"Apa kau sudah gila?" teriak Reon sambil berkelit menghindar. Ternyata orang yang diam-diam berniat menyerang dirinya tidak lain adalah Viara. Gadis itu tidak menggubris, ia tetap saja terus saja menyerang dengan sebuah tongkat besi.
"Hentikan!" teriak Reon sekali lagi. Ia segera mencekal besi berukuran panjang tersebut dan menariknya hingga terlepas dari genggaman tangan Viara. Tindakan tersebut membuat gadis itu tersentak dan nyaris terjatuh. Reon sendiri segera melempar sejauh mungkin batang besi yang kini berada di tangannya. Viara segera berjongkok dan memeluk lututnya sambil menangis. Ia merasa begitu kecewa dan marah pada dirinya sendiri karena tidak berhasil membalas dendam untuk Vino. "Kak, ka-u pasti kecewa padaku. Kak, ma-afkan aku. Aku adalah adik yang buruk. Seharusnya kau tidak mempunyai adik sepertiku," ucapnya kemudian dengan suara tersendat. "Jadi kau begitu marah karena kakakmu, tapi kenapa malah menyerangku?" tanya Reon. Kepala pria itu menunduk, menatap Viara sambil bersidekap. Viara bergegas bangkit berdiri. Matanya masih terlihat nanar, meski begitu ia justru tampak marah. "Semua ini terjadi karenamu. Ka-kakku ... Yang terjadi pada kakakku, itu semua terjadi karena dirimu!" gertaknya. "Mana bisa itu menjadi salahku? Bukan aku orang yang telah membunuh kakakmu!" "Kau ...!" "Memang benar aku ingin membunuh kakakmu. Aku sangat ingin membunuhnya, tapi aku telah kehilangan kesempatan itu!" Viara tertegun."Lalu siapa mereka? Mengapa mereka mengincar kakakku?" "Mana aku tahu? Orang-orang itu, aku bahkan tidak mengenal mereka. Mungkin mereka sama sepertiku, juga memiliki dendam yang dalam pada kakakmu itu!" "Itu tidak mungkin. Kakakku orang yang baik!" "Kalau begitu, mengapa begitu banyak orang ingin membunuhnya?" Viara terpaku. Ia merasa seperti ini begitu mengetahui tentang Vino, tetapi ternyata mungkin ada hal yang tidak pernah ia tahu.*** "Bagaimana hasilnya?" tanya lelaki yang memberi tugas pada Aldrich dan Reon. "Maaf, Tuan Anderson, kami belum berhasil menghubungi mereka. Namun mereka adalah yang terbaik, mereka pasti akan berhasil," jawab lelaki lain yang berusia lebih muda. Lelaki yang dipanggil Tuan Anderson tersebut berdiri dari duduknya sambil menggenggam tongkat di tangannya dengan erat. Seulas senyum tersungging di wajah yang telah mulai berkeriput. "Jika terjadi masalah, maka sebaiknya kita mencari jalan untuk melenyapkan mereka," ucapnya sambil menepuk bahu lelaki di hadapannya tersebut.*** Reon dan Viara duduk diam di dalam mobil sambil menatap ke arah lautan lepas. Ombak masih saja bergulung meski tidak setinggi tadi. Mentari juga telah semakin benderang memancarkan cahayanya. Viara tidak habis pikir setelah mendengar apa yang diceritakan Reon padanya. Pria tersebut seolah tengah membacakan sebuah kisah dongeng untuknya. "Jadi kau berasal dari masa depan?" tanya gadis itu setelah Reon berhenti bercerita. "Benar, lebih tepatnya aku dan Aldrich. Kami ditugaskan untuk membunuh kakakmu." Viara mendengkus keras."Kau berharap aku akan percaya itu? Semua hanya kegilaan kalian. Hal-hal seperti perjslanan waktu tidak mungkin ada. Kalaupun benar dari masa depan, kakakku tidak mungkin menjadi orang yang menyebabkan kematian banyak orang!" Reon menoleh dan menatap tajam gadis itu."Jika kakakmu itu orang baik, mengapa orang-orang itu membunuhnya?" "Mungkin mereka juga gila sepertimu!" sahut Viara dengan nada berapi-api. Matanya yang kembali berlinang air mata menatap balas pada Reon. "Dasar bodoh. Semua kejadian ini sudah