Share

Tujuh

Penulis: Meimei
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

   Suara letusan tembakan sebanyak dua kali tersebut terdengar cukup keras di telinga Viara. Ia sontak berhenti berlari.

   "Apa yang kaulakukan? Kita harus segera pergi dari sini!" gertak Reon. Sejenak ia menatap sekeliling dengan cemas. Pria itu yakin tidak akan lama sebelum orang yang mengejar ia dan Viara menyusul serta menemukan mereka. 

   "Ki-ta ... kita tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus menolong mereka, bukan?" tanya Viara dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sanggup membayangkan orang-orang yang berada di bus menanggung bahaya karena dirinya.

    "Viara, sadarlah, kita tidak bisa menolong mereka!" seru Reon sambil mengguncang bahu gadis itu. 

    "Kita harus segera pergi" lanjut pria itu lagi sambil mengguncang bahu gadis di hadapannya tersebut. Namun Viara justru mengibas tangan Reon dengan kasar.

    "Aku akan menolong mereka. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Kalau dirimu, itu terserah padamu. Aku tidak menyangka saja, kau memiliki kemampuan tapi menolak untuk menolong."

    Viara kemudian berbalik dan berjalan cepat ke arah bus yang tadi ia dan Reon tinggalkan. Gadis itu memekik saat Reon tiba-tiba meraih pinggangnya dari belakang.

    "Lepas, lepaskan aku, aku harus menolong mereka!" teriak Viara sambil meronta. 

"Lepaskan aku!"

    "Kau tidak akan bisa menolong mereka," sahut Reon.

    "Kenapa kau selalu ikut campur? Bukankah kau bilang akan pergi? Sudah pergi saja, biarkan aku menolong mereka. Yang kulakukan bukan urusanmu lagi!"

    Viara terus saja meronta sekuat tenaga sambil berteriak marah, bahkan memaki Reon. Selang beberapa saat, gadis itu terkulai lemah dan jatuh tidak sadarkan diri.

    "Dasar keras kepala!" gerutu Reon pelan sambil kemudian membopong Viara dan membawa gadis itu pergi dari sana.

***

    "Penembakan lagi?" tanya Wahyu tanpa mampu menyembunyikan rasa terkejutnya. Ardi yang berdiri di sampingnya mengangguk.

    "Kali ino terjadi di dalam bus. Dua orang yang ditembak tewas seketika."

    Pria bertubuh kurus itu berhenti berbicara saat melihat Wahyu memijat kening.

    "Lanjutkan!" suruh Wahyu.

    Ardi berdehem sesaat sebelum kembali berbicara,

"ada yang melihat Viara di dalam bus itu. Ia bersama seorang pria muda. Keduanya menghilang saat insiden itu terjadi."

    "Viara, Viara, sebenarnya apa yang terjadi? Apa gadis itu terlibat masalah hingga para penjahat itu ingin membunuhnya?" gumam Wahyu. Ardi hanya diam.

    "Cari tahu semua tentang Viara!" perintah Wahyu kemudian.

    "Kita sudah melakukan itu, bukan? Tidak ada apa pun, bahkan catatan pelanggaran lalu lintas sekalipun."

    "Kalau memang seperti itu, cari tahu siapa pria yang bersamanya dan apa hubungan mereka. Mungkin pria itu yang menyebabkan masalah ini."

***

    Viara membuka mata dan mendapati ia berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh Reon. 

    "Apa yang kaulakukan padaku? Kita mau ke mana?" tanyanya.

    "Kita akan kembali ke kota. Kita akan melapor polisi. Bukankah itu rencanamu?"

    "Bagaimana dengan bus itu?"

    "Polisi mungkin sudah menanganinya. Sudahlah, jangan pikirkan lagi."

    Gadis tersebut kemudian terisak pelan. Reon hanya diam. Tatapannya tetap lurus ke depan. Jalan yang dilalui tampak sedikit berliku. Mentari tampak tengah berjalan menuju peraduan, meninggalkan secercah cahaya lembayung senja. 

   "Kau tidak mau menolong mereka, tapi kenapa kau menolongku?" tanya Viara sambil menatap keluar jendela. Reon tetap hanya diam.

***

   Waktu berlalu, hari telah beranjak malam saat Reon dan Viara tiba di kota. 

   "Ayo kita ke kantor polisi," ujar Viara kemudian. Reon hanya mengangguk. 

