Pergerakan jari terlepas dari pena saat bangku di sebelah terisi. Tubuh Launa menegak, memperbaiki posisi duduk tidak nyaman akan tatapan. Tersenyum, mencoba tidak peduli, dalam lirikan sekilas ada tatapan tidak suka yang terpancar pada bola mata itu.
"Sejak kapan dekat sama Kak Gama?" Mata Launa menyipit, telinganya memerah mendengar nama Gama dan terpintas singkat mengenai wajahnya yang galak. "Aah, kita gak terlalu dekat kok. Lagian Kak Gama, temen Abang aku, jadi biasa," sahut Launa terkekeh berusaha mencairkan suasana tegang. Tatapan menelisik dan sudut bibir kiri yang naik menggambarkan sikap angkuh cewek yang berstatus sebagai ketua kelas barunya itu. Jenara, namanya. Termasuk murid terambis di Manggala. Penampilan rapi dan kaca mata bening yang menambah aura kepintaran. "Udah gue tebak. Orang kayak lo bukan tipenya Kak Gama," ujar Jena tertawa memainkan ujung rambut menatap Launa. Suasana kelas masih sepi pagi ini, Launa yang tadi berniat datang cepat untuk mengerjakan tugas lebih awal tampak pupus saat Jenara tidak kunjung beranjak. Membuat Launa risih, diperhatikan sedemikian rupa. "Emang tipenya Kak Gama yang gimana?" tanya Launa memelan kemudian membuang muka tidak ingin mengetahui reaksi Jenara. Memukul pelipis dengan bibir mengerucut, malu. Kenapa harus kata tersebut yang Launa ucapkan? "Yahh, yang penting gak kayak lo. Cupu," sinis Jenara bersedekap dada memasang wajah tengil, meremehkan Launa. Merespon dengan senyuman paksa. Launa memilih fokus pada buku tulis dibandingkan mendengar sindiran halus Jenara. Menggeser bangku menciptakan jarak seolah tanpa sadar memberi tahu pada Jenara bahwa Launa tidak nyaman akan kehadirannya. "Baru murid baru jangan belagu. Sok-sok dekat sama kakak kelas, wajah aja pas-pasan." Launa mendongak, alisnya menukik cukup tersinggung. Menatap aneh Jenara yang memasang wajah datar, hilang persepsi bagus tentang cewek di sebelahnya itu. Launa kira murid-murid pintar seperti Jenara ini tidak akan mau ribet mencampuri urusan orang lain, nyatanya sudah cukup fasih membentuk kata cacian. "Jena, gak sopan. Aku cuma sebatas kenal karena dia temen Abang aku. Gak lebih, jangan cemburuan jadi orang. Emang kamu siapa Kak Gama?" Pertanyaan yang terucap dari bibir Launa tidak dijawab. "Datang gak jelas, kenal juga enggak. Nyinyiran orang lagi." Tercekat dengan geraman yang tertahan. Manik Jenara menatap dendam pada Launa yang menghembuskan napas jengah. Dengan kesal beranjak yang ditanggapi decakan malas oleh Launa. Kembali pada kegiatan awalnya, berusaha tidak terpancing akan cibiran cewek itu. "Heh!" Serempak mata menuju pada pintu masuk, keberadaan Gama yang datang sepagi ini dengan garis bibir yang menipis karena senyum. Jenara terpaku, menyadari arah tatap temannya itu tertuju pada Launa yang bergerak resah. "Sini lo!" titah Gama menggerakkan jari telunjuk agar Launa mendekat. "Kak Gama ada perlu apa?" Jenara tersenyum melangkah lebih dekat. Melihat reaksi wajah Gama yang berubah saat menatap padanya membuat mata mengerjap, sadar. "Panggilin tuh cewek, cepat Launa. Lo mau gue penyek?" Gama berucap kesal dengan tatapan sinis pada Launa yang menunduk memejamkan mata. Kesabaran Gama menipis, tanpa kata melangkah masuk. Memberikan dasi yang semulanya terbelit di punggung tangan pada Launa yang memasang wajah cengo. Tidak mengerti akan tingkah aneh Gama yang hanya datang untuk memberikan sebuah dasi? Kedua sudut bibir Launa tertarik paksa. Bangkit dan mengambil dasi Gama, menatap bergantian hendak bertanya hal apa yang akan dilakukan. "Jangan pura-pura bodoh lo pasti tau maksud gue," bisik cowok itu