Share

Empat

Author: Meimei
last update Last Updated: 2021-08-23 10:22:03

  Viara berusaha untuk bangun saat mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Wajahnya mengernyit menahan nyeri. Namun saat ia baru saja berhasil untuk duduk, terdengar suara seseorang,

  "ternyata kau berada di sini, sudah waktunya bagimu untuk mati."

  Seorang pria bersetelan hitam yang rapi menodongkan pistol padanya. Viara hanya duduk mematung, merasa kali nyawanya sungguh akan berakhir. Akan tetapi, saat pistol meletus, muncul sosok dengan cepat menendang tangan yang memegang pistol tersebut. Tembakan itu meleset dari sasaran. 

  "Cepat pergi dari sini!" gertak orang yang menolong Viara. Ternyata dia tidak lain adalah Reon. Tampak bekas luka goresan pula di pipi dan kening pria itu. Viara mengangguk dan segera bangkit berdiri. Dengan langkah terseok dan wajah mengernyit, ia berjalan menjauh dengan cepat. Telinganya menangkap suara perkelahian dari tempat yang baru ditinggalkan. Ia ingin membantu Reon, tetapi sadar dirinya mungkin malah merepotkan pria itu.

   Viara menemukan sebuah rumah yang tampak telah ditinggalkan. Ia segera masuk ke dalam tempat yang ternyata tidak terkunci tersebut. Tanpa peduli meski tempat itu kotor dan berdebu, Viara duduk dan memeluk lutut sambil menangis. 

***

   Suara pintu terbuka membuat Viara membuka mata. Ternyata ia telah tertidur tanpa sadar. Hari ini memang terlampau melelahkan. Kehidupannya yang tenang telah berlalu pergi.

   "Kau berada di sini ternyata," ujar Reon sambil berjalan masuk. Viara menghela napas lega karena ternyata pria itu yang datang. Meski masih tetap ada kebencian, tetapi pria itu telah menyelamatkan dirinya.

   "Kenapa menolongku?" tanya Viara kemudian. Reon tidak menjawab. Pria itu justru mengulurkan kantong plastik berwarna hitam pada Viara. Saat gadis tersebut membuka, ia melihat ada sebungkus roti dan obat merah.

   "Dari mana ...?"

   "Aku meminta dari orang yang kebetulan lewat."

   Viara menatap tidak percaya, tetapi tidak bertanya lebih jauh. Ia justru kembali menanyakan alasan pria itu menolongnya.

   "Tidak ada alasan," jawab Reon singkat.

   "Aku tidak mengerti, kau ingin membunuh kakakku, tapi kau menolongku, apa sebenarnya maksudmu?"

   "Karena kau bukan sasaran. Hanya kakakmu yang harus dibunuh. Kau seharusnya tidak terlibat."

   "Apa hanya karena misimu itu, kau memutuskan siapa yang dibunuh dan siapa yang ditolong?"

   Reon mengangguk. Viara menggeleng sambil bergegas bangkit berdiri. Ia membanting kantong yang dibawa Reon di hadapan pria itu.

   "Aku tidak mau menerima pemberian darimu!" tandasnya kemudian hendak berlalu. Akan tetapi, Reon mencekal erat pergelangan tangan gadis itu.

   "Apa yang kaulakukan, Bajingan? Lepaskan tanganku sekarang!" 

   Mata Viara membeliak marah. Ia bahkan memberanikan diri untuk menatap tajam pria itu. Sesaat keduanya beradu tatapan, tetapi Reon kemudian melepaskan cekalan dan mendorong gadis itu menjauh.

   "Aku tidak peduli lagi apa yang terjadi padamu. Terserah kau mau mengobati lukamu atau tidak. Hidup matimu tidak ada urusan denganku."

   "Baguslah kalau begitu, aku juga tidak bisa hidup dengan belas kasihanmu. Di mataku, kau sama saja dengan orang-orang itu, telah membunuh kakakku!"