   Mobil terus melaju dan kemudian berhenti di depan bangunan yang cukup besar. Di halaman bangunan tersebut terdapat tulisan kantor polisi pusat. Setelah mematikan mesin mobil, Reon dan Viara segera keluar dari mobil.

    Keduanya baru saja berjalan beberapa langkah saat mobil berwarna hitam berhenti persis di depan kantor polisi tersebut. Orang-orang berpakaian hitam yang sangat dikenali Reon dan Viara. Orang-orang tersebut adalah yang memburu mereka selama ini.

    Langkah Reon dan Viara terhenti. Pria itu kemudian segera meraih tangan Viara. Mereka segera kembali menuju mobil. Suara deru mobil yang dikemudikan Reon membuat para penjahat tersebut menoleh.

    "Itu mereka!" seru si rambut kelabu. Segera mereka semua masuk ke dalam mobil untuk mengejar Reon dan Viara.

***

    Suara bising dari deru mobil terdengar hingga ke dalam kantor polisi. Wahyu yang masih membaca dokumen kasus Vino, menoleh ke Ardi.

    "Ada keributan apa itu?" tanyanya.

    Ardi mengangkat bahu. 

"Sepertinya ada yang datang, tapi mengurungkan niat."

    "Cari tahu siapa yang datang. Tidak mungkin datang ke kantor polisi, tapi kemudian pergi begitu saja. Mungkin mereka dalam masalah!"

    Ardi segera mengangguk dan bergegas hendak menuju luar, tetapi kemudian terdengar suara seorang pria dari samping,

"tidak perlu mencari tahu. Kalian sudah sibuk dengan kasus penembskan, apa perlu menambah kasus baru lagi?"

    Ardi tidak menjawab. Ia menatap pria tersebut dan Wahyu bergantian. Wajahnya tampak menyiratkan krbingungan, karena pria yang baru berbicara itu tidak lain adalah Kapten Herman, pimpinan di kantor polisi tersebut.

    Wahyu mengangguk pada Ardi. Pria muda itu kemudian segera kembali ke mejanya. Kapten Herman tersenyum tipis dan segera berlalu dari sana.

***

    Mobil berwarna hitam yang dikemudikan Reon melaju cepat menembus jalan raya. Rem berdecit dan suara klakson juga terdengar keras dari mobil-mobil yang berada di dekat mereka. Sementara dari mobil yang mengejar, terdengar suara tembakan dilepaskan. 

    Suara kaca belakang mobil yang pecah membuat Viara makin erat memejamkan mata dan menunduk ketakutan. Tidak lama terdengar pula terdengar suara ledakan dari mobil yang berada dekat mereka.

    Tembakan kembali dilepaskan. Meski Reon telah menyetir dengan gesit, peluru dari tembakan tersebut menembus ban belakang mobil. Ban tersebut kemudian robek. Laju mobil juga menjadi tidak terkendali. 

    "Keluar dari sini!" teriak Reon sambil membuka pintu mobil dan mendorong Viara. Gadis itu terjatuh di pinggir jalan. Sesaat setelahnya, mobil yang dikemudikan Reon menabrak dan terbalik di tempat yang tidak jauh dari Viara. Melihat itu, Viara segera menghampiri dan melihat Reon berada di dalam mobil dengan mata terpejam rapat. Darah mengalir dari kening pria itu.

    "Reon, Reon!" panggil Viara berulangkali sambil mengetuk jendela mobil tersebut. Ia kemudian membuka pintu dan berusaha untuk mengeluarkan Reon. Viara tengah sibuk menolong Reon hingga tidak menyadari mobil hitam yang tadi mengejar telah berhenti tidak jauh. Si lelaki berambut kelabu keluar dan mengarahkan pistol ke arah Viara.

 

   

    

    

   

Meimei

Aku bingung😁😁😁

| Sukai

Bab terkait

  • Killer from the future   Delapan

    Belum sempat tembakan dilepaskan terdengar suara ledakan dari mobil yang berada di antara Viara dan penjahat yang terus mengejarnya itu. Tidak lama terdengar pula suara sirene mobil polisi dan ambulans yang semakin dekat. "Sial!" gerutu si rambut kelabu. Ia kemudian masuk ke dalam mobil. Mereka segera bergegas pergi dari situ. "Reon, bangunlah, Reon!" pinta Viara berulangkali. Air mata yang telah banyak bercucur kembali keluar. Ia sungguh tidak bisa menghindari rasa panik karena menyadari tanpa Reon, ia mungkin sungguh akan sendirian. Pria itu terbatuk berkali-kali sesaat kemudian. Viara menghela napas lega. Ia segera membantu Reon keluar dari mobil. Viara kemudian membantu memapah pria itu berjalan menjauh. Sementara suara sirene terus berbunyi semakin dekat.*** Wahyu berdiri diam menatap mobil-mobil yang terguling dan terbakar di depannya. Ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang sesungguh

