Share

Killer from the future
Killer from the future
Penulis: Meimei

Satu

Penulis: Meimei
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

   "Apakah kita harus melakukan ini?" tanya seorang pria yang berpakaian serba hitam pada pria lain yang berdiri di sampingnya.

   "Ini adalah misi yang harus kita laksanakan. Jika kau ragu sebaiknya tidak perlu ikut!"

   Pria pertama mengangguk ragu setelah mendengar jawaban itu. Misi mereka adalah tidak lain adalah membunuh orang yang mendiami rumah bercat putih di depan mereka. Bukan tanpa alasan. Semua itu karena penghuni rumah tersebut adalah orang yang akan membawa kehancuran bagi bumi di masa depan.

***

    Seorang lelaki paruh baya berambut kelabu tampak berdiri menatap ke luar jendela besar di ruangan tersebut. Ruangan tempat ia berada tersebut terletak di sebuah gedung pencakar langit yang berukuran raksasa. Di luar tidak tampak apa pun. Hanya ada selubung kabut yang berwarna kehitaman, menutupi pandangan dari apa yang sesungguhnya terlihat di luar.

    Suara pintu dibuka dan langkah orang masuk ke dalam ruangan membuat ia berbalik. 

   "Bagaimana?" tanyanya sambil menatapa orang yang baru saja tiba. Orang tersebut ternyata tidak sendiri, ada dua orang yang datang bersamanya.

   "Mereka adalah yang kupilih untuk melaksanakan misi kali ini."

   Tatapan lelaki paruh baya beralih pada dua pria muda yang berpakaian serba hitam di depannya tersebut. Segera keduanya memberi hormat padanya. Lelaki itu mengangguk dan menepuk bahu keduanya bergantian.

    "Siapa nama kalian?" tanyanya.

    "Aldrich Marino," jawab yang satu kemudian segera disusul pria di sampingnya,

    "Reonhart Harim."

    Lelaki berambut kelabu tersebut tersenyum sekilas. 

"Kalian terlihat hebat. Pasti bisa menjalankan misi ini dengan baik. Ingat kalian akan menjadi pahlawan jika bisa mencegah peristiwa saat ini. Untuk itu, kalian harus melakukannya dengan baik. Jangan sampai menimbulkan masalah baru."

    Reon dan Aldrich kompak mengangguk. Tidak lama keduanya segera berangkat. Misi yang terbilang mudah, mereka hanya perlu membunuh seseorang di masa lalu untuk mencegah tragedi di masa depan. Dan kini mereka telah berada di depan rumah orang yang harus mereka bunuh.

***

    Viara Mallika melangkah riang. Ia baru saja pulang dari tempat kerjanya. Hari ini adalah perayaan ulang tahun sang kakak. Kakaknya, Vino Rulio, adalah orang yang mengasuh dia setelah kedua orang tua mereka tewas bersama dalam sebuah kecelakaan misterius. Hal tersebut tidak pernah bisa dipahami oleh Viara. Ayah dan ibunya baik-baik saja saat pergi bersama, tetapi kemudian kabar yang ia dan kakaknya terima, keduanya tewas karena mobil yang dikendarai sang ayah melompat ke dalam jurang.

    Peristiwa tersebut memukul batin Vino dan Viara. Apalagi tidak ada yang tahu yang sebenarnya terjadi. Polisi memberitahu dia dan Vino bahwa kedua orang tuanya melakukan bunuh diri karena tidak ditemukan keanehan pada kecelakaan tersebut. Hal itu tentu tidak bisa diterima oleh Vino dan Viara, meski begitu mereka tidak bisa berbuat banyak. Waktu berlalu dan akhirnya semua luka serta kesedihan akibat peristiwa tersebut mulai memudar. Vino dan Viara menjalani lagi kehidupan mereka.

