Share

Rumah Itu Telah Runtuh

Seret langkah menuju puncak amarah dua paruh baya yang terlibat pertikaian panas. Umpatan diselingi gebrakan keras lalu suara tangis memecah suasana. Gama, remaja itu berdecak kemudian melangkah pada sosok kecil yang duduk menyudut di bawah meja makan.

"Bocah, ngapain lo di sini?" Katakan Gama orang bodoh karena berbicara dengan anak kecil yang masih berumur 22 bulan itu. Menulikan pendengaran saat suara berisik dari belakang tubuh kian mengeras saling meluapkan.

Kegaduhan rumah untuk ke sekian kalinya. Dalam diam, mengusap bekas air mata dan mengusap pelan pucuk kepala saudara beda Ibu itu. Gama terkekeh, walaupun jarang berinteraksi tidak ada sedikitpun kecanggungan di antara mereka.

"Ma, Ma, Ma," ucap bayi tersebut memanggil nama Gama.

Bibir kecilnya mencebik dan mata yang berkaca-kaca, masih menggambarkan ketakutan akan suara berisik tadi.

"Kak!" Suara lembut menyapa pendengaran Gama, membuat atensi beralih terpusat pada cewek yang berdiri kaku di anak tangga terakhir.

"Papa sama Mama berantem lagi?"

"Menurut lo?" Gama menjawab malas. Tubuh jangkung penuh luka pada bagian punggung itu berjalan keluar dari ruang makan. Menanggapi dengan tawa kecil celotehan asal dari bayi dalam dekapan.

Walaupun Keno dan Jenara bukan lahir pada rahim yang sama. Keduanya adalah salah satu yang Gama jaga hingga detik ini, seperti tidak tampak kasih yang tercurah namun menurut Gama hanya mereka alasan yang membuatnya tetap pulang ke rumah.

Tidak ada yang begitu istimewa.

Pertikaian orang dewasa, teriakan penuh umpatan, tamparan, dan pecahan barang dimana-mana. Tidak peduli pada mental anak. Keegoisan mereka untuk menggambarkan amarah karena orang ketiga.

"Kak Gama udah makan? Jena masakin, ya." Cewek dengan kuciran tinggi itu melangkah bersisihan dengan Gama. Wajah yang memerah menyembunyikan senyuman malu saat mata Gama kembali terfokus padanya.

Perasaan yang entah kapan ada.

Keterikatan darah karena saudara menjadi pembatas akan kekaguman Jenara pada kakaknya itu. Yah, Jenara telah lama menyukai Gama, semenjak menginjakkan kaki saat berumur 8 tahun. Bagaimana Gama selalu memperhatikan hal-hal kecil yang Jenara suka. Berhasil menumbuhkan benih cinta yang tidak seharusnya ada di antara mereka.

"Ngapain?" tanya Gama galak saat Jenara mengambil posisi duduk di sebelahnya. Bergerak cepat menciptakan jarak sembari mengeratkan pelukan pada tubuh Keno yang mulai terlelap dalam dekapan.

Manik kelam itu menghunus tajam, memperlihatkan ketidaksukaan sikap lancang Jenara yang menyentuh sisi wajah. Gama risih.

Tawa kecil Jenara ditanggapi dengusan malas. Gama beranjak, melangkah naik saat tidak mendengar lagi kegaduhan tadi. Derap langkah berirama pada bagian tengah rumah yang sunyi membuat tubuh Gama menegang dengan kelopak mata yang memejam.

Berhenti dan menoleh ke belakang, masih berada pada pijakan pertama tangga membuat Gama terpaksa menuju posisi sang Papa yang bersedekap dada memberikan perintah.

"Baru pulang kamu?" Rendah yang terselip amarah. Gama mengangguk pelan sembari melirik Jenara untuk mengambil alih tubuh Keno.

Seakan tahu hukuman apa yang diberikan saat melanggar aturan rumah untuk ke sekian kalinya.

"Anak bodoh. Kamu saya sekolahin bukan buat jadi pembangkang seperti ini," bentakan itu menggelegar ke penjuru rumah, membuat telinga berdenging dan tarikan napas berat keluar dari mulut Gama.

Menatap aneh gurat wajah yang menegang di hadapannya. Lalu, Gama tertawa.

"Anak bodoh berasal dari orang tua yang bodoh. Didikan anda yang salah," jawab Gama menantang penuh seringaian.

"Anak sial."