memperlihatkan bahwa kakakmu bukan orang baik. Orang baik seperti apa yang ingin dibunuh oleh banyak orang?" "Sudah cukup!" gertak Viara sambil membekap erat kedua telinganya. Sedu sedannya semakin terdengar jelas. "Sebaiknya kau mulai menerima kenyataan kalau kakakmu memang adalah orang jahat," gumam Reon. Viara tidak menyahut, ia masih saja terus menangis. Perasaan tidak rela karena sang kakak dianggap sebagai penjahat terus berkecamuk dalam dirinya. Reon tidak lagi berbicara. Pandangan mata pria itu menatap lurus ke depan. Suara deru mobil membuatnya bersikap waspada. Tidak hanya satu, melainkan cukup banyak mobil yang mendekat. "Kita pergi dari sini!" ucap Reon sambil memasang sabuk pengaman. Viara masih tetap menangis tanpa peduli perkataan Reon. Reon segera melepas kembali sabuk pengamannya dan memasangkan sabuk pengaman pada gadis itu. "Hentikan tangismu. Kita pergi sekarang!" seru Reon lagi kemudian segera menyalakan dan memacu mobilnya.*** Mobil-mobil berwarna hitam metalik tersebut segera memburu mobil yang dikendarai Reon dan Viara. "Siapa mereka? Kenapa mengejar kita?" tanya Viara. "Tampaknya mereka orang yang sama dengan yang membunuh kakakmu. Mereka mungkin ingin membunuh kita juga!" "Itu tidak mungkin. Kenapa mereka melakukan itu?" "Apa kau tahu yang dilakukan kakakmu?" "Aku sudah mengatakan padamu, kakakku tidak bersalah. Kami berdua tidak melakukan kejahatan apa pun hingga pantas diburu seperti ini!" Kaki kanan Reon menginjak pedal gas semakin dalam. Jalan di depan berkelok curam, tetapi pria itu tetap saja melajukan mobil dengan cepat. Di belakang, mobil-mobil berwarna hitam juga terlihat mengikuti dan melaju semakin cepat. "Kau pasti benar-benar sudah gila. Kenapa kita tidak berhenti dan mencoba berbicara pada mereka?" teriak Viara. Baru saja gadis tersebut selesai berbicara, terdengar bunyi suara tembakan berulangkali. Suara kaca belakang mobil yang pecah terdengar begitu keras. "Kau masih ingin berbicara dengan mereka? Mereka akan langsung membunuh tanpa bertanya saat ada kesempatan!" seru Reon. "Aku sungguh tidak mengerti semua ini. Hidupku semula baik-baik saja. Kenapa semua jadi seperti ini?" "Tidak ada yang baik-baik saja jika keluargamu adalah pembunuh." "Vino bukan pembunuh!" Reon tidak lagi menanggapi karena tembakan semakin gencar dilepaskan musuh. Salah satu peluru kemudian mengenai ban belakang dari mobil Reon, menyebabkan mobil tersebut melaju tanpa kendali. Viara menjerit saat menyadari mobil melaju pada jurang curam. "Buka pintumu dan segera melompat keluar!" perintah Reon pada gadis itu. Viara menggeleng ngeri. "Jika menolak, maka kau akan mati dengan tubuh hancur. Cepat lakukan sekarang!" Viara masih terlihat ragu. Sempat terlintas di pikirannya bahwa mungkin ini yang terbaik, jika kematian menjemput, maka ia akan bisa bertemu orang tua dan kakaknya. Pikiran tersebut menghilang saat Reon membuka pintu dan mendorong ia keluar dari mobil yang masih melaju. Tubuh ramping Viara jatuh menggelinding di tanah kasar dan berbatu. Wajah gadis itu kemudian mengernyit perih saat merasakan luka-luka gores di tangan. Sekujur tubuh juga terasa ngilu. Celana jeans panjang yang dikenakan juga sobek. Hal itu membuat lutut juga perih oleh luka. Viara masih terus berbaring di tanah. Rasa sakit yang mendera sekujur tubuh membuat ia seolah tidak sanggup untuk bangun. Ia kemudian tersentak saat mendengar suara ledakan keras. 'Apakah itu mobil kami tadi? Reon, bagaimana nasib dia?' tanya Viara dalam hati.'Apa dia juga sudah mati?'
