Share

Empat

Penulis: Meimei
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-03 11:46:46

    Axel terisak sambil terus memanggil sang ibu. Ia juga berulangkali menggedor pintu. Liz yang berada tidak jauh segera berlari menghampiri.

    "Axel!" panggilnya sambil mengetuk pintu. 

    "Mom!!!" Axel kembali berteriak dari dalam. Ia begitu ketakutan membayangkan dirinya terkurung di gudang tersebut selamanya. Ia tidak akan bisa lagi memakan kue kesukaannya yang dibuat oleh sang ibu.

    "Mom!" Axel kembali memanggil berulangkali. Liz mencoba memutar handel pintu. Akan tetapi, pintu tetap saja tidak bisa dibuka. Liz makin panik dan terus mencoba memutar handel tersebut. Pintu itu masih saja tertutup rapat.

     "Biar aku saja mencoba mendobrak pintu ini," ucap Edwar. Liz mengangguk. Edwar kemudian menyuruh Axel mundur. Bocah lelaki itu mundur dan bersembunyi di balik meja.

     Edwar mendobrak pintu dengan tubuhnya. Pintu tersebut tetap bergeming dan tidakau membuka. Edwar mendobrak sekali lagi. Barulah pintu kemudian menjeblak terbuka.

      Axel berlari keluar sambil menangis. Liz yang segera memeluk putranya itu juga ikut menangis. 

***

     "Terima kasih, kau sudah menolong Axel," ucap Liz pada Edwar. Pria itu hanya mengangguk saja. Ia berjalan mengantar perempuan tersebut hingga ke gerbang sekolah. Liz sekali lagi mengucap terima kasih dan segera pamit.

     Beberapa saar setelah Liz pergi, Edwar tetap berdiri di gerbang itu selama beberapa saat. 

     "Bengong saja, tadi ada kenapa gak diajak ngobrol?" tegur seorang lelaki paruh baya pada Edwar. Lelaki bertubuh kurus tersebut adalah tukang kebun di sekolah itu.

      "Mana bisa? Dia sudah memang memiliki anak, tapi dia tidak punya suami."

       Edwar tertegun mendengar itu. Ia kemudian bersorak senang. Si tukang kebun hanya menggeleng saja melihat itu. 

***

     "Ada apa?" tanya Liz saat bertemu Edwar. Pria itu memanggil Liz ke sekolah untuk berbicara tentang sekolah Axel.

     "Apa Axel berbuat ulah lagi?" tanya Liz dengan raut khawatir.

     "Kenakalan adalah hal biasa untuk anak kecil. Saya rasa tidak ada masalah dengan itu," jawab Edwar. Liz mengangguk saja. Raut wajahnya berubah bingung. Lalu untuk apa pria itu mengundang ia datang ke sekolah?

       Liz berdehem sejenak karena meeasa tidak enak. Edwar sedari tadi tidak bicara dan hanya menatap dia saja. Sekejap kemudian, Edwar tersadar dari lamunan. Ia kembali berbicara tentang Axel.

      "Apa Axel tertarik untuk belajar musik?" tanya Edwar kemudian. Liz terdiam sejenak lalu menggeleng.

      "Kurasa tidak," jawab Liz singkat.

      "Tidak apa, saya akan mengajari dia pelan-pelan. Saya juga akan memberi waktu pelajaran tambahan untuknya."

      Liz menolak tawaran itu, tetapi Edwar tetap saja bersikeras untuk memberikan pelajaran tambahan pada Axel.

 ***

      "Jadi kau terima tawaran pria itu untuk memberi pelajaran tambahan pada Axel?" tanya nyonya Emma.

       Liz hanya mengangguk. Ia telah menceritakan tentang maksud Edwar pada wanita itu. Nyonya Emma tersenyum kecil.

      "Kurasa itu hanya alasan saja. Pria itu menyukaimu."

      Liz meletakkan baskom berisi adonan kue sambil menggeleng.

"Itu tidak mungkin. Ia adalah guru Axel."

      "Dia guru berjenis kelamin laki-laki. Kenapa tidak mungkin dia menyukaimu?"

