Share

Lima

Author: Meimei
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

   Viara masih tertegun saat Reon kemudian meraih tangannya.

"Ayo kita pergi dari sini sekarang!" 

   "Tapi bagaimana dengannya?" tanya Viara sambil menuding lelaki yang baru saja berkunjung. Reon menggeleng.

   "Dia sudah mati. Kita harus pergi atau kita juga akan menyusul dia!"

   Reon kembali menarik tangan Viara, tetapi gadis itu masih saja berdiri terpaku.

   "Ki-ta ... ki-ta tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus memberitahu keluarganya. Kita ...."

   "Viara!" gertak Reon sambil mengguncang bahu gadis itu. 

"Kau harus sadar kita tidak bisa melakukan itu. Kita harus pergi!"

   Viara menggeleng dengan kuat. Reon setengah menyeret gadis itu menuju ke arah pintu belakang. Viara masih tampak keberatan. Tidak lama terdengar suara berondong peluru dari arah luar. Segera Reon meraih pinggang gadis itu dan mengajak untuk tiarap di lantai.

    Suara kaca jendela yang pecah membuat wajah Viara semakin pasi. Ia sungguh ketakutan. Gadis itu menyadari bahwa meski sebelumnya menginginkan kematian, ternyata ia masih ingin tetap hidup.

    "Ayo!" ajak Reon seraya merangkak di lantai yang berselimut debu kotor tersebut, tetapi ia tidak tampak peduli. Viara ikut merangkak di belakang pria itu. Keduanya menuju pintu belakang. Di luar, rentetan tembakan masih terus dilepaskan. 

    Reon perlahan meraih gagang pintu. Pintu terbuka lebar. Reon segera meraih tangan Viara. Keduanya berlari sambil menunduk untuk menghindari tembakan. Meski telah berada jauh dari jangkauan tembakan, keduanya masih tetap berlari.

    "Aku tidak sanggup lagi," ucap Viara. Langkahnya melambat. Tubuhnya terasa sungguh penat. Apalagi luka-luka tadi belum sempat dia obati sepenuhnya. Reon melihat sekeliling. Hanya ada padang liar dengan rerumputan setinggi lutut. Ia menggeleng.

    "Ini bukan tempat yang aman. Bertahanlah, kita harus mencari tempat untuk bersembunyi dari orang-orang itu!"

    Viara mengangguk. Ia kemudian memaksa berjalan beberapa langkah sebelum terhuyung ke depan. Hampir ia terjatuh jika saja Reon tidak menyanggah tubuhnya.

    "Aku sudah tidak kuat lagi. Kau tinggalkan saja aku," ucap Viara kemudian sambil tersenyum pahit. Reon hanya diam.

    "Aku bukan tanggung jawabmu, juga bukan bagian dari misimu. Kau tidak harus menyelamatkan aku," lanjut Viara lagi sambil terus melangkah dengan terseok-seok.   

    Reon kemudian melangkah lebih dulu dan berjongkok di depan gadis itu.

"Naiklah ke punggungku."

    Viara mendengkus keras sambil tertawa.

"Apa yang kaulakukan? Sudah kubilang kau tidak perlu lagi membantuku."

    "Cepat naik atau aku akan benar-benar meninggalkanmu!"

    Viara kembali tertawa. Reon hendak bangkit berdiri saat tangan Viara tiba-tiba melingkari lehernya.

    "Ayo bawa aku pergi!" gumam gadis itu.

    Reon hanya mengangguk kemudian segera menggendong Viara di punggungnya.

***

    Lelaki berambut kelabu tersebut tampak berdiri sambil melihat sekeliling. Tempat itu sepi dan di situlah jenazah seorang pria muda ditemukan.

    "Nama dia Vino Rulio, seorang pegawai di sebuah perusahaan kimia. Dia hanya tinggal dengan adiknya, Viara Mallika. Orang tua mereka meninggal karena kecelakaan lima belas tahun lalu," ucap pria lain yang berdiri di sampingnya. Mata pria tersebut tidak lepas menatap layar notepad. Sang lelaki paruh baya mengangguk, di jaman sekarang, informasi pribadi begitu mudah ditemukan.

