Tragedi satu tahun lalu menelan korban yang merupakan ketua PAGATRA generasi ketiga. Posisi Gama sebagai anggota inti sekaligus tangan kanan petinggi PAGATRA, diberikan misi pembalasan dendam pada sosok tak bersalah.
"Jangan Launa!" Nada suara penuh permohonan dan raut putus asa menciptakan seringaian andalan Gama. Memperkikis jarak dengan laki-laki yang bertanggung jawab akan kejadian tahun lalu. Kematian Tian, menciptakan perjanjian yang mengantarkan pada jurang kehancuran. "Lo harus rasain juga yang namanya kehilangan. Karena lo, semuanya kacau," bisik lirih terdengar jelas pada keheningan malam. Meluruh. Nathan bertekuk lutut menciptakan sorak ramai dan tatapan tidak percaya dari berbagai pasang mata. Perannya sebagai ketua dari perkumpulan siswa Cakrawala yang terlibat membuat Nathan harus bertanggung jawab. Namun bukan dirinya, tetapi Launa, adik kecilnya yang tidak tahu apa-apa. Launa bertubuh lemah dan sikapnya yang lugu karena batasan sang Ayah. Akan melangkah bersama Gama, cowok bermasalah. Kedua orang dengan sikap yang bertolak belakang. "Kasih gue kesempatan buat nembus rasa bersalah ini. Jangan sakitin Launa, Gama! Masih banyak yang belum gue lakuin buat dia." Alis Gama terangkat, gerak kedua tangan yang keluar dari saku celana lalu menatap rumit mata Nathan yang memerah. "Lo paling tau gue siapa. Jangan buang-buang waktu," kesal Gama menendang pelan lutut Nathan yang bertekuk. Gama. Mempunyai kendali dan kuasa pada jalannya PAGATRA. Satu-satunya anggota inti yang bisa berdiri dalam deretan petinggi yang sudah menginjak usia dewasa, berbanding terbalik dengan usianya yang remaja. Dia berbahaya. Gama dan dunianya yang hilang arah. Bagaimana dengan Launa, nanti? Berdampingan dengan sosok yang tidak memiliki rasa. "Besok, gerbang Manggala terbuka buat Launa. Kita tunggu. Pada arena sebenarnya, tempat yang berkuasa, dan saksi akan kehancuran perempuan tidak bersalah." Gama berucap tegas lalu diakhiri gelak tawa, raut wajah cerah itu berubah dalam sekejap. Digantikan tatapan permusuhan diliputi dendam. "Sesuatu yang udah dalam genggaman gue gak akan bisa diambil lagi. Lagian, pada akhirnya Launa akan tetap mati, kan? Cewek penyakitan." Nathan tersulut. Segera bangkit dan melayangkan kepalan pada rahang Gama yang diam, tidak melawan. Memberikan tatapan remeh yang semakin membuat Nathan menggeram. "Lo, sialan." "Launa yang manis. Gue gak akan buat dia mati, tapi rusak dikit, gak papa, kan?" tanya Gema menangkap gerakan Nathan yang nyaris menonjok bagian pipi. "Gama, gue minta sedikit rasa kemanusiaan lo," mohon Nathan. Pikiran berbelit membayangkan nasib Launa, tidak tahu lagi berbuat apa. Dari kecil hingga saat ini, Nathan dan Launa tidak seperti saudara pada umumnya. Ada jarak di antara mereka dan jarang bertutur sapa. Tidak benci, Nathan mencoba untuk menjaga, posisinya sebagai ketua dalam perkumpulan siswa Cakrawala yang akan berhubungan dengan banyak masalah, membuat Nathan menjaga jarak untuk keselamatan Launa. Namun, tragedi lalu. Ketidaksengajaan yang berujung terancamnya keselamatan. "Tolong Gama, tolong!" "Gue dapat apa kalau jaga tuh cewek dari amukan Bara? Tubuhnya, boleh?" Rentetan kata yang keluar dari mulut Gama disambut tawa dan siulan menggoda oleh kelompok lawan. Benar-benar menghakimi ketidakberdayaan Nathan untuk kembali mengambil hak hidup adiknya yang dipermainkan. "100 hari untuk Launa." "Setelah itu gue kembaliin sama lo, tenang. Gue kemas baik-baik kok." Berdengung