Viara berusaha untuk bangun saat mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Wajahnya mengernyit menahan nyeri. Namun saat ia baru saja berhasil untuk duduk, terdengar suara seseorang, "ternyata kau berada di sini, sudah waktunya bagimu untuk mati." Seorang pria bersetelan hitam yang rapi menodongkan pistol padanya. Viara hanya duduk mematung, merasa kali nyawanya sungguh akan berakhir. Akan tetapi, saat pistol meletus, muncul sosok dengan cepat menendang tangan yang memegang pistol tersebut. Tembakan itu meleset dari sasaran. "Cepat pergi dari sini!" gertak orang yang menolong Viara. Ternyata dia tidak lain adalah Reon. Tampak bekas luka goresan pula di pipi dan kening pria itu. Viara mengangguk dan segera bangkit berdiri. Dengan langkah terseok dan wajah mengernyit, ia berjalan menjauh dengan cepat. Telinganya menangkap suara perkelahian dari tempat yang baru ditinggalkan. Ia ingin membantu Reon, tetapi sadar dirinya mungkin m
Viara masih tertegun saat Reon kemudian meraih tangannya."Ayo kita pergi dari sini sekarang!" "Tapi bagaimana dengannya?" tanya Viara sambil menuding lelaki yang baru saja berkunjung. Reon menggeleng. "Dia sudah mati. Kita harus pergi atau kita juga akan menyusul dia!" Reon kembali menarik tangan Viara, tetapi gadis itu masih saja berdiri terpaku. "Ki-ta ... ki-ta tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus memberitahu keluarganya. Kita ...." "Viara!" gertak Reon sambil mengguncang bahu gadis itu."Kau harus sadar kita tidak bisa melakukan itu. Kita harus pergi!" Viara menggeleng dengan kuat. Reon setengah menyeret gadis itu menuju ke arah pintu belakang. Viara masih tampak keberatan. Tidak lama terdengar suara berondong peluru dari arah luar. Segera Reon meraih pinggang gadis itu dan mengajak untuk tiarap di lantai. Suara ka
Viara terbatuk-batuk saat Reon akhirnya memutuskan untuk melepaskan dia. "Aku tidak akan membunuhmu, tapi jika sekali lagi kau merendahkan Tuan Anderson maka aku pasti akan membunuhmu. Aku akan melakukannya, meski itu tidak sesuai misi yang kujalankan," geramnya. "Ternyata kau bisa juga berpikir di luar misimu itu. Kukira kau hanya bisa patuh dan tidak bisa membuat keputusan sendiri," ucap Viara dengan suara yang masih sedikit serak. Gadis itu mengusap lehernya yang masih menampilkan bekas memerah akibat cekikan tersebut. Reon tidak menanggapi perkataan Viara. Ia kemudian malah bangkit berdiri. "Kau akan pergi sekarang?" tanya Viara. "Aku pergi setelah mengantarmu ke tempat aman." "Tempat aman? Apa masih ada tempat aman untukku? Para penjahat itu selalu saja menemukan kita, bukan?" Reon terpekur sesaat. Dia juga merasakan hal yang sama. Kemanapun merek
Suara letusan tembakan sebanyak dua kali tersebut terdengar cukup keras di telinga Viara. Ia sontak berhenti berlari. "Apa yang kaulakukan? Kita harus segera pergi dari sini!" gertak Reon. Sejenak ia menatap sekeliling dengan cemas. Pria itu yakin tidak akan lama sebelum orang yang mengejar ia dan Viara menyusul serta menemukan mereka. "Ki-ta ... kita tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus menolong mereka, bukan?" tanya Viara dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sanggup membayangkan orang-orang yang berada di bus menanggung bahaya karena dirinya. "Viara, sadarlah, kita tidak bisa menolong mereka!" seru Reon sambil mengguncang bahu gadis itu. "Kita harus segera pergi" lanjut pria itu lagi sambil mengguncang bahu gadis di hadapannya tersebut. Namun Viara justru mengibas tangan Reon dengan kasar. "Aku akan menolong mereka. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Kalau dir