      Liz menghela napas kemudian kembali menggeleng.

     "Karena kau seorang ibu tunggal? Liz, kau ini masih muda. Kau juga cantik dan menarik. Para pria tentu saja akan tertarik padamu. Lihat saja Henry, bahkan keponakanku yang kutu buku itu juga tertarik padamu."

      Liz terdiam ragu.

     "Liz, kau harus mencoba. Jika guru bernama Edwar itu memang menyukaimu, kau bisa mencoba untuk menerima perasaannya," ucap Nyonya Emma lagi.

***

     Caden mengemasi pakaian dan beberapa berkas. Ia harus pergi ke kota Greenwich untuk mengurus permasalahan yang berada di kantor cabang. Renata masuk ke dalam kamar pria itu dan segera memeluk Caden dari belakang. Caden segera melepaskan pelukan gadis itu.

      "Kau mau apa kemari?" tanya Caden dengan nada suara dingin.

      "Kau akan pergi. Aku pasti akan merindukanmu."

      "Sudah cukup, kau keluar dari kamar ini sekarang!"

      "Caden, aku ...."

      Renata belum selesai berbicara, tetapi Caden menyeret gadis tersebut keluar dan mengunci kamarnya. Di depan, Renata terus saja merengek agar diijinkan masuk. Tidak lama, ia juga merengek agar Caden tidak pergi.

      'Tingkahmu ini yang membuat aku justru ingin cepat pergi,' gumam Caden dalam hati.

***

     Edwar menuntun Axel menuju gerbang sekolah. Meski Axel terus menolak, pria itu tetap saja memaksa. Setiba di gerbang, Edwar segera tersenyum dan menyapa ramah pada Liz. Axel bersidekap melihat guru dan ibunya tersebut bergantian.

    'Oh, jadi guruku ini menyukai ibuku? Pantas saja dia terus memaksa. Memaksa untuk mengajar aku bermain musik, juga memaksa untuk mengantar ke gerbang.'

     'Ini sungguh keterlaluan dan tidak bisa dibiarkan. Aku tidak akan membiarkan guruku mendekati ibuku. Ibuku juga seharusnya dia tidak perlu tersenyum seperti itu pada guruku. Aku harus melakukan sesuatu,' tekad Axel. Bocah lelaki itu mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil. 

      "Kau merencanakan ide nakal apa lagi?" tegur Liz sambil mencubit pipi anak lelakinya itu.

      "Tidak ada," sahut Axel singkat. Namun Liz tetap melihat curiga.

      "Awas saja kalau kau membuat ulah nakal lagi, Ibu akan menjewer telingamu hingga merah terus."

      Ancaman itu membuat Axel segera menutup kedua telinganya. Liz tersenyum melihat itu. Edwar yang melihat itu juga ikut tersenyum. Liz kemudian segera berlalu sambil menggandeng Axel, sedang Edwar masih berdiri di sana dengan senyum mengembang di wajah karena membayangkan Liz menjadi istrinya dan Axel menjadi anak mereka.

***

     Axel masih terus terngiang dengan ucapan Liz yang akan menjewer telinganya hingga terus merah. Axel menggeleng, ia tidak mau punya telinga merah.

     'Tapi aku 'kan nggak nakal. Aku cuma nggak mau Pak Edwar jadi ayahku.'

     Bocah tersebut kembali mengangguk-angguk. Senyum lebar muncul di wajah polosnya.

***

     Tony tengah pergi untuk membeli makanan, sedang Caden sibuk membaca-baca fail tentang kantor cabang yang akan dia kunjungi. Tengah serius membaca, tiba-tiba ada yang membuka pintu dan masuk ke mobilnya tersebut. Caden tertegun melihat bocah lelaki yang kini berada di sampingnya.

      "Kamu ini ...."

      Bocah tersebut menempelkan telunjuk di bibirnya, memberi isyarat agar Caden diam. Tidak lama Caden melihat seorang pria tampak tengah melihat sekeliling dengan raut cemas, sementara si bocah di mobil Caden malah tertawa.

       Tidak lama, pria tersebut melangkah menjauh dari mobil. Bocah lelaki itu tertawa keras dan mengacungkan jempol pada Caden.