    "Ini hal yang buruk, Ardi. Sebaiknya kita ke tempat adiknya."

    "Baik, Komandan Wahyu," jawab Ardi.

    Wahyu dan Ardi bergegas menuju mobil mereka. Pandangan Wahyu tertuju ke arah luar jendela. Ia tengah melihat ambulans yang membawa pergi jenazah Vino untuk diotopsi. 

    "Ayo," perintahnya. Ardi mengangguk dan menyalakan mobil. Kedua petugas polisi tersebut kemudian berkendara menembus kegelapan malam menuju rumah Vino.

***

   "Hei, bangun. Bangunlah, ck, kenapa justru tertidur? Apa terlalu enak bersandar di punggungku?" tegur Reon berulangkali. Akan tetapi, Viara tetap saja terlelap. Reon hanya bisa mendengkus kesal. Ia melihat sekeliling kemudian kembali melangkah.

   'Gadis ini sungguh merepotkan, mungkin memang benar harusnya aku meninggalkan dia,' dumelnya dalam hati. Meski begitu, Reon tetap menggendong Viara hingga mereka tiba di sebuah gua.

   Di dalam gua cukup gelap dan dingin. Setelah menyalakan api dan menata alas tidur untuk Viara, Reon hanya duduk dalam diam sambil menatap gadis itu. 

   'Sudahlah, biarkan dia beristirahat,' ucapnya sambil mengangkat bahu. Ia kemudian mengeluarkan benda tipis berwarna hitam. Setelah disentuh, benda itu mengeluarkan seberkas cahaya dan kemudian memperlihatkan wajah Tuan Anderson.

   "Prajurit Reon, bagaimana keadaanmu? Kau sungguh membuat kami cemas karena kehilangan kontak denganmu dan Aldrich," ujar lelaki tersebut. Reon tertegun sejenak, ia tidak menyangka pimpinan tertinggi di tempatnya tersebut yang justru akan langsung menghubungi dirinya.

   "Tuan Anderson, kami sungguh menyesal, tetapi semua tidak berjalan baik di sini. Vino memang telah mati, tetapi ada orang-orang yang ikut csmpur dan saya terpisah dengan Aldrich. Saya tidak bisa menghubungi dia dan tidak tahu nasib dia sekarang."

   "Masalah itu kau tidak perlu khawatir. Tugasmu sudah usai saat Vino terbunuh. Sekarang kau harus kembali ke sini."

   "Lalu bagaimana dengan Aldrich?"

   Raut wajah Tuan Anderson sekejap tampak berubah marah sebelum kemudian kembali datar.

"Kau tidak perlu khawatir soal itu. Aku akan mengutus orang untuk mencarinya. Kau harus segera kembali agar tidak terlibat masalah di sana."

    Reon diam sejenak. Ia kemudian bertanya ragu,

"apa semua telah membaik di sana?"

    "Benar, semua baik-baik saja di sini. Karenanya kau harus cepat kembali. Jangan khawatir, aku pasti akan melakukan sesuatu untuk menolong Aldrich."

    "Saya mengerti, saya akan segera kembali," jawab Reon sebelum mengakhiri pembicaraan tersebut. 

    Sesaat setelah Reon mengakhiri pembicaraan, Viara beranjak duduk. Gadis itu menoleh ke arah Reon.

   "Jadi kau akan pergi?" tanyanya.

   "Tentu saja, aku sudah mendapat perintah untuk kembali, tentu aku harus melakukannya," jawab Reon. Pria itu sebenarnya mengetahui bahwa Viara telah bangun saat dia berbicara dengan Tuan Anderson.

   "Kau melakukan perintah dengan begitu patuh, apa tidak pernah berpikir untuk membuat keputusan sendiri?"

   Reon menggeleng.