Belum sempat tembakan dilepaskan terdengar suara ledakan dari mobil yang berada di antara Viara dan penjahat yang terus mengejarnya itu. Tidak lama terdengar pula suara sirene mobil polisi dan ambulans yang semakin dekat. "Sial!" gerutu si rambut kelabu. Ia kemudian masuk ke dalam mobil. Mereka segera bergegas pergi dari situ. "Reon, bangunlah, Reon!" pinta Viara berulangkali. Air mata yang telah banyak bercucur kembali keluar. Ia sungguh tidak bisa menghindari rasa panik karena menyadari tanpa Reon, ia mungkin sungguh akan sendirian. Pria itu terbatuk berkali-kali sesaat kemudian. Viara menghela napas lega. Ia segera membantu Reon keluar dari mobil. Viara kemudian membantu memapah pria itu berjalan menjauh. Sementara suara sirene terus berbunyi semakin dekat.*** Wahyu berdiri diam menatap mobil-mobil yang terguling dan terbakar di depannya. Ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang sesungguh
Karena Viara terus saja bersikeras, Reon akhirnya memutuskan untuk mengalah. Meski begitu, tetap saja bersikap waspada. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Pertemuan mereka dengan bibi Hana terlalu kebetulan, segalanya seolah telah direncanakan. Viara menoleh pada pria yang duduk di sampingnya itu."Apa yang kaupikirkan?" "Tidak ada," geleng Reon. "Jangan cemas, setelah kita aman di sana, aku akan mencari cara menghubungi polisi lagi. Setelahnya, kau bisa pergi," ucap Viara sambil menggenggam tangan Reon. Entah mengapa hatinya terasa begitu berat saat mengatakan itu. Rasanya kini semakin sulit untuk membayangkan berpisah dengan Reon. Reon hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia tidak ingin mengatakan kecurigaan pada Viara. Bisa jadi gadis itu malah marah. Lagipula sebentar lagi Viara tidak akan lagi menjadi tanggung jawabnya. Saat berpisah, lebih baik mengakhiri dengan baik.
Viara membuka mata dan menyadari ada kain di atas tubuhnya. Ia kemudian melihat Reon tengah tidur sambil duduk di salah satu kursi. Sebelum tidur, kelihatannya pria itu sempat menyelimuti dirinya dengan kain biru yang telah pudar warnanya tersebut. Viara beranjak bangun dan menghampiri Reon. Wajahnya menunduk hingga setara dengan wajah pria itu. Mata Reon masih terpejam rapat. Ia tampak sungguh tengah tertidur lelap. 'Dia cukup tampan, tulang pipinya juga terlihat sempurna. Hidung yang mancung dan bulu mata yang panjang, aku bahkan tidak punya. Andai tidak terjadi masalah, sangat mudah bagiku untuk menyukai dia,' ucap Viara dalam hati. Matanya masih terus tertuju pada raut wajah pria tersebut. Tangannya terulur seolah hendak menyentuh. Namun tiba-tiba mata Reon terbuka dan bertemu tatap dengan Viara. "Apa yang kaulakukan?" Viara yang tidak menyangka hal itu, tentu langsung terperanjat dan tersentak mundur. Ia bahkan
Tanpa membuang waktu, Reon segera membuka kotak yang ternyata berisi tablet berwarna hitam tersebut. Sebuah tulisan meminta dia memutar video yang berada di dalam tablet berukuran cukup lebar itu. Reon segera melakukannya. Ia tertegun melihat wajah Aldrich di layar. Sahabat baik yang telah dianggap sebagai kakak oleh Reon terlihat babak-belur. Bibir pria itu robek dan berdarah. Pipinya tampak lebam membiru dan robek. Darah segar juga tampak mengalir dari kening Aldrich. "Aldrich, Aldrich," panggil Reon berulangkali. Gambar layar kemudian berganti pada sosok berambut kelabu yang selama ini mengejar dirinya dan Viara. "Kami sungguh menjaga sahabatmu ini dengan susah-payah. Dia sungguh keras kepala. Dia mungkin telah bersiap untuk mati, tapi aku persis tentang orang seperti kalian. Kalian menghargai persahabatan lebih dari apa pun," ucap lelaki itu. Sekali lagi layar tampak beralih pada Aldrich. Sahabatnya itu tengah meronta dan sebuah b
