Share

Dua

Author: Meimei
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

   "Apa kalian sudah gila?" tanya Viara dengan suara keras.

"Kakakku tidak mungkin melakukan itu. Kalian pasti salah orang. Kakakku bukan pembunuh!"

   Pintu kembali dibuka dari luar dan Reon bergegas masuk. Wajahnya tampak sarat dengan emosi. Aldrich segera menghalangi rekannya itu, tetapi Reon sontak mendorong menjauh.

   Reon menunduk di hadapan Viara. Tatapan matanya tajam menusuk manik mata Viara. 

  "Kakakmu adalah pembunuh. Dia sudah membunuh banyak orang. Dia bahkan menghabisi keluargaku!"

  Meski ketakutan, kepala Viara kembali menggeleng.

"Tidak, itu tidak mungkin, kakakku bukan orang seperti itu. Ia tidak akan membunuh orang!"

  "Terserah kau mau bicara apa, yang pasti kakakmu harus mati!"

  "Kakakku tidak mungkin membunuh. Dia tidak bersalah. Kalian yang sudah salah menuduh!"

  "Kau pikir kami hanya menuduh sembarangan?"

  Viara menggeleng sambil terisak. Gadis itu tetap saja mengatakan hal yang sama dengan suara tersendat. Tangan kanan Reon terangkat, hendak menampar gadis di depannya itu.

  "Reon!" seru Aldrich sambil mencekal tangan rekannya itu.

"Jangan terbawa emosi. Dia tidak tahu apa-apa."

  Reon melangkah mundur. Mata hitamnya masih tetap menatap Viara. Gadis tersebut balas menatap dengan mata nanar.

  "Dia tidak tahu bahwa kakaknya adalah orang jahat. Kita diberitahu orang terdekat kita adalah pembunuh, kita juga pasti tidak akan percaya," lanjut Aldrich lagi. Reon hanya diam dan mengangguk. Aldrich kemudian merangkul bahu pria itu dan mengajak keluar dari tempat tersebut.

   Saat pintu kembali tertutup, Viara menghela napas perlahan. Air mata mengalir perlahan. Ia kemudian menggeleng. Ini bukan waktunya untuk menangis. Ia harus mencari cara untuk menolong Vino.

***

   Vino melangkah pelan. Ia tadi baru saja pulang saat melihat selembar kertas tergeletak di lantai ruang tamu rumahnya. Ada yang meminta dia datang ke tempat yang terpencil itu jika ia ingin menyelamatkan Viara. Tentu saja Vino memenuhi permintaan itu. Setelah kehilangan orang tua, ia tidak ingin juga kehilangan adiknya.

   "Kau sudah berada di sini," tegur sebuah suara yang tidak lain adalah suara Aldrich. Di sampingnya berdiri Reon bersama Viara.

   "Kak, beritahu mereka. Beritahu mereka kau tidak bersalah. Beritahu mereka semua hanya salah-paham!" seru Viara.

   Vino mengangguk. Ia perlahan melangkah mendekat.

"Tenanglah, Ara. Tidak akan terjadi apa-apa."

   Ia mengalihkan tatapan pada Aldrich.

"Katakan padaku, ada apa ini?"

   "Kau tidak perlu tahu. Kau hanya harus mati!" geram Reon sambil mengarahkan pistol ke arah pria berkacamata tersebut.

   Wajah Viara semakin pias. Ia semakin kalut memikirkan cara untuk menyelamatkan sang kakak.

  "Reon, kita harus bertanya ...." 

  Kata-kata Aldrich belum selesai saat terdengar suara tembakan. 

  "Kakak!" teriak Viara sambil menangis. Di depan ketiga orang tersebut, sosok Vino ambruk bersimbah darah. Meski begitu tembakan yang ternyata berasal dari kejauhan tersebut tidak berhenti.