pendengarannya. Mata Nathan menatap miris sosok di depan. Berucap tanpa perasaan, menganggap Launa layaknya barang yang tidak lagi dipergunakan saat berhasil mencapai keuntungan. "Tumbuh dalam keluarga yang rusak bikin lo mati rasa, ya? Hidup lo miris, Gama. Pengecut." Gama terpancing. Rahangnya mengeras dengan gerakan cepat meraup krah baju laki-laki di sebelah Nathan. Tanpa jeda memberi pukulan, tidak peduli akan larangan dari teman-temannya yang berusaha menahan. Amarah Gama memuncak, tidak boleh satu pun orang menyinggung tentang keluarga, kehidupannya yang tidak lagi dituntun orang tua. Kacau. Tidak memilki rumah. Orang tua adalah alasan pertama Gama masuk pada perkumpulan tidak bertata krama. Lingkungan yang buruk menciptakan karakter yang tidak sesuai dengan usia. Gama sudah terlalu rusak untuk sembuh. "Kalau lo memang bikin Launa menderita, gue harap, lo adalah orang pertama yang menyesali semuanya. Tanpa sisa, gue yakin lo akan putar arah, Gama!" "Launa. Hati-hati nanti tertarik." ***Ramai koridor siang ini tidak membuat langkah cowok dengan dasi yang terikat pada kepala itu terhalang. Diberikan ruang untuk berjalan dan tatapan segan yang diperuntukkan. Sekelompok murid nakal Manggala itu menuju pada arah koridor paling belakang, saling berbisik menanyakan apa sebab yang membuat wajah Gama lebam. Buncahan emosi yang diperlihatkan pada tatapan dan mulut yang jarang mengumbar senyuman. "Udah mau jam pulang, lo gak mau nemuin anak baru?" Cowok berjaket hitam andalan PAGATRA membuka suara. Arjuna sedikit menunduk saat mendapat tatapan menusuk dari Gama. "Kenapa lagi Ga? PMS." Mulut ceplas-ceplos Nevan membuat decakan Gama terdengar. Dobrakan keras membuat mereka terlonjak kaget, sedangkan Gama dengan wajah datar menendang pintu gudang lalu masuk tidak merasa bersalah. Duduk pada susunan kursi kayu dengan jari yang terangkat mengisap sebatang rokok. "Gama mah mana pernah anteng, kerjanya kan badmood mulu," bisik Rigel pada Nevan yang melotot, saling lirik l
Tidak terlalu banyak mengetahui tentang Launa. Pertemuan dengan petinggi PAGATRA tiga bulan lalu menjadi titik awal bagi Gama. Melangkah pada arah yang tidak sejalan dengan hidupnya. Aneh, Gama yang buruk untuk Launa. "Kak!" Suara lembut di sebelah membuat Gama memutus pandangan dari layar ponsel yang menampilkan room chat dengan Bara, sosok pencetus lahirnya PAGATRA. Bergumam kecil menanggapi panggilan Launa. Sekilas, menilai ekspresi berubah-ubah dari cewek itu, menciptakan kerutan dan kekehan tanpa suara. Gama mendongak, bersedekap dada dan menaruh atensi sepenuhnya pada Launa. "Aku punya salah?" tanyanya pelan. Gama merespon dengan gelengan. Tangan terangkat mendorong pelipis Launa menjauh, cukup risih karena wajah keduanya terlalu dekat. "Jadi, kenapa dekat-dekat? Atau Kak Gama punya maksud buruk? Mau bunuh aku?" Tepat, Launa pintar sekali. "Bawel. Kebanyakan nonton film lo," sahut Gama memutar bola mata malas, berdecak membuat Launa tergelak. Entah kenapa, b