"Semua yang diputuskan Tuan Anderson pasti yang terbaik untuk kami. Lagipula masalah di sini sudah beres dan di sana telah membaik, mungkin aku bisa bertemu orang tuaku."

   "Kenapa kau begitu percaya padanya?"

   "Aku memang sangat mempercayai Tuan Anderson. Dia yang mengurus kami selama ini. Dia itu sudah seperti seorang ayah bagi kami semua."

   Viara menggeleng mendengar itu. Reon mungkin hebat dan memiliki kemampuan untuk membunuh orang, tetapi dalam pikirannya sekarang, pria itu seperti anak kecil yang diperdaya oleh orang dewasa.

   "Kau sangat mempercayai dia, tapi bagaimana kalau dia ternyata hanya menipu dan memperdaya dirimu?" tanyanya. 

   Reon menggeram marah dan menghampiri gadis itu. Tangannya terulur dan mencekik leher Viara dengan kuat.

   "Kau berani menghinanya seperti itu, maka aku tidak akan segan untuk membunuhmu."

    

   

    

   

    

Related chapters

  • Killer from the future   Enam

    Viara terbatuk-batuk saat Reon akhirnya memutuskan untuk melepaskan dia. "Aku tidak akan membunuhmu, tapi jika sekali lagi kau merendahkan Tuan Anderson maka aku pasti akan membunuhmu. Aku akan melakukannya, meski itu tidak sesuai misi yang kujalankan," geramnya. "Ternyata kau bisa juga berpikir di luar misimu itu. Kukira kau hanya bisa patuh dan tidak bisa membuat keputusan sendiri," ucap Viara dengan suara yang masih sedikit serak. Gadis itu mengusap lehernya yang masih menampilkan bekas memerah akibat cekikan tersebut. Reon tidak menanggapi perkataan Viara. Ia kemudian malah bangkit berdiri. "Kau akan pergi sekarang?" tanya Viara. "Aku pergi setelah mengantarmu ke tempat aman." "Tempat aman? Apa masih ada tempat aman untukku? Para penjahat itu selalu saja menemukan kita, bukan?" Reon terpekur sesaat. Dia juga merasakan hal yang sama. Kemanapun merek

  • Killer from the future   Tujuh

    Suara letusan tembakan sebanyak dua kali tersebut terdengar cukup keras di telinga Viara. Ia sontak berhenti berlari. "Apa yang kaulakukan? Kita harus segera pergi dari sini!" gertak Reon. Sejenak ia menatap sekeliling dengan cemas. Pria itu yakin tidak akan lama sebelum orang yang mengejar ia dan Viara menyusul serta menemukan mereka. "Ki-ta ... kita tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus menolong mereka, bukan?" tanya Viara dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sanggup membayangkan orang-orang yang berada di bus menanggung bahaya karena dirinya. "Viara, sadarlah, kita tidak bisa menolong mereka!" seru Reon sambil mengguncang bahu gadis itu. "Kita harus segera pergi" lanjut pria itu lagi sambil mengguncang bahu gadis di hadapannya tersebut. Namun Viara justru mengibas tangan Reon dengan kasar. "Aku akan menolong mereka. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Kalau dir

  • Killer from the future   Delapan

    Belum sempat tembakan dilepaskan terdengar suara ledakan dari mobil yang berada di antara Viara dan penjahat yang terus mengejarnya itu. Tidak lama terdengar pula suara sirene mobil polisi dan ambulans yang semakin dekat. "Sial!" gerutu si rambut kelabu. Ia kemudian masuk ke dalam mobil. Mereka segera bergegas pergi dari situ. "Reon, bangunlah, Reon!" pinta Viara berulangkali. Air mata yang telah banyak bercucur kembali keluar. Ia sungguh tidak bisa menghindari rasa panik karena menyadari tanpa Reon, ia mungkin sungguh akan sendirian. Pria itu terbatuk berkali-kali sesaat kemudian. Viara menghela napas lega. Ia segera membantu Reon keluar dari mobil. Viara kemudian membantu memapah pria itu berjalan menjauh. Sementara suara sirene terus berbunyi semakin dekat.*** Wahyu berdiri diam menatap mobil-mobil yang terguling dan terbakar di depannya. Ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang sesungguh