   "Kita harus pergi dari sini!" seru Aldrich sambil menarik tangan Viara. Gadis itu menggeleng dan bersikeras hendak mendekati tubuh Vino yang tergeletak di tanah. Tampak air mata bercucur deras di wajah Viara, sementara Vino menoleh pada adiknya itu dan menggeleng lemah. Sebutir peluru kemudian juga menembus tubuh Aldrich. 

   "Aldrich!" teriak Reon saat melihat rekannya itu juga jatuh dengan  darah mengalir keluar di pinggang belakangnya.

   "Pergi, cepat pergi dari sini!" teriak Aldrich sambil mengeluarkan pistol dari saku. Ia kemudian kembali menyuruh Reon membawa Viara pergi dari situ. Reon masih tetap diam. Begitu pula Viara. Mereka menunduk di balik rerumputan tinggi yang berada di sekeliling mereka seiring desing peluru yang terus menerpa.

   "Reon, kau harus pergi dari sini. Bawa dia bersamamu!" perintah Aldrich lagi.

"Aku akan tetap di sini untuk menghalangi mereka!"

   Reon menggeleng.

"Kita bisa pergi bersama."

  "Reon, apa kau lupa janjimu untuk menurut padaku? Kau harus patuh dan pergi dari sini!"

  Reon tetap saja menggeleng. Viara yang tengah menatap pria itu menyadari ada kecemasan di wajah Reon.

  "Aku akan tetap di sini. Aku juga akan melawan mereka!" tegas Reon. Aldrich menggeleng. Ia sekali lagi menegaskan agar Reon pergi dari sana bersama Viara.

  "Permasalahan ini jadi kacau. Semua akan percuma jika kita bertiga mati di sini. Pergilah lebih dulu. Kamu juga tahu aku sangat hebat. Aku pasti bisa lolos dari mereka dan menemukan kalian," bujuk Aldrich kemudian.

   Reon masih tampak keberatan, tetapi karena Aldrich terus mendesak, Reon akhirnya setuju.

   "Kau harus baik-baik saja dan menemukan kami!" ucap Reon akhirnya. Aldrich hanya mengangguk. Wajahnya terlihat pucat, tetapi seulas senyum tersungging di bibirnya yang juga nyaris seputih kertas.

    Reon meraih tangan Viara. Gadis itu sempat berpikir untuk menolak. Ia juga ingin tahu keadaan Vino. Pilihan untuk pergi dengan Reon juga buruk menurut dia, apalagi pria itu telah menculik dan nyaris membunuh kakaknya. Akan tetapi, ketika pikiran sehatnya kembali, ia tahu saat ini lari adalah pilihan terbaik, meski itu bersama Reon sekalipun.

    Keduanya berlari sambil menunduk untuk menghindari terjangan peluru, bergegas menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari situ. Rasa nyeri teramat sangat membuat Viara mengernyitkan kening. Saat menoleh, ia melihat rembesan darah segar di pundak kanannya. Ia dan Reon kemudian segera masuk ke dalam mobil. Tidak lama mobil tersebut dinyalakan oleh Reon dan melaju cepat menembus gelapnya jalan di malam hari.

***

   Viara membuka matanya yang terpejam. Ia tidak sadar entah sejak kapan ia jatuh tertidur. 

   'Mungkin sebenarnya aku tidak sadarkan diri karena luka kemarin,' gumamnya dalam hati sambil melirik pundak kanannya. Darah tampak masih merembes di sana.

   "Tidak parah, mungkin hanya tergores saja," ucap Reon yang ternyata masih duduk di sampingnya. Mobil yang dikendarai kini berhenti di tepi pantai yang tampak sepi. Pria itu kemudian mengulurkan kotak obat. 

   "Sebaiknya segera obati lukamu," suruhnya. Viara hanya mengangguk kemudian menerima kotak obat tersebut. Reon kemudian bergegas keluar dari mobil, meninggalkan Viara seorang diri.

