Ruang minim pencahayaan dengan botol alkohol yang berserakan membuat Gama menahan napas. Raut kesal terlihat jelas saat menangkap seringaian kecil dari laki-laki dewasa di depan sana. Berdiri angkuh tepat pada pintu balkon, seolah menyambut kedatangan Gama.
"Mana?" tanya suara bernada rendah dan lirikan mata yang menatap buas ke arah belakang tubuh. Gama menunduk. "100 hari. Lo udah janji, Bang." Bara mengangguk lalu tergelak bertepuk tangan. Penampilan yang acak-acakan dengan rambut panjang menambah kesan menakutkan. Sosok yang membawa Gama masuk dalam dunia gelap sejauh ini. Awal tujuan tumbuhnya kenakalan pada diri. "Setelah itu milik gue, kan? Launa yang manis," decak Bara menggeleng pelan dengan mata terpejam seolah membayangkan sosok yang diperbincangkan. Cowok berumur 25 tahun itu mengigit bibir pelan sembari mempertipis jarak dengan Gama. Saling tatap memperlihatkan dendam masing-masing melalui mata. Gama terpancing, rahangnya mengeras saat mulut beraroma alkohol tersebut tidak berhenti mengucapkan nama Launa. Gama risih. Ada yang panas di dalam sana saat tatapan penuh rendah ditujukan oleh Bara. "Gue tunggu kedatangan Launa di rumah ini. Anak-anak udah siapin semuanya dengan baik, nanti ramai. Jangan lupa datang, lo harus berdiri paling depan!" bisik penuh penekanan menyeruak pada pendengaran. "Cewek penyakitan itu kita bikin luruh di sini. Digilir kayaknya lebih asik?" Ucapan Gama diakhiri kekehan, mengguncang tubuh kaku Gama dengan mata meredup, menggantikan tatapan yang semula kosong menjadi sebuah ambisi besar. Peringatan Bara untuk Gama. Memegang kendali atas ke mana harus melangkah, semua yang dilakukan berdasarkan titah tidak terbantah. Hanya mampu menerima, menjalankan dengan bodoh, kemudian terluka. Kendatinya Gama ada tidak untuk bahagia. "Jangan ingkar, Launa cuma patokan buat seret Nathan sama Jaguar ke sini. Lo gak punya hak buat bikin satu gores pun di tubuh dia, ini pernyataan mutlak dari gue, Bang." Gama membalas dengan senyuman tipis yang menghiasi wajah. Berhasil membuat Bara tersentak mendengus tidak terima. Kaki jenjang yang terbalut celana jeans sobek pada lutut kiri itu terangkat cepat menendang perut Gama. Posisi tubuh yang tidak siap membuat langkah mundur nyaris terjungkal ke belakang. Gama meringis, mengangkat alis lalu menyeringai saat melihat wajah Bara memerah dengan tatapan tajam seakan mencabik tubuhnya. Membasahi bibir dengan gerakan lidah yang mengejek pada atasannya itu. "Lo mau mati?" "Yah? Lo mengakui kalau gue masih hidup? Bang, lo lupa kalau rasa gue udah mati dari lama? Cuma sebatas robot buat nurutin perintah gila dari orang-orang berdosa," jawab Gama mengangkat dagu tinggi menantang amarah Bara yang semakin membuncah. Tersulut, kedua tangan Bara meraup krah seragam Gama. Tanpa pikir panjang, mendaratkan pukulan berulang-ulang pada wajah dan rahang secara bergantian. Berteriak, meluapkan emosi saat Gama untuk pertama kalinya membalas penganiayaan yang selama ini Bara lakukan. "Anak anjing berani sama majikan karena cewek sial itu?" Bara mencengkram leher Gama, melotot marah merasa tidak dihargai. Terbatuk, Gama bergerak ribut berusaha lepas saat pasokan udara kian menipis, membuat dadanya terasa menumpuk dan sesak. "Lo lupa sama jasa gue? Tanpa tangan ini lo gak akan disegani banyak orang, Gama. Kuasa gue yang buat lo aman sebagai anak pelacur yang terbuang," tutur Bara tertawa remeh, tidak menyadari gerakan kaki Gama yang terangkat dan menendang bagian belakang