Chapter: Sebelas Tanpa membuang waktu, Reon segera membuka kotak yang ternyata berisi tablet berwarna hitam tersebut. Sebuah tulisan meminta dia memutar video yang berada di dalam tablet berukuran cukup lebar itu. Reon segera melakukannya. Ia tertegun melihat wajah Aldrich di layar. Sahabat baik yang telah dianggap sebagai kakak oleh Reon terlihat babak-belur. Bibir pria itu robek dan berdarah. Pipinya tampak lebam membiru dan robek. Darah segar juga tampak mengalir dari kening Aldrich. "Aldrich, Aldrich," panggil Reon berulangkali. Gambar layar kemudian berganti pada sosok berambut kelabu yang selama ini mengejar dirinya dan Viara. "Kami sungguh menjaga sahabatmu ini dengan susah-payah. Dia sungguh keras kepala. Dia mungkin telah bersiap untuk mati, tapi aku persis tentang orang seperti kalian. Kalian menghargai persahabatan lebih dari apa pun," ucap lelaki itu. Sekali lagi layar tampak beralih pada Aldrich. Sahabatnya itu tengah meronta dan sebuah b
Last Updated: 2021-09-20
Chapter: Sepuluh Viara membuka mata dan menyadari ada kain di atas tubuhnya. Ia kemudian melihat Reon tengah tidur sambil duduk di salah satu kursi. Sebelum tidur, kelihatannya pria itu sempat menyelimuti dirinya dengan kain biru yang telah pudar warnanya tersebut. Viara beranjak bangun dan menghampiri Reon. Wajahnya menunduk hingga setara dengan wajah pria itu. Mata Reon masih terpejam rapat. Ia tampak sungguh tengah tertidur lelap. 'Dia cukup tampan, tulang pipinya juga terlihat sempurna. Hidung yang mancung dan bulu mata yang panjang, aku bahkan tidak punya. Andai tidak terjadi masalah, sangat mudah bagiku untuk menyukai dia,' ucap Viara dalam hati. Matanya masih terus tertuju pada raut wajah pria tersebut. Tangannya terulur seolah hendak menyentuh. Namun tiba-tiba mata Reon terbuka dan bertemu tatap dengan Viara. "Apa yang kaulakukan?" Viara yang tidak menyangka hal itu, tentu langsung terperanjat dan tersentak mundur. Ia bahkan
Last Updated: 2021-09-19
Chapter: Sembilan Karena Viara terus saja bersikeras, Reon akhirnya memutuskan untuk mengalah. Meski begitu, tetap saja bersikap waspada. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Pertemuan mereka dengan bibi Hana terlalu kebetulan, segalanya seolah telah direncanakan. Viara menoleh pada pria yang duduk di sampingnya itu."Apa yang kaupikirkan?" "Tidak ada," geleng Reon. "Jangan cemas, setelah kita aman di sana, aku akan mencari cara menghubungi polisi lagi. Setelahnya, kau bisa pergi," ucap Viara sambil menggenggam tangan Reon. Entah mengapa hatinya terasa begitu berat saat mengatakan itu. Rasanya kini semakin sulit untuk membayangkan berpisah dengan Reon. Reon hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia tidak ingin mengatakan kecurigaan pada Viara. Bisa jadi gadis itu malah marah. Lagipula sebentar lagi Viara tidak akan lagi menjadi tanggung jawabnya. Saat berpisah, lebih baik mengakhiri dengan baik.