    Vino berhenti kuliah dan bekerja serabutan setelah peristiwa menyedihkan itu. Kini kehidupan mereka telah membaik dan semua itu berkat kerja keras Vino. Setelah lulus kuliah,Viara juga bekerja. Ia baru saja mendapat gaji pertamanya yang bertepatan dengan ulang tahun sang kakak. Untuk itu, ia sengaja pulang lebih awal dan membawakan kue ulang tahun untuk Vino.

   Langkah gadis tersebut kemudian terhenti saat melihat dua pria tidak dikenal berdiri di depan rumahnya. 

   'Siapa mereka? Apa mereka teman Kak Vino?' tanyanya dalam hati. Ia kemudian memutuskan untuk menyapa mereka.

   "Kalian teman Kak Vino? Pasti datang untuk ulang tahunnya. Kenapa menunggu di luar? Ayo masuk ke dalam," ajaknya ramah.

   Mendengar suara tersebut, salah satu pria tidak dikenal yang tidak lain adalah Reon segera bergegas menghampiri. Langkah Viara tersurut mundur saat melihat raut wajah pria tidak dikenal tersebut. Entah mengapa ia merasa ada yang tidak beres seolah pria itu berniat buruk padanya.

   "Kau pasti Viara Mallika, beritahu kami di mana kakakmu sekarang?" tanya Reon dengan nada menggertak. Wajah Viara semakin berubah pias, benar dugaannya dua orang yang berdiri di depan rumah tersebut ternyata berniat buruk pada Vino. 

   "A-ku ... aku tidak tahu," jawab Viara parau.

   "Reon, jangan kasar padanya!" tegur Aldrich.

"Kita kemari untuk menemukan kakaknya, bukan mencelakai orang yang tidak ada terkait."

   "Dia pasti terkait. Apa kau tidak membaca data? Dia adalah adik Vino Rulio!"

   Viara tertegun sejenak. Ia kemudian menyadari bahwa perhatian Reon teralihkan pada rekannya, gadis itu kemudian memutuskan untuk pergi dari sana. Namun baru saja ia melangkah, Reon telah mencekal tangannya.

   "Kau mau ke mana? Kau harus ikut dengan kami!"

   Viara menjerit ketakutan dan berteriak minta tolong. Reon segera memukul keras leher gadis itu hingga Viara terkulai tidak sadarkan diri.

   "Reon, apa yang kaulakukan?" tegur Aldrich sambil ikut menghampiri.

   "Kita bawa dia. Dengan begitu, kakaknya pasti akan menemui kita."

***

   Mata Viara mengerjap perlahan. Ia hendak membuka mata, tetapi entah mengapa terasa begitu berat. Kepalanya juga terasa begitu pusing. Meski begitu, sesaat kemudian ia memaksa diri untuk membuka mata.

   Gadis itu melihat sekeliling dan menyadari dirinya berada di tempat asing. Tempat itu terlihat telah lama terbengkalai. Secercah sinar mentari yang menembus melalui sela jendela memperlihatkan jejak debu dan sarang laba-laba di ruangan tidak terlalu luas tersebut.

   'Di mana aku sekarang? Apa yang terjadi padaku?' tanya Viara dalam hati. Ia kemudian teringat peristiwa yang menimpa dirinya semalam. Wajah Viara berubah panik. Ia hendak bergegas, tetapi kemudian kembali menyadari tali tambang mengikat kaki dan tangannya di belakang punggung.

   'Aku harus melakukan sesuatu dan pergi dari sini!' tekadnya dalam hati. Akan tetapi, belum sempat ia menyusun rencana, pintu ruangan terbuka dan Aldrich melangkah masuk.

   Viara ketakutan. Jantungnya bahkan berdegup dengan keras seperti hendak melompat keluar. Meski begitu, ia tetap menatap tajam pada sosok pria di depannya tersebut. 

   "Kami minta maaf padamu harus melakukan ini. Hanya saja Reon benar, dengan cara ini kami bisa lebih cepat bertemu dengan kakakmu," ucap Aldrich kalem.