Tidak menghindar dari telapak tangan yang mendarat pada pipi kanan. Gama justru diam menunggu hukuman selanjutnya, seperti pukulan atau tendangan? Miris, tumbuh dan dipaksa hidup dalam peraturan keras, menuntut, dan tidak memberi ruang kebebasan. Jika salah kekerasan selalu menjadi jalan untuk membuat Gama jera.

Nyatanya tidak.

Sang Papa yang menyimpulkan bahwa dengan hukuman tersebut Gama bisa berubah namun tidak, Gama malah menjadi sosok yang tidak paham tentang rasa. Semua yang ia dapat dari rumah dipertontonkan pada dunia luar.

Gama melakukan hal yang sama pada orang lain.

"Semua yang anda lakukan terekam dalam otak, kekerasan itu saya saksikan sejak kecil. Membuat saya tumbuh menjadi orang buruk dan tidak memiliki rasa kasihan, berteman dengan kegelapan, dan nantinya mati perlahan-lahan dengan penyesalan. Saya rusak, Pa. Anda bukan tempat mengadu akan derita, jadi, ke mana saya harus melangkah?" Gama berucap lemah dengan suara memarau terdengar memilukan.

Menahan sesak yang menumpuk pada dada. Telunjuknya terangkat pada pria berumur di hadapan. "Anda yang sial."

Bugh.

Satu tendangan pada perut membuat tubuh Gama meringkuk, mulutnya terbuka saat mendapat serangan susulan pada bagian tengkuk leher kepala. Meringis dengan satu tangan yang menahan kegilaan Papanya itu.

"Bodoh. Mati kamu," geram meraup rahang Gama tanpa kasihan. Jari yang membentuk kepalan terus menghujam tubuh yang tidak melawan.

Terlihat samar pada pandangan. Walaupun dengan kesadaran yang kian menipis Gama masih dapat menyaksikan dua sosok yang berdiri kaku tidak mampu menolong.

Dengan dendam yang masih ada pada wanita yang menjadi Ibu kedua bagi Gama, sosok yang turut ikut campur membesarkan hingga saat ini. Ternyata, masih ada sisa iba pada hati, meluncurkan air mata saat kebuasan sang Suami yang tidak peduli akan tubuh Gama yang nyaris mati.

"Kewarasan yang dipertanyakan, semesta menertawakan anda, Pa! Ayo, bunuh Gama."

***

Tercekat sakit tenggorokan untuk sekedar berucap satu kata. Sekelompok orang berjaket hitam bertuliskan nama PAGATRA pada bagian punggung menjadi objek utama saat ini. Mata Gama menyipit tidak mengerti kenapa berada pada tempat yang kemarin menjadi saksi atas pertengkaran pertama kali dengan petinggi.

"Jun!" teriak Gama memanggil temannya yang berdiri paling jauh, dekat pintu yang terbuka.

Namun, sosok Bara yang mendekat. Menatap sekujur tubuh lemah Gama dengan pandangan tidak terbaca. Kemudian berdecak dengan gelak tawa yang mengisi ruang.

"Orang kedua yang paling ditakuti di PAGATRA kalah sama tua bangka? Pengecut lo," hina Bara. Menarik baju Gama yang mana membuat cowok itu terpaksa bangun, merintih saat rasa pusing menyerang disusul guncangan pada tubuh.

Bara tidak merasa bersalah. Tangan yang dipenuhi tato itu malah menepuk kasar bagian belakang kepala yang bengkak. Mempertipis jarak dengan mendekatkan mulut pada telinga Gama yang memerah.

"Ngapain balik ke sana? Gue udah pernah bilang rumah yang hancur gak akan kembali utuh. Orang-orang gak waras gak cocok tinggal satu atap, kasihan." Nada penuh penekanan Bara ditanggapi dengan decakan.

Gama mendongak. Bibir kering itu terbuka mengucapkan untaian kata yang sekejap membuat suasana senyap.

"Kayak rumah lo yang baik aja. Kosong."

Lalu beranjak, tidak peduli dengan geraman emosi yang Bara tahan. Siapa yang terpancing di sini? Dan di mana gelak tawa yang tadi mengejek kehidupannya? Tidak ada yang Gama takuti, berada satu ruang dengan para penjilat adalah tempat yang paling menjijikkan.

Kaki jenjang berjalan sempoyongan menuruni tangga dengan sosok Arjuna yang setia mengikuti langkah.

"Mau ke mana? Tubuh lo masih belum pulih, Gama. Jangan keluyuran!" larang Arjuna menahan napas saat wajah babak belur itu bukannya diam malah tertawa keras.