Last Updated: 2021-09-18
Chapter: Delapan Belum sempat tembakan dilepaskan terdengar suara ledakan dari mobil yang berada di antara Viara dan penjahat yang terus mengejarnya itu. Tidak lama terdengar pula suara sirene mobil polisi dan ambulans yang semakin dekat. "Sial!" gerutu si rambut kelabu. Ia kemudian masuk ke dalam mobil. Mereka segera bergegas pergi dari situ. "Reon, bangunlah, Reon!" pinta Viara berulangkali. Air mata yang telah banyak bercucur kembali keluar. Ia sungguh tidak bisa menghindari rasa panik karena menyadari tanpa Reon, ia mungkin sungguh akan sendirian. Pria itu terbatuk berkali-kali sesaat kemudian. Viara menghela napas lega. Ia segera membantu Reon keluar dari mobil. Viara kemudian membantu memapah pria itu berjalan menjauh. Sementara suara sirene terus berbunyi semakin dekat.*** Wahyu berdiri diam menatap mobil-mobil yang terguling dan terbakar di depannya. Ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang sesungguh
Last Updated: 2021-09-05
Chapter: Tujuh Suara letusan tembakan sebanyak dua kali tersebut terdengar cukup keras di telinga Viara. Ia sontak berhenti berlari. "Apa yang kaulakukan? Kita harus segera pergi dari sini!" gertak Reon. Sejenak ia menatap sekeliling dengan cemas. Pria itu yakin tidak akan lama sebelum orang yang mengejar ia dan Viara menyusul serta menemukan mereka. "Ki-ta ... kita tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus menolong mereka, bukan?" tanya Viara dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sanggup membayangkan orang-orang yang berada di bus menanggung bahaya karena dirinya. "Viara, sadarlah, kita tidak bisa menolong mereka!" seru Reon sambil mengguncang bahu gadis itu. "Kita harus segera pergi" lanjut pria itu lagi sambil mengguncang bahu gadis di hadapannya tersebut. Namun Viara justru mengibas tangan Reon dengan kasar. "Aku akan menolong mereka. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Kalau dir
Last Updated: 2021-09-04
Chapter: Enam Viara terbatuk-batuk saat Reon akhirnya memutuskan untuk melepaskan dia. "Aku tidak akan membunuhmu, tapi jika sekali lagi kau merendahkan Tuan Anderson maka aku pasti akan membunuhmu. Aku akan melakukannya, meski itu tidak sesuai misi yang kujalankan," geramnya. "Ternyata kau bisa juga berpikir di luar misimu itu. Kukira kau hanya bisa patuh dan tidak bisa membuat keputusan sendiri," ucap Viara dengan suara yang masih sedikit serak. Gadis itu mengusap lehernya yang masih menampilkan bekas memerah akibat cekikan tersebut. Reon tidak menanggapi perkataan Viara. Ia kemudian malah bangkit berdiri. "Kau akan pergi sekarang?" tanya Viara. "Aku pergi setelah mengantarmu ke tempat aman." "Tempat aman? Apa masih ada tempat aman untukku? Para penjahat itu selalu saja menemukan kita, bukan?" Reon terpekur sesaat. Dia juga merasakan hal yang sama. Kemanapun merek
Last Updated: 2021-09-03
Chapter: Empat puluhEmpat puluh Karin yang terbangun di pagi hari terkejut melihat sosok Vian berada di sampingnya. Lebih terkejut lagi saat mendapati mereka tanpa busana, hanya tertutupi selembar selimut, sedang pakaian yang semula dikenakan berserakan di lantai samping tempat tidur. Karin bergegas beranjak dari tempat tidur. Ia kemudian segera mengenakan pakaian. Vian juga bangun. Karin segera berbalik dan menatap tajam padanya. "Kenakan pakaianmu, kita harus bicara," ucap Karin. "Semua terjadi begitu saja, aku memang salah melakukannya, tapi itu semua terjadi karena kau menggodaku lebih dulu," tukas Vian sambil mengejar Karin yang telah keluar dari kamar. "Jadi kau menganggap ini adalah salahku? Vian, kau tahu yang terjadi. Minuman itu apa kau yang merencanakannya?" tanya Karin. "Tidak, bukan seperti itu." "Tapi kau tetap melakukannya, kau tidak berusaha menyadarkan aku, tapi malah mengambil kesemp