"Kami tidak akan mencelakaimu."

    "Kalian terus saja berkata tentang kakakku. Sebenarnya dia terlibat masalah apa dengan kalian?" tanya Viara memberanikan diri. Vino telah melakukan banyak hal untuknya, sebisa mungkin ia juga ingin melindungi kakaknya itu.

    "Kakakmu akan melakukan hal jahat. Untuk itu, kami harus menghentikannya."

    "Tidak, tidak mungkin kakakku seperti itu!" tandas Viara sambil menggeleng.

    "Kau mungkin tidak percaya, tapi kakakmu akan membunuh banyak orang."

   Viara masih tetap menggeleng. Ia tetap saja tidak mau percaya. Pasti ada yang salah dari semua ini.

   "Kami minta maaf," lanjut Aldrich lagi.

"Untuk mencegah pembunuhan, kami harus membunuh dia lebih dulu."

    

    

   

   

    

Bab terkait

  • Killer from the future   Dua

    "Apa kalian sudah gila?" tanya Viara dengan suara keras."Kakakku tidak mungkin melakukan itu. Kalian pasti salah orang. Kakakku bukan pembunuh!" Pintu kembali dibuka dari luar dan Reon bergegas masuk. Wajahnya tampak sarat dengan emosi. Aldrich segera menghalangi rekannya itu, tetapi Reon sontak mendorong menjauh. Reon menunduk di hadapan Viara. Tatapan matanya tajam menusuk manik mata Viara. "Kakakmu adalah pembunuh. Dia sudah membunuh banyak orang. Dia bahkan menghabisi keluargaku!" Meski ketakutan, kepala Viara kembali menggeleng."Tidak, itu tidak mungkin, kakakku bukan orang seperti itu. Ia tidak akan membunuh orang!" "Terserah kau mau bicara apa, yang pasti kakakmu harus mati!" "Kakakku tidak mungkin membunuh. Dia tidak bersalah. Kalian yang sudah salah menuduh!" "Kau pikir kami hanya menuduh sembarangan?" Viara menggeleng sambil terisak. Ga

  • Killer from the future   Tiga

    "Apa kau sudah gila?" teriak Reon sambil berkelit menghindar. Ternyata orang yang diam-diam berniat menyerang dirinya tidak lain adalah Viara. Gadis itu tidak menggubris, ia tetap saja terus saja menyerang dengan sebuah tongkat besi. "Hentikan!" teriak Reon sekali lagi. Ia segera mencekal besi berukuran panjang tersebut dan menariknya hingga terlepas dari genggaman tangan Viara. Tindakan tersebut membuat gadis itu tersentak dan nyaris terjatuh. Reon sendiri segera melempar sejauh mungkin batang besi yang kini berada di tangannya. Viara segera berjongkok dan memeluk lututnya sambil menangis. Ia merasa begitu kecewa dan marah pada dirinya sendiri karena tidak berhasil membalas dendam untuk Vino. "Kak, ka-u pasti kecewa padaku. Kak, ma-afkan aku. Aku adalah adik yang buruk. Seharusnya kau tidak mempunyai adik sepertiku," ucapnya kemudian dengan suara tersendat. "Jadi kau begitu marah karena ka

  • Killer from the future   Empat

    Viara berusaha untuk bangun saat mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Wajahnya mengernyit menahan nyeri. Namun saat ia baru saja berhasil untuk duduk, terdengar suara seseorang, "ternyata kau berada di sini, sudah waktunya bagimu untuk mati." Seorang pria bersetelan hitam yang rapi menodongkan pistol padanya. Viara hanya duduk mematung, merasa kali nyawanya sungguh akan berakhir. Akan tetapi, saat pistol meletus, muncul sosok dengan cepat menendang tangan yang memegang pistol tersebut. Tembakan itu meleset dari sasaran. "Cepat pergi dari sini!" gertak orang yang menolong Viara. Ternyata dia tidak lain adalah Reon. Tampak bekas luka goresan pula di pipi dan kening pria itu. Viara mengangguk dan segera bangkit berdiri. Dengan langkah terseok dan wajah mengernyit, ia berjalan menjauh dengan cepat. Telinganya menangkap suara perkelahian dari tempat yang baru ditinggalkan. Ia ingin membantu Reon, tetapi sadar dirinya mungkin m

