi bisa bersembunyi atau mencari-cari alasan lagi. Mau tidak mau suka tidak suka pada akhirnya ia harus bertemu dengan Andrew Jefferson—mantan kekasihnya. Seakan tidak pernah terjadi apa pun, seakan tidak pernah saling mengenal, Joanna memasang raut datar, tidak bereaksi lebih selama duduk di meja yang sama dengan Aiden dan Andrew. Perempuan itu menjalankan tugasnya sebagai sekretaris, menyiapkan keperluan berkas dan mengeluarkan suara jika Aiden bertanya. Namun, Joanna tidak bodoh bahwa selama berada di ruang VIP ini, Andrew selalu mencuri pandang ke arahnya beberapa kali. Joanna memilih untuk bersikap tidak peduli dan berharap pertemuan ini akan cepat berakhir. Tetapi, sepertinya tidak bisa secepat itu. Dari yang ia lihat, hubungan antara Andrew dan Aiden tidak hanya sebagai rekan kerja. Sepertinya mereka teman.“Nona Joanna, berikan berkas revisi kontraknya pada Mr. Jefferson.”Dengan tetap bersikap profesional, Joanna menuruti ucapan Aiden, tentunya tanpa menatap
“Hai, Lily. Kemarilah.”Joanna memutuskan untuk memanfaatkan jeda makan siang untuk menjemput Lily ke sekolahnya, membawanya ke apartemen beserta Bibi May yang akan menyusul. Panggilan Joanna membuat seorang anak perempuan yang tengah berdiri di depan gerbang lantas menoleh. Lalu, senyumnya terpasang lebar.“AUNTY!”“Hey, jangan berlari! Nanti kau jatuh!”Joanna terkekeh kecil ketika Lily tidak mengindahkan ucapannya, terus berlari hingga sampai ke pelukannya. Joanna sudah bersimpuh untuk menyambut anak itu. “Kau sangat merindukanku, ya?”“Sangat! Sangat! Sangat! Mama bilang aunty sangat sibuk sekarang!”“Hm, kau benar. Aku sangat sibuk. Tapi, untuk beberapa hari ke depan kau akan melihatku setiap hari. Apa kau senang?”Lily mengurai pelukannya, lantas mengangguk antusias dan tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya. Ah, anak itu sangat manis. Namun, baru beberapa saat senyumannya memudar. “Kapan mama dan papa akan pulang?”“Tidak akan lama. Jangan sedih. Katanya kau
Kali ini, Joanna menyempatkan diri untuk mengantar Lily ke sekolah. Sebenarnya ada Bibi May, tetapi Joanna memilih untuk mengantar gadis kecil itu sendiri mengingat sekolahnya searah dengan kantornya. “Besok weekend dan aunty libur. Kau mau pergi jalan-jalan, Lily?” Lily tersenyum lebar. “Tentu!” Joanna terkekeh, mengusap pelan puncak kepala Lily. “Baiklah. Besok kita jalan-jalan sepuasnya.” Joanna lalu mengulurkan kotak bekal yang pagi-pagi tadi ia buat. “Ini makan siangmu. Jangan lupa dihabiskan, okay? Di dalamnya juga ada cookies yang aunty buat kemarin.” Lily mengangguk, menerima kotak bekal itu. “Ruby!” Lily yang tidak sengaja melihat Ruby berjalan memasuki gerbang pun langsung memanggil dengan nada cerianya, membuat Ruby yang di sana lantas menoleh dan ikut tersenyum dan menghampiri. “Ah, kebetulan sekali.” Joanna tersenyum cerah, mengulurkan paperbag berisi cookies. “Aunty juga membuatkan cookies untuk Ruby. Kalian bisa memakannya bersama nanti.” Ruby tersen
“Naik apa kau kemari?”Joanna memainkan kuku-kuku indahnya, tampak tidak peduli. “Taksi.”Suara decakan terdengar. Seorang pria paruh baya yang kini tengah menggendong Lily menatap putrinya tak habis pikir. “Kau semiskin itu sekarang? Tidak punya mobil?”“Ya, memang. Salah papa sendiri mengapa meminta aku untuk menjemput papa.”“Dasar anak kurangajar.”“I am. Setidaknya menjadi miskin dan kurangajar membuat papa berhenti merepotkanku. Tapi, tampaknya hari ini aku terpaksa direpotakan sekali lagi.”Jika tidak ingat bahwa Joanna adalah putrinya, mungkin pria paruh baya itu sudah benar-benar melemparnya ke dasar laut. “Kau ini!” Hardin menggeram. Pria paruh baya yang masih tampak gagah di usianya yang menginjak kepala lima itu selalu dibuat mengerang kesal begitu berhadapan dengan Joanna—putri pembangkangnya.“Sekarang dimana hadiahku? Balasan karena aku telah mau repot-repot menjemput papa ke sini,” ujar Joanna, enggan membuang waktu. Sekilas perempuan itu melihat ke arah Lily ya