Last Updated: 2021-10-04
Chapter: Tiga sembilanTiga sembilan Pagi hari, Vian terbangun saat ia merasa ada sesuatu menindih tubuhnya, belum lagi seperti ada sesuatu yang melingkari tubuhnya. Saat membuka mata, ia terkejut melihat Karin tengah memeluk dia. Tubuh gadis itu bahkan berada persis di sampingnya. Kaki Karin juga melintang di atas tubuhnya. Vian tersenyum kecil. Ia kemudian menunduk untuk melihat wajah gadis itu. Ia kemudian menyibakkan rambut yang menutupi sebagian wajah Karin. Gadis itu tampaknya benar-benar lelap. Karin kemudian malah meraih dan memeluk tangan Vian dengan erat. "Kau ini ...," ucap Vian sambil tersenyum. "Ayah, jangan tinggalkan aku," gumam Karin dengan mata terpejam rapat. 'Apa-apaan ini?' gerutu Vian dalam hati.'Kenapa dia malah berpikir kalau aku adalah ayahnya?'*** Setelah bangun dari tidur, Karin membersihkan diri dan menemani Vian untuk sarapan yang dibuat nenek untuk mer
Last Updated: 2021-10-04
Chapter: Tiga delapanTiga delapan "Aku?" tanya Karin dengan nada tidak percaya sambil menunjuk dirinya sendiri. "Vian, kau memintaku untuk mendorong mobil?" Vian mengangguk. "Apa kau bercanda?" tukas Karin kemudian."Aku ini seorang gadis. Kau memintaku keluar di hutan belantara untuk mendorong mobil. Vian, kau bilang kau sudah tidak dendam padaku, tapi apa yang kaulakukan ini?" "Aku memang sudah tidak dendam padamu." "Lalu?" "Hanya saja tidak ada yang mendorong mobil selain dirimu." "Vian, bukankah masih ada dirimu? Kenapa? Apa kau tidak bisa melakukannya? Vian, kau yang mendorong mobil dan aku yang akan menyetir untukmu. Bagaimana?" "Kau menyuruh aku?" tanya Vian seperti tidak percaya mendengar ucapan Karin. "Lalu? Bukankah kau bilang tidak ada orang lain selain kita di sini? Jadi kalau bukan aku, tentu kau yang harus mendorong m
Last Updated: 2021-10-04
Chapter: Tiga tujuhTiga tujuh "Kau tenang dulu," ucap ayah Vian lagi setelah beberapa saat."Jika kau bicara dengan keras seperti tadi, ibumu mungkin mendengarnya, dia akan tahu kalau pernikahanmu dan Karin tidak terjadi sungguhan. Hal itu mungkin akan kembali mempengaruhi kesehatannya." "Tapi, Ayah ...," ucap Vian yang hendak membantah, tetapi lelaki paruh baya di depannya itu segera mengangkat tangan untuk menghentikan kata-katanya. "Ayah belum selesai bicara. Kau dengarkan ayah dulu," ucap lelaki itu lagi."Vian, kau mungkin tidak peduli dengan yang terjadi pada ibumu, tapi ayah sangat peduli. Ayah tidak mau dia sakit lagi." "Aku juga peduli, Ayah, aku juga tidak mau ibu sakit lagi," ujar Vian. "Baiklah, Ayah percaya padamu, tapi dengan kata-katamu yang keras tadi, jika dia mendengarnya maka ...." Ayah Vian berhenti bicara. Wajahnya menunduk dengan rona muram. "Ayah, aku minta m
Last Updated: 2021-10-04