   Reon tidak menyahut. Lelaki itu hanya bergegas melangkah keluar dari rumah itu dan menutup pintu di belakangnya. Di dalam, Viara krmbali duduk. Air matanya kembali mengalir keluar dengan deras.

***

   Beberapa jam berlalu, Viara sempat menyangka Reon tidak akan kembali. Ia segera menoleh saat melihat Reon membuka pintu dan pria itu berjalan masuk setelah menutup kembali pintu.

   Mata Reon melirik sekilas pada kantong hitam yang masih tergeletak di tempat Viara membuang tadi. Ia segera mengambil.

   "Jangan keras kepala. Kau seharusnya berusaha untuk bertahan hidup," ucapnya sambil mengulurkan kantong tersebut. Viara segera memalingkan wajah. 

   "Itu bukan urusanmu. Kenapa kau tidak membunuhku juga? Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Untuk apa aku tetap hidup?"

   "Bukankah aku sudah mengatakan padamu ...?"

   "Baiklah, aku tahu aku bukan bagian dari misimu itu, tapi tidak bisakah kau mengabulkan permintaanku? Jangan hanya membunuh kakakku, bunuh aku juga. Dengan begitu, setidaknya kami bisa bersama."

   Reon mengeluarkan sebilah pisau lipat dari saku celana dan menatap Viara. 

"Apa kau sungguh ingin mati? Kau terlihat ketakutan. Sebelumnya kau bahkan melarikan diri dari orang-orang yang mengejar kita. Jika memang kau sungguh ingin mati, harusnya biarkan saja mereka membunuhmu."

   Viara diam sesaat. Ia menatap pisau yang tampak berkilat karena pantulan cahaya mentari sore menyusup melalui sela-sela kaca jendela.

   "Aku memang ketakutan tadi, tapi sekarang aku sudah tidak takut lagi. Karena itu aku memintamu untuk membunuhku," ucapnya sambil kembali mengalihkan tatapan pada pria di hadapannya tersebut.

   Reon meletakkan pisau tersebut di tangan Viara.

"Jika kau ingin mati, lakukan saja sendiri. Aku menolak untuk membunuhmu."

   Pria itu kemudian melangkah menjauh, sementara tangan kanan Viara menggenggam erat pisau berwarna keperakan tersebut. 

   "Kau menolak membunuhku karena itu bukan misimu. Apa kau selalu begitu patuh dan tidak bisa mengambil keputusan sendiri? Apa hidupmu selalu dikendalikan orang lain?" tanya Viara dengan suara cukup keras. 

    Langkah Reon terhenti. Ia berbalik dan menatap Viara. Sorot matanya tampak sedingin es.

    "Aku sudah mengambil keputusan sendiri dengan menolongmu sebelumnya, tapi untuk hidupmu, kau sendiri yang memutuskan. Jika kau ingin mati, lakukan saja sendiri. Orang yang tidak ingin hidup, aku juga tidak akan membantu mereka, bahkan untuk mati sekalipun."

    Viara kembali diam. Tangan kanannya yang masih menggenggam pisau gemetar. Air mata juga berlinang. Pisau tersebut kemudian jatuh berdenting di lantai. Ia sendiri terduduk dan menatap hampa pada benda tersebut.

    'Ternyata aku memang pengecut. Aku bahkan tidak berani untuk mati. Ayah, Ibu, Kakak, aku terlalu takut meski ini adalah cara untuk bisa bersama kalian.'

    "Jika kau sudah memutuskan untuk hidup, maka makanlah roti itu dan obati lukamu. Setelahnya kita harus segera pergi dari sini. Orang-orang yang mengincarmu mungkin akan segera menemukan kita," ucap Reon. Pria itu kemudian membuka pintu depan dan tertegun melihat seorang lelaki paruh baya berdiri di halaman.  

    "Siapa kau?" tanya Reon sambil menatap curiga.

    "Oh saya, saya hanya orang yang tinggal dekat sini. Tadi saat pergi ke kebun tanpa sengaja melihatmu. Kalian tinggal di rumah ini, apa kalian sepasang kekasih?" tanya lelaki itu.