tertawa kecil. "Kak Gama?" Suara lembut Launa yang lebih terdengar seperti geraman ditanggapi dengan dehaman singkat. "Pasang dasi gak bisa? Jangan manja deh, ingat umur." Pelolotan Gama dan dorongan pada kepala. Launa terkekeh, walaupun mengeluh dengan tingkah aneh cowok di hadapannya tetap melaksanakan titah tidak terbantah itu. Melirik sekilas pada posisi Jenara yang diam di belakang tubuh Gama, Launa mengangkat alis bertanya. Rasa puas melingkupi dada melihat wajah Jenara yang memerah, emosi penuh amarah akan kedekatan Launa dan Gama. "Kata temen aku Kak Gama jarang sekolah, ya? Kalau datang pun gak belajar, malah tidur, habisin waktu di kantin atau bolos. Iya, kan?" tanya Launa membuat Gama mengangguk kecil, membenarkan. "Kenapa? Keren tau." Launa berdecak, pegangan pada dasi di leher Gama menguat seolah menjelaskan kekesalan atas jawaban aneh dari kakak kelasnya itu. Mana ada sejenis kegiatan merugikan tadi dipandang keren, hanya Gama yang mengucapkan dengan bangga. "Gak baik, Kak. Udah mau kelulusan dikurangi main-mainnya," tegur Launa tanpa sadar melunturkan ekpresi songong yang tergambar pada wajah Gama. Mengangkat alis dengan kekehan singkat yang masuk ke pendengaran. "Tipe cowok lo yang gimana?" Pertanyaan spontan dari Gama yang membuat Launa tersedak. Melangkah mundur saat dasi tadi telah terpasang rapi, bingung untuk menjawab. "Yang pastinya gak kayak Kak Gama." Gama merenggut, cowok itu mendorong kepala Kalula untuk kedua kalinya, hobi sekali. Cukup tersinggung akan balasan santai Launa. "Aku gak suka sama cowok urakan. Jelek." Memejamkan mata saat Launa semakin memperjelas. Tatapan Gama turun menilai penampilan, persis seperti yang diucapkan Launa. Tidak ada kerapihan pada diri Gama. Tapi biasanya walaupun vanyak orang yang menilai, Gama tidak pernah sekesal ini. Nada suara Launa yang mengejek membuat Gama bergerak ribut. Bersedekap dada menatap selidik ke arah Launa. "Lo punya dendam apa sih sama gue?" "Aku gak dendam kok, kan yang aku bilang kenyataannya. Kak Gama itu jelek, gak keren sama sekali," jawab Launa. Semakin membuat Gama memanas, geram ingin menggeplak wajah Launa. Tidak ada penghuni Manggala yang seberani ini, nyatanya Launa adalah orang pertama yang menghina tampilan Gama, penguasa Manggala. Sial, merasa direndahkan. "Monyet," dengus Gama merendam kekesalan. Menulikan tawa dan ungkapan maaf Launa yang beriringan menemani langkah kakinya keluar. Berniat main malah dipermainkan. Nyatanya Gama menganggap bahwa untuk membuat Launa jatuh dan akan digerakkan semaunya adalah sebatas angan-angan. Cewek itu cukup pintar untuk membatasi diri dengan sosok Gama yang bermasalah. "Gimana?" tanya temannya saat Gama masuk ke area kantin. Duduk memasang wajah tidak bersahabat menciptakan kerutan di tiap bagian dahi. Nevan menyenggol lengan Rigel dengan tatapan mengarah pada pergelangan tangan kiri Gama. Saling tatap beberapa saat lalu serempak terkekeh bersama. "Sejak kapan calon ketua kita se alay ini?" Rigel membuka suara dengan alis terangkat. Gama menoleh, alisnya menukik memperlihatkan tatapan tajam yang masih belum usai akan kekesalan pada Launa. Menunggu lanjutan kata dari mulut Rigel yang tersenyum misterius dengan pandangan yang mengejek. "Gelang couple, heh?" Nevan menyahut dengan telunjuk yang menoel hidung mancung Gama. Membuat telinga cowok itu memerah lalu membuang muka. Tidak tahu harus menjawab dengan apa, Gama menatap belitan benda berwarna biru gelap yang kemarin malam diberikan Launa setelah menghabiskan waktu bersama. "Lo bukan ciri orang yang mudah akrab apalagi sampai sukarela pakai barang, musuh