Chapter: Tiga enamTiga enam Sebenarnya, Karin tidak sungguh tidur. Ia berpura-pura terlelap agar tidak lagi terus melihat Vian. Saat Vian mendekat dan meletakkan selimut pada tubuhnya, ia telah terkejut meski begitu, ia tetap berpura tertidur. Akan tetapi, sewaktu pria itu menyibakkan rambutnya, Karin langsung terperanjat dan membuka mata. Vian tertegun dengan pertanyaan Karin. Apa yang dia lakukan, dia sendiri sungguh tidak mengerti. Tangan dia seolah bergerak sendiri untuk menyibakkan rambut gadis itu. "Karin, aku benar-benar tidak bermaksud. Aku hanya ingin kau tidur dengan baik. Rambutmu itu tampak mengganggu bagiku, jadi aku menyingkirkannya," ucap Vian. Pria itu kemudian bergegas untuk kembali tanpa menunggu perkataan Karin.*** Keesokan hari saat bangun, Vian telah tidak melihat Karin. Ia tertegun dan sejenak mencari, tetapi tidak menemukan gadis itu di kamar. 'Ah, untuk apa aku mencari dia? Mungkin dia telah pergi,
Last Updated: 2021-10-04
Chapter: Tiga limaTiga lima "Maafkan ibuku, Karin, dia memang keras kepala. Kadang ia memakai cara licik hanya agar orang memenuhi keinginannya," ucap Vian yang mengantar Karin keluar kamar. Karin hanya mengangguk. Vian yang melihat langkah gadis itu yang sedikit terpincang menjadi merasa tidak enak. "Kakimu apakah tidak apa?" tanyanya. "Tidak apa, sudah membaik, kok, kau tidak perlu cemas." "Soal permintaan ibuku, aku aksn memikirkan cara untuk menolaknya. Kau tidak perlu cemas dengan hubunganmu dengan Matthew," ucap Vian. Karin kembali mengangguk. Ia sampai pada taksi yang telah dipanggil. Ia segera pamit dan pulang dari sana.*** "Kau tidak mengantar Karin? Kau membiarkan calon istrimu pulang sendiri?" tanya Nyonya Choi. Vian menggeleng."Berapa kali harus kubilang? Karin bukan calon istriku. Pernikahan kami tidak akan berhasil." "Ibumu masih sak
Last Updated: 2021-10-03
Chapter: Enam "Teriak saja, maka aku akan bilang pada orang-orang kau yang menghentikan mobil dan menggodaku," tukas Caden. "A-pa ... apa katamu? Lihat saja mereka pasti tidak akan percaya padamu!" Caden menyeringai mendengar itu."Coba saja!" ucapnya. "A-pa?" Liz tertegun karena tidak menyangka Caden justru menantang dia. Memanfaatkan kesempatan, Caden justru kemudian membopong Liz di pundaknya. Perempuan muda itu memekik dan memukul-mukul punggung Caden. Namun Caden malah memasukkan Liz ke dalam mobil dan membawa gadis itu pergi dari sana.*** "Hentikan, hentikan mobilnya sekarang atau aku akan berteriak!" Liz yang duduk di samping Caden kembali mengancam. "Kau ini aneh sekali. Selalu mengancam akan berteriak. Kau tadi menjerit saja tidak ada yang datang menolong." "Kau ....!" Ucapan Liz terhenti saat men
Last Updated: 2021-09-15
Chapter: Lima Axel baru tiba di rumah, tetapi Liz telah menjewer dia. "Pak Edwar tadi menelepon, dia bilang kau kabur dari sekolah. Dia sempat mencari-carimu. Mom tadi juga mau ke sana, tapi dia lalu bilang kau sudah kembali," omel Liz pada anak lelakinya itu. Axel kemudian justru menangis dengan keras."Mom marah karena Pak Edwar. Mom tidak sayang lagi padaku. Mom lebih sayang sama dia.," "Kau ini, sudah, sudah, jangan menangis," bujuk Liz sambil melepas jeweran dari telinga bocah lelaki itu. "Sudah, jangan menangis lagi," ucap Liz lagi saat melihat bocah itu masih saja sesenggukan. Perempuan tersebut kemudian memberi kue pada Axel. "Mom, itu tadi bukan salahku. Pak Edwar yang salah. Dia nggak bisa nemuin aku," ucap Axel sambil mengunyah kue. Tangis bocah tersebut telah reda sepenuhnya. "Mom, jangan suka sama dia. Dia nggak bisa jaga aku. Aku cuma
Last Updated: 2021-09-03