Suara langkah kaki yang terdengar konstan beradu dengan lantai keramik, berhasil menarik perhatian seorang gadis kecil yang tengah bermain dengan nanny-nya. Sosok sang ayah yang tampak di matanya membuat gadis itu berbinar, langsung meninggalkan bonekanya dan berlari ke arah seorang laki-laki yang baru saja menginjakkan kaki ke mansion yang jarang ia kunjungi. Setelah mendengar teriakan gadis kecil itu yang memanggilnya dengan nada gembira, kedua kakinya dipeluk erat.“Papa pulang!”Seulas senyum yang jarang sekali terlihat di wajah kaku Aiden kali ini muncul, sangat menawan. Laki-laki itu mengangkat Ruby—putrinya ke gendongannya. “Apa yang kau lakukan? Sedang apa sekarang?”“Bermain!”“Oh, ya? Bolehkah papa bergabung?”Aiden belum mendapat jawaban. Ruby justru memeluk erat lehernya, seakan tidak mau lepas. Hal itu membuat Aiden merasa bersalah. Seharusnya ia lebih sering mengunjungi putrinya, tidak terus berkutat dengan pekerjaan. Ruby bahkan merengek untuk ikut menjemputnya di
Aiden pikir, Joanna akan berhenti mengejarnya seperti orang gila setelah mengetahui fakta tentang Ruby. Aiden pikir, Joanna akan menyerah dan berhenti membuatnya geram karena tingkahnya. Tapi, ternyata tidak. Joanna tetap melanjutkan usahanya untuk mengobrak-abrik perasaan Aiden, sekali pun sampai detik ini laki-laki itu belum terpengaruh.Awalnya, Aiden berniat untuk meminta orang suruhannya saja yang menjemput Ruby. Namun, ia urungkan. Aiden takut Joanna bertingkah di luar nalar atau mungkin orang suruhannya bisa menakuti Ruby. Enggan membuat putrinya merasa bertanya-tanya, maka dengan berat hati Aiden turun tangan sendiri, pergi ke sebuah gedung apartemen tempat perempuan gila itu menculik putrinya.Aiden menghela napas gusar. Laki-laki itu tahu bahwa Joanna tidak akan menyakiti Ruby. Namun, Aiden lebih takut perempuan itu mencemari pikiran Ruby, menjejalinya dengan pengaruh-pengaruh buruk. Tetapi, ternyata ketakutan itu tidaklah terjadi. Begitu menekan bel unit apartemen dan pin
Ah, sial.Entah berapa kali Joanna melayangkan umpatannya. Hujan sedang turun deras-derasnya. Sialnya, tidak ada taksi yang mau menerima pesanannya di saat seperti ini. Seharusnya dia langsung pulang saja tadi, bukannya malah mampir ke minimarket terlebih dahulu. Ah, tidak. Memang seharusnya sedari awal ia tidak perlu makan malam di kediaman Hardin Madison. Sejak awal ia harusnya tetap keukeuh menolak.Joanna hanya diam di pinggiran minimarket, berdiri seraya mengulurkan tangan untuk menangkap tetesan hujan. Joanna bahkan tidak memedulikan pakaiannya yang basah. Lagipula, ia sudah lebih dulu basah kuyup saat turun dari taksi begitu tiba di minimarket tadi. Sekarang, ia mulai kedinginan.“Aunty Joanna!”Joanna menyipitkan mata, meragukan pendengarannya sendiri yang baru saja mendengar sebuah suara memanggilnya dengan nada ceria. Namun, ternyata Joanna tidak salah. Di depan sana—di pinggir jalan depan minimarket, Joanna melihat sebuah mobil yang tampak asing. Namun, kepala seseorang
“Apa ini?”“Makanan.”“Ya, aku tahu. Tapi, dalam rangka apa kau membeli makanan sebanyak ini?”“Dalam rangka aku sedang senang,” jawab Joanna tanpa menghilangkan senyuman dii wajahnya. Perempuan itu telah menghabiskan banyak uang untuk membeli beberapa cup kopi dan makanan untuk dibagikan kepada staff kantor. Namun, Joanna sama sekali tidak menyesal. Ia sedang senang. Joanna hanya ingin membagi kesenangannya saja.“Dasar aneh.” David mencibir, tak ayal laki-laki itu mencomot kopi dan makanan itu, sisanya dibagikan pada staff yang lain. “Besok lusa Mr. William memiliki jadwal perjalanan bisnis, ke Manila. Seperti biasa, kau harus ikut.”Joanna mengangguk antusias. “Tentu!”Hari ini, Joanna harus mengerjakan pekerjaannya dengan cepat. Ia harus mengurus Lily walau siang ini Bibi May yang menjemput bocah itu ke sekolah. “Apa Mr. William memiliki tamu penting? Aku lihat beberapa orang masuk ke ruangan beliau tadi.”David mengangguk. “Beberapa orang dari BlueChips Interprise.”“Ada