  • Killer from the future   Lima

    Viara masih tertegun saat Reon kemudian meraih tangannya."Ayo kita pergi dari sini sekarang!" "Tapi bagaimana dengannya?" tanya Viara sambil menuding lelaki yang baru saja berkunjung. Reon menggeleng. "Dia sudah mati. Kita harus pergi atau kita juga akan menyusul dia!" Reon kembali menarik tangan Viara, tetapi gadis itu masih saja berdiri terpaku. "Ki-ta ... ki-ta tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus memberitahu keluarganya. Kita ...." "Viara!" gertak Reon sambil mengguncang bahu gadis itu."Kau harus sadar kita tidak bisa melakukan itu. Kita harus pergi!" Viara menggeleng dengan kuat. Reon setengah menyeret gadis itu menuju ke arah pintu belakang. Viara masih tampak keberatan. Tidak lama terdengar suara berondong peluru dari arah luar. Segera Reon meraih pinggang gadis itu dan mengajak untuk tiarap di lantai. Suara ka

  • Killer from the future   Enam

    Viara terbatuk-batuk saat Reon akhirnya memutuskan untuk melepaskan dia. "Aku tidak akan membunuhmu, tapi jika sekali lagi kau merendahkan Tuan Anderson maka aku pasti akan membunuhmu. Aku akan melakukannya, meski itu tidak sesuai misi yang kujalankan," geramnya. "Ternyata kau bisa juga berpikir di luar misimu itu. Kukira kau hanya bisa patuh dan tidak bisa membuat keputusan sendiri," ucap Viara dengan suara yang masih sedikit serak. Gadis itu mengusap lehernya yang masih menampilkan bekas memerah akibat cekikan tersebut. Reon tidak menanggapi perkataan Viara. Ia kemudian malah bangkit berdiri. "Kau akan pergi sekarang?" tanya Viara. "Aku pergi setelah mengantarmu ke tempat aman." "Tempat aman? Apa masih ada tempat aman untukku? Para penjahat itu selalu saja menemukan kita, bukan?" Reon terpekur sesaat. Dia juga merasakan hal yang sama. Kemanapun merek

  • Killer from the future   Tujuh

    Suara letusan tembakan sebanyak dua kali tersebut terdengar cukup keras di telinga Viara. Ia sontak berhenti berlari. "Apa yang kaulakukan? Kita harus segera pergi dari sini!" gertak Reon. Sejenak ia menatap sekeliling dengan cemas. Pria itu yakin tidak akan lama sebelum orang yang mengejar ia dan Viara menyusul serta menemukan mereka. "Ki-ta ... kita tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus menolong mereka, bukan?" tanya Viara dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sanggup membayangkan orang-orang yang berada di bus menanggung bahaya karena dirinya. "Viara, sadarlah, kita tidak bisa menolong mereka!" seru Reon sambil mengguncang bahu gadis itu. "Kita harus segera pergi" lanjut pria itu lagi sambil mengguncang bahu gadis di hadapannya tersebut. Namun Viara justru mengibas tangan Reon dengan kasar. "Aku akan menolong mereka. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Kalau dir