  • Killer from the future   Sembilan

    Karena Viara terus saja bersikeras, Reon akhirnya memutuskan untuk mengalah. Meski begitu, tetap saja bersikap waspada. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Pertemuan mereka dengan bibi Hana terlalu kebetulan, segalanya seolah telah direncanakan. Viara menoleh pada pria yang duduk di sampingnya itu."Apa yang kaupikirkan?" "Tidak ada," geleng Reon. "Jangan cemas, setelah kita aman di sana, aku akan mencari cara menghubungi polisi lagi. Setelahnya, kau bisa pergi," ucap Viara sambil menggenggam tangan Reon. Entah mengapa hatinya terasa begitu berat saat mengatakan itu. Rasanya kini semakin sulit untuk membayangkan berpisah dengan Reon. Reon hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia tidak ingin mengatakan kecurigaan pada Viara. Bisa jadi gadis itu malah marah. Lagipula sebentar lagi Viara tidak akan lagi menjadi tanggung jawabnya. Saat berpisah, lebih baik mengakhiri dengan baik.

  • Killer from the future   Sepuluh

    Viara membuka mata dan menyadari ada kain di atas tubuhnya. Ia kemudian melihat Reon tengah tidur sambil duduk di salah satu kursi. Sebelum tidur, kelihatannya pria itu sempat menyelimuti dirinya dengan kain biru yang telah pudar warnanya tersebut. Viara beranjak bangun dan menghampiri Reon. Wajahnya menunduk hingga setara dengan wajah pria itu. Mata Reon masih terpejam rapat. Ia tampak sungguh tengah tertidur lelap. 'Dia cukup tampan, tulang pipinya juga terlihat sempurna. Hidung yang mancung dan bulu mata yang panjang, aku bahkan tidak punya. Andai tidak terjadi masalah, sangat mudah bagiku untuk menyukai dia,' ucap Viara dalam hati. Matanya masih terus tertuju pada raut wajah pria tersebut. Tangannya terulur seolah hendak menyentuh. Namun tiba-tiba mata Reon terbuka dan bertemu tatap dengan Viara. "Apa yang kaulakukan?" Viara yang tidak menyangka hal itu, tentu langsung terperanjat dan tersentak mundur. Ia bahkan

  • Killer from the future   Sebelas

    Tanpa membuang waktu, Reon segera membuka kotak yang ternyata berisi tablet berwarna hitam tersebut. Sebuah tulisan meminta dia memutar video yang berada di dalam tablet berukuran cukup lebar itu. Reon segera melakukannya. Ia tertegun melihat wajah Aldrich di layar. Sahabat baik yang telah dianggap sebagai kakak oleh Reon terlihat babak-belur. Bibir pria itu robek dan berdarah. Pipinya tampak lebam membiru dan robek. Darah segar juga tampak mengalir dari kening Aldrich. "Aldrich, Aldrich," panggil Reon berulangkali. Gambar layar kemudian berganti pada sosok berambut kelabu yang selama ini mengejar dirinya dan Viara. "Kami sungguh menjaga sahabatmu ini dengan susah-payah. Dia sungguh keras kepala. Dia mungkin telah bersiap untuk mati, tapi aku persis tentang orang seperti kalian. Kalian menghargai persahabatan lebih dari apa pun," ucap lelaki itu. Sekali lagi layar tampak beralih pada Aldrich. Sahabatnya itu tengah meronta dan sebuah b

  • Killer from the future   Satu

    "Apakah kita harus melakukan ini?" tanya seorang pria yang berpakaian serba hitam pada pria lain yang berdiri di sampingnya. "Ini adalah misi yang harus kita laksanakan. Jika kau ragu sebaiknya tidak perlu ikut!" Pria pertama mengangguk ragu setelah mendengar jawaban itu. Misi mereka adalah tidak lain adalah membunuh orang yang mendiami rumah bercat putih di depan mereka. Bukan tanpa alasan. Semua itu karena penghuni rumah tersebut adalah orang yang akan membawa kehancuran bagi bumi di masa depan.*** Seorang lelaki paruh baya berambut kelabu tampak berdiri menatap ke luar jendela besar di ruangan tersebut. Ruangan tempat ia berada tersebut terletak di sebuah gedung pencakar langit yang berukuran raksasa. Di luar tidak tampak apa pun. Hanya ada selubung kabut yang berwarna kehitaman, menutupi pandangan dari apa yang sesungguhnya terlihat di luar. Suara pintu dibuka dan langkah orang masuk ke