      Tony yang baru kembali terkejut melihat ada anak lelaki di dalam mobil.

      "Keluar kau sekarang!" tegurnya galak. Bocah tersebut membalas sambil meleletkan lidah dan bergegas keluar dari mobil.

       Tony menggeleng sambil menghela napas.

"Anak sekarang sungguh tidak tahu aturan. Mungkin ayah dan ibunya tidak mendidik dengan baik," keluhnya. Ia kemudian melihat pada Caden.

       "Apa dia mengganggu Anda?" tanyanya. Caden hanya menggeleng saja. Ia merasa bingung karena merasa dekat dengan seorang anak yang bahkan tidak ia kenal.

     

     

     

      

     

     

       

 

      

      

      

     

Bab terkait

  • Love at the end season   Lima

    Axel baru tiba di rumah, tetapi Liz telah menjewer dia. "Pak Edwar tadi menelepon, dia bilang kau kabur dari sekolah. Dia sempat mencari-carimu. Mom tadi juga mau ke sana, tapi dia lalu bilang kau sudah kembali," omel Liz pada anak lelakinya itu. Axel kemudian justru menangis dengan keras."Mom marah karena Pak Edwar. Mom tidak sayang lagi padaku. Mom lebih sayang sama dia.," "Kau ini, sudah, sudah, jangan menangis," bujuk Liz sambil melepas jeweran dari telinga bocah lelaki itu. "Sudah, jangan menangis lagi," ucap Liz lagi saat melihat bocah itu masih saja sesenggukan. Perempuan tersebut kemudian memberi kue pada Axel. "Mom, itu tadi bukan salahku. Pak Edwar yang salah. Dia nggak bisa nemuin aku," ucap Axel sambil mengunyah kue. Tangis bocah tersebut telah reda sepenuhnya. "Mom, jangan suka sama dia. Dia nggak bisa jaga aku. Aku cuma

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Love at the end season   Enam

    "Teriak saja, maka aku akan bilang pada orang-orang kau yang menghentikan mobil dan menggodaku," tukas Caden. "A-pa ... apa katamu? Lihat saja mereka pasti tidak akan percaya padamu!" Caden menyeringai mendengar itu."Coba saja!" ucapnya. "A-pa?" Liz tertegun karena tidak menyangka Caden justru menantang dia. Memanfaatkan kesempatan, Caden justru kemudian membopong Liz di pundaknya. Perempuan muda itu memekik dan memukul-mukul punggung Caden. Namun Caden malah memasukkan Liz ke dalam mobil dan membawa gadis itu pergi dari sana.*** "Hentikan, hentikan mobilnya sekarang atau aku akan berteriak!" Liz yang duduk di samping Caden kembali mengancam. "Kau ini aneh sekali. Selalu mengancam akan berteriak. Kau tadi menjerit saja tidak ada yang datang menolong." "Kau ....!" Ucapan Liz terhenti saat men

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-15
  • Love at the end season   Satu

    Bocah lelaki itu berlari kecil menuju meja. Tanpa menghiraukan peluh yang bercucur, tangannya terulur untuk mengambil salah satu kue berwarna cerah yang tersaji di atas meja. Seorang perempuan muda segera menahan tangan bocah tersebut. "Cuci tanganmu dulu, Axel. Setelah pulang sekolah, langsung mau makan kue, kotor banget pasti tuh tangan," tegur perempuan berparas jelita tersebut. "Mom, kuemu pasti enak sekali. Aku ingin mencicip." "Cuci tangan dulu baru makan kue. Ganti seragammu juga!" Wajah Axel menunduk. Ia kemudian segera bergegas berdiri dari duduknya dan berlari menuju kamar.*** "Mom terlalu cerewet, padahal aku ingin cepat-cepat makan kue. Kalau begini, aku tetap saja nggak bakal kebagian," keluh Axel dalam hati. Setelah berganti pakaian, bocah lelaki berusia tujuh tahun tersebut berjalan dengan wajah cemberut. "Axel, kenapa,

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-27
  • Love at the end season   Dua