  • Killer from the future   Delapan

    Belum sempat tembakan dilepaskan terdengar suara ledakan dari mobil yang berada di antara Viara dan penjahat yang terus mengejarnya itu. Tidak lama terdengar pula suara sirene mobil polisi dan ambulans yang semakin dekat. "Sial!" gerutu si rambut kelabu. Ia kemudian masuk ke dalam mobil. Mereka segera bergegas pergi dari situ. "Reon, bangunlah, Reon!" pinta Viara berulangkali. Air mata yang telah banyak bercucur kembali keluar. Ia sungguh tidak bisa menghindari rasa panik karena menyadari tanpa Reon, ia mungkin sungguh akan sendirian. Pria itu terbatuk berkali-kali sesaat kemudian. Viara menghela napas lega. Ia segera membantu Reon keluar dari mobil. Viara kemudian membantu memapah pria itu berjalan menjauh. Sementara suara sirene terus berbunyi semakin dekat.*** Wahyu berdiri diam menatap mobil-mobil yang terguling dan terbakar di depannya. Ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang sesungguh

  • Killer from the future   Sembilan

    Karena Viara terus saja bersikeras, Reon akhirnya memutuskan untuk mengalah. Meski begitu, tetap saja bersikap waspada. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Pertemuan mereka dengan bibi Hana terlalu kebetulan, segalanya seolah telah direncanakan. Viara menoleh pada pria yang duduk di sampingnya itu."Apa yang kaupikirkan?" "Tidak ada," geleng Reon. "Jangan cemas, setelah kita aman di sana, aku akan mencari cara menghubungi polisi lagi. Setelahnya, kau bisa pergi," ucap Viara sambil menggenggam tangan Reon. Entah mengapa hatinya terasa begitu berat saat mengatakan itu. Rasanya kini semakin sulit untuk membayangkan berpisah dengan Reon. Reon hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia tidak ingin mengatakan kecurigaan pada Viara. Bisa jadi gadis itu malah marah. Lagipula sebentar lagi Viara tidak akan lagi menjadi tanggung jawabnya. Saat berpisah, lebih baik mengakhiri dengan baik.

Bab terbaru

  • Killer from the future   Sebelas

    Tanpa membuang waktu, Reon segera membuka kotak yang ternyata berisi tablet berwarna hitam tersebut. Sebuah tulisan meminta dia memutar video yang berada di dalam tablet berukuran cukup lebar itu. Reon segera melakukannya. Ia tertegun melihat wajah Aldrich di layar. Sahabat baik yang telah dianggap sebagai kakak oleh Reon terlihat babak-belur. Bibir pria itu robek dan berdarah. Pipinya tampak lebam membiru dan robek. Darah segar juga tampak mengalir dari kening Aldrich. "Aldrich, Aldrich," panggil Reon berulangkali. Gambar layar kemudian berganti pada sosok berambut kelabu yang selama ini mengejar dirinya dan Viara. "Kami sungguh menjaga sahabatmu ini dengan susah-payah. Dia sungguh keras kepala. Dia mungkin telah bersiap untuk mati, tapi aku persis tentang orang seperti kalian. Kalian menghargai persahabatan lebih dari apa pun," ucap lelaki itu. Sekali lagi layar tampak beralih pada Aldrich. Sahabatnya itu tengah meronta dan sebuah b

  • Killer from the future   Sepuluh

    Viara membuka mata dan menyadari ada kain di atas tubuhnya. Ia kemudian melihat Reon tengah tidur sambil duduk di salah satu kursi. Sebelum tidur, kelihatannya pria itu sempat menyelimuti dirinya dengan kain biru yang telah pudar warnanya tersebut. Viara beranjak bangun dan menghampiri Reon. Wajahnya menunduk hingga setara dengan wajah pria itu. Mata Reon masih terpejam rapat. Ia tampak sungguh tengah tertidur lelap. 'Dia cukup tampan, tulang pipinya juga terlihat sempurna. Hidung yang mancung dan bulu mata yang panjang, aku bahkan tidak punya. Andai tidak terjadi masalah, sangat mudah bagiku untuk menyukai dia,' ucap Viara dalam hati. Matanya masih terus tertuju pada raut wajah pria tersebut. Tangannya terulur seolah hendak menyentuh. Namun tiba-tiba mata Reon terbuka dan bertemu tatap dengan Viara. "Apa yang kaulakukan?" Viara yang tidak menyangka hal itu, tentu langsung terperanjat dan tersentak mundur. Ia bahkan

