Dentuman keras disusul suara kaca yang dihantam batu membuat setiap sudut Manggala heboh. Seluruh siswa yang tadi fokus belajar mulai berlarian keluar kelas. Alarm kebakaran juga memberi sinyal, menambah kesan keruh di area lapangan Manggala siang ini.
"Launa mana?" Vania berteriak panik tidak menemukan cewek berbandana biru yang rasanya tadi mengikuti di belakang tubuh. Langkah Kinan turut berhenti, menatap lautan siswa yang berkerumunan masuk ke dalam aula menyelamatkan diri. Saling tatap berusaha memendam gelisah, Launa masih baru dan tidak mengenal seluk-beluk Manggala. "Kalian mau ke mana? Masuk cepat!" Perintah bersuara tinggi menarik kedua cewek itu masuk ke dalam aula. Meninggalkan kebisingan Manggala dan Launa yang entah di mana. Area koridor depan menjadi tempat utama kegaduhan, sorakan berisi umpatan dan derap langkah orang-orang menandakan bahwa PAGATRA telah datang. Bagian kecil yang ada menunjukkan bahwa mereka siap menjadi pembela. "Lancang!" Gama berdiri paling depan, manik tajam yang menjadi andalan ditujukan pada setiap jejeran siswa berseragam yang memperlihatkan seringaian, benar menantang. Menggeram tidak terima wilayah kuasanya diganggu. "Gak sadar diri? Bawahan lo gebukin temen gue semalam," sahut cowok berambut keriting dengan tampang wajah kesal. Menunjuk Gama dengan balok kayu. Berkerut, Gama bergerak membalikkan tubuh. Memastikan pada Arjuna yang menggeleng tidak tahu. Tarikan napas berat mengisi sela-sela kebisingan. Gama terkekeh, meregangkan otot hendak melepaskan lilitan dasi pada lehernya. Namun sesaat, termenung dengan gerakan terhenti. Pada waktu seperti ini ciri khas dari diri Gama adalah dasi yang selalu terikat pada kepala. Menandakan bahwa Gama adalah pemimpin PAGATRA. Tetapi, mengingat benda yang menjadi tata tertib sekolah itu dipasangkan Launa ada keraguan untuk Gama. Memilih maju tanpa melepaskan. "Gue udah lama gak olahraga, ayo!" tantang Gama tersenyum sinis menggerakkan jari dengan raut songong. Tangan kirinya terangkat menginstruksikan bahwa pertikaian ini akan berlanjut. Menerima kedatangan siswa SMK UNGGULAN yang beberapa bulan terakhir terlibat cekcok dengan inti PAGATRA karena cinta. Sial, hal kekanak-kanakan apaan itu? Gama saja merasa geli mendengarnya. "Lo!" Gama tertawa kecil saat berhasil mendaratkan satu pukulan pada rahang cowok berambut keriting itu. Mengerang saat bagian punggung ditendang keras dari belakang lalu satu tonjokan pada bagian sisi wajah. Pipinya berdenyut sakit menciptakan amarah Gama. "Bangsat," umpat cowok itu bangkit dan langsung menerjang pelaku yang menyebabkan pipinya memerah. Membalas berkali-kali lipat tidak menyisakan satu bagian wajah, punggung tangan yang membentuk kepalan tangan beralih pada sosok yang hendak kembali menyerang Gama dari arah belakang. Benar-benar pengecut. Posisi menjadi ketua pada perkumpulan PAGATRA khusus di Manggala membuat Gama menjadi sasaran empuk. Lawan menyerangnya bergantian, membuat sedikit kewalahan. Tidak seimbang, Gama dengan tangan kosong yang hanya mengandalkan tangan dan kaki, sedangkan komplotan pengecut itu melayangkan balok bahkan senjata tajam. "Ini yang mau jadi penerus, lemah." Suara mengejek saat tubuh Gama meluruh karena balok kayu berukuran sebesar lengan memukul bagian kepala belakang. Meringis saat krah baju di tarik membuat Gama tergeletak menerima tonjokan pada wajah. "Lo ngeremehin gue?" Dahi Gama berkerut dengan tangan yang menahan pukulan. Napasnya memburu dan gigi bergemelutuk saat mendengar tawa dari sekeliling tubuh yang terbaring. Seringaian Gama muncul, dalam satu kali