   Sungguh merepotkan harus mengobati dan membalut luka seorang diri. Andai saja Vino ada bersamanya, kakaknya itu pasti akan segera turun tangan mengobati sambil menggerutu. Ingatan tersebut membuat air mata mengalir di wajah Viara. Kakaknya kini mungkin bahkan sudah tiada.

   'Mengapa semua ini terjadi pada kami? Semua baik-baik saja, kemudian ....'

   Viara menggeleng. Semua baik-baik saja sampai ia bertemu dengan dua orang yang mencari kakaknya, Reon dan Aldrich.

***

   Reon menatap lurus ke arah pantai. Hari telah berganti pagi dan sinar mentari juga semakin cerah. Ia tidak mengerti dengan yang sebenarnya terjadi. Semua seharusnya berjalan lancar. Namun kini ia bahkan tidak tahu di mana Aldrich berada dan nasib dari rekannya itu. Mungkin ia salah telah meninggalkan Aldrich seorang diri.

    Sikapnya berubah waspada saat menyadari ada orang yang hendak menyerang dari belakang.

    

   

   

   

Related chapters

  • Killer from the future   Tiga

    "Apa kau sudah gila?" teriak Reon sambil berkelit menghindar. Ternyata orang yang diam-diam berniat menyerang dirinya tidak lain adalah Viara. Gadis itu tidak menggubris, ia tetap saja terus saja menyerang dengan sebuah tongkat besi. "Hentikan!" teriak Reon sekali lagi. Ia segera mencekal besi berukuran panjang tersebut dan menariknya hingga terlepas dari genggaman tangan Viara. Tindakan tersebut membuat gadis itu tersentak dan nyaris terjatuh. Reon sendiri segera melempar sejauh mungkin batang besi yang kini berada di tangannya. Viara segera berjongkok dan memeluk lututnya sambil menangis. Ia merasa begitu kecewa dan marah pada dirinya sendiri karena tidak berhasil membalas dendam untuk Vino. "Kak, ka-u pasti kecewa padaku. Kak, ma-afkan aku. Aku adalah adik yang buruk. Seharusnya kau tidak mempunyai adik sepertiku," ucapnya kemudian dengan suara tersendat. "Jadi kau begitu marah karena ka

  • Killer from the future   Empat

    Viara berusaha untuk bangun saat mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Wajahnya mengernyit menahan nyeri. Namun saat ia baru saja berhasil untuk duduk, terdengar suara seseorang, "ternyata kau berada di sini, sudah waktunya bagimu untuk mati." Seorang pria bersetelan hitam yang rapi menodongkan pistol padanya. Viara hanya duduk mematung, merasa kali nyawanya sungguh akan berakhir. Akan tetapi, saat pistol meletus, muncul sosok dengan cepat menendang tangan yang memegang pistol tersebut. Tembakan itu meleset dari sasaran. "Cepat pergi dari sini!" gertak orang yang menolong Viara. Ternyata dia tidak lain adalah Reon. Tampak bekas luka goresan pula di pipi dan kening pria itu. Viara mengangguk dan segera bangkit berdiri. Dengan langkah terseok dan wajah mengernyit, ia berjalan menjauh dengan cepat. Telinganya menangkap suara perkelahian dari tempat yang baru ditinggalkan. Ia ingin membantu Reon, tetapi sadar dirinya mungkin m

  • Killer from the future   Lima

    Viara masih tertegun saat Reon kemudian meraih tangannya."Ayo kita pergi dari sini sekarang!" "Tapi bagaimana dengannya?" tanya Viara sambil menuding lelaki yang baru saja berkunjung. Reon menggeleng. "Dia sudah mati. Kita harus pergi atau kita juga akan menyusul dia!" Reon kembali menarik tangan Viara, tetapi gadis itu masih saja berdiri terpaku. "Ki-ta ... ki-ta tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus memberitahu keluarganya. Kita ...." "Viara!" gertak Reon sambil mengguncang bahu gadis itu."Kau harus sadar kita tidak bisa melakukan itu. Kita harus pergi!" Viara menggeleng dengan kuat. Reon setengah menyeret gadis itu menuju ke arah pintu belakang. Viara masih tampak keberatan. Tidak lama terdengar suara berondong peluru dari arah luar. Segera Reon meraih pinggang gadis itu dan mengajak untuk tiarap di lantai. Suara ka