    Axel melangkah pasti menuju sekolah. Dibukanya kantong cokelat berisi beberapa kue berwarna cerah. Sekejap mata bocah itu berbinar. Lidah menjilat bibir dan tangan terulur untuk mengambil. Namun sesaat kemudian ia menggeleng. Segera ditutup kembali kantong itu dan melanjutkan langkah menuju sekolah. Setiba di sekolah, ia membuka kantong. Beberapa teman sebaya datang mengerumuni, sekejap mereka mencomot kue-kue tersebut satu per satu. "Ingat, ya, kalian besok harus membayar semua itu!" seru Axel. Para bocah mengangguk sambil sibuk melahap kue. "Kami pasti ingat, hari ini gratis, besok baru bayar," sahut seorang bocah. "Pintar," puji Axel sambil mengacungkan jempol.*** Liz sedang menata kue-kue yang hendak dikirim ke toko. Setelah menghitung, jumlah kue tersebut ternyata memang berkurang cukup banyak. Ia kemudian kembali ke dapur untuk memeriksa.&nb

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Love at the end season   Tiga

    Liz tengah bersiap pergi ke restoran yang telah direncanakan sebagai tempat kencannya dengan Henry. Gaun putih terusan dengan pita di belakang membuat perempuan muda tersebut tampak jelita. Polesan riasan tipis dan tatanan rambut yang dibiarkan tergerai begitu saja justru menambah pesona perempuan yang terlihat seperti anak remaja tersebut. "Kau sudah siap?" tanya Nyonya Emma. Liz mengangguk. Ia kemudian mengenakan sepatu dengan hak rendah dan segera bergegas. Liz berangkat dengan taksi yang telah dipesan. Ia tidak ingin Henry datang menjemput. Siapa tahu Axel mungkin membuat ulah yang tidak-tidak? "Kau sudah datang," sambut Henry yang menanti di luar restoran. Pria itu juga terlihat rapi dengan setelan kemeja, jas, dan celana kain berwarna putih. Ia kemudian berjalan bersama Liz menuju meja. Lilin yang menyala dan buket mawar merah terdapat di atas meja. Segera H

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03

Bab terbaru

  • Love at the end season   Enam

    "Teriak saja, maka aku akan bilang pada orang-orang kau yang menghentikan mobil dan menggodaku," tukas Caden. "A-pa ... apa katamu? Lihat saja mereka pasti tidak akan percaya padamu!" Caden menyeringai mendengar itu."Coba saja!" ucapnya. "A-pa?" Liz tertegun karena tidak menyangka Caden justru menantang dia. Memanfaatkan kesempatan, Caden justru kemudian membopong Liz di pundaknya. Perempuan muda itu memekik dan memukul-mukul punggung Caden. Namun Caden malah memasukkan Liz ke dalam mobil dan membawa gadis itu pergi dari sana.*** "Hentikan, hentikan mobilnya sekarang atau aku akan berteriak!" Liz yang duduk di samping Caden kembali mengancam. "Kau ini aneh sekali. Selalu mengancam akan berteriak. Kau tadi menjerit saja tidak ada yang datang menolong." "Kau ....!" Ucapan Liz terhenti saat men

  • Love at the end season   Lima

    Axel baru tiba di rumah, tetapi Liz telah menjewer dia. "Pak Edwar tadi menelepon, dia bilang kau kabur dari sekolah. Dia sempat mencari-carimu. Mom tadi juga mau ke sana, tapi dia lalu bilang kau sudah kembali," omel Liz pada anak lelakinya itu. Axel kemudian justru menangis dengan keras."Mom marah karena Pak Edwar. Mom tidak sayang lagi padaku. Mom lebih sayang sama dia.," "Kau ini, sudah, sudah, jangan menangis," bujuk Liz sambil melepas jeweran dari telinga bocah lelaki itu. "Sudah, jangan menangis lagi," ucap Liz lagi saat melihat bocah itu masih saja sesenggukan. Perempuan tersebut kemudian memberi kue pada Axel. "Mom, itu tadi bukan salahku. Pak Edwar yang salah. Dia nggak bisa nemuin aku," ucap Axel sambil mengunyah kue. Tangis bocah tersebut telah reda sepenuhnya. "Mom, jangan suka sama dia. Dia nggak bisa jaga aku. Aku cuma