Tanpa membuang waktu, Reon segera membuka kotak yang ternyata berisi tablet berwarna hitam tersebut. Sebuah tulisan meminta dia memutar video yang berada di dalam tablet berukuran cukup lebar itu. Reon segera melakukannya. Ia tertegun melihat wajah Aldrich di layar. Sahabat baik yang telah dianggap sebagai kakak oleh Reon terlihat babak-belur. Bibir pria itu robek dan berdarah. Pipinya tampak lebam membiru dan robek. Darah segar juga tampak mengalir dari kening Aldrich. "Aldrich, Aldrich," panggil Reon berulangkali. Gambar layar kemudian berganti pada sosok berambut kelabu yang selama ini mengejar dirinya dan Viara. "Kami sungguh menjaga sahabatmu ini dengan susah-payah. Dia sungguh keras kepala. Dia mungkin telah bersiap untuk mati, tapi aku persis tentang orang seperti kalian. Kalian menghargai persahabatan lebih dari apa pun," ucap lelaki itu. Sekali lagi layar tampak beralih pada Aldrich. Sahabatnya itu tengah meronta dan sebuah b
Viara membuka mata dan menyadari ada kain di atas tubuhnya. Ia kemudian melihat Reon tengah tidur sambil duduk di salah satu kursi. Sebelum tidur, kelihatannya pria itu sempat menyelimuti dirinya dengan kain biru yang telah pudar warnanya tersebut. Viara beranjak bangun dan menghampiri Reon. Wajahnya menunduk hingga setara dengan wajah pria itu. Mata Reon masih terpejam rapat. Ia tampak sungguh tengah tertidur lelap. 'Dia cukup tampan, tulang pipinya juga terlihat sempurna. Hidung yang mancung dan bulu mata yang panjang, aku bahkan tidak punya. Andai tidak terjadi masalah, sangat mudah bagiku untuk menyukai dia,' ucap Viara dalam hati. Matanya masih terus tertuju pada raut wajah pria tersebut. Tangannya terulur seolah hendak menyentuh. Namun tiba-tiba mata Reon terbuka dan bertemu tatap dengan Viara. "Apa yang kaulakukan?" Viara yang tidak menyangka hal itu, tentu langsung terperanjat dan tersentak mundur. Ia bahkan
Karena Viara terus saja bersikeras, Reon akhirnya memutuskan untuk mengalah. Meski begitu, tetap saja bersikap waspada. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Pertemuan mereka dengan bibi Hana terlalu kebetulan, segalanya seolah telah direncanakan. Viara menoleh pada pria yang duduk di sampingnya itu."Apa yang kaupikirkan?" "Tidak ada," geleng Reon. "Jangan cemas, setelah kita aman di sana, aku akan mencari cara menghubungi polisi lagi. Setelahnya, kau bisa pergi," ucap Viara sambil menggenggam tangan Reon. Entah mengapa hatinya terasa begitu berat saat mengatakan itu. Rasanya kini semakin sulit untuk membayangkan berpisah dengan Reon. Reon hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia tidak ingin mengatakan kecurigaan pada Viara. Bisa jadi gadis itu malah marah. Lagipula sebentar lagi Viara tidak akan lagi menjadi tanggung jawabnya. Saat berpisah, lebih baik mengakhiri dengan baik.
Belum sempat tembakan dilepaskan terdengar suara ledakan dari mobil yang berada di antara Viara dan penjahat yang terus mengejarnya itu. Tidak lama terdengar pula suara sirene mobil polisi dan ambulans yang semakin dekat. "Sial!" gerutu si rambut kelabu. Ia kemudian masuk ke dalam mobil. Mereka segera bergegas pergi dari situ. "Reon, bangunlah, Reon!" pinta Viara berulangkali. Air mata yang telah banyak bercucur kembali keluar. Ia sungguh tidak bisa menghindari rasa panik karena menyadari tanpa Reon, ia mungkin sungguh akan sendirian. Pria itu terbatuk berkali-kali sesaat kemudian. Viara menghela napas lega. Ia segera membantu Reon keluar dari mobil. Viara kemudian membantu memapah pria itu berjalan menjauh. Sementara suara sirene terus berbunyi semakin dekat.*** Wahyu berdiri diam menatap mobil-mobil yang terguling dan terbakar di depannya. Ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang sesungguh
Suara letusan tembakan sebanyak dua kali tersebut terdengar cukup keras di telinga Viara. Ia sontak berhenti berlari. "Apa yang kaulakukan? Kita harus segera pergi dari sini!" gertak Reon. Sejenak ia menatap sekeliling dengan cemas. Pria itu yakin tidak akan lama sebelum orang yang mengejar ia dan Viara menyusul serta menemukan mereka. "Ki-ta ... kita tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus menolong mereka, bukan?" tanya Viara dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sanggup membayangkan orang-orang yang berada di bus menanggung bahaya karena dirinya. "Viara, sadarlah, kita tidak bisa menolong mereka!" seru Reon sambil mengguncang bahu gadis itu. "Kita harus segera pergi" lanjut pria itu lagi sambil mengguncang bahu gadis di hadapannya tersebut. Namun Viara justru mengibas tangan Reon dengan kasar. "Aku akan menolong mereka. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Kalau dir