  • Killer from the future   Enam

    Viara terbatuk-batuk saat Reon akhirnya memutuskan untuk melepaskan dia. "Aku tidak akan membunuhmu, tapi jika sekali lagi kau merendahkan Tuan Anderson maka aku pasti akan membunuhmu. Aku akan melakukannya, meski itu tidak sesuai misi yang kujalankan," geramnya. "Ternyata kau bisa juga berpikir di luar misimu itu. Kukira kau hanya bisa patuh dan tidak bisa membuat keputusan sendiri," ucap Viara dengan suara yang masih sedikit serak. Gadis itu mengusap lehernya yang masih menampilkan bekas memerah akibat cekikan tersebut. Reon tidak menanggapi perkataan Viara. Ia kemudian malah bangkit berdiri. "Kau akan pergi sekarang?" tanya Viara. "Aku pergi setelah mengantarmu ke tempat aman." "Tempat aman? Apa masih ada tempat aman untukku? Para penjahat itu selalu saja menemukan kita, bukan?" Reon terpekur sesaat. Dia juga merasakan hal yang sama. Kemanapun merek

  • Killer from the future   Tujuh

    Suara letusan tembakan sebanyak dua kali tersebut terdengar cukup keras di telinga Viara. Ia sontak berhenti berlari. "Apa yang kaulakukan? Kita harus segera pergi dari sini!" gertak Reon. Sejenak ia menatap sekeliling dengan cemas. Pria itu yakin tidak akan lama sebelum orang yang mengejar ia dan Viara menyusul serta menemukan mereka. "Ki-ta ... kita tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus menolong mereka, bukan?" tanya Viara dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sanggup membayangkan orang-orang yang berada di bus menanggung bahaya karena dirinya. "Viara, sadarlah, kita tidak bisa menolong mereka!" seru Reon sambil mengguncang bahu gadis itu. "Kita harus segera pergi" lanjut pria itu lagi sambil mengguncang bahu gadis di hadapannya tersebut. Namun Viara justru mengibas tangan Reon dengan kasar. "Aku akan menolong mereka. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Kalau dir

  • Killer from the future   Delapan

    Belum sempat tembakan dilepaskan terdengar suara ledakan dari mobil yang berada di antara Viara dan penjahat yang terus mengejarnya itu. Tidak lama terdengar pula suara sirene mobil polisi dan ambulans yang semakin dekat. "Sial!" gerutu si rambut kelabu. Ia kemudian masuk ke dalam mobil. Mereka segera bergegas pergi dari situ. "Reon, bangunlah, Reon!" pinta Viara berulangkali. Air mata yang telah banyak bercucur kembali keluar. Ia sungguh tidak bisa menghindari rasa panik karena menyadari tanpa Reon, ia mungkin sungguh akan sendirian. Pria itu terbatuk berkali-kali sesaat kemudian. Viara menghela napas lega. Ia segera membantu Reon keluar dari mobil. Viara kemudian membantu memapah pria itu berjalan menjauh. Sementara suara sirene terus berbunyi semakin dekat.*** Wahyu berdiri diam menatap mobil-mobil yang terguling dan terbakar di depannya. Ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang sesungguh