kepala. Bara terpekik saat rasa perih melingkupi bagian kepala. Bertekuk lutut menahan sakit dengan geraman kata berisi umpatan pada Gama. "Lo!" tunjuk Bara memburu. Bugh. Satu pukulan telak pada tulang hidung dalam sekejap membuat Bara jatuh, tidak berkutik dengan pandangan yang berkunang-kunang. "Dan lo berhasil bikin anak pelacur ini tumbuh dengan buruk. Dendam, lo selalu ucapin kata itu tiap gue tidur, Bang. Gue punya hak sekarang, kendali atas hidup gue biar gak mati," bisik Gama dibalas lenguhan dan ungkapan tidak jelas oleh Bara. Jari-jari panjang yang membentuk remasan pada bagian sisi wajah Bara. Menggeram, menumpahkan pada sosok tidak berdaya. Gama tidak rela, telinganya berdenging, sakit, tidak suka saat Bara menggumamkan nama Launa kemudian mengucapkan kata kurang ajar dengan gambaran wajah yang menjijikkan. "Masih dua hari, lo udah jadi pembangkang? Semenarik apa tuh cewek sampai bikin rasa gila hormat lo hilang? Penghinaan, Gama! Gue tersinggung," jelas Bara menggeleng samar masih berusaha sadar untuk mengungkapkan kekesalan atas sikap Gama. Tidak ada satu pun bagian PAGATRA yang berhasil melumpuhkan Bara. Gama yang pertama. Bawahan yang diberikan kepercayaan untuk menjalankan misi balas dendam kini tampak berbeda. Wajah yang mulai menunjukkan berbagai macam ekspresi, tampak lebih hidup dibandingkan rencana Bara yang menuntutnya untuk mati. "Gue tau, Bang. Alasan balas dendam lo bukan sekedar karena kematian Bang Tian, tapi tentang ketidaksetaraan lo yang gak dapat hak selayaknya anak. Lo benci saudara lo sendiri? Merasa terbuang, kan? Kita sama, tapi lo jauh lebih menyedihkan." Pelampiasan Bara pada lantai keras, dadanya memanas mendengarkan untaian kata menyakitkan. Dan sepintas pertanyaan, Dari mana Gama mengetahui kehidupan yang selama ini tidak pernah Bara ceritakan pada siapapun. Semenjak berdiri PAGATRA empat tahun lalu. Dari sekian banyak tangan yang membantu Bara, tidak ada yang mengetahui sedemikian rupa tentang siapa dirinya. Namun, Gama. Anak kecil yang Bara ciptakan dengan ruang dendam berhasil mematahkan. "Awas lo." ~~~ Cubitan pada bagian bahu kanan menciptakan rintihan kesakitan Gama. Cowok dengan wajah babak belur penuh lebam itu melabuhkan pandangan sepenuhnya pada Launa yang cemberut, mata kecil yang selalu menyipit saat tertawa kini tampak memerah. Jari kecil yang tidak henti mengusap bagian pelipis dan sudut bibir Gama bergantian. "Tuh, kann. Kak Gama, ihh," kesal Launa direspons tawa kecil oleh Gama. Menggigit bibir menahan kata sakit saat kapas putih pada tangan Launa terus bergerak menyusuri bagian yang terluka. "Baru tadi aku obatin dan sekarang muncul babak belur gini. Ngapain aja sih? Kerjaan Kak Gama bahaya banget dari Polisi," omel Launa geram akan tingkah nakal seniornya itu yang bertamu selarut ini. Mengetok pintu rumah, masuk dan duduk dengan wajah tanpa dosa di sofa ruang tamu. Membuat Launa panik, takut tertangkap basah oleh Ayah ataupun Nathan, Abangnya. "Habis dari mana? Udah tengah malam lohh, Kak. Jangan keluyuran." Kepala Gama mendongak memerhatikan wajah Launa yang kusut. Garis bibir terukir saat mendengar decakan dan omelan yang terus terucap. Bukannya merasa risih ataupun kesal, Gama justru merasa senang. Merasa diperhatikan ketika diperlakukan layak anak kecil. Hal yang tidak pernah sekalipun didapat. Untuk Gama yang kehilangan peran orang tua. "Gue gak punya tempat balik, gak ada rumah yang bikin tidur gue aman. Jadi, ya gini. Keluyuran gak jelas," jawab Gama terkekeh