Naren menatap ponselnya dengan gamang, setelah beberapa kali mendapat telepon dari orang yang sama, dan sedari tadi telah diabaikannya. Ia tidak ingin mengganggu makan malamnya bersama Rhea.Rhea yang asik menonton series kesukaannya di ruang tengah rumah Naren, sambil sesekali menyuap makanan yang ada di piringnya, lantas menatap ponsel Naren yang terus saja bergetar dan sedikit banyak memecah konsentrasinya."Mas, itu hpnya diangkat sih. Dari tadi loh. Siapa sih?""Biarin aja.""Siapa tau penting. Kalo nggak penting, nggak mungkin dari tadi telepon nggak berhenti.""Dari papanya Zanna. Biarin aja," ucap Naren yang kembali melanjutkan makannya.Rhea terdiam setelah mendengar siapa penelepon yang sudah berkali-kali menghubungi Naren.Dan setelah kesekian kalinya ponsel Naren berdering kembali, Rhea menatap Naren dengan sungguh-sungguh. "Angkat, Mas. Takutnya penting."Mengikuti permintaan Rhea, dengan berat hati Naren meraih ponselnya dan menyentuh tanda hijau untuk berbicara dengan o
"Yang, siang ketemu WO ya," ucap Naren melalui sambungan telepon. Padahal ia baru saja tiba di kantor setelah mengantar Rhea ke Amigos, tapi saat berjalan dari parkiran ke ruangannya ia masih menyempatkan diri untuk menghubungi Rhea."Ok. Bisa whatsapp aja kali, Mas.""Emangnya nggak boleh denger suaramu?""Lebay banget!"Naren terkekeh mendengar gerutuan Rhea. "Ketemu di Amigos aja ya, biar kamu nggak repot ke mana-mana.""Iya, terserah kamu. Kalo kamu udah bilang gitu juga bakal susah banget kan dinegonya," sahut Rhea pasrah.Siang itu, sesuai permintaan Naren, Rhea menunggu kedatangan Adisty, personal assistant wedding planner yang mengurus segala persiapan pernikahan mereka. Naren yang masih terjebak meeting dengan salah satu klien terpaksa hadir lebih lambat dari perjanjian mereka."Siang, Rhe."Setelah beberapa kali bertemu, dan tahu kalau mereka seumuran, Rhea dan Adisty menjadi lebih dekat dengan mencoba menanggalkan embel-embel panggilan di antara mereka."Siang, Dis. Duh, th
Naren menghela napas kembali, kemudian menyandarkan kepalanya pada punggung kursi dan menatap langit-langit ruangannya. Sementara Rhea masih menunggu dengan sabar sampai Naren bercerita apa yang terjadi padanya."Pulang yuk," ajak Naren yang langsung berdiri dan merapikan barang-barangnya.Rhea berusaha mengerti apa yang dihadapi Naren, ia yakin Naren akan memberitahukannya kalau Naren sudah siap."Ayo, aku udah masak tadi di rumah, tapi buru-buru ke sini. Kita makan di rumah aja ya," ucap Rhea sambil melingkarkan tangannya ke lengan Naren.Naren mengulum senyumnya. Aneh, sentuhan dari Rhea, sekecil apa pun itu, bisa membuatnya tenang. Padahal tadi sebelum kedatangan Rhea, rasanya ia ingin membanting barang-barang yang ada di depannya.Tiba di perumahan yang mereka tempati, Naren lebih dulu memarkirkan mobilnya di rumah. Setelah berganti dengan pakaian santai, barulah ia menuju rumah Rhea untuk makan malam bersama. Sudah cukup malam, harusnya ia tidak membuat Rhea jadi kelaparan karen
-Yang terjadi di ruang kerja Naren-"Saya nggak pernah izinkan anda untuk menginjakkan kaki di ruangan saya."Wanita yang kini mendapatkan tatapan tajam dari Naren itu tidak mampu membalas kata-kata Naren. Ia hanya diam sambil berusaha membesarkan hatinya. Pun ia tidak berharap Naren akan tersenyum kemudian berlari memeluknya saat melihat dirinya.Bayuni yang melihat tatapan penuh amarah di mata Naren, sedikit beringsut. Tapi tidak ada yang bisa ia jadikan tameng. Bahkan seorang wanita yang ada di belakangnya, yang Bayuni kira sangat dirindukan Naren, kini hanya terdiam sambil menahan tangisnya.Naren kembali menekuri layar laptopnya, tanpa menoleh sedikit pun kepada dua orang wanita yang masih berdiri kaku di depan pintu."Saya rasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi Bu Bayuni. Kita bisa bicarakan proyek kita beberapa hari lagi sesuai kesepakatan kita tadi. Tanpa wanita itu.""Ren. Mamamu pengen ketemu kamu," ucap Bayuni berusaha menurunkan emosi Naren."Tapi saya nggak ingin kete