balasan sosok yang semulanya berada di atas tubuh seketika meringkuk kesakitan mengusap bagian hidung yang mengucurkan darah. Terkekeh, mata Gama mengerjap menghilangkan rasa pusing saat kepala mereka saling beradu tadi. Menciptakan aliran darah pada pelipis. "Gila." Merengangkan dasi dengan kaki yang melangkah ke segala arah, tangan Gama menarik rambut cowok yang hampir menusuk punggung Arjuna dengan senjata tajam. Mengambil alih dan mendekatkan ujung pisau pada sudut mata, korban itu mengaduh memohon ampunan. Membuat Gama berdecak dengan tatapan yang kian menajam memberikan peringatan. "Lepas!" Serempak pada bagian koridor depan dan beberapa orang di lapangan menoleh saat mendengar teriakan ketakutan di lantai dua. Alis Gama menukik merasa tidak asing dengan rintihan itu. "Tolong, jangann!" Sial. Jantung Gama berdetak lebih cepat, turun dari tubuh lemah yang sudah memejamkan mata. Kaki Gama melangkah cepat merasa yakin bahwa sosok yang meminta pertolongan tadi adalah Launa. "Gue gak akan maafin kalau ngeliat satu gores di tubuh Launa." Peringatan yang membuat semua orang menegang. Tidak cukup paham siapa nama yang terucap dari mulut Gama. Namun arah tujuannya yang berlari tergesa-gesa pada lantai dua membuat beberapa pendatang yang menciptakan keributan melangkah mundur. "Jangan panik," seru suara berat yang nyaris tercekat. Tatapan Gama berbeda, tidak seperti pergulatan mereka tadi, walaupun wajahnya dipukul berulang-ulang masih terdapat raut songong dan tengil. Namun, kali ini menggelap, cetakan tali darah pada rahangnya terlihat. "Gama." Arjuna berteriak panik menyusul, membuat bagian bawah yang tadi ribut seketika senyap. Tercekat tidak mampu berucap. Mata Gama menyipit saat posisi dua cowok membelakangi dan menyudutkan Launa yang meringkuk. Gerak kaki pelan tanpa suara dalam satu kali raupan tangan tubuh bongsor itu terbanting beradu dengan dinding kelas. "Gama." Launa berucap lirih menutup mata. Telinganya dapat mendengar rintihan kesakitan yang saling bersahutan. Takut menyaksikan kekerasan. Bagian perut dan rahang di serang bergantian. Mengenyahkan suara serak yang menuntut Gama untuk berhenti. Bola mata yang dilingkupi amarah beralih pada cowok kurus yang hendak turun dengan langkah terseok-seok. Menciptakan senyuman kecil dari bibir Gama, dalam satu kali tendangan kaki sosok tersebut jatuh berguling di tangga. "Kalian gak punya hak buat sentuh satu bagian pun dari milik gue." Ucapan pelan penuh penekanan. Arjuna yang turut menyaksikan kegilaan temannya itu hanya mampu menghela napas. Untuk pertama kalinya Gama lepas kendali. Tidak memikirkan konsekuensi yang akan diterima setelah membuat anak orang berdarah, penuh luka pada bagian wajah. "Jangan takut," bisik Gama merengkuh tubuh Launa yang bergetar, jari-jari mungil tampak mencengkram lengan Gama, memperlihatkan ketakutan yang kentara pada wajah penuh air mata. Menunduk, menatap lembut mata berkaca-kaca Launa yang tertuju pada wajah Gama. Berdarah dan lebam pada sudut mata. "Bilang sama gue, mereka nyentuh di mana aja?" Launa menggeleng, bibirnya mengerucut menahan isak tangis. "Jangan!" guman Launa membentuk raut kebingungan pada wajah Gama. "Kenapa?" "Wajah Kak Gama serem, jagan deket-deket." Decakan Gama terdengar disusul sentilan kecil pada hidung Launa yang memerah. Cowok itu tampak kesal akan kata yang baru diucapkan, memeluk erat tubuh Launa, mengambil kesempatan. "Ayo!" Launa menerima uluran tangan Gama. Mengikuti langkah besar itu dengan kepala menunduk. Bau amis menyeruak saat melewati sosok yang terbaring lemah. Lalu arah pandang