  • Killer from the future   Sembilan

    Karena Viara terus saja bersikeras, Reon akhirnya memutuskan untuk mengalah. Meski begitu, tetap saja bersikap waspada. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Pertemuan mereka dengan bibi Hana terlalu kebetulan, segalanya seolah telah direncanakan. Viara menoleh pada pria yang duduk di sampingnya itu."Apa yang kaupikirkan?" "Tidak ada," geleng Reon. "Jangan cemas, setelah kita aman di sana, aku akan mencari cara menghubungi polisi lagi. Setelahnya, kau bisa pergi," ucap Viara sambil menggenggam tangan Reon. Entah mengapa hatinya terasa begitu berat saat mengatakan itu. Rasanya kini semakin sulit untuk membayangkan berpisah dengan Reon. Reon hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia tidak ingin mengatakan kecurigaan pada Viara. Bisa jadi gadis itu malah marah. Lagipula sebentar lagi Viara tidak akan lagi menjadi tanggung jawabnya. Saat berpisah, lebih baik mengakhiri dengan baik.

  • Killer from the future   Sepuluh

    Viara membuka mata dan menyadari ada kain di atas tubuhnya. Ia kemudian melihat Reon tengah tidur sambil duduk di salah satu kursi. Sebelum tidur, kelihatannya pria itu sempat menyelimuti dirinya dengan kain biru yang telah pudar warnanya tersebut. Viara beranjak bangun dan menghampiri Reon. Wajahnya menunduk hingga setara dengan wajah pria itu. Mata Reon masih terpejam rapat. Ia tampak sungguh tengah tertidur lelap. 'Dia cukup tampan, tulang pipinya juga terlihat sempurna. Hidung yang mancung dan bulu mata yang panjang, aku bahkan tidak punya. Andai tidak terjadi masalah, sangat mudah bagiku untuk menyukai dia,' ucap Viara dalam hati. Matanya masih terus tertuju pada raut wajah pria tersebut. Tangannya terulur seolah hendak menyentuh. Namun tiba-tiba mata Reon terbuka dan bertemu tatap dengan Viara. "Apa yang kaulakukan?" Viara yang tidak menyangka hal itu, tentu langsung terperanjat dan tersentak mundur. Ia bahkan

Latest chapter

  • Killer from the future   Sebelas

    Tanpa membuang waktu, Reon segera membuka kotak yang ternyata berisi tablet berwarna hitam tersebut. Sebuah tulisan meminta dia memutar video yang berada di dalam tablet berukuran cukup lebar itu. Reon segera melakukannya. Ia tertegun melihat wajah Aldrich di layar. Sahabat baik yang telah dianggap sebagai kakak oleh Reon terlihat babak-belur. Bibir pria itu robek dan berdarah. Pipinya tampak lebam membiru dan robek. Darah segar juga tampak mengalir dari kening Aldrich. "Aldrich, Aldrich," panggil Reon berulangkali. Gambar layar kemudian berganti pada sosok berambut kelabu yang selama ini mengejar dirinya dan Viara. "Kami sungguh menjaga sahabatmu ini dengan susah-payah. Dia sungguh keras kepala. Dia mungkin telah bersiap untuk mati, tapi aku persis tentang orang seperti kalian. Kalian menghargai persahabatan lebih dari apa pun," ucap lelaki itu. Sekali lagi layar tampak beralih pada Aldrich. Sahabatnya itu tengah meronta dan sebuah b

  • Killer from the future   Sepuluh

    Viara membuka mata dan menyadari ada kain di atas tubuhnya. Ia kemudian melihat Reon tengah tidur sambil duduk di salah satu kursi. Sebelum tidur, kelihatannya pria itu sempat menyelimuti dirinya dengan kain biru yang telah pudar warnanya tersebut. Viara beranjak bangun dan menghampiri Reon. Wajahnya menunduk hingga setara dengan wajah pria itu. Mata Reon masih terpejam rapat. Ia tampak sungguh tengah tertidur lelap. 'Dia cukup tampan, tulang pipinya juga terlihat sempurna. Hidung yang mancung dan bulu mata yang panjang, aku bahkan tidak punya. Andai tidak terjadi masalah, sangat mudah bagiku untuk menyukai dia,' ucap Viara dalam hati. Matanya masih terus tertuju pada raut wajah pria tersebut. Tangannya terulur seolah hendak menyentuh. Namun tiba-tiba mata Reon terbuka dan bertemu tatap dengan Viara. "Apa yang kaulakukan?" Viara yang tidak menyangka hal itu, tentu langsung terperanjat dan tersentak mundur. Ia bahkan