Aiden pikir, Joanna akan berhenti mengejarnya seperti orang gila setelah mengetahui fakta tentang Ruby. Aiden pikir, Joanna akan menyerah dan berhenti membuatnya geram karena tingkahnya. Tapi, ternyata tidak. Joanna tetap melanjutkan usahanya untuk mengobrak-abrik perasaan Aiden, sekali pun sampai detik ini laki-laki itu belum terpengaruh.Awalnya, Aiden berniat untuk meminta orang suruhannya saja yang menjemput Ruby. Namun, ia urungkan. Aiden takut Joanna bertingkah di luar nalar atau mungkin orang suruhannya bisa menakuti Ruby. Enggan membuat putrinya merasa bertanya-tanya, maka dengan berat hati Aiden turun tangan sendiri, pergi ke sebuah gedung apartemen tempat perempuan gila itu menculik putrinya.Aiden menghela napas gusar. Laki-laki itu tahu bahwa Joanna tidak akan menyakiti Ruby. Namun, Aiden lebih takut perempuan itu mencemari pikiran Ruby, menjejalinya dengan pengaruh-pengaruh buruk. Tetapi, ternyata ketakutan itu tidaklah terjadi. Begitu menekan bel unit apartemen dan pin
Suara langkah kaki yang terdengar konstan beradu dengan lantai keramik, berhasil menarik perhatian seorang gadis kecil yang tengah bermain dengan nanny-nya. Sosok sang ayah yang tampak di matanya membuat gadis itu berbinar, langsung meninggalkan bonekanya dan berlari ke arah seorang laki-laki yang baru saja menginjakkan kaki ke mansion yang jarang ia kunjungi. Setelah mendengar teriakan gadis kecil itu yang memanggilnya dengan nada gembira, kedua kakinya dipeluk erat.“Papa pulang!”Seulas senyum yang jarang sekali terlihat di wajah kaku Aiden kali ini muncul, sangat menawan. Laki-laki itu mengangkat Ruby—putrinya ke gendongannya. “Apa yang kau lakukan? Sedang apa sekarang?”“Bermain!”“Oh, ya? Bolehkah papa bergabung?”Aiden belum mendapat jawaban. Ruby justru memeluk erat lehernya, seakan tidak mau lepas. Hal itu membuat Aiden merasa bersalah. Seharusnya ia lebih sering mengunjungi putrinya, tidak terus berkutat dengan pekerjaan. Ruby bahkan merengek untuk ikut menjemputnya di
“Naik apa kau kemari?”Joanna memainkan kuku-kuku indahnya, tampak tidak peduli. “Taksi.”Suara decakan terdengar. Seorang pria paruh baya yang kini tengah menggendong Lily menatap putrinya tak habis pikir. “Kau semiskin itu sekarang? Tidak punya mobil?”“Ya, memang. Salah papa sendiri mengapa meminta aku untuk menjemput papa.”“Dasar anak kurangajar.”“I am. Setidaknya menjadi miskin dan kurangajar membuat papa berhenti merepotkanku. Tapi, tampaknya hari ini aku terpaksa direpotakan sekali lagi.”Jika tidak ingat bahwa Joanna adalah putrinya, mungkin pria paruh baya itu sudah benar-benar melemparnya ke dasar laut. “Kau ini!” Hardin menggeram. Pria paruh baya yang masih tampak gagah di usianya yang menginjak kepala lima itu selalu dibuat mengerang kesal begitu berhadapan dengan Joanna—putri pembangkangnya.“Sekarang dimana hadiahku? Balasan karena aku telah mau repot-repot menjemput papa ke sini,” ujar Joanna, enggan membuang waktu. Sekilas perempuan itu melihat ke arah Lily ya