  • Killer from the future   Sembilan

    Karena Viara terus saja bersikeras, Reon akhirnya memutuskan untuk mengalah. Meski begitu, tetap saja bersikap waspada. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Pertemuan mereka dengan bibi Hana terlalu kebetulan, segalanya seolah telah direncanakan. Viara menoleh pada pria yang duduk di sampingnya itu."Apa yang kaupikirkan?" "Tidak ada," geleng Reon. "Jangan cemas, setelah kita aman di sana, aku akan mencari cara menghubungi polisi lagi. Setelahnya, kau bisa pergi," ucap Viara sambil menggenggam tangan Reon. Entah mengapa hatinya terasa begitu berat saat mengatakan itu. Rasanya kini semakin sulit untuk membayangkan berpisah dengan Reon. Reon hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia tidak ingin mengatakan kecurigaan pada Viara. Bisa jadi gadis itu malah marah. Lagipula sebentar lagi Viara tidak akan lagi menjadi tanggung jawabnya. Saat berpisah, lebih baik mengakhiri dengan baik.

  • Killer from the future   Delapan

    Belum sempat tembakan dilepaskan terdengar suara ledakan dari mobil yang berada di antara Viara dan penjahat yang terus mengejarnya itu. Tidak lama terdengar pula suara sirene mobil polisi dan ambulans yang semakin dekat. "Sial!" gerutu si rambut kelabu. Ia kemudian masuk ke dalam mobil. Mereka segera bergegas pergi dari situ. "Reon, bangunlah, Reon!" pinta Viara berulangkali. Air mata yang telah banyak bercucur kembali keluar. Ia sungguh tidak bisa menghindari rasa panik karena menyadari tanpa Reon, ia mungkin sungguh akan sendirian. Pria itu terbatuk berkali-kali sesaat kemudian. Viara menghela napas lega. Ia segera membantu Reon keluar dari mobil. Viara kemudian membantu memapah pria itu berjalan menjauh. Sementara suara sirene terus berbunyi semakin dekat.*** Wahyu berdiri diam menatap mobil-mobil yang terguling dan terbakar di depannya. Ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang sesungguh

  • Killer from the future   Tujuh

    Suara letusan tembakan sebanyak dua kali tersebut terdengar cukup keras di telinga Viara. Ia sontak berhenti berlari. "Apa yang kaulakukan? Kita harus segera pergi dari sini!" gertak Reon. Sejenak ia menatap sekeliling dengan cemas. Pria itu yakin tidak akan lama sebelum orang yang mengejar ia dan Viara menyusul serta menemukan mereka. "Ki-ta ... kita tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus menolong mereka, bukan?" tanya Viara dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sanggup membayangkan orang-orang yang berada di bus menanggung bahaya karena dirinya. "Viara, sadarlah, kita tidak bisa menolong mereka!" seru Reon sambil mengguncang bahu gadis itu. "Kita harus segera pergi" lanjut pria itu lagi sambil mengguncang bahu gadis di hadapannya tersebut. Namun Viara justru mengibas tangan Reon dengan kasar. "Aku akan menolong mereka. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Kalau dir