    "Apa?" sahut Reon gusar.

    Viara bergegas bangkit berdiri dan menghampiri.

"Pak, Anda salah menilai, kami tidak seperti itu."

    Lelaki berambut kelabu yang memegang cangkul tersebut mengibaskan tangan sambil tertawa.

"Sudahlah, saya tahu, kok, anak muda seperti kalian pasti lari dari rumah. Jaman sekarang sudah sering seperti itu. Rumah ini juga ...."

    "Pak, sebaiknya Anda segera pergi dari sini!" suruh Reon.

    "Kalian ...."

    Lelaki tersebut tidak menyelesaikan ucapan seiring suara letusan pistol. Viara mendekap mulut saat lelaki malang yang bahkan belum sempat ia ketahui namanya tersebut ambruk dengan punggung tertembus peluru. 

     

    

    

    

   

    

   

    

Related chapters

  • Killer from the future   Lima

    Viara masih tertegun saat Reon kemudian meraih tangannya."Ayo kita pergi dari sini sekarang!" "Tapi bagaimana dengannya?" tanya Viara sambil menuding lelaki yang baru saja berkunjung. Reon menggeleng. "Dia sudah mati. Kita harus pergi atau kita juga akan menyusul dia!" Reon kembali menarik tangan Viara, tetapi gadis itu masih saja berdiri terpaku. "Ki-ta ... ki-ta tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus memberitahu keluarganya. Kita ...." "Viara!" gertak Reon sambil mengguncang bahu gadis itu."Kau harus sadar kita tidak bisa melakukan itu. Kita harus pergi!" Viara menggeleng dengan kuat. Reon setengah menyeret gadis itu menuju ke arah pintu belakang. Viara masih tampak keberatan. Tidak lama terdengar suara berondong peluru dari arah luar. Segera Reon meraih pinggang gadis itu dan mengajak untuk tiarap di lantai. Suara ka

    Last Updated : 2021-08-23
  • Killer from the future   Enam

    Viara terbatuk-batuk saat Reon akhirnya memutuskan untuk melepaskan dia. "Aku tidak akan membunuhmu, tapi jika sekali lagi kau merendahkan Tuan Anderson maka aku pasti akan membunuhmu. Aku akan melakukannya, meski itu tidak sesuai misi yang kujalankan," geramnya. "Ternyata kau bisa juga berpikir di luar misimu itu. Kukira kau hanya bisa patuh dan tidak bisa membuat keputusan sendiri," ucap Viara dengan suara yang masih sedikit serak. Gadis itu mengusap lehernya yang masih menampilkan bekas memerah akibat cekikan tersebut. Reon tidak menanggapi perkataan Viara. Ia kemudian malah bangkit berdiri. "Kau akan pergi sekarang?" tanya Viara. "Aku pergi setelah mengantarmu ke tempat aman." "Tempat aman? Apa masih ada tempat aman untukku? Para penjahat itu selalu saja menemukan kita, bukan?" Reon terpekur sesaat. Dia juga merasakan hal yang sama. Kemanapun merek

    Last Updated : 2021-09-03
  • Killer from the future   Tujuh

    Suara letusan tembakan sebanyak dua kali tersebut terdengar cukup keras di telinga Viara. Ia sontak berhenti berlari. "Apa yang kaulakukan? Kita harus segera pergi dari sini!" gertak Reon. Sejenak ia menatap sekeliling dengan cemas. Pria itu yakin tidak akan lama sebelum orang yang mengejar ia dan Viara menyusul serta menemukan mereka. "Ki-ta ... kita tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus menolong mereka, bukan?" tanya Viara dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sanggup membayangkan orang-orang yang berada di bus menanggung bahaya karena dirinya. "Viara, sadarlah, kita tidak bisa menolong mereka!" seru Reon sambil mengguncang bahu gadis itu. "Kita harus segera pergi" lanjut pria itu lagi sambil mengguncang bahu gadis di hadapannya tersebut. Namun Viara justru mengibas tangan Reon dengan kasar. "Aku akan menolong mereka. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Kalau dir