Kali ini, Joanna menyempatkan diri untuk mengantar Lily ke sekolah. Sebenarnya ada Bibi May, tetapi Joanna memilih untuk mengantar gadis kecil itu sendiri mengingat sekolahnya searah dengan kantornya. “Besok weekend dan aunty libur. Kau mau pergi jalan-jalan, Lily?” Lily tersenyum lebar. “Tentu!” Joanna terkekeh, mengusap pelan puncak kepala Lily. “Baiklah. Besok kita jalan-jalan sepuasnya.” Joanna lalu mengulurkan kotak bekal yang pagi-pagi tadi ia buat. “Ini makan siangmu. Jangan lupa dihabiskan, okay? Di dalamnya juga ada cookies yang aunty buat kemarin.” Lily mengangguk, menerima kotak bekal itu. “Ruby!” Lily yang tidak sengaja melihat Ruby berjalan memasuki gerbang pun langsung memanggil dengan nada cerianya, membuat Ruby yang di sana lantas menoleh dan ikut tersenyum dan menghampiri. “Ah, kebetulan sekali.” Joanna tersenyum cerah, mengulurkan paperbag berisi cookies. “Aunty juga membuatkan cookies untuk Ruby. Kalian bisa memakannya bersama nanti.” Ruby tersen
“Hai, Lily. Kemarilah.”Joanna memutuskan untuk memanfaatkan jeda makan siang untuk menjemput Lily ke sekolahnya, membawanya ke apartemen beserta Bibi May yang akan menyusul. Panggilan Joanna membuat seorang anak perempuan yang tengah berdiri di depan gerbang lantas menoleh. Lalu, senyumnya terpasang lebar.“AUNTY!”“Hey, jangan berlari! Nanti kau jatuh!”Joanna terkekeh kecil ketika Lily tidak mengindahkan ucapannya, terus berlari hingga sampai ke pelukannya. Joanna sudah bersimpuh untuk menyambut anak itu. “Kau sangat merindukanku, ya?”“Sangat! Sangat! Sangat! Mama bilang aunty sangat sibuk sekarang!”“Hm, kau benar. Aku sangat sibuk. Tapi, untuk beberapa hari ke depan kau akan melihatku setiap hari. Apa kau senang?”Lily mengurai pelukannya, lantas mengangguk antusias dan tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya. Ah, anak itu sangat manis. Namun, baru beberapa saat senyumannya memudar. “Kapan mama dan papa akan pulang?”“Tidak akan lama. Jangan sedih. Katanya kau
Joanna tidak lagi bisa bersembunyi atau mencari-cari alasan lagi. Mau tidak mau suka tidak suka pada akhirnya ia harus bertemu dengan Andrew Jefferson—mantan kekasihnya. Seakan tidak pernah terjadi apa pun, seakan tidak pernah saling mengenal, Joanna memasang raut datar, tidak bereaksi lebih selama duduk di meja yang sama dengan Aiden dan Andrew. Perempuan itu menjalankan tugasnya sebagai sekretaris, menyiapkan keperluan berkas dan mengeluarkan suara jika Aiden bertanya. Namun, Joanna tidak bodoh bahwa selama berada di ruang VIP ini, Andrew selalu mencuri pandang ke arahnya beberapa kali. Joanna memilih untuk bersikap tidak peduli dan berharap pertemuan ini akan cepat berakhir. Tetapi, sepertinya tidak bisa secepat itu. Dari yang ia lihat, hubungan antara Andrew dan Aiden tidak hanya sebagai rekan kerja. Sepertinya mereka teman.“Nona Joanna, berikan berkas revisi kontraknya pada Mr. Jefferson.”Dengan tetap bersikap profesional, Joanna menuruti ucapan Aiden, tentunya tanpa menatap
Joanna sedang menjalankan tugasnya sebagai notulen sekarang, mendengarkan jalannya rapat dengan seksama. Di depan sana—tepat di depan layar proyektor, sudah ada presentator yang tengah menyampaikan rancangan ide baru, ini terkait dengan sektor perhotelan yang juga berada di bawah naungan William Company. Salah satu hotel terbesar dengan kemajuan terpesat mereka akan membuka cabang baru di wilayah lain. Sesekali, Joanna mencuri pandang ke arah Aiden yang duduk di kursi paling ujung sebagai pemimpin rapat, tampak memperhatikan layar proyektor dengan wajah seriusnya. Ah, memangnya sejak kapan Aiden si pria kaku itu menanggalkan raut seriusnya? Wajahnya jarang sekali menampakkan ekspresi, tetapi perintah-perintah menyebalkan selalu sukses keluar dari mulutnya. Tapi, sekali pun sedang kesal Joanna tidak bisa mengabaikan kesempurnaan wajah Aiden bahkan dalam kondisi apa pun. Dari tempatnya duduk saat ini—di deretan kursi sebelah kanan—Joanna bisa melihat dengan jelas rahang dan struktur waj