sembari merapikan rambut Launa yang acak-acakan. Tidak berani bersitatap dengan mata teduh yang akan membuat Gama jatuh sesaat. "Gak tau kenapa, semenjak kenal lo, gue kayak punya tempat buat balik. Sakit, Launa. Tubuh gue lelah." Bergetar punggungnya, napas Launa tercekat tidak mampu berucap mendengar ungkapan putus asa Gama. Semakin membuat mata Launa memanas, seolah merasakan kesepian itu. Begitu jauh untuk direngkuh. Seperti apapun penghuni Manggala yang mengatakan bahwa Gama memiliki segalanya untuk membuat semua orang tunduk namun bagi Launa tidak, dia hanya berusaha untuk terlihat ada dengan kuasa. Karena, selama ini Gama diabaikan. Membuat dia tumbuh dengan rasa haus pada perhatian. "Jadi, aku tempat berpulang?" Gama mengangguk pelan. "Lalu, apakah hari ini baik? Ayo, cerita Kak." Terpejam saat tangan Launa membawa masuk dalam pelukan. Menciptakan perasaan aneh pada tubuh yang mulai bergetar. "Aduh, Kak Gama aku capek, ya?" Suara cempreng Launa terdengar menggelikan dan membuat Gama tertawa rendah. "Lo, bikin gue kacau Launa."Seret langkah menuju puncak amarah dua paruh baya yang terlibat pertikaian panas. Umpatan diselingi gebrakan keras lalu suara tangis memecah suasana. Gama, remaja itu berdecak kemudian melangkah pada sosok kecil yang duduk menyudut di bawah meja makan. "Bocah, ngapain lo di sini?" Katakan Gama orang bodoh karena berbicara dengan anak kecil yang masih berumur 22 bulan itu. Menulikan pendengaran saat suara berisik dari belakang tubuh kian mengeras saling meluapkan. Kegaduhan rumah untuk ke sekian kalinya. Dalam diam, mengusap bekas air mata dan mengusap pelan pucuk kepala saudara beda Ibu itu. Gama terkekeh, walaupun jarang berinteraksi tidak ada sedikitpun kecanggungan di antara mereka. "Ma, Ma, Ma," ucap bayi tersebut memanggil nama Gama. Bibir kecilnya mencebik dan mata yang berkaca-kaca, masih menggambarkan ketakutan akan suara berisik tadi. "Kak!" Suara lembut menyapa pendengaran Gama, membuat atensi beralih terpusat pada cewek yang berdiri kaku di anak tangga terakhir.
Tragedi satu tahun lalu menelan korban yang merupakan ketua PAGATRA generasi ketiga. Posisi Gama sebagai anggota inti sekaligus tangan kanan petinggi PAGATRA, diberikan misi pembalasan dendam pada sosok tak bersalah. "Jangan Launa!" Nada suara penuh permohonan dan raut putus asa menciptakan seringaian andalan Gama. Memperkikis jarak dengan laki-laki yang bertanggung jawab akan kejadian tahun lalu. Kematian Tian, menciptakan perjanjian yang mengantarkan pada jurang kehancuran. "Lo harus rasain juga yang namanya kehilangan. Karena lo, semuanya kacau," bisik lirih terdengar jelas pada keheningan malam. Meluruh. Nathan bertekuk lutut menciptakan sorak ramai dan tatapan tidak percaya dari berbagai pasang mata. Perannya sebagai ketua dari perkumpulan siswa Cakrawala yang terlibat membuat Nathan harus bertanggung jawab. Namun bukan dirinya, tetapi Launa, adik kecilnya yang tidak tahu apa-apa. Launa bertubuh lemah dan sikapnya yang lugu karena batasan sang Ayah. Akan melangkah ber