"Mau nemenin Tante ngobrol sebentar?"Rhea kemudian duduk di hadapan wanita itu. "Saya belum memperkenalkan diri, Tante. Saya Rhea.""Oh iya. Saya Ajeng. Seperti yang sudah kamu tau, saya mamanya Naren. Naren pernah cerita tentang saya?"Sebenarnya Rhea cukup kesulitan menjawabnya, ia tidak ingin mengungkapkan kalau Naren masih menyimpan foto keluarga mereka dan membuat wanita di depannya berharap terlalu banyak. Rhea tahu kalau kali ini tidak akan semudah membujuk Naren untuk berbaikan dengan papanya. "Mas Naren pernah cerita sekali waktu itu.""Kalian udah lama kenal?""Dari SMA, Tante. Tapi waktu itu saya pindah ke luar kota, ikut Papa saya pindah dinas. Baru ketemu lagi belum lama, belum ada setahun," jawab Rhea."Naren nggak mau nemuin Tante sebelum kalian tunangan?""Hmm ... Waktu itu saya udah nyoba bujuk Mas buat nemuin Tante. Tapi—""Tante ngerti, Naren pasti nggak mau. Ngomong-ngomong kamu udah lama buka coffee shop ini?""Belum lama kok, Tante. Baru sekitar empat bulan.""S
Rhea tengah menunggu kedatangan calon mertuanya di sebuah restoran sushi yang ada di Pondok Indah Mall, sesuai permintaan mama Naren.Kali ini, rasa gelisahnya melebihi saat bertemu papa Naren atau kakek Naren sekalipun.Naren: Makan siang di mana?Satu pesan dari Naren itu langsung membuat Rhea berdebar. Harus jawab apa?Rhea: Aku makan siang di PIM, MasRhea: Ada janjiNaren: Sama siapa?Rhea: Sama cewek, tenang ajaSetelahnya tidak ada lagi balasan dari Naren. Tak berselang lama, kursi yang ada di depan Rhea bergeser. Saat itu lah Rhea yakin kalau orang yang ditunggunya sudah datang."Siang, Tante," sapa Rhea."Udah lama? Maaf ya, Tante tadi ketemu temen dulu.""Nggak apa-apa kok, Tante. Memang tadi saya berangkat lebih awal dari Bintaro."Keduanya berhenti bicara sesaat setelah selesai memesan beberapa jenis sushi.Dalam diamnya, Ajeng memperhatikan penampilan Rhea yang simple, hanya dengan mengenakan blouse berwarna soft mint dan flagged skirt berwarna putih.Semua gesture Rhea j
Naren mengernyit bingung setelah mendengar pertanyaan calon istrinya itu. "Maksudnya? Kerjaanmu kan ngurus coffee shop, bentar lagi ada dua lagi yang mesti diurus. Itu kerjaan halal dan setauku bukan hal yang gampang loh. Kenapa aku harus malu?"Rhea menghela napas. Di dalam hatinya memang ia sama sekali tidak merasa malu dan di dalam otaknya masih belum bisa mencerna apa yang disampaikan mama Naren saat mereka makan siang."Beneran nggak apa-apa, Mas? Misal nih ya, ada pegawai Candra Group yang dateng ke Amigos, terus aku yang nganterin kopi dia karena pegawaiku lagi keteteran, gimana? Kamu nggak malu?""Sebenernya daripada malu, aku lebih takut kamu kecapekan." Naren lantas menatap Rhea penuh selidik. "Dari mana kamu dapet pikiran kalo aku bakal malu?"Rhea menggeleng sambil tersenyum, berusaha menunjukkan kalau pertanyaannya berasal dari pikirannya yang random. "Jabatanmu di perusahaan bakal makin tinggi, Mas. Aku jadi agak ... kepikiran. itu aja.""Apa kamu mau aku tetep di jabata
Rhea mengetuk pintu di depannya—yang ia tahu sebagai kamar untuk Naren beristirahat di kantor. "Maaas. Aku boleh masuk nggak?"Tidak terdengar jawaban dari Naren. "Mas, aku masuk ya." Dengan memberanikan diri, Rhea membuka pintu yang tidak terkunci itu. Apa sih yang akan terjadi padanya? Paling-paling hanya diusir setelah diamuk oleh Naren.Pemandangan pertama yang dilihat Rhea adalah Naren yang duduk di pinggir ranjang sambil menunduk dan mengepalkan tangan.Rhea mendekat, berjongkok di depan Naren, lalu menangkupkan tangannya di atas tangan Naren yang sedang mengepal erat. "Maaf ya, Mas. Aku belum cerita. Aku bingung gimana mau cerita ke kamu, takut kamu emosi lagi.""Udah," jawab Naren singkat sambil menatap manik mata Rhea tanpa berkedip."Hah?""Kamu udah berhasil bikin aku emosi. Kenapa sih kamu nggak cerita, Rhe? Apa dia yang nyuruh kamu nggak cerita ke aku?"Rhea menggeleng cepat. "Nggak, Mas. Mamamu nggak nyuruh aku buat rahasiain dari kamu. Aku ... aku cuma bingung aja mulai