  • Killer from the future   Dua

    "Apa kalian sudah gila?" tanya Viara dengan suara keras."Kakakku tidak mungkin melakukan itu. Kalian pasti salah orang. Kakakku bukan pembunuh!" Pintu kembali dibuka dari luar dan Reon bergegas masuk. Wajahnya tampak sarat dengan emosi. Aldrich segera menghalangi rekannya itu, tetapi Reon sontak mendorong menjauh. Reon menunduk di hadapan Viara. Tatapan matanya tajam menusuk manik mata Viara. "Kakakmu adalah pembunuh. Dia sudah membunuh banyak orang. Dia bahkan menghabisi keluargaku!" Meski ketakutan, kepala Viara kembali menggeleng."Tidak, itu tidak mungkin, kakakku bukan orang seperti itu. Ia tidak akan membunuh orang!" "Terserah kau mau bicara apa, yang pasti kakakmu harus mati!" "Kakakku tidak mungkin membunuh. Dia tidak bersalah. Kalian yang sudah salah menuduh!" "Kau pikir kami hanya menuduh sembarangan?" Viara menggeleng sambil terisak. Ga

  • Killer from the future   Tiga

    "Apa kau sudah gila?" teriak Reon sambil berkelit menghindar. Ternyata orang yang diam-diam berniat menyerang dirinya tidak lain adalah Viara. Gadis itu tidak menggubris, ia tetap saja terus saja menyerang dengan sebuah tongkat besi. "Hentikan!" teriak Reon sekali lagi. Ia segera mencekal besi berukuran panjang tersebut dan menariknya hingga terlepas dari genggaman tangan Viara. Tindakan tersebut membuat gadis itu tersentak dan nyaris terjatuh. Reon sendiri segera melempar sejauh mungkin batang besi yang kini berada di tangannya. Viara segera berjongkok dan memeluk lututnya sambil menangis. Ia merasa begitu kecewa dan marah pada dirinya sendiri karena tidak berhasil membalas dendam untuk Vino. "Kak, ka-u pasti kecewa padaku. Kak, ma-afkan aku. Aku adalah adik yang buruk. Seharusnya kau tidak mempunyai adik sepertiku," ucapnya kemudian dengan suara tersendat. "Jadi kau begitu marah karena ka

  • Killer from the future   Empat

    Viara berusaha untuk bangun saat mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Wajahnya mengernyit menahan nyeri. Namun saat ia baru saja berhasil untuk duduk, terdengar suara seseorang, "ternyata kau berada di sini, sudah waktunya bagimu untuk mati." Seorang pria bersetelan hitam yang rapi menodongkan pistol padanya. Viara hanya duduk mematung, merasa kali nyawanya sungguh akan berakhir. Akan tetapi, saat pistol meletus, muncul sosok dengan cepat menendang tangan yang memegang pistol tersebut. Tembakan itu meleset dari sasaran. "Cepat pergi dari sini!" gertak orang yang menolong Viara. Ternyata dia tidak lain adalah Reon. Tampak bekas luka goresan pula di pipi dan kening pria itu. Viara mengangguk dan segera bangkit berdiri. Dengan langkah terseok dan wajah mengernyit, ia berjalan menjauh dengan cepat. Telinganya menangkap suara perkelahian dari tempat yang baru ditinggalkan. Ia ingin membantu Reon, tetapi sadar dirinya mungkin m

Bab terbaru

  • Killer from the future   Sebelas

    Tanpa membuang waktu, Reon segera membuka kotak yang ternyata berisi tablet berwarna hitam tersebut. Sebuah tulisan meminta dia memutar video yang berada di dalam tablet berukuran cukup lebar itu. Reon segera melakukannya. Ia tertegun melihat wajah Aldrich di layar. Sahabat baik yang telah dianggap sebagai kakak oleh Reon terlihat babak-belur. Bibir pria itu robek dan berdarah. Pipinya tampak lebam membiru dan robek. Darah segar juga tampak mengalir dari kening Aldrich. "Aldrich, Aldrich," panggil Reon berulangkali. Gambar layar kemudian berganti pada sosok berambut kelabu yang selama ini mengejar dirinya dan Viara. "Kami sungguh menjaga sahabatmu ini dengan susah-payah. Dia sungguh keras kepala. Dia mungkin telah bersiap untuk mati, tapi aku persis tentang orang seperti kalian. Kalian menghargai persahabatan lebih dari apa pun," ucap lelaki itu. Sekali lagi layar tampak beralih pada Aldrich. Sahabatnya itu tengah meronta dan sebuah b

