"Sama anak-anak. Tanya aja Pras, Brian, Rama. Nggak pernah ya aku ngajak cewek ke sini, ntar dipikir mau ngapa-ngapain."Naren lantas menghubungi anak buahnya yang menyiapkan motor di pelabuhan Toya Pakeh. Tak berselang lama, seorang lelaki yang tampak lebih muda dari mereka datang menghampiri dan menyerahkan kunci motor selagi ia membawa barang bawaan Naren dan Rhea ke dalam mobil."Kamu mau ke mana dulu, Sayang?""Loh kita nggak ke villa dulu?""Biarin bawang baraan kita dibawain Made ke villa. Kita langsung jalan aja. Kecuali ... kamu mau kita ke villa, tapi aku nggak jamin bakal mau keluar dari villa." Naren mengerling jahil pada Rhea dan hal itu membuat Rhea menghela napas."Ya udah, aku ikut aja kamu maunya ke mana. Kan kamu yang sering ke sini.""Ke villa?"Rhea mencubit perut Naren karena kesal dengan omongannya sekarang yang tidak jauh-jauh dari kamar dan ngamar. Ia mencoba mengerti kalau mereka sedang dalam rangka honeymoon, tapi kalau hanya di villa, untuk apa mereka jauh-j
"Capek, ya?" tanya Naren yang melihat istrinya langsung meluruskan kaki di kursi teras begitu mereka tiba di villa.Sudah tiga hari mereka berada di Nusa Penida. Dari timur sampai ke barat sudah mereka datangi semua.Naren paham kalau saat ini istrinya merasa kelelahan. Pasalnya ada beberapa tempat wisata yang mengharuskan mereka untuk turun kalau mau menikmati pantai.Inilah salah satu alasan dulu Naren dan teman-temannya suka berkunjung ke Nusa Penida. Selain view dari atas tebing yang menakjubkan, mereka juga bisa bermain di pantai yang masih belum banyak pegunjung seperti di Pulau Bali."Lumayan, dua hari ini udah naik turun tangga sebanyak itu, Mas. Tapi kalo nggak turun rugi, karena bagus banget juga pantainya.""Kamu paling suka yang mana?" Naren kini ikut duduk di kursi yang ada di samping istrinya sambil meluruskan kaki."Kalo view dari atas sih ... Kelingking Beach, lucu, beneran bentuk kepala dinosairus. Tapi Diamond Beach sih keren parah view-nya, naik turun tangganya terb
"Kita mau ke mana, Mas? Nggak mampir ke Nusa Lembongan ya?"Pagi itu mereka kembali ke Pulau Bali setelah menghabiskan empat hari di Nusa Penida.Naren menepuk keningnya dengan cukup keras. "Astaga! Aku lupa, harusnya kita bisa mampir ke Nusa Lembongan dulu ya."Rhea mengerucutkan bibir. "Kebanyakan di kamar nih, makanya sampe lupa."Naren terkekeh karena apa yang dikatakan Rhea ada benarnya. "Next time ya, kita ke Nusa Lembongan. Kita atur waktu dulu. Soalnya habis ini kita masih mesti mampir ke suatu tempat.""Ke mana?" tanya Rhea antusias."Nanti kamu juga tau."Rhea mengalah, menghentikan segala pertanyaan yang berputar di otaknya. Cukup ia serahkan perjalanan ini pada suaminya. Toh sejauh ini selalu menyenangkan.Tiba di Sanur, sebuah mobil sudah menunggu mereka. Keduanya membersihkan diri di toilet umum yang ada di kawasan Sanur akibat kaki mereka yang terpaksa masuk ke air laut saat turun dari kapal dan berjalan ke pantai."Kamu nggak risih Mas make toilet umum?" tanya Rhea pen
Rhea menatap suaminya yang sedang terlelap. Entah sudah berapa lama ia mengamati suaminya itu.Entah mengapa hatinya terasa resah. Harusnya tidak seperti ini. Rhea masih berusaha mengarahkan pikirannya menjadi lebih positif. 'Mas nggak akan melakukannya lagi.' Itu yang diulangnya berkali-kali di otaknya.Dan kalau benar-benar Naren melakukannya lagi?Hancur, Rhea pasti hancur kali ini.Tiba-tiba saja Naren mengerjapkan mata. Mungkin ia terbangun karena merasa Rhea memperhatinnya. Atau mungkin karena helaan napas Rhea yang lebih berat. “Kok kamu bangun? Kenapa?”Rhea menggeleng, mencoba menunjukkan senyumannya. “Nggak bisa tidur,” jawabnya.“Mau dibikinin chamomile tea?”Rhea menggeleng lagi. “Mau dipeluk aja.”Naren mendekat, merengkuh Rhea ke dalam pelukannya. Walaupun ia merasa aneh dengan permintaan istrinya di tengah malam itu, tapi toh ia senang melakukannya. “Ada yang kamu pikirin sampe nggak bisa tidur?”Rhea terdiam. Ya, memang ada yang sedang mengganggu pikirannya, tapi ia ti