Ramai koridor siang ini tidak membuat langkah cowok dengan dasi yang terikat pada kepala itu terhalang. Diberikan ruang untuk berjalan dan tatapan segan yang diperuntukkan. Sekelompok murid nakal Manggala itu menuju pada arah koridor paling belakang, saling berbisik menanyakan apa sebab yang membuat wajah Gama lebam. Buncahan emosi yang diperlihatkan pada tatapan dan mulut yang jarang mengumbar senyuman. "Udah mau jam pulang, lo gak mau nemuin anak baru?" Cowok berjaket hitam andalan PAGATRA membuka suara. Arjuna sedikit menunduk saat mendapat tatapan menusuk dari Gama. "Kenapa lagi Ga? PMS." Mulut ceplas-ceplos Nevan membuat decakan Gama terdengar. Dobrakan keras membuat mereka terlonjak kaget, sedangkan Gama dengan wajah datar menendang pintu gudang lalu masuk tidak merasa bersalah. Duduk pada susunan kursi kayu dengan jari yang terangkat mengisap sebatang rokok. "Gama mah mana pernah anteng, kerjanya kan badmood mulu," bisik Rigel pada Nevan yang melotot, saling lirik l
Tidak terlalu banyak mengetahui tentang Launa. Pertemuan dengan petinggi PAGATRA tiga bulan lalu menjadi titik awal bagi Gama. Melangkah pada arah yang tidak sejalan dengan hidupnya. Aneh, Gama yang buruk untuk Launa. "Kak!" Suara lembut di sebelah membuat Gama memutus pandangan dari layar ponsel yang menampilkan room chat dengan Bara, sosok pencetus lahirnya PAGATRA. Bergumam kecil menanggapi panggilan Launa. Sekilas, menilai ekspresi berubah-ubah dari cewek itu, menciptakan kerutan dan kekehan tanpa suara. Gama mendongak, bersedekap dada dan menaruh atensi sepenuhnya pada Launa. "Aku punya salah?" tanyanya pelan. Gama merespon dengan gelengan. Tangan terangkat mendorong pelipis Launa menjauh, cukup risih karena wajah keduanya terlalu dekat. "Jadi, kenapa dekat-dekat? Atau Kak Gama punya maksud buruk? Mau bunuh aku?" Tepat, Launa pintar sekali. "Bawel. Kebanyakan nonton film lo," sahut Gama memutar bola mata malas, berdecak membuat Launa tergelak. Entah kenapa, b
Pergerakan jari terlepas dari pena saat bangku di sebelah terisi. Tubuh Launa menegak, memperbaiki posisi duduk tidak nyaman akan tatapan. Tersenyum, mencoba tidak peduli, dalam lirikan sekilas ada tatapan tidak suka yang terpancar pada bola mata itu. "Sejak kapan dekat sama Kak Gama?" Mata Launa menyipit, telinganya memerah mendengar nama Gama dan terpintas singkat mengenai wajahnya yang galak. "Aah, kita gak terlalu dekat kok. Lagian Kak Gama, temen Abang aku, jadi biasa," sahut Launa terkekeh berusaha mencairkan suasana tegang. Tatapan menelisik dan sudut bibir kiri yang naik menggambarkan sikap angkuh cewek yang berstatus sebagai ketua kelas barunya itu. Jenara, namanya. Termasuk murid terambis di Manggala. Penampilan rapi dan kaca mata bening yang menambah aura kepintaran. "Udah gue tebak. Orang kayak lo bukan tipenya Kak Gama," ujar Jena tertawa memainkan ujung rambut menatap Launa. Suasana kelas masih sepi pagi ini, Launa yang tadi berniat datang cepat untuk me
Dentuman keras disusul suara kaca yang dihantam batu membuat setiap sudut Manggala heboh. Seluruh siswa yang tadi fokus belajar mulai berlarian keluar kelas. Alarm kebakaran juga memberi sinyal, menambah kesan keruh di area lapangan Manggala siang ini. "Launa mana?" Vania berteriak panik tidak menemukan cewek berbandana biru yang rasanya tadi mengikuti di belakang tubuh. Langkah Kinan turut berhenti, menatap lautan siswa yang berkerumunan masuk ke dalam aula menyelamatkan diri. Saling tatap berusaha memendam gelisah, Launa masih baru dan tidak mengenal seluk-beluk Manggala. "Kalian mau ke mana? Masuk cepat!" Perintah bersuara tinggi menarik kedua cewek itu masuk ke dalam aula. Meninggalkan kebisingan Manggala dan Launa yang entah di mana. Area koridor depan menjadi tempat utama kegaduhan, sorakan berisi umpatan dan derap langkah orang-orang menandakan bahwa PAGATRA telah datang. Bagian kecil yang ada menunjukkan bahwa mereka siap menjadi pembela. "Lancang!" Gama berdir