  • Killer from the future   Sepuluh

    Viara membuka mata dan menyadari ada kain di atas tubuhnya. Ia kemudian melihat Reon tengah tidur sambil duduk di salah satu kursi. Sebelum tidur, kelihatannya pria itu sempat menyelimuti dirinya dengan kain biru yang telah pudar warnanya tersebut. Viara beranjak bangun dan menghampiri Reon. Wajahnya menunduk hingga setara dengan wajah pria itu. Mata Reon masih terpejam rapat. Ia tampak sungguh tengah tertidur lelap. 'Dia cukup tampan, tulang pipinya juga terlihat sempurna. Hidung yang mancung dan bulu mata yang panjang, aku bahkan tidak punya. Andai tidak terjadi masalah, sangat mudah bagiku untuk menyukai dia,' ucap Viara dalam hati. Matanya masih terus tertuju pada raut wajah pria tersebut. Tangannya terulur seolah hendak menyentuh. Namun tiba-tiba mata Reon terbuka dan bertemu tatap dengan Viara. "Apa yang kaulakukan?" Viara yang tidak menyangka hal itu, tentu langsung terperanjat dan tersentak mundur. Ia bahkan

  • Killer from the future   Sembilan

    Karena Viara terus saja bersikeras, Reon akhirnya memutuskan untuk mengalah. Meski begitu, tetap saja bersikap waspada. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Pertemuan mereka dengan bibi Hana terlalu kebetulan, segalanya seolah telah direncanakan. Viara menoleh pada pria yang duduk di sampingnya itu."Apa yang kaupikirkan?" "Tidak ada," geleng Reon. "Jangan cemas, setelah kita aman di sana, aku akan mencari cara menghubungi polisi lagi. Setelahnya, kau bisa pergi," ucap Viara sambil menggenggam tangan Reon. Entah mengapa hatinya terasa begitu berat saat mengatakan itu. Rasanya kini semakin sulit untuk membayangkan berpisah dengan Reon. Reon hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia tidak ingin mengatakan kecurigaan pada Viara. Bisa jadi gadis itu malah marah. Lagipula sebentar lagi Viara tidak akan lagi menjadi tanggung jawabnya. Saat berpisah, lebih baik mengakhiri dengan baik.

  • Killer from the future   Delapan

    Belum sempat tembakan dilepaskan terdengar suara ledakan dari mobil yang berada di antara Viara dan penjahat yang terus mengejarnya itu. Tidak lama terdengar pula suara sirene mobil polisi dan ambulans yang semakin dekat. "Sial!" gerutu si rambut kelabu. Ia kemudian masuk ke dalam mobil. Mereka segera bergegas pergi dari situ. "Reon, bangunlah, Reon!" pinta Viara berulangkali. Air mata yang telah banyak bercucur kembali keluar. Ia sungguh tidak bisa menghindari rasa panik karena menyadari tanpa Reon, ia mungkin sungguh akan sendirian. Pria itu terbatuk berkali-kali sesaat kemudian. Viara menghela napas lega. Ia segera membantu Reon keluar dari mobil. Viara kemudian membantu memapah pria itu berjalan menjauh. Sementara suara sirene terus berbunyi semakin dekat.*** Wahyu berdiri diam menatap mobil-mobil yang terguling dan terbakar di depannya. Ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang sesungguh

  • Killer from the future   Tujuh

    Suara letusan tembakan sebanyak dua kali tersebut terdengar cukup keras di telinga Viara. Ia sontak berhenti berlari. "Apa yang kaulakukan? Kita harus segera pergi dari sini!" gertak Reon. Sejenak ia menatap sekeliling dengan cemas. Pria itu yakin tidak akan lama sebelum orang yang mengejar ia dan Viara menyusul serta menemukan mereka. "Ki-ta ... kita tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus menolong mereka, bukan?" tanya Viara dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sanggup membayangkan orang-orang yang berada di bus menanggung bahaya karena dirinya. "Viara, sadarlah, kita tidak bisa menolong mereka!" seru Reon sambil mengguncang bahu gadis itu. "Kita harus segera pergi" lanjut pria itu lagi sambil mengguncang bahu gadis di hadapannya tersebut. Namun Viara justru mengibas tangan Reon dengan kasar. "Aku akan menolong mereka. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Kalau dir