Jarak Naren kini hanya beberapa inchi di depan Rhea. Rhea masih menunduk sambil kedua tangannya mencengkeram sisi samping jas suaminya."Kamu kenapa?" tanya Naren bingung. Ia sudah tahu bagaimana istrinya saat menangis. Memang istrinya itu tidak akan tersedu, tapi air matanya sulit dihentikan. Kadang dikiranya Rhea sudah selesai menangis, mereka melakukan aktivitas lain, tapi tiba-tiba air matanya luruh lagi.Di tengah kebingungannya karena Rhea yang masih juga tidak menjawabnya, Naren mengedarkan pandangan sambil berpikir. Apakah ia dan istrinya itu masih bisa makan malam romantis dengan kondisi seperti itu?Akhirnya Naren mengarahkan Rhea menuju sofa yang ada di lobby hotel. Ia berjongkok di depan istrinya kemudian berkata, "Kamu tunggu di sini bentar ya, aku booking kamar dulu."Rhea menggeleng cepat."Mau ikut ke resepsionis? Tapi nanti aku dikira nyulik anak orang kalo kamu masih nangis gini."Tangan Naren mengusap lembut jejak-jejak air mata yang tertinggal di sudut mata dan di
Rhea membiarkan pertanyaan Naren menggantung di udara. Ia memilih menoleh ke arah jendela dan menyaksikan pemandangan malam kota Jakarta."Sayang, maksud kamu barusan apa?""Aku ... beberapa hari lalu ngetes pake testpack, soalnya udah telat mens. Hmmm ... dari tiga testpeck semuanya dua garis. Tapi aku belum cek ke dokter."Naren membuka mulutnya akibat kaget. Kemudian menatap perut Rhea yang tentu saja masih rata."Masih rata perutku, ngapain lirik-lirik,” ucap Rhea sambil bersungut kesal. “Lihat nih, Mas." Rhea mengaktifkan layar ponselnya dan menunjukkan sebuah foto pada suaminya, foto tiga testpack yang berjajar dengan tanda yang sama, dua garis.Naren yang seperti baru disadarkan pada kenyataan, segera meletakkan piring di tangannya, beralih menarik Rhea ke dalam pelukannya. Tanpa kata. Naren hanya mengusapi punggung Rhea dengan sayang. Ia bingung harus mengatakan apa. Biarlah pelukannya menjadi tanda betapa bahagianya dia."Kenapa baru ngomong sekarang?""Aku nunggu hari ini. K
-Dua belas minggu usia kehamilan Rhea-Rhea dan Naren sudah mulai memberitahukan kabar bahagia itu kepada keluarga, teman terdekat, dan orang-orang yang berada di sekitar mereka, seperti ART di rumah dan pegawai Amigos. Paling tidak mereka bisa membantu menjaga Rhea saat Naren tidak ada di sampingnya.Dan memang Rhea masih menjaga jarak dengan suaminya. Berbagai upaya sudah mereka lakukan. Naren sudah mengganti sabun mandinya dengan bau mint yang lebih kuat, pun begitu dengan parfumnya. Tapi Rhea masih sering mual kalau Naren mendekatinya.Rhea benar-benar merasa bersalah karena kondisinya itu. Ia sering kali melihat Naren yang memandanginya dari jauh, dengan tatapan memohon agar diperbolehkan mendekat.Suatu sore, sepulang Naren dari kantor, Rhea mencoba mendekati suaminya itu. Hari itu mood-nya sedang bagus, bahkan ia tidak merasa mual saat pagi hari.Senyuman Naren mengembang saat ia akhirnya bisa memeluk dan mencumbu istrinya. Tapi sekitar lima belas menit kemudian Rhea menjauh, m
"Sayang, nanti kalau anak kita perempuan gimana?" tanya Naren tiba-tiba di suatu malam.Saat check up, keduanya sepakat tidak ingin tahu jenis kelamin anak mereka. Mereka ingin jadi kejutan saat kelahiran anak mereka nanti.Tapi kata-kata beberapa orang belakangan ini mulai mengusik Naren. Katanya, Rhea kelihatan cantik tanpa effort dan glowing meskipun di usia kehamilan yang menginjak tujuh bulan, dan itu pertanda kalau anak mereka kemungkinan besar adalah perempuan."Mas sebenernya mau anak laki-laki ya?""Bukan, aku sih apa aja. Laki-laki atau perempuan sama-sama anak kita. Cuma—""Kamu takut siapa yang nerusin Candra Group nanti?"Naren menggeleng pasti. "Bisa dilatih itu. Aku cuma takut, apa yang kulakukan dulu jadi karma. Gimana nanti kalo anakku dideketin cowok model kayak aku jaman belum tobat dulu?"Rhea tersenyum, terlalu jauh untuk memikirkan hal itu. "Kejauhan, Mas. Lagian kalo anak kita cowok apa kamu nggak takut kalo kelakuannya nggak jauh beda sama kamu?"Naren terkekeh