Pergerakan jari terlepas dari pena saat bangku di sebelah terisi. Tubuh Launa menegak, memperbaiki posisi duduk tidak nyaman akan tatapan. Tersenyum, mencoba tidak peduli, dalam lirikan sekilas ada tatapan tidak suka yang terpancar pada bola mata itu. "Sejak kapan dekat sama Kak Gama?" Mata Launa menyipit, telinganya memerah mendengar nama Gama dan terpintas singkat mengenai wajahnya yang galak. "Aah, kita gak terlalu dekat kok. Lagian Kak Gama, temen Abang aku, jadi biasa," sahut Launa terkekeh berusaha mencairkan suasana tegang. Tatapan menelisik dan sudut bibir kiri yang naik menggambarkan sikap angkuh cewek yang berstatus sebagai ketua kelas barunya itu. Jenara, namanya. Termasuk murid terambis di Manggala. Penampilan rapi dan kaca mata bening yang menambah aura kepintaran. "Udah gue tebak. Orang kayak lo bukan tipenya Kak Gama," ujar Jena tertawa memainkan ujung rambut menatap Launa. Suasana kelas masih sepi pagi ini, Launa yang tadi berniat datang cepat untuk me
Dentuman keras disusul suara kaca yang dihantam batu membuat setiap sudut Manggala heboh. Seluruh siswa yang tadi fokus belajar mulai berlarian keluar kelas. Alarm kebakaran juga memberi sinyal, menambah kesan keruh di area lapangan Manggala siang ini. "Launa mana?" Vania berteriak panik tidak menemukan cewek berbandana biru yang rasanya tadi mengikuti di belakang tubuh. Langkah Kinan turut berhenti, menatap lautan siswa yang berkerumunan masuk ke dalam aula menyelamatkan diri. Saling tatap berusaha memendam gelisah, Launa masih baru dan tidak mengenal seluk-beluk Manggala. "Kalian mau ke mana? Masuk cepat!" Perintah bersuara tinggi menarik kedua cewek itu masuk ke dalam aula. Meninggalkan kebisingan Manggala dan Launa yang entah di mana. Area koridor depan menjadi tempat utama kegaduhan, sorakan berisi umpatan dan derap langkah orang-orang menandakan bahwa PAGATRA telah datang. Bagian kecil yang ada menunjukkan bahwa mereka siap menjadi pembela. "Lancang!" Gama berdir
Ruang minim pencahayaan dengan botol alkohol yang berserakan membuat Gama menahan napas. Raut kesal terlihat jelas saat menangkap seringaian kecil dari laki-laki dewasa di depan sana. Berdiri angkuh tepat pada pintu balkon, seolah menyambut kedatangan Gama. "Mana?" tanya suara bernada rendah dan lirikan mata yang menatap buas ke arah belakang tubuh. Gama menunduk. "100 hari. Lo udah janji, Bang." Bara mengangguk lalu tergelak bertepuk tangan. Penampilan yang acak-acakan dengan rambut panjang menambah kesan menakutkan. Sosok yang membawa Gama masuk dalam dunia gelap sejauh ini. Awal tujuan tumbuhnya kenakalan pada diri. "Setelah itu milik gue, kan? Launa yang manis," decak Bara menggeleng pelan dengan mata terpejam seolah membayangkan sosok yang diperbincangkan. Cowok berumur 25 tahun itu mengigit bibir pelan sembari mempertipis jarak dengan Gama. Saling tatap memperlihatkan dendam masing-masing melalui mata. Gama terpancing, rahangnya mengeras saat mulut beraroma alkohol te
Seret langkah menuju puncak amarah dua paruh baya yang terlibat pertikaian panas. Umpatan diselingi gebrakan keras lalu suara tangis memecah suasana. Gama, remaja itu berdecak kemudian melangkah pada sosok kecil yang duduk menyudut di bawah meja makan. "Bocah, ngapain lo di sini?" Katakan Gama orang bodoh karena berbicara dengan anak kecil yang masih berumur 22 bulan itu. Menulikan pendengaran saat suara berisik dari belakang tubuh kian mengeras saling meluapkan. Kegaduhan rumah untuk ke sekian kalinya. Dalam diam, mengusap bekas air mata dan mengusap pelan pucuk kepala saudara beda Ibu itu. Gama terkekeh, walaupun jarang berinteraksi tidak ada sedikitpun kecanggungan di antara mereka. "Ma, Ma, Ma," ucap bayi tersebut memanggil nama Gama. Bibir kecilnya mencebik dan mata yang berkaca-kaca, masih menggambarkan ketakutan akan suara berisik tadi. "Kak!" Suara lembut menyapa pendengaran Gama, membuat atensi beralih terpusat pada cewek yang berdiri kaku di anak tangga terakhir.