  • Killer from the future   Enam

    Viara terbatuk-batuk saat Reon akhirnya memutuskan untuk melepaskan dia. "Aku tidak akan membunuhmu, tapi jika sekali lagi kau merendahkan Tuan Anderson maka aku pasti akan membunuhmu. Aku akan melakukannya, meski itu tidak sesuai misi yang kujalankan," geramnya. "Ternyata kau bisa juga berpikir di luar misimu itu. Kukira kau hanya bisa patuh dan tidak bisa membuat keputusan sendiri," ucap Viara dengan suara yang masih sedikit serak. Gadis itu mengusap lehernya yang masih menampilkan bekas memerah akibat cekikan tersebut. Reon tidak menanggapi perkataan Viara. Ia kemudian malah bangkit berdiri. "Kau akan pergi sekarang?" tanya Viara. "Aku pergi setelah mengantarmu ke tempat aman." "Tempat aman? Apa masih ada tempat aman untukku? Para penjahat itu selalu saja menemukan kita, bukan?" Reon terpekur sesaat. Dia juga merasakan hal yang sama. Kemanapun merek

  • Killer from the future   Lima

    Viara masih tertegun saat Reon kemudian meraih tangannya."Ayo kita pergi dari sini sekarang!" "Tapi bagaimana dengannya?" tanya Viara sambil menuding lelaki yang baru saja berkunjung. Reon menggeleng. "Dia sudah mati. Kita harus pergi atau kita juga akan menyusul dia!" Reon kembali menarik tangan Viara, tetapi gadis itu masih saja berdiri terpaku. "Ki-ta ... ki-ta tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus memberitahu keluarganya. Kita ...." "Viara!" gertak Reon sambil mengguncang bahu gadis itu."Kau harus sadar kita tidak bisa melakukan itu. Kita harus pergi!" Viara menggeleng dengan kuat. Reon setengah menyeret gadis itu menuju ke arah pintu belakang. Viara masih tampak keberatan. Tidak lama terdengar suara berondong peluru dari arah luar. Segera Reon meraih pinggang gadis itu dan mengajak untuk tiarap di lantai. Suara ka

  • Killer from the future   Empat

    Viara berusaha untuk bangun saat mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Wajahnya mengernyit menahan nyeri. Namun saat ia baru saja berhasil untuk duduk, terdengar suara seseorang, "ternyata kau berada di sini, sudah waktunya bagimu untuk mati." Seorang pria bersetelan hitam yang rapi menodongkan pistol padanya. Viara hanya duduk mematung, merasa kali nyawanya sungguh akan berakhir. Akan tetapi, saat pistol meletus, muncul sosok dengan cepat menendang tangan yang memegang pistol tersebut. Tembakan itu meleset dari sasaran. "Cepat pergi dari sini!" gertak orang yang menolong Viara. Ternyata dia tidak lain adalah Reon. Tampak bekas luka goresan pula di pipi dan kening pria itu. Viara mengangguk dan segera bangkit berdiri. Dengan langkah terseok dan wajah mengernyit, ia berjalan menjauh dengan cepat. Telinganya menangkap suara perkelahian dari tempat yang baru ditinggalkan. Ia ingin membantu Reon, tetapi sadar dirinya mungkin m

  • Killer from the future   Tiga

    "Apa kau sudah gila?" teriak Reon sambil berkelit menghindar. Ternyata orang yang diam-diam berniat menyerang dirinya tidak lain adalah Viara. Gadis itu tidak menggubris, ia tetap saja terus saja menyerang dengan sebuah tongkat besi. "Hentikan!" teriak Reon sekali lagi. Ia segera mencekal besi berukuran panjang tersebut dan menariknya hingga terlepas dari genggaman tangan Viara. Tindakan tersebut membuat gadis itu tersentak dan nyaris terjatuh. Reon sendiri segera melempar sejauh mungkin batang besi yang kini berada di tangannya. Viara segera berjongkok dan memeluk lututnya sambil menangis. Ia merasa begitu kecewa dan marah pada dirinya sendiri karena tidak berhasil membalas dendam untuk Vino. "Kak, ka-u pasti kecewa padaku. Kak, ma-afkan aku. Aku adalah adik yang buruk. Seharusnya kau tidak mempunyai adik sepertiku," ucapnya kemudian dengan suara tersendat. "Jadi kau begitu marah karena ka

DMCA.com Protection Status