Launa beralih pada tangan kiri Gama yang berlumur darah. Dan lebam pada tengkuk leher belakang Gama membuat Launa kian meringis. Apakah tidak sakit? "Kak." "Hmm," jawab Gama menoleh ke belakang. Langkah mereka terhenti di pertengahan tangga. "Kenapa sekacau ini?" tanya Launa begitu pelan. Memendam ketakutan akan aliran darah yang mengucur dari pelipis Gama, gemetar mengusap cairan merah yang sempat menghalangi pandangan Gama. Terpaku tanpa suara. Mulut terkatup ketika Gama bersitatap dalam dengan pancaran mata di hadapannya. "Baru kemarin aku bilang jangan suka berantem, gak baik. Hari ini sampai luka gini, jelek." Ungkapan kata terkahir yang dua hari ini sering Gama dengar. Keluh Launa yang diakhiri ejekan. "Manggala udah kacau dari lama. Kewajiban gue buat bantu pihak sekolah ngelawan anak-anak nakal itu," beritahu Gama mengusap pucuk kepala Launa, tanpa sadar. Mendengus malas, Launa berdecak. "Anak nakal? Kak Gama gak sadar diri, ya?" Alunan tawa terdengar. Membuat Arjuna yang diam memperhatikan dari belakang menarik sudut bibir tersenyum. Menatap rumit pada Gama, selain wajah datar, galak dan marah ternyata Gama juga bisa tertawa. Tidak pernah tampak raut senang pada wajah ketika bersama. "Ayo, aku obatin." "Gak usah, cuma luka kecil, aman," sahut Gama merangkul bahu Launa kemudian kembali melanjutkan langkah yang tertunda. "Tapi jelek." Tergelak merubah suasana mencekam. Mata Gama tidak lepas dari wajah Launa yang hanya sebatas dada. Tersenyum tipis, ada perasaan aneh yang timbul, memanas hingga memerah wajahnya. "Sial, gue gak akan jatuh semudah ini, kan?" ***Ruang minim pencahayaan dengan botol alkohol yang berserakan membuat Gama menahan napas. Raut kesal terlihat jelas saat menangkap seringaian kecil dari laki-laki dewasa di depan sana. Berdiri angkuh tepat pada pintu balkon, seolah menyambut kedatangan Gama. "Mana?" tanya suara bernada rendah dan lirikan mata yang menatap buas ke arah belakang tubuh. Gama menunduk. "100 hari. Lo udah janji, Bang." Bara mengangguk lalu tergelak bertepuk tangan. Penampilan yang acak-acakan dengan rambut panjang menambah kesan menakutkan. Sosok yang membawa Gama masuk dalam dunia gelap sejauh ini. Awal tujuan tumbuhnya kenakalan pada diri. "Setelah itu milik gue, kan? Launa yang manis," decak Bara menggeleng pelan dengan mata terpejam seolah membayangkan sosok yang diperbincangkan. Cowok berumur 25 tahun itu mengigit bibir pelan sembari mempertipis jarak dengan Gama. Saling tatap memperlihatkan dendam masing-masing melalui mata. Gama terpancing, rahangnya mengeras saat mulut beraroma alkohol te
Seret langkah menuju puncak amarah dua paruh baya yang terlibat pertikaian panas. Umpatan diselingi gebrakan keras lalu suara tangis memecah suasana. Gama, remaja itu berdecak kemudian melangkah pada sosok kecil yang duduk menyudut di bawah meja makan. "Bocah, ngapain lo di sini?" Katakan Gama orang bodoh karena berbicara dengan anak kecil yang masih berumur 22 bulan itu. Menulikan pendengaran saat suara berisik dari belakang tubuh kian mengeras saling meluapkan. Kegaduhan rumah untuk ke sekian kalinya. Dalam diam, mengusap bekas air mata dan mengusap pelan pucuk kepala saudara beda Ibu itu. Gama terkekeh, walaupun jarang berinteraksi tidak ada sedikitpun kecanggungan di antara mereka. "Ma, Ma, Ma," ucap bayi tersebut memanggil nama Gama. Bibir kecilnya mencebik dan mata yang berkaca-kaca, masih menggambarkan ketakutan akan suara berisik tadi. "Kak!" Suara lembut menyapa pendengaran Gama, membuat atensi beralih terpusat pada cewek yang berdiri kaku di anak tangga terakhir.