  • Killer from the future   Sembilan

    Karena Viara terus saja bersikeras, Reon akhirnya memutuskan untuk mengalah. Meski begitu, tetap saja bersikap waspada. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Pertemuan mereka dengan bibi Hana terlalu kebetulan, segalanya seolah telah direncanakan. Viara menoleh pada pria yang duduk di sampingnya itu."Apa yang kaupikirkan?" "Tidak ada," geleng Reon. "Jangan cemas, setelah kita aman di sana, aku akan mencari cara menghubungi polisi lagi. Setelahnya, kau bisa pergi," ucap Viara sambil menggenggam tangan Reon. Entah mengapa hatinya terasa begitu berat saat mengatakan itu. Rasanya kini semakin sulit untuk membayangkan berpisah dengan Reon. Reon hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia tidak ingin mengatakan kecurigaan pada Viara. Bisa jadi gadis itu malah marah. Lagipula sebentar lagi Viara tidak akan lagi menjadi tanggung jawabnya. Saat berpisah, lebih baik mengakhiri dengan baik.

  • Killer from the future   Sepuluh

    Viara membuka mata dan menyadari ada kain di atas tubuhnya. Ia kemudian melihat Reon tengah tidur sambil duduk di salah satu kursi. Sebelum tidur, kelihatannya pria itu sempat menyelimuti dirinya dengan kain biru yang telah pudar warnanya tersebut. Viara beranjak bangun dan menghampiri Reon. Wajahnya menunduk hingga setara dengan wajah pria itu. Mata Reon masih terpejam rapat. Ia tampak sungguh tengah tertidur lelap. 'Dia cukup tampan, tulang pipinya juga terlihat sempurna. Hidung yang mancung dan bulu mata yang panjang, aku bahkan tidak punya. Andai tidak terjadi masalah, sangat mudah bagiku untuk menyukai dia,' ucap Viara dalam hati. Matanya masih terus tertuju pada raut wajah pria tersebut. Tangannya terulur seolah hendak menyentuh. Namun tiba-tiba mata Reon terbuka dan bertemu tatap dengan Viara. "Apa yang kaulakukan?" Viara yang tidak menyangka hal itu, tentu langsung terperanjat dan tersentak mundur. Ia bahkan

  • Killer from the future   Sebelas

    Tanpa membuang waktu, Reon segera membuka kotak yang ternyata berisi tablet berwarna hitam tersebut. Sebuah tulisan meminta dia memutar video yang berada di dalam tablet berukuran cukup lebar itu. Reon segera melakukannya. Ia tertegun melihat wajah Aldrich di layar. Sahabat baik yang telah dianggap sebagai kakak oleh Reon terlihat babak-belur. Bibir pria itu robek dan berdarah. Pipinya tampak lebam membiru dan robek. Darah segar juga tampak mengalir dari kening Aldrich. "Aldrich, Aldrich," panggil Reon berulangkali. Gambar layar kemudian berganti pada sosok berambut kelabu yang selama ini mengejar dirinya dan Viara. "Kami sungguh menjaga sahabatmu ini dengan susah-payah. Dia sungguh keras kepala. Dia mungkin telah bersiap untuk mati, tapi aku persis tentang orang seperti kalian. Kalian menghargai persahabatan lebih dari apa pun," ucap lelaki itu. Sekali lagi layar tampak beralih pada Aldrich. Sahabatnya itu tengah meronta dan sebuah b