Chapter: Empat Axel terisak sambil terus memanggil sang ibu. Ia juga berulangkali menggedor pintu. Liz yang berada tidak jauh segera berlari menghampiri. "Axel!" panggilnya sambil mengetuk pintu. "Mom!!!" Axel kembali berteriak dari dalam. Ia begitu ketakutan membayangkan dirinya terkurung di gudang tersebut selamanya. Ia tidak akan bisa lagi memakan kue kesukaannya yang dibuat oleh sang ibu. "Mom!" Axel kembali memanggil berulangkali. Liz mencoba memutar handel pintu. Akan tetapi, pintu tetap saja tidak bisa dibuka. Liz makin panik dan terus mencoba memutar handel tersebut. Pintu itu masih saja tertutup rapat. "Biar aku saja mencoba mendobrak pintu ini," ucap Edwar. Liz mengangguk. Edwar kemudian menyuruh Axel mundur. Bocah lelaki itu mundur dan bersembunyi di balik meja. Edwar mendobrak pintu dengan tubuhnya. Pintu tersebut tetap bergeming dan tidakau membuka. Edwar mend
Last Updated: 2021-09-03
Chapter: Tiga Liz tengah bersiap pergi ke restoran yang telah direncanakan sebagai tempat kencannya dengan Henry. Gaun putih terusan dengan pita di belakang membuat perempuan muda tersebut tampak jelita. Polesan riasan tipis dan tatanan rambut yang dibiarkan tergerai begitu saja justru menambah pesona perempuan yang terlihat seperti anak remaja tersebut. "Kau sudah siap?" tanya Nyonya Emma. Liz mengangguk. Ia kemudian mengenakan sepatu dengan hak rendah dan segera bergegas. Liz berangkat dengan taksi yang telah dipesan. Ia tidak ingin Henry datang menjemput. Siapa tahu Axel mungkin membuat ulah yang tidak-tidak? "Kau sudah datang," sambut Henry yang menanti di luar restoran. Pria itu juga terlihat rapi dengan setelan kemeja, jas, dan celana kain berwarna putih. Ia kemudian berjalan bersama Liz menuju meja. Lilin yang menyala dan buket mawar merah terdapat di atas meja. Segera H
Last Updated: 2021-09-03
Chapter: Dua Axel melangkah pasti menuju sekolah. Dibukanya kantong cokelat berisi beberapa kue berwarna cerah. Sekejap mata bocah itu berbinar. Lidah menjilat bibir dan tangan terulur untuk mengambil. Namun sesaat kemudian ia menggeleng. Segera ditutup kembali kantong itu dan melanjutkan langkah menuju sekolah. Setiba di sekolah, ia membuka kantong. Beberapa teman sebaya datang mengerumuni, sekejap mereka mencomot kue-kue tersebut satu per satu. "Ingat, ya, kalian besok harus membayar semua itu!" seru Axel. Para bocah mengangguk sambil sibuk melahap kue. "Kami pasti ingat, hari ini gratis, besok baru bayar," sahut seorang bocah. "Pintar," puji Axel sambil mengacungkan jempol.*** Liz sedang menata kue-kue yang hendak dikirim ke toko. Setelah menghitung, jumlah kue tersebut ternyata memang berkurang cukup banyak. Ia kemudian kembali ke dapur untuk memeriksa.&nb
Last Updated: 2021-09-03
Chapter: Satu Bocah lelaki itu berlari kecil menuju meja. Tanpa menghiraukan peluh yang bercucur, tangannya terulur untuk mengambil salah satu kue berwarna cerah yang tersaji di atas meja. Seorang perempuan muda segera menahan tangan bocah tersebut. "Cuci tanganmu dulu, Axel. Setelah pulang sekolah, langsung mau makan kue, kotor banget pasti tuh tangan," tegur perempuan berparas jelita tersebut. "Mom, kuemu pasti enak sekali. Aku ingin mencicip." "Cuci tangan dulu baru makan kue. Ganti seragammu juga!" Wajah Axel menunduk. Ia kemudian segera bergegas berdiri dari duduknya dan berlari menuju kamar.*** "Mom terlalu cerewet, padahal aku ingin cepat-cepat makan kue. Kalau begini, aku tetap saja nggak bakal kebagian," keluh Axel dalam hati. Setelah berganti pakaian, bocah lelaki berusia tujuh tahun tersebut berjalan dengan wajah cemberut. "Axel, kenapa,
Last Updated: 2021-08-27