Viara terbatuk-batuk saat Reon akhirnya memutuskan untuk melepaskan dia. "Aku tidak akan membunuhmu, tapi jika sekali lagi kau merendahkan Tuan Anderson maka aku pasti akan membunuhmu. Aku akan melakukannya, meski itu tidak sesuai misi yang kujalankan," geramnya. "Ternyata kau bisa juga berpikir di luar misimu itu. Kukira kau hanya bisa patuh dan tidak bisa membuat keputusan sendiri," ucap Viara dengan suara yang masih sedikit serak. Gadis itu mengusap lehernya yang masih menampilkan bekas memerah akibat cekikan tersebut. Reon tidak menanggapi perkataan Viara. Ia kemudian malah bangkit berdiri. "Kau akan pergi sekarang?" tanya Viara. "Aku pergi setelah mengantarmu ke tempat aman." "Tempat aman? Apa masih ada tempat aman untukku? Para penjahat itu selalu saja menemukan kita, bukan?" Reon terpekur sesaat. Dia juga merasakan hal yang sama. Kemanapun merek
Viara masih tertegun saat Reon kemudian meraih tangannya."Ayo kita pergi dari sini sekarang!" "Tapi bagaimana dengannya?" tanya Viara sambil menuding lelaki yang baru saja berkunjung. Reon menggeleng. "Dia sudah mati. Kita harus pergi atau kita juga akan menyusul dia!" Reon kembali menarik tangan Viara, tetapi gadis itu masih saja berdiri terpaku. "Ki-ta ... ki-ta tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus memberitahu keluarganya. Kita ...." "Viara!" gertak Reon sambil mengguncang bahu gadis itu."Kau harus sadar kita tidak bisa melakukan itu. Kita harus pergi!" Viara menggeleng dengan kuat. Reon setengah menyeret gadis itu menuju ke arah pintu belakang. Viara masih tampak keberatan. Tidak lama terdengar suara berondong peluru dari arah luar. Segera Reon meraih pinggang gadis itu dan mengajak untuk tiarap di lantai. Suara ka
Viara berusaha untuk bangun saat mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Wajahnya mengernyit menahan nyeri. Namun saat ia baru saja berhasil untuk duduk, terdengar suara seseorang, "ternyata kau berada di sini, sudah waktunya bagimu untuk mati." Seorang pria bersetelan hitam yang rapi menodongkan pistol padanya. Viara hanya duduk mematung, merasa kali nyawanya sungguh akan berakhir. Akan tetapi, saat pistol meletus, muncul sosok dengan cepat menendang tangan yang memegang pistol tersebut. Tembakan itu meleset dari sasaran. "Cepat pergi dari sini!" gertak orang yang menolong Viara. Ternyata dia tidak lain adalah Reon. Tampak bekas luka goresan pula di pipi dan kening pria itu. Viara mengangguk dan segera bangkit berdiri. Dengan langkah terseok dan wajah mengernyit, ia berjalan menjauh dengan cepat. Telinganya menangkap suara perkelahian dari tempat yang baru ditinggalkan. Ia ingin membantu Reon, tetapi sadar dirinya mungkin m
"Apa kau sudah gila?" teriak Reon sambil berkelit menghindar. Ternyata orang yang diam-diam berniat menyerang dirinya tidak lain adalah Viara. Gadis itu tidak menggubris, ia tetap saja terus saja menyerang dengan sebuah tongkat besi. "Hentikan!" teriak Reon sekali lagi. Ia segera mencekal besi berukuran panjang tersebut dan menariknya hingga terlepas dari genggaman tangan Viara. Tindakan tersebut membuat gadis itu tersentak dan nyaris terjatuh. Reon sendiri segera melempar sejauh mungkin batang besi yang kini berada di tangannya. Viara segera berjongkok dan memeluk lututnya sambil menangis. Ia merasa begitu kecewa dan marah pada dirinya sendiri karena tidak berhasil membalas dendam untuk Vino. "Kak, ka-u pasti kecewa padaku. Kak, ma-afkan aku. Aku adalah adik yang buruk. Seharusnya kau tidak mempunyai adik sepertiku," ucapnya kemudian dengan suara tersendat. "Jadi kau begitu marah karena ka