  • Killer from the future   Satu

    "Apakah kita harus melakukan ini?" tanya seorang pria yang berpakaian serba hitam pada pria lain yang berdiri di sampingnya. "Ini adalah misi yang harus kita laksanakan. Jika kau ragu sebaiknya tidak perlu ikut!" Pria pertama mengangguk ragu setelah mendengar jawaban itu. Misi mereka adalah tidak lain adalah membunuh orang yang mendiami rumah bercat putih di depan mereka. Bukan tanpa alasan. Semua itu karena penghuni rumah tersebut adalah orang yang akan membawa kehancuran bagi bumi di masa depan.*** Seorang lelaki paruh baya berambut kelabu tampak berdiri menatap ke luar jendela besar di ruangan tersebut. Ruangan tempat ia berada tersebut terletak di sebuah gedung pencakar langit yang berukuran raksasa. Di luar tidak tampak apa pun. Hanya ada selubung kabut yang berwarna kehitaman, menutupi pandangan dari apa yang sesungguhnya terlihat di luar. Suara pintu dibuka dan langkah orang masuk ke

  • Killer from the future   Dua

    "Apa kalian sudah gila?" tanya Viara dengan suara keras."Kakakku tidak mungkin melakukan itu. Kalian pasti salah orang. Kakakku bukan pembunuh!" Pintu kembali dibuka dari luar dan Reon bergegas masuk. Wajahnya tampak sarat dengan emosi. Aldrich segera menghalangi rekannya itu, tetapi Reon sontak mendorong menjauh. Reon menunduk di hadapan Viara. Tatapan matanya tajam menusuk manik mata Viara. "Kakakmu adalah pembunuh. Dia sudah membunuh banyak orang. Dia bahkan menghabisi keluargaku!" Meski ketakutan, kepala Viara kembali menggeleng."Tidak, itu tidak mungkin, kakakku bukan orang seperti itu. Ia tidak akan membunuh orang!" "Terserah kau mau bicara apa, yang pasti kakakmu harus mati!" "Kakakku tidak mungkin membunuh. Dia tidak bersalah. Kalian yang sudah salah menuduh!" "Kau pikir kami hanya menuduh sembarangan?" Viara menggeleng sambil terisak. Ga

Latest chapter

  • Killer from the future   Sebelas

    Tanpa membuang waktu, Reon segera membuka kotak yang ternyata berisi tablet berwarna hitam tersebut. Sebuah tulisan meminta dia memutar video yang berada di dalam tablet berukuran cukup lebar itu. Reon segera melakukannya. Ia tertegun melihat wajah Aldrich di layar. Sahabat baik yang telah dianggap sebagai kakak oleh Reon terlihat babak-belur. Bibir pria itu robek dan berdarah. Pipinya tampak lebam membiru dan robek. Darah segar juga tampak mengalir dari kening Aldrich. "Aldrich, Aldrich," panggil Reon berulangkali. Gambar layar kemudian berganti pada sosok berambut kelabu yang selama ini mengejar dirinya dan Viara. "Kami sungguh menjaga sahabatmu ini dengan susah-payah. Dia sungguh keras kepala. Dia mungkin telah bersiap untuk mati, tapi aku persis tentang orang seperti kalian. Kalian menghargai persahabatan lebih dari apa pun," ucap lelaki itu. Sekali lagi layar tampak beralih pada Aldrich. Sahabatnya itu tengah meronta dan sebuah b

  • Killer from the future   Sepuluh

    Viara membuka mata dan menyadari ada kain di atas tubuhnya. Ia kemudian melihat Reon tengah tidur sambil duduk di salah satu kursi. Sebelum tidur, kelihatannya pria itu sempat menyelimuti dirinya dengan kain biru yang telah pudar warnanya tersebut. Viara beranjak bangun dan menghampiri Reon. Wajahnya menunduk hingga setara dengan wajah pria itu. Mata Reon masih terpejam rapat. Ia tampak sungguh tengah tertidur lelap. 'Dia cukup tampan, tulang pipinya juga terlihat sempurna. Hidung yang mancung dan bulu mata yang panjang, aku bahkan tidak punya. Andai tidak terjadi masalah, sangat mudah bagiku untuk menyukai dia,' ucap Viara dalam hati. Matanya masih terus tertuju pada raut wajah pria tersebut. Tangannya terulur seolah hendak menyentuh. Namun tiba-tiba mata Reon terbuka dan bertemu tatap dengan Viara. "Apa yang kaulakukan?" Viara yang tidak menyangka hal itu, tentu langsung terperanjat dan tersentak mundur. Ia bahkan