  • Killer from the future   Sembilan

    Karena Viara terus saja bersikeras, Reon akhirnya memutuskan untuk mengalah. Meski begitu, tetap saja bersikap waspada. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Pertemuan mereka dengan bibi Hana terlalu kebetulan, segalanya seolah telah direncanakan. Viara menoleh pada pria yang duduk di sampingnya itu."Apa yang kaupikirkan?" "Tidak ada," geleng Reon. "Jangan cemas, setelah kita aman di sana, aku akan mencari cara menghubungi polisi lagi. Setelahnya, kau bisa pergi," ucap Viara sambil menggenggam tangan Reon. Entah mengapa hatinya terasa begitu berat saat mengatakan itu. Rasanya kini semakin sulit untuk membayangkan berpisah dengan Reon. Reon hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia tidak ingin mengatakan kecurigaan pada Viara. Bisa jadi gadis itu malah marah. Lagipula sebentar lagi Viara tidak akan lagi menjadi tanggung jawabnya. Saat berpisah, lebih baik mengakhiri dengan baik.

  • Killer from the future   Delapan

    Belum sempat tembakan dilepaskan terdengar suara ledakan dari mobil yang berada di antara Viara dan penjahat yang terus mengejarnya itu. Tidak lama terdengar pula suara sirene mobil polisi dan ambulans yang semakin dekat. "Sial!" gerutu si rambut kelabu. Ia kemudian masuk ke dalam mobil. Mereka segera bergegas pergi dari situ. "Reon, bangunlah, Reon!" pinta Viara berulangkali. Air mata yang telah banyak bercucur kembali keluar. Ia sungguh tidak bisa menghindari rasa panik karena menyadari tanpa Reon, ia mungkin sungguh akan sendirian. Pria itu terbatuk berkali-kali sesaat kemudian. Viara menghela napas lega. Ia segera membantu Reon keluar dari mobil. Viara kemudian membantu memapah pria itu berjalan menjauh. Sementara suara sirene terus berbunyi semakin dekat.*** Wahyu berdiri diam menatap mobil-mobil yang terguling dan terbakar di depannya. Ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang sesungguh

  • Killer from the future   Tujuh

    Suara letusan tembakan sebanyak dua kali tersebut terdengar cukup keras di telinga Viara. Ia sontak berhenti berlari. "Apa yang kaulakukan? Kita harus segera pergi dari sini!" gertak Reon. Sejenak ia menatap sekeliling dengan cemas. Pria itu yakin tidak akan lama sebelum orang yang mengejar ia dan Viara menyusul serta menemukan mereka. "Ki-ta ... kita tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus menolong mereka, bukan?" tanya Viara dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sanggup membayangkan orang-orang yang berada di bus menanggung bahaya karena dirinya. "Viara, sadarlah, kita tidak bisa menolong mereka!" seru Reon sambil mengguncang bahu gadis itu. "Kita harus segera pergi" lanjut pria itu lagi sambil mengguncang bahu gadis di hadapannya tersebut. Namun Viara justru mengibas tangan Reon dengan kasar. "Aku akan menolong mereka. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Kalau dir