kita lagi. Jangan kejebak, soalnya kacau Gama kalau lo punya rasa," ungkap Arjuna mengingatkan tujuan awal Gama mendekati Launa. Baru dua hari udah sedekat ini, bagaimana untuk ke depannya? "Dan kalian tau kalau gue udah mati rasa. Buat ngelibatin yang namanya cinta karena memang udah hilang dari lama." Berhasil membuat suasana hening dalam sekejap. Suara parau Gama dan tundukan kepala yang menyembunyikan tatapan matanya yang terluka. "Jangan hilang arah karena Launa. Demi keselamatan lo dari amukan Bang Bara. Kehadiran tuh cewek cuma sebagai patokan buat lo bisa nempatin posisi ketua. Ingat, PAGATRA adalah tujuan akhir." ***Dentuman keras disusul suara kaca yang dihantam batu membuat setiap sudut Manggala heboh. Seluruh siswa yang tadi fokus belajar mulai berlarian keluar kelas. Alarm kebakaran juga memberi sinyal, menambah kesan keruh di area lapangan Manggala siang ini. "Launa mana?" Vania berteriak panik tidak menemukan cewek berbandana biru yang rasanya tadi mengikuti di belakang tubuh. Langkah Kinan turut berhenti, menatap lautan siswa yang berkerumunan masuk ke dalam aula menyelamatkan diri. Saling tatap berusaha memendam gelisah, Launa masih baru dan tidak mengenal seluk-beluk Manggala. "Kalian mau ke mana? Masuk cepat!" Perintah bersuara tinggi menarik kedua cewek itu masuk ke dalam aula. Meninggalkan kebisingan Manggala dan Launa yang entah di mana. Area koridor depan menjadi tempat utama kegaduhan, sorakan berisi umpatan dan derap langkah orang-orang menandakan bahwa PAGATRA telah datang. Bagian kecil yang ada menunjukkan bahwa mereka siap menjadi pembela. "Lancang!" Gama berdir
Ruang minim pencahayaan dengan botol alkohol yang berserakan membuat Gama menahan napas. Raut kesal terlihat jelas saat menangkap seringaian kecil dari laki-laki dewasa di depan sana. Berdiri angkuh tepat pada pintu balkon, seolah menyambut kedatangan Gama. "Mana?" tanya suara bernada rendah dan lirikan mata yang menatap buas ke arah belakang tubuh. Gama menunduk. "100 hari. Lo udah janji, Bang." Bara mengangguk lalu tergelak bertepuk tangan. Penampilan yang acak-acakan dengan rambut panjang menambah kesan menakutkan. Sosok yang membawa Gama masuk dalam dunia gelap sejauh ini. Awal tujuan tumbuhnya kenakalan pada diri. "Setelah itu milik gue, kan? Launa yang manis," decak Bara menggeleng pelan dengan mata terpejam seolah membayangkan sosok yang diperbincangkan. Cowok berumur 25 tahun itu mengigit bibir pelan sembari mempertipis jarak dengan Gama. Saling tatap memperlihatkan dendam masing-masing melalui mata. Gama terpancing, rahangnya mengeras saat mulut beraroma alkohol te
Seret langkah menuju puncak amarah dua paruh baya yang terlibat pertikaian panas. Umpatan diselingi gebrakan keras lalu suara tangis memecah suasana. Gama, remaja itu berdecak kemudian melangkah pada sosok kecil yang duduk menyudut di bawah meja makan. "Bocah, ngapain lo di sini?" Katakan Gama orang bodoh karena berbicara dengan anak kecil yang masih berumur 22 bulan itu. Menulikan pendengaran saat suara berisik dari belakang tubuh kian mengeras saling meluapkan. Kegaduhan rumah untuk ke sekian kalinya. Dalam diam, mengusap bekas air mata dan mengusap pelan pucuk kepala saudara beda Ibu itu. Gama terkekeh, walaupun jarang berinteraksi tidak ada sedikitpun kecanggungan di antara mereka. "Ma, Ma, Ma," ucap bayi tersebut memanggil nama Gama. Bibir kecilnya mencebik dan mata yang berkaca-kaca, masih menggambarkan ketakutan akan suara berisik tadi. "Kak!" Suara lembut menyapa pendengaran Gama, membuat atensi beralih terpusat pada cewek yang berdiri kaku di anak tangga terakhir.