  • Killer from the future   Sembilan

    Karena Viara terus saja bersikeras, Reon akhirnya memutuskan untuk mengalah. Meski begitu, tetap saja bersikap waspada. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Pertemuan mereka dengan bibi Hana terlalu kebetulan, segalanya seolah telah direncanakan. Viara menoleh pada pria yang duduk di sampingnya itu."Apa yang kaupikirkan?" "Tidak ada," geleng Reon. "Jangan cemas, setelah kita aman di sana, aku akan mencari cara menghubungi polisi lagi. Setelahnya, kau bisa pergi," ucap Viara sambil menggenggam tangan Reon. Entah mengapa hatinya terasa begitu berat saat mengatakan itu. Rasanya kini semakin sulit untuk membayangkan berpisah dengan Reon. Reon hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia tidak ingin mengatakan kecurigaan pada Viara. Bisa jadi gadis itu malah marah. Lagipula sebentar lagi Viara tidak akan lagi menjadi tanggung jawabnya. Saat berpisah, lebih baik mengakhiri dengan baik.

  • Killer from the future   Delapan

    Belum sempat tembakan dilepaskan terdengar suara ledakan dari mobil yang berada di antara Viara dan penjahat yang terus mengejarnya itu. Tidak lama terdengar pula suara sirene mobil polisi dan ambulans yang semakin dekat. "Sial!" gerutu si rambut kelabu. Ia kemudian masuk ke dalam mobil. Mereka segera bergegas pergi dari situ. "Reon, bangunlah, Reon!" pinta Viara berulangkali. Air mata yang telah banyak bercucur kembali keluar. Ia sungguh tidak bisa menghindari rasa panik karena menyadari tanpa Reon, ia mungkin sungguh akan sendirian. Pria itu terbatuk berkali-kali sesaat kemudian. Viara menghela napas lega. Ia segera membantu Reon keluar dari mobil. Viara kemudian membantu memapah pria itu berjalan menjauh. Sementara suara sirene terus berbunyi semakin dekat.*** Wahyu berdiri diam menatap mobil-mobil yang terguling dan terbakar di depannya. Ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang sesungguh

  • Killer from the future   Tujuh

    Suara letusan tembakan sebanyak dua kali tersebut terdengar cukup keras di telinga Viara. Ia sontak berhenti berlari. "Apa yang kaulakukan? Kita harus segera pergi dari sini!" gertak Reon. Sejenak ia menatap sekeliling dengan cemas. Pria itu yakin tidak akan lama sebelum orang yang mengejar ia dan Viara menyusul serta menemukan mereka. "Ki-ta ... kita tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus menolong mereka, bukan?" tanya Viara dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sanggup membayangkan orang-orang yang berada di bus menanggung bahaya karena dirinya. "Viara, sadarlah, kita tidak bisa menolong mereka!" seru Reon sambil mengguncang bahu gadis itu. "Kita harus segera pergi" lanjut pria itu lagi sambil mengguncang bahu gadis di hadapannya tersebut. Namun Viara justru mengibas tangan Reon dengan kasar. "Aku akan menolong mereka. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Kalau dir