  • Killer from the future   Enam

    Viara terbatuk-batuk saat Reon akhirnya memutuskan untuk melepaskan dia. "Aku tidak akan membunuhmu, tapi jika sekali lagi kau merendahkan Tuan Anderson maka aku pasti akan membunuhmu. Aku akan melakukannya, meski itu tidak sesuai misi yang kujalankan," geramnya. "Ternyata kau bisa juga berpikir di luar misimu itu. Kukira kau hanya bisa patuh dan tidak bisa membuat keputusan sendiri," ucap Viara dengan suara yang masih sedikit serak. Gadis itu mengusap lehernya yang masih menampilkan bekas memerah akibat cekikan tersebut. Reon tidak menanggapi perkataan Viara. Ia kemudian malah bangkit berdiri. "Kau akan pergi sekarang?" tanya Viara. "Aku pergi setelah mengantarmu ke tempat aman." "Tempat aman? Apa masih ada tempat aman untukku? Para penjahat itu selalu saja menemukan kita, bukan?" Reon terpekur sesaat. Dia juga merasakan hal yang sama. Kemanapun merek

  • Killer from the future   Lima

    Viara masih tertegun saat Reon kemudian meraih tangannya."Ayo kita pergi dari sini sekarang!" "Tapi bagaimana dengannya?" tanya Viara sambil menuding lelaki yang baru saja berkunjung. Reon menggeleng. "Dia sudah mati. Kita harus pergi atau kita juga akan menyusul dia!" Reon kembali menarik tangan Viara, tetapi gadis itu masih saja berdiri terpaku. "Ki-ta ... ki-ta tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus memberitahu keluarganya. Kita ...." "Viara!" gertak Reon sambil mengguncang bahu gadis itu."Kau harus sadar kita tidak bisa melakukan itu. Kita harus pergi!" Viara menggeleng dengan kuat. Reon setengah menyeret gadis itu menuju ke arah pintu belakang. Viara masih tampak keberatan. Tidak lama terdengar suara berondong peluru dari arah luar. Segera Reon meraih pinggang gadis itu dan mengajak untuk tiarap di lantai. Suara ka

  • Killer from the future   Empat

    Viara berusaha untuk bangun saat mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Wajahnya mengernyit menahan nyeri. Namun saat ia baru saja berhasil untuk duduk, terdengar suara seseorang, "ternyata kau berada di sini, sudah waktunya bagimu untuk mati." Seorang pria bersetelan hitam yang rapi menodongkan pistol padanya. Viara hanya duduk mematung, merasa kali nyawanya sungguh akan berakhir. Akan tetapi, saat pistol meletus, muncul sosok dengan cepat menendang tangan yang memegang pistol tersebut. Tembakan itu meleset dari sasaran. "Cepat pergi dari sini!" gertak orang yang menolong Viara. Ternyata dia tidak lain adalah Reon. Tampak bekas luka goresan pula di pipi dan kening pria itu. Viara mengangguk dan segera bangkit berdiri. Dengan langkah terseok dan wajah mengernyit, ia berjalan menjauh dengan cepat. Telinganya menangkap suara perkelahian dari tempat yang baru ditinggalkan. Ia ingin membantu Reon, tetapi sadar dirinya mungkin m

  • Killer from the future   Tiga

    "Apa kau sudah gila?" teriak Reon sambil berkelit menghindar. Ternyata orang yang diam-diam berniat menyerang dirinya tidak lain adalah Viara. Gadis itu tidak menggubris, ia tetap saja terus saja menyerang dengan sebuah tongkat besi. "Hentikan!" teriak Reon sekali lagi. Ia segera mencekal besi berukuran panjang tersebut dan menariknya hingga terlepas dari genggaman tangan Viara. Tindakan tersebut membuat gadis itu tersentak dan nyaris terjatuh. Reon sendiri segera melempar sejauh mungkin batang besi yang kini berada di tangannya. Viara segera berjongkok dan memeluk lututnya sambil menangis. Ia merasa begitu kecewa dan marah pada dirinya sendiri karena tidak berhasil membalas dendam untuk Vino. "Kak, ka-u pasti kecewa padaku. Kak, ma-afkan aku. Aku adalah adik yang buruk. Seharusnya kau tidak mempunyai adik sepertiku," ucapnya kemudian dengan suara tersendat. "Jadi kau begitu marah karena ka

DMCA.com Protection Status