Share

Hujan Bercerita

Tidak terlalu banyak mengetahui tentang Launa. Pertemuan dengan petinggi PAGATRA tiga bulan lalu menjadi titik awal bagi Gama. Melangkah pada arah yang tidak sejalan dengan hidupnya. Aneh, Gama yang buruk untuk Launa.

"Kak!" Suara lembut di sebelah membuat Gama memutus pandangan dari layar ponsel yang menampilkan room chat dengan Bara, sosok pencetus lahirnya PAGATRA.

Bergumam kecil menanggapi panggilan Launa.

Sekilas, menilai ekspresi berubah-ubah dari cewek itu, menciptakan kerutan dan kekehan tanpa suara. Gama mendongak, bersedekap dada dan menaruh atensi sepenuhnya pada Launa.

"Aku punya salah?" tanyanya pelan.

Gama merespon dengan gelengan. Tangan terangkat mendorong pelipis Launa menjauh, cukup risih karena wajah keduanya terlalu dekat.

"Jadi, kenapa dekat-dekat? Atau Kak Gama punya maksud buruk? Mau bunuh aku?"

Tepat, Launa pintar sekali.

"Bawel. Kebanyakan nonton film lo," sahut Gama memutar bola mata malas, berdecak membuat Launa tergelak.

Entah kenapa, bukannya membawa Launa pada Bara, Gama memilih menghabiskan waktu pada tempat sepi ini. Tempat kesukaan Gama, saat merasa lelah dan butuh ketenangan.

"Abang selalu larang aku buat akrab sama orang baru. Apalagi cowok, kayak Kak Gama lagi," celetuk Launa menghela napas berat, memijat pelipis frustasi.

Lalu cemberut dan itu tidak luput dalam pandangan Gama.

"Kayak gue, gimana?"

Launa menoleh. Bersedekap dada menelisik penampilan acak-acakan cowok di sebelahnya.

"Jelek."

"Lihat. Baju kusut, wajah luka-luka dan cuma pakai sendal? Kak Gama niat sekolah gak sih? Lihat aku." Launa berucap menggebu-gebu sembari memutar tubuh. Berkacak pinggang seolah memberitahu pada Gama bahwa ia adalah siswa teladan berpenampilan sesuai aturan sekolah.

Tidak seperti Gama.

"Tapi ganteng, kan?"

Bibir Launa mengerucut, cukup mengakui. Tetapi dalam pandangan Launa, penampilan Gama benar-benar tidak baik untuk mata. Cewek super bersih sepertinya tampak tidak cocok dengan penampilan Gama yang apa adanya.

"Jadi, kenapa bawa aku ke sini? Aku buat masalah, bikin Kakak tersinggung, atau suka sama aku?" Rentetan pertanyaan dalam satu kali tarikan napas membuat Gama enggan untuk tidak tertawa.

"Kepedean, mana mau sama cewek alay kayak lo. Bukan tipe gue," sahut Gama menggeleng pelan.

Cowok itu mendorong bahu Launa lalu bangkit tanpa merasa bersalah saat tubuh kecil itu nyaris jatuh pada tumpukan batu-batu besar di bawah sana. Kaki Gama menyentuh permukaan air laut yang ribut sore ini, di atas bebatuan tepi pantai keduanya cukup serasi.

"Gak sakit?" bisik di sebelah wajah disusul sentuhan lembut pada area luka.

Launa meringis saat bekas lebam pada pelipis Gama masih tersisa darah. Turun pada rahang yang tercetak goresan memanjang dan terakhir jari kiri Gama yang memerah.

"Cowok hobi banget berantem. Abang aku juga sering gini tauu, pulang-pulang kayak orang gembel, jelek." Mulut Launa komat-kamit membayangkan kondisi saudaranya beberapa hari lalu, tidak habis pikir dengan kepuasan apa yang di dapat.

"Ya namanya cowok, kalau gak berantem boti itu." Gama meringis saat telapak tangan kecil Launa menampar bagian mulutnya.

Benar-benar tidak ada takutnya. Di rasa pun, walau sebagai murid baru di Manggala setidaknya Launa pasti sudah mengetahui hal-hal umum mengenai Gama. Namun, melihat sikap kurang ajar dan mulut yang senang mengejek dirinya membuat Gama tidak berkutik.

Satu dari sekian penghuni Manggala berhasil seakrab dan sesantai ini. Tidak ada guratan takut atau pun canggung, wajah yang bermacam ekspresi dengan mata menyorot teduh. Menciptakan kenyamanan saat dekat dengan Launa.