  • Killer from the future   Enam

    Viara terbatuk-batuk saat Reon akhirnya memutuskan untuk melepaskan dia. "Aku tidak akan membunuhmu, tapi jika sekali lagi kau merendahkan Tuan Anderson maka aku pasti akan membunuhmu. Aku akan melakukannya, meski itu tidak sesuai misi yang kujalankan," geramnya. "Ternyata kau bisa juga berpikir di luar misimu itu. Kukira kau hanya bisa patuh dan tidak bisa membuat keputusan sendiri," ucap Viara dengan suara yang masih sedikit serak. Gadis itu mengusap lehernya yang masih menampilkan bekas memerah akibat cekikan tersebut. Reon tidak menanggapi perkataan Viara. Ia kemudian malah bangkit berdiri. "Kau akan pergi sekarang?" tanya Viara. "Aku pergi setelah mengantarmu ke tempat aman." "Tempat aman? Apa masih ada tempat aman untukku? Para penjahat itu selalu saja menemukan kita, bukan?" Reon terpekur sesaat. Dia juga merasakan hal yang sama. Kemanapun merek

  • Killer from the future   Lima

    Viara masih tertegun saat Reon kemudian meraih tangannya."Ayo kita pergi dari sini sekarang!" "Tapi bagaimana dengannya?" tanya Viara sambil menuding lelaki yang baru saja berkunjung. Reon menggeleng. "Dia sudah mati. Kita harus pergi atau kita juga akan menyusul dia!" Reon kembali menarik tangan Viara, tetapi gadis itu masih saja berdiri terpaku. "Ki-ta ... ki-ta tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus memberitahu keluarganya. Kita ...." "Viara!" gertak Reon sambil mengguncang bahu gadis itu."Kau harus sadar kita tidak bisa melakukan itu. Kita harus pergi!" Viara menggeleng dengan kuat. Reon setengah menyeret gadis itu menuju ke arah pintu belakang. Viara masih tampak keberatan. Tidak lama terdengar suara berondong peluru dari arah luar. Segera Reon meraih pinggang gadis itu dan mengajak untuk tiarap di lantai. Suara ka

  • Killer from the future   Empat

    Viara berusaha untuk bangun saat mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Wajahnya mengernyit menahan nyeri. Namun saat ia baru saja berhasil untuk duduk, terdengar suara seseorang, "ternyata kau berada di sini, sudah waktunya bagimu untuk mati." Seorang pria bersetelan hitam yang rapi menodongkan pistol padanya. Viara hanya duduk mematung, merasa kali nyawanya sungguh akan berakhir. Akan tetapi, saat pistol meletus, muncul sosok dengan cepat menendang tangan yang memegang pistol tersebut. Tembakan itu meleset dari sasaran. "Cepat pergi dari sini!" gertak orang yang menolong Viara. Ternyata dia tidak lain adalah Reon. Tampak bekas luka goresan pula di pipi dan kening pria itu. Viara mengangguk dan segera bangkit berdiri. Dengan langkah terseok dan wajah mengernyit, ia berjalan menjauh dengan cepat. Telinganya menangkap suara perkelahian dari tempat yang baru ditinggalkan. Ia ingin membantu Reon, tetapi sadar dirinya mungkin m

  • Killer from the future   Tiga

    "Apa kau sudah gila?" teriak Reon sambil berkelit menghindar. Ternyata orang yang diam-diam berniat menyerang dirinya tidak lain adalah Viara. Gadis itu tidak menggubris, ia tetap saja terus saja menyerang dengan sebuah tongkat besi. "Hentikan!" teriak Reon sekali lagi. Ia segera mencekal besi berukuran panjang tersebut dan menariknya hingga terlepas dari genggaman tangan Viara. Tindakan tersebut membuat gadis itu tersentak dan nyaris terjatuh. Reon sendiri segera melempar sejauh mungkin batang besi yang kini berada di tangannya. Viara segera berjongkok dan memeluk lututnya sambil menangis. Ia merasa begitu kecewa dan marah pada dirinya sendiri karena tidak berhasil membalas dendam untuk Vino. "Kak, ka-u pasti kecewa padaku. Kak, ma-afkan aku. Aku adalah adik yang buruk. Seharusnya kau tidak mempunyai adik sepertiku," ucapnya kemudian dengan suara tersendat. "Jadi kau begitu marah karena ka

DMCA.com Protection Status