Tragedi satu tahun lalu menelan korban yang merupakan ketua PAGATRA generasi ketiga. Posisi Gama sebagai anggota inti sekaligus tangan kanan petinggi PAGATRA, diberikan misi pembalasan dendam pada sosok tak bersalah. "Jangan Launa!" Nada suara penuh permohonan dan raut putus asa menciptakan seringaian andalan Gama. Memperkikis jarak dengan laki-laki yang bertanggung jawab akan kejadian tahun lalu. Kematian Tian, menciptakan perjanjian yang mengantarkan pada jurang kehancuran. "Lo harus rasain juga yang namanya kehilangan. Karena lo, semuanya kacau," bisik lirih terdengar jelas pada keheningan malam. Meluruh. Nathan bertekuk lutut menciptakan sorak ramai dan tatapan tidak percaya dari berbagai pasang mata. Perannya sebagai ketua dari perkumpulan siswa Cakrawala yang terlibat membuat Nathan harus bertanggung jawab. Namun bukan dirinya, tetapi Launa, adik kecilnya yang tidak tahu apa-apa. Launa bertubuh lemah dan sikapnya yang lugu karena batasan sang Ayah. Akan melangkah ber
Ramai koridor siang ini tidak membuat langkah cowok dengan dasi yang terikat pada kepala itu terhalang. Diberikan ruang untuk berjalan dan tatapan segan yang diperuntukkan. Sekelompok murid nakal Manggala itu menuju pada arah koridor paling belakang, saling berbisik menanyakan apa sebab yang membuat wajah Gama lebam. Buncahan emosi yang diperlihatkan pada tatapan dan mulut yang jarang mengumbar senyuman. "Udah mau jam pulang, lo gak mau nemuin anak baru?" Cowok berjaket hitam andalan PAGATRA membuka suara. Arjuna sedikit menunduk saat mendapat tatapan menusuk dari Gama. "Kenapa lagi Ga? PMS." Mulut ceplas-ceplos Nevan membuat decakan Gama terdengar. Dobrakan keras membuat mereka terlonjak kaget, sedangkan Gama dengan wajah datar menendang pintu gudang lalu masuk tidak merasa bersalah. Duduk pada susunan kursi kayu dengan jari yang terangkat mengisap sebatang rokok. "Gama mah mana pernah anteng, kerjanya kan badmood mulu," bisik Rigel pada Nevan yang melotot, saling lirik l
Tidak terlalu banyak mengetahui tentang Launa. Pertemuan dengan petinggi PAGATRA tiga bulan lalu menjadi titik awal bagi Gama. Melangkah pada arah yang tidak sejalan dengan hidupnya. Aneh, Gama yang buruk untuk Launa. "Kak!" Suara lembut di sebelah membuat Gama memutus pandangan dari layar ponsel yang menampilkan room chat dengan Bara, sosok pencetus lahirnya PAGATRA. Bergumam kecil menanggapi panggilan Launa. Sekilas, menilai ekspresi berubah-ubah dari cewek itu, menciptakan kerutan dan kekehan tanpa suara. Gama mendongak, bersedekap dada dan menaruh atensi sepenuhnya pada Launa. "Aku punya salah?" tanyanya pelan. Gama merespon dengan gelengan. Tangan terangkat mendorong pelipis Launa menjauh, cukup risih karena wajah keduanya terlalu dekat. "Jadi, kenapa dekat-dekat? Atau Kak Gama punya maksud buruk? Mau bunuh aku?" Tepat, Launa pintar sekali. "Bawel. Kebanyakan nonton film lo," sahut Gama memutar bola mata malas, berdecak membuat Launa tergelak. Entah kenapa, b