  • Killer from the future   Enam

    Viara terbatuk-batuk saat Reon akhirnya memutuskan untuk melepaskan dia. "Aku tidak akan membunuhmu, tapi jika sekali lagi kau merendahkan Tuan Anderson maka aku pasti akan membunuhmu. Aku akan melakukannya, meski itu tidak sesuai misi yang kujalankan," geramnya. "Ternyata kau bisa juga berpikir di luar misimu itu. Kukira kau hanya bisa patuh dan tidak bisa membuat keputusan sendiri," ucap Viara dengan suara yang masih sedikit serak. Gadis itu mengusap lehernya yang masih menampilkan bekas memerah akibat cekikan tersebut. Reon tidak menanggapi perkataan Viara. Ia kemudian malah bangkit berdiri. "Kau akan pergi sekarang?" tanya Viara. "Aku pergi setelah mengantarmu ke tempat aman." "Tempat aman? Apa masih ada tempat aman untukku? Para penjahat itu selalu saja menemukan kita, bukan?" Reon terpekur sesaat. Dia juga merasakan hal yang sama. Kemanapun merek

  • Killer from the future   Lima

    Viara masih tertegun saat Reon kemudian meraih tangannya."Ayo kita pergi dari sini sekarang!" "Tapi bagaimana dengannya?" tanya Viara sambil menuding lelaki yang baru saja berkunjung. Reon menggeleng. "Dia sudah mati. Kita harus pergi atau kita juga akan menyusul dia!" Reon kembali menarik tangan Viara, tetapi gadis itu masih saja berdiri terpaku. "Ki-ta ... ki-ta tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus memberitahu keluarganya. Kita ...." "Viara!" gertak Reon sambil mengguncang bahu gadis itu."Kau harus sadar kita tidak bisa melakukan itu. Kita harus pergi!" Viara menggeleng dengan kuat. Reon setengah menyeret gadis itu menuju ke arah pintu belakang. Viara masih tampak keberatan. Tidak lama terdengar suara berondong peluru dari arah luar. Segera Reon meraih pinggang gadis itu dan mengajak untuk tiarap di lantai. Suara ka

  • Killer from the future   Empat

    Viara berusaha untuk bangun saat mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Wajahnya mengernyit menahan nyeri. Namun saat ia baru saja berhasil untuk duduk, terdengar suara seseorang, "ternyata kau berada di sini, sudah waktunya bagimu untuk mati." Seorang pria bersetelan hitam yang rapi menodongkan pistol padanya. Viara hanya duduk mematung, merasa kali nyawanya sungguh akan berakhir. Akan tetapi, saat pistol meletus, muncul sosok dengan cepat menendang tangan yang memegang pistol tersebut. Tembakan itu meleset dari sasaran. "Cepat pergi dari sini!" gertak orang yang menolong Viara. Ternyata dia tidak lain adalah Reon. Tampak bekas luka goresan pula di pipi dan kening pria itu. Viara mengangguk dan segera bangkit berdiri. Dengan langkah terseok dan wajah mengernyit, ia berjalan menjauh dengan cepat. Telinganya menangkap suara perkelahian dari tempat yang baru ditinggalkan. Ia ingin membantu Reon, tetapi sadar dirinya mungkin m

  • Killer from the future   Tiga

    "Apa kau sudah gila?" teriak Reon sambil berkelit menghindar. Ternyata orang yang diam-diam berniat menyerang dirinya tidak lain adalah Viara. Gadis itu tidak menggubris, ia tetap saja terus saja menyerang dengan sebuah tongkat besi. "Hentikan!" teriak Reon sekali lagi. Ia segera mencekal besi berukuran panjang tersebut dan menariknya hingga terlepas dari genggaman tangan Viara. Tindakan tersebut membuat gadis itu tersentak dan nyaris terjatuh. Reon sendiri segera melempar sejauh mungkin batang besi yang kini berada di tangannya. Viara segera berjongkok dan memeluk lututnya sambil menangis. Ia merasa begitu kecewa dan marah pada dirinya sendiri karena tidak berhasil membalas dendam untuk Vino. "Kak, ka-u pasti kecewa padaku. Kak, ma-afkan aku. Aku adalah adik yang buruk. Seharusnya kau tidak mempunyai adik sepertiku," ucapnya kemudian dengan suara tersendat. "Jadi kau begitu marah karena ka

DMCA.com Protection Status