Gama menggeleng. Ingatkan bahwa ia bukan tipe orang yang suka menilai sesuatu apalagi ini berkaitan dengan target yang menentukan posisinya ke depan.

Launa adalah loncatan.

"Sini!" Launa mengubah arah pandang Gama. Kemudian menunduk merogoh tas pada pangkuan. Memperlihatkan plaster pink dengan motif bunga, tanpa persetujuan menutupi luka pelipis Gama.

"Bego, lepas gak. Alay, kayak cewek."

"Lucu kok," balas Launa tertawa. Menepuk pipi Gama lalu memberi jarak dan membuang muka. Berusaha terlihat biasa saja.

Keheningan menyapa. Hanya dentuman ombak yang terpecah dan hamparan laut luas menjadi objek perhatian. Launa yang sedari tadi berucap mendadak terpaku, tidak menyadari lirikan penuh arti dari Gama.

"Oh, ya." Teriak Launa bertepuk kemudian mengeluarkan notebook berukuran kecil dari saku tasnya. Menyodorkan pada Gama yang ditanggapi dengan raut bingung, tidak mengerti.

"Kakak cowok ketiga yang aku kenal setelah Ayah dan Abang. Jadi tanda tangan dulu sini, aku mau lihatin sama Abang kalau aku juga bisa punya temen cowok," jelasnya panjang lebar dengan ulasan senyum.

Membuat tangan Gama tergerak menerima. Menoleh untuk melihat raut cerah Launa, manis.

"Ketiga? Lo bilang udah punya pacar," ucap Gama menatap sinis Launa yang memperlihatkan cengengesan. Mengikuti permintaan cewek itu dengan senyuman tipis yang terbit.

Baru kali ini Gama melakukan hal bodoh dan membuang waktu.

Duduk mendengarkan celotehan tidak berguna Launa. Memperhatikan dalam diam tingkah aneh yang nyatanya mampu membuat Gama tertawa.

"Kita temen oke! Harus mau."

Gama mengangguk malas.

Kepalanya menunduk saat merasakan rintik hujan menimpa tubuh. Menarik lengan Launa yang selonjoran menuliskan nama Gama pada coretan asal tadi. Terdengar decakan kecil dari mulut, Launa menatap kesal pada Gama.

"Kenapa sih? Main seret aja."

"Hujan tolol." Gama berucap keras menghindari uluran tangan Launa yang hendak mencubit pinggangnya.

"Di sini aja, aku udah lama gak main hujan," mohon cewek itu membentangkan tangan, mendongak pada langit yang mulai menggelap siap menjatuhkan tetes demi tetes.

Menarik pergelangan tangan Gama yang menunduk menatap reaksi wajah. Alis cowok itu turun menukik, melirik pada pegangan Launa.

"Kalau hujan gini aku selalu ingat Ibu, di sana." Telunjuk kecil Launa mengarah pada langit kemudian menoleh pada Gama.

"Kalau Kakak, hujan gini ke ingat siapa?"

Gama tidak menjawab namun tangannya terangkat mengusap jejak hujan pada wajah Launa dan terhenti pada sudut mata, memperhatikan dengan lekat, bahwa ada tangis yang nyaris tumpah. Dari suaranya saja Gama sudah mengetahui, gemetar dan tercekat.

"Cengeng."

Mudah sekali menangis.

"Gak punya kenangan spesial tentang hujan? Hidup Kak Gama datar banget, gak menarik," cetus Launa mengalihkan pembicaraan.

Gama terkekeh. Cowok itu melipat bibir lalu berdecak. Memainkan rambut Launa yang tergerai sembari memikirkan hal apa yang pernah dilakukan dan tersimpan pada ingatan untuk dijadikan kenangan.

"Hujan?"

"Gak ada."

Wajah penuh harap menunggu ungkapan Gama seketika redup, berubah cemberut. Launa menggeram, tatapannya menajam saat Gama tersenyum tanpa dosa.

"Tapi, ada yang beda mulai detik ini," lanjut Gama.

"Untuk pertama kalinya gue ketawa selepas ini di bawah hujan. Cerita hal gak bermutu bareng lo, buang waktu tapi gue suka. Lo tau, Launa? Gue itu gak suka hujan," tutur Gama memelan, tarikan napasnya menyita perhatian Launa, menatap rumit ekspresi baru dari wajah Gama, dia bersedih.

"Hujan ambil petunjuk arah hidup gue. Hujan ambil Mama."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status