Menelisik tubuh Gama yang masih memakai seragam kemarin. Menggeleng miris dengan helaan napas berat menahan sifat keras kepala Gama.

"Minggir bego, gue capek," keluh Gama saat kunci motor direbut oleh Arjuna. Matanya menajam dengan kaki yang menendang paha Arjuna melampiaskan kekesalan.

Belum lagi rasa pusing dan denyutan pada kepala membuat Gama rasanya untuk hari ini ingin marah. Pada siapapun, sudah terlalu lelah menyembunyikan.

"Sini aja, cerita sama kita," sahut Nevan muncul dari belakang tubuh Arjuna diikuti oleh Rigel yang memasang wajah sedih, merasa simpati akan masalah Gama.

Kalau saja mereka tadi tidak berkunjung ke rumah Gama kiranya seperti apa keadaan cowok itu sekarang? Sekarat menunggu kematian.

"Gak ada yang perlu kalian dengar," balas Gama berbalik, melanjutkan langkah tertunda. Tidak peduli akan ke mana arah kaki melangkah.

Meninggalkan ketiga temannya yang tertunduk dengan kepala mengasihani Gama. Membiarkan kesendirian kembali menyapa untuk meredam emosi.

Jalan bebatun yang menjadi tujuan, suasana jalan kiri-kanan diisi oleh pepohonan tidak membuat Gama mundur. Apalagi menangkap satu motor yang melaju hendak menerjang tubuh, masih tetap pada posisi lurus tidak menghindar.

Decitan rem dan ban motor menarik perhatian. Bukan pada pengendara namun sosok perempuan yang turun dengan wajah yang keruh. Tampak ribut melepaskan helm kemudian berlari kecil memeluk tubuh Gama.

"Kak Gama."

"Hmm, kenapa?" Suara lemah yang ditujukan untuk Launa yang entah kenapa bisa berada di sini. Dengan sosok Nathan yang menunggu di seberang jalan, memperhatikan dalam diam.

Siku Launa menusuk perutnya, Gama hanya mampu tertawa kecil sembari meremas pergelangan tangan yang menyentuh bagian wajah. Penuh luka, kulit yang didominasi warna darah kembali menciptakan pekikan marah dari Launa.

"Bandel."

"Dalam satu hari aku wajib banget harus obatin semua luka Kakak?" tanya Launa melotot, kaki pendeknya menuntun tubuh Gama ke arah Nathan yang membuka tas sekolah, mengeluarkan kotak obat.

"Kenapa bisa di sini?" Tidak untuk Launa, Gama berucap dengan arah mata pada Nathan yang merespon dengan decakan. Melirik Launa yang sibuk dengan peralatan obat yang diberikan. Seolah menjelaskan keberadaan mereka dalam lingkup area PAGATRA karena Launa.

Yang memunculkan pertanyaan di otak Gama. Dari mana mereka tahu?

"Arjuna." Nama yang diucapkan oleh Nathan membuat Gama berdesis pelan.

"Lo apain adek gue sampai lengket gini?" tanya Nathan menatap penuh selidik pada Gama yang terdiam.

"Kak Gama kan temen Abang, yaa aku lengket lah. Kalau sama Kak Gama tuh kayak aman aja gitu, bawaannya sama kayak Abang di samping aku. Merasa dilindungi," jelas Launa tertawa kecil di tengah-tengah ketegangan antara kedua cowok seumuran itu.

Sudut mata Nathan menyipit dan bagian dahi yang berkerut tidak suka akan jawaban Launa yang mengungkapkan bahwa ada ikatan pertemanan. Dilihat dari segi mana pun, Gama dan Nathan bukanlah dua orang yang cocok untuk itu.

Sial.

Nathan terkecoh oleh siasat Gama.

"Launa-"

"Abang jangan bacot, diem." Launa memotong ucapan Nathan, memfokuskan pandangan pada Gama yang memperhatikan interaksi keduanya dengan senyuman tipis. Tidak terintimidasi oleh tatapan tajam Nathan akan kebohongan yang diperbuat.

Tidak ada pertemanan melainkan permusuhan.

"Gama, awas lo."

"Cuma butuh 3 hari gue udah berhasil rebut Launa dari lo," jawaban Gama membuat tali darah pada rahang Nathan terlihat jelas.

"Entah kenapa gue berubah pikiran."

Dan Nathan dapat mengartikan ucapan Gama. Mengarah pada kehancuran, rusaknya kehidupan Launa saat berdekatan dengan Gama yang tidak beraturan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status