    Last Updated : 2021-09-04
  • Killer from the future   Delapan

    Belum sempat tembakan dilepaskan terdengar suara ledakan dari mobil yang berada di antara Viara dan penjahat yang terus mengejarnya itu. Tidak lama terdengar pula suara sirene mobil polisi dan ambulans yang semakin dekat. "Sial!" gerutu si rambut kelabu. Ia kemudian masuk ke dalam mobil. Mereka segera bergegas pergi dari situ. "Reon, bangunlah, Reon!" pinta Viara berulangkali. Air mata yang telah banyak bercucur kembali keluar. Ia sungguh tidak bisa menghindari rasa panik karena menyadari tanpa Reon, ia mungkin sungguh akan sendirian. Pria itu terbatuk berkali-kali sesaat kemudian. Viara menghela napas lega. Ia segera membantu Reon keluar dari mobil. Viara kemudian membantu memapah pria itu berjalan menjauh. Sementara suara sirene terus berbunyi semakin dekat.*** Wahyu berdiri diam menatap mobil-mobil yang terguling dan terbakar di depannya. Ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang sesungguh

    Last Updated : 2021-09-05
  • Killer from the future   Sembilan

    Karena Viara terus saja bersikeras, Reon akhirnya memutuskan untuk mengalah. Meski begitu, tetap saja bersikap waspada. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Pertemuan mereka dengan bibi Hana terlalu kebetulan, segalanya seolah telah direncanakan. Viara menoleh pada pria yang duduk di sampingnya itu."Apa yang kaupikirkan?" "Tidak ada," geleng Reon. "Jangan cemas, setelah kita aman di sana, aku akan mencari cara menghubungi polisi lagi. Setelahnya, kau bisa pergi," ucap Viara sambil menggenggam tangan Reon. Entah mengapa hatinya terasa begitu berat saat mengatakan itu. Rasanya kini semakin sulit untuk membayangkan berpisah dengan Reon. Reon hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia tidak ingin mengatakan kecurigaan pada Viara. Bisa jadi gadis itu malah marah. Lagipula sebentar lagi Viara tidak akan lagi menjadi tanggung jawabnya. Saat berpisah, lebih baik mengakhiri dengan baik.

    Last Updated : 2021-09-18
  • Killer from the future   Sepuluh

    Viara membuka mata dan menyadari ada kain di atas tubuhnya. Ia kemudian melihat Reon tengah tidur sambil duduk di salah satu kursi. Sebelum tidur, kelihatannya pria itu sempat menyelimuti dirinya dengan kain biru yang telah pudar warnanya tersebut. Viara beranjak bangun dan menghampiri Reon. Wajahnya menunduk hingga setara dengan wajah pria itu. Mata Reon masih terpejam rapat. Ia tampak sungguh tengah tertidur lelap. 'Dia cukup tampan, tulang pipinya juga terlihat sempurna. Hidung yang mancung dan bulu mata yang panjang, aku bahkan tidak punya. Andai tidak terjadi masalah, sangat mudah bagiku untuk menyukai dia,' ucap Viara dalam hati. Matanya masih terus tertuju pada raut wajah pria tersebut. Tangannya terulur seolah hendak menyentuh. Namun tiba-tiba mata Reon terbuka dan bertemu tatap dengan Viara. "Apa yang kaulakukan?" Viara yang tidak menyangka hal itu, tentu langsung terperanjat dan tersentak mundur. Ia bahkan