Tragedi satu tahun lalu menelan korban yang merupakan ketua PAGATRA generasi ketiga. Posisi Gama sebagai anggota inti sekaligus tangan kanan petinggi PAGATRA, diberikan misi pembalasan dendam pada sosok tak bersalah. "Jangan Launa!" Nada suara penuh permohonan dan raut putus asa menciptakan seringaian andalan Gama. Memperkikis jarak dengan laki-laki yang bertanggung jawab akan kejadian tahun lalu. Kematian Tian, menciptakan perjanjian yang mengantarkan pada jurang kehancuran. "Lo harus rasain juga yang namanya kehilangan. Karena lo, semuanya kacau," bisik lirih terdengar jelas pada keheningan malam. Meluruh. Nathan bertekuk lutut menciptakan sorak ramai dan tatapan tidak percaya dari berbagai pasang mata. Perannya sebagai ketua dari perkumpulan siswa Cakrawala yang terlibat membuat Nathan harus bertanggung jawab. Namun bukan dirinya, tetapi Launa, adik kecilnya yang tidak tahu apa-apa. Launa bertubuh lemah dan sikapnya yang lugu karena batasan sang Ayah. Akan melangkah ber
Ramai koridor siang ini tidak membuat langkah cowok dengan dasi yang terikat pada kepala itu terhalang. Diberikan ruang untuk berjalan dan tatapan segan yang diperuntukkan. Sekelompok murid nakal Manggala itu menuju pada arah koridor paling belakang, saling berbisik menanyakan apa sebab yang membuat wajah Gama lebam. Buncahan emosi yang diperlihatkan pada tatapan dan mulut yang jarang mengumbar senyuman. "Udah mau jam pulang, lo gak mau nemuin anak baru?" Cowok berjaket hitam andalan PAGATRA membuka suara. Arjuna sedikit menunduk saat mendapat tatapan menusuk dari Gama. "Kenapa lagi Ga? PMS." Mulut ceplas-ceplos Nevan membuat decakan Gama terdengar. Dobrakan keras membuat mereka terlonjak kaget, sedangkan Gama dengan wajah datar menendang pintu gudang lalu masuk tidak merasa bersalah. Duduk pada susunan kursi kayu dengan jari yang terangkat mengisap sebatang rokok. "Gama mah mana pernah anteng, kerjanya kan badmood mulu," bisik Rigel pada Nevan yang melotot, saling lirik l
Tidak terlalu banyak mengetahui tentang Launa. Pertemuan dengan petinggi PAGATRA tiga bulan lalu menjadi titik awal bagi Gama. Melangkah pada arah yang tidak sejalan dengan hidupnya. Aneh, Gama yang buruk untuk Launa. "Kak!" Suara lembut di sebelah membuat Gama memutus pandangan dari layar ponsel yang menampilkan room chat dengan Bara, sosok pencetus lahirnya PAGATRA. Bergumam kecil menanggapi panggilan Launa. Sekilas, menilai ekspresi berubah-ubah dari cewek itu, menciptakan kerutan dan kekehan tanpa suara. Gama mendongak, bersedekap dada dan menaruh atensi sepenuhnya pada Launa. "Aku punya salah?" tanyanya pelan. Gama merespon dengan gelengan. Tangan terangkat mendorong pelipis Launa menjauh, cukup risih karena wajah keduanya terlalu dekat. "Jadi, kenapa dekat-dekat? Atau Kak Gama punya maksud buruk? Mau bunuh aku?" Tepat, Launa pintar sekali. "Bawel. Kebanyakan nonton film lo," sahut Gama memutar bola mata malas, berdecak membuat Launa tergelak. Entah kenapa, b
Pergerakan jari terlepas dari pena saat bangku di sebelah terisi. Tubuh Launa menegak, memperbaiki posisi duduk tidak nyaman akan tatapan. Tersenyum, mencoba tidak peduli, dalam lirikan sekilas ada tatapan tidak suka yang terpancar pada bola mata itu. "Sejak kapan dekat sama Kak Gama?" Mata Launa menyipit, telinganya memerah mendengar nama Gama dan terpintas singkat mengenai wajahnya yang galak. "Aah, kita gak terlalu dekat kok. Lagian Kak Gama, temen Abang aku, jadi biasa," sahut Launa terkekeh berusaha mencairkan suasana tegang. Tatapan menelisik dan sudut bibir kiri yang naik menggambarkan sikap angkuh cewek yang berstatus sebagai ketua kelas barunya itu. Jenara, namanya. Termasuk murid terambis di Manggala. Penampilan rapi dan kaca mata bening yang menambah aura kepintaran. "Udah gue tebak. Orang kayak lo bukan tipenya Kak Gama," ujar Jena tertawa memainkan ujung rambut menatap Launa. Suasana kelas masih sepi pagi ini, Launa yang tadi berniat datang cepat untuk me