    Last Updated : 2021-09-19
  • Killer from the future   Sebelas

    Tanpa membuang waktu, Reon segera membuka kotak yang ternyata berisi tablet berwarna hitam tersebut. Sebuah tulisan meminta dia memutar video yang berada di dalam tablet berukuran cukup lebar itu. Reon segera melakukannya. Ia tertegun melihat wajah Aldrich di layar. Sahabat baik yang telah dianggap sebagai kakak oleh Reon terlihat babak-belur. Bibir pria itu robek dan berdarah. Pipinya tampak lebam membiru dan robek. Darah segar juga tampak mengalir dari kening Aldrich. "Aldrich, Aldrich," panggil Reon berulangkali. Gambar layar kemudian berganti pada sosok berambut kelabu yang selama ini mengejar dirinya dan Viara. "Kami sungguh menjaga sahabatmu ini dengan susah-payah. Dia sungguh keras kepala. Dia mungkin telah bersiap untuk mati, tapi aku persis tentang orang seperti kalian. Kalian menghargai persahabatan lebih dari apa pun," ucap lelaki itu. Sekali lagi layar tampak beralih pada Aldrich. Sahabatnya itu tengah meronta dan sebuah b

    Last Updated : 2021-09-20
  • Killer from the future   Satu

    "Apakah kita harus melakukan ini?" tanya seorang pria yang berpakaian serba hitam pada pria lain yang berdiri di sampingnya. "Ini adalah misi yang harus kita laksanakan. Jika kau ragu sebaiknya tidak perlu ikut!" Pria pertama mengangguk ragu setelah mendengar jawaban itu. Misi mereka adalah tidak lain adalah membunuh orang yang mendiami rumah bercat putih di depan mereka. Bukan tanpa alasan. Semua itu karena penghuni rumah tersebut adalah orang yang akan membawa kehancuran bagi bumi di masa depan.*** Seorang lelaki paruh baya berambut kelabu tampak berdiri menatap ke luar jendela besar di ruangan tersebut. Ruangan tempat ia berada tersebut terletak di sebuah gedung pencakar langit yang berukuran raksasa. Di luar tidak tampak apa pun. Hanya ada selubung kabut yang berwarna kehitaman, menutupi pandangan dari apa yang sesungguhnya terlihat di luar. Suara pintu dibuka dan langkah orang masuk ke

    Last Updated : 2021-08-20

Latest chapter

  • Killer from the future   Sebelas

    Tanpa membuang waktu, Reon segera membuka kotak yang ternyata berisi tablet berwarna hitam tersebut. Sebuah tulisan meminta dia memutar video yang berada di dalam tablet berukuran cukup lebar itu. Reon segera melakukannya. Ia tertegun melihat wajah Aldrich di layar. Sahabat baik yang telah dianggap sebagai kakak oleh Reon terlihat babak-belur. Bibir pria itu robek dan berdarah. Pipinya tampak lebam membiru dan robek. Darah segar juga tampak mengalir dari kening Aldrich. "Aldrich, Aldrich," panggil Reon berulangkali. Gambar layar kemudian berganti pada sosok berambut kelabu yang selama ini mengejar dirinya dan Viara. "Kami sungguh menjaga sahabatmu ini dengan susah-payah. Dia sungguh keras kepala. Dia mungkin telah bersiap untuk mati, tapi aku persis tentang orang seperti kalian. Kalian menghargai persahabatan lebih dari apa pun," ucap lelaki itu. Sekali lagi layar tampak beralih pada Aldrich. Sahabatnya itu tengah meronta dan sebuah b

  • Killer from the future   Sepuluh

    Viara membuka mata dan menyadari ada kain di atas tubuhnya. Ia kemudian melihat Reon tengah tidur sambil duduk di salah satu kursi. Sebelum tidur, kelihatannya pria itu sempat menyelimuti dirinya dengan kain biru yang telah pudar warnanya tersebut. Viara beranjak bangun dan menghampiri Reon. Wajahnya menunduk hingga setara dengan wajah pria itu. Mata Reon masih terpejam rapat. Ia tampak sungguh tengah tertidur lelap. 'Dia cukup tampan, tulang pipinya juga terlihat sempurna. Hidung yang mancung dan bulu mata yang panjang, aku bahkan tidak punya. Andai tidak terjadi masalah, sangat mudah bagiku untuk menyukai dia,' ucap Viara dalam hati. Matanya masih terus tertuju pada raut wajah pria tersebut. Tangannya terulur seolah hendak menyentuh. Namun tiba-tiba mata Reon terbuka dan bertemu tatap dengan Viara. "Apa yang kaulakukan?" Viara yang tidak menyangka hal itu, tentu langsung terperanjat dan tersentak mundur. Ia bahkan

  • Killer from the future   Sembilan

    Karena Viara terus saja bersikeras, Reon akhirnya memutuskan untuk mengalah. Meski begitu, tetap saja bersikap waspada. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Pertemuan mereka dengan bibi Hana terlalu kebetulan, segalanya seolah telah direncanakan. Viara menoleh pada pria yang duduk di sampingnya itu."Apa yang kaupikirkan?" "Tidak ada," geleng Reon. "Jangan cemas, setelah kita aman di sana, aku akan mencari cara menghubungi polisi lagi. Setelahnya, kau bisa pergi," ucap Viara sambil menggenggam tangan Reon. Entah mengapa hatinya terasa begitu berat saat mengatakan itu. Rasanya kini semakin sulit untuk membayangkan berpisah dengan Reon. Reon hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia tidak ingin mengatakan kecurigaan pada Viara. Bisa jadi gadis itu malah marah. Lagipula sebentar lagi Viara tidak akan lagi menjadi tanggung jawabnya. Saat berpisah, lebih baik mengakhiri dengan baik.

  • Killer from the future   Delapan

    Belum sempat tembakan dilepaskan terdengar suara ledakan dari mobil yang berada di antara Viara dan penjahat yang terus mengejarnya itu. Tidak lama terdengar pula suara sirene mobil polisi dan ambulans yang semakin dekat. "Sial!" gerutu si rambut kelabu. Ia kemudian masuk ke dalam mobil. Mereka segera bergegas pergi dari situ. "Reon, bangunlah, Reon!" pinta Viara berulangkali. Air mata yang telah banyak bercucur kembali keluar. Ia sungguh tidak bisa menghindari rasa panik karena menyadari tanpa Reon, ia mungkin sungguh akan sendirian. Pria itu terbatuk berkali-kali sesaat kemudian. Viara menghela napas lega. Ia segera membantu Reon keluar dari mobil. Viara kemudian membantu memapah pria itu berjalan menjauh. Sementara suara sirene terus berbunyi semakin dekat.*** Wahyu berdiri diam menatap mobil-mobil yang terguling dan terbakar di depannya. Ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang sesungguh

  • Killer from the future   Tujuh

    Suara letusan tembakan sebanyak dua kali tersebut terdengar cukup keras di telinga Viara. Ia sontak berhenti berlari. "Apa yang kaulakukan? Kita harus segera pergi dari sini!" gertak Reon. Sejenak ia menatap sekeliling dengan cemas. Pria itu yakin tidak akan lama sebelum orang yang mengejar ia dan Viara menyusul serta menemukan mereka. "Ki-ta ... kita tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus menolong mereka, bukan?" tanya Viara dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sanggup membayangkan orang-orang yang berada di bus menanggung bahaya karena dirinya. "Viara, sadarlah, kita tidak bisa menolong mereka!" seru Reon sambil mengguncang bahu gadis itu. "Kita harus segera pergi" lanjut pria itu lagi sambil mengguncang bahu gadis di hadapannya tersebut. Namun Viara justru mengibas tangan Reon dengan kasar. "Aku akan menolong mereka. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Kalau dir

  • Killer from the future   Enam

    Viara terbatuk-batuk saat Reon akhirnya memutuskan untuk melepaskan dia. "Aku tidak akan membunuhmu, tapi jika sekali lagi kau merendahkan Tuan Anderson maka aku pasti akan membunuhmu. Aku akan melakukannya, meski itu tidak sesuai misi yang kujalankan," geramnya. "Ternyata kau bisa juga berpikir di luar misimu itu. Kukira kau hanya bisa patuh dan tidak bisa membuat keputusan sendiri," ucap Viara dengan suara yang masih sedikit serak. Gadis itu mengusap lehernya yang masih menampilkan bekas memerah akibat cekikan tersebut. Reon tidak menanggapi perkataan Viara. Ia kemudian malah bangkit berdiri. "Kau akan pergi sekarang?" tanya Viara. "Aku pergi setelah mengantarmu ke tempat aman." "Tempat aman? Apa masih ada tempat aman untukku? Para penjahat itu selalu saja menemukan kita, bukan?" Reon terpekur sesaat. Dia juga merasakan hal yang sama. Kemanapun merek

  • Killer from the future   Lima

    Viara masih tertegun saat Reon kemudian meraih tangannya."Ayo kita pergi dari sini sekarang!" "Tapi bagaimana dengannya?" tanya Viara sambil menuding lelaki yang baru saja berkunjung. Reon menggeleng. "Dia sudah mati. Kita harus pergi atau kita juga akan menyusul dia!" Reon kembali menarik tangan Viara, tetapi gadis itu masih saja berdiri terpaku. "Ki-ta ... ki-ta tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus memberitahu keluarganya. Kita ...." "Viara!" gertak Reon sambil mengguncang bahu gadis itu."Kau harus sadar kita tidak bisa melakukan itu. Kita harus pergi!" Viara menggeleng dengan kuat. Reon setengah menyeret gadis itu menuju ke arah pintu belakang. Viara masih tampak keberatan. Tidak lama terdengar suara berondong peluru dari arah luar. Segera Reon meraih pinggang gadis itu dan mengajak untuk tiarap di lantai. Suara ka

  • Killer from the future   Empat

    Viara berusaha untuk bangun saat mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Wajahnya mengernyit menahan nyeri. Namun saat ia baru saja berhasil untuk duduk, terdengar suara seseorang, "ternyata kau berada di sini, sudah waktunya bagimu untuk mati." Seorang pria bersetelan hitam yang rapi menodongkan pistol padanya. Viara hanya duduk mematung, merasa kali nyawanya sungguh akan berakhir. Akan tetapi, saat pistol meletus, muncul sosok dengan cepat menendang tangan yang memegang pistol tersebut. Tembakan itu meleset dari sasaran. "Cepat pergi dari sini!" gertak orang yang menolong Viara. Ternyata dia tidak lain adalah Reon. Tampak bekas luka goresan pula di pipi dan kening pria itu. Viara mengangguk dan segera bangkit berdiri. Dengan langkah terseok dan wajah mengernyit, ia berjalan menjauh dengan cepat. Telinganya menangkap suara perkelahian dari tempat yang baru ditinggalkan. Ia ingin membantu Reon, tetapi sadar dirinya mungkin m

  • Killer from the future   Tiga

    "Apa kau sudah gila?" teriak Reon sambil berkelit menghindar. Ternyata orang yang diam-diam berniat menyerang dirinya tidak lain adalah Viara. Gadis itu tidak menggubris, ia tetap saja terus saja menyerang dengan sebuah tongkat besi. "Hentikan!" teriak Reon sekali lagi. Ia segera mencekal besi berukuran panjang tersebut dan menariknya hingga terlepas dari genggaman tangan Viara. Tindakan tersebut membuat gadis itu tersentak dan nyaris terjatuh. Reon sendiri segera melempar sejauh mungkin batang besi yang kini berada di tangannya. Viara segera berjongkok dan memeluk lututnya sambil menangis. Ia merasa begitu kecewa dan marah pada dirinya sendiri karena tidak berhasil membalas dendam untuk Vino. "Kak, ka-u pasti kecewa padaku. Kak, ma-afkan aku. Aku adalah adik yang buruk. Seharusnya kau tidak mempunyai adik sepertiku," ucapnya kemudian dengan suara tersendat. "Jadi kau begitu marah karena ka

DMCA.com Protection Status