  • Love at the end season   Empat

    Axel terisak sambil terus memanggil sang ibu. Ia juga berulangkali menggedor pintu. Liz yang berada tidak jauh segera berlari menghampiri. "Axel!" panggilnya sambil mengetuk pintu. "Mom!!!" Axel kembali berteriak dari dalam. Ia begitu ketakutan membayangkan dirinya terkurung di gudang tersebut selamanya. Ia tidak akan bisa lagi memakan kue kesukaannya yang dibuat oleh sang ibu. "Mom!" Axel kembali memanggil berulangkali. Liz mencoba memutar handel pintu. Akan tetapi, pintu tetap saja tidak bisa dibuka. Liz makin panik dan terus mencoba memutar handel tersebut. Pintu itu masih saja tertutup rapat. "Biar aku saja mencoba mendobrak pintu ini," ucap Edwar. Liz mengangguk. Edwar kemudian menyuruh Axel mundur. Bocah lelaki itu mundur dan bersembunyi di balik meja. Edwar mendobrak pintu dengan tubuhnya. Pintu tersebut tetap bergeming dan tidakau membuka. Edwar mend

  • Love at the end season   Tiga

    Liz tengah bersiap pergi ke restoran yang telah direncanakan sebagai tempat kencannya dengan Henry. Gaun putih terusan dengan pita di belakang membuat perempuan muda tersebut tampak jelita. Polesan riasan tipis dan tatanan rambut yang dibiarkan tergerai begitu saja justru menambah pesona perempuan yang terlihat seperti anak remaja tersebut. "Kau sudah siap?" tanya Nyonya Emma. Liz mengangguk. Ia kemudian mengenakan sepatu dengan hak rendah dan segera bergegas. Liz berangkat dengan taksi yang telah dipesan. Ia tidak ingin Henry datang menjemput. Siapa tahu Axel mungkin membuat ulah yang tidak-tidak? "Kau sudah datang," sambut Henry yang menanti di luar restoran. Pria itu juga terlihat rapi dengan setelan kemeja, jas, dan celana kain berwarna putih. Ia kemudian berjalan bersama Liz menuju meja. Lilin yang menyala dan buket mawar merah terdapat di atas meja. Segera H

  • Love at the end season   Dua

    Axel melangkah pasti menuju sekolah. Dibukanya kantong cokelat berisi beberapa kue berwarna cerah. Sekejap mata bocah itu berbinar. Lidah menjilat bibir dan tangan terulur untuk mengambil. Namun sesaat kemudian ia menggeleng. Segera ditutup kembali kantong itu dan melanjutkan langkah menuju sekolah. Setiba di sekolah, ia membuka kantong. Beberapa teman sebaya datang mengerumuni, sekejap mereka mencomot kue-kue tersebut satu per satu. "Ingat, ya, kalian besok harus membayar semua itu!" seru Axel. Para bocah mengangguk sambil sibuk melahap kue. "Kami pasti ingat, hari ini gratis, besok baru bayar," sahut seorang bocah. "Pintar," puji Axel sambil mengacungkan jempol.*** Liz sedang menata kue-kue yang hendak dikirim ke toko. Setelah menghitung, jumlah kue tersebut ternyata memang berkurang cukup banyak. Ia kemudian kembali ke dapur untuk memeriksa.&nb

  • Love at the end season   Satu

    Bocah lelaki itu berlari kecil menuju meja. Tanpa menghiraukan peluh yang bercucur, tangannya terulur untuk mengambil salah satu kue berwarna cerah yang tersaji di atas meja. Seorang perempuan muda segera menahan tangan bocah tersebut. "Cuci tanganmu dulu, Axel. Setelah pulang sekolah, langsung mau makan kue, kotor banget pasti tuh tangan," tegur perempuan berparas jelita tersebut. "Mom, kuemu pasti enak sekali. Aku ingin mencicip." "Cuci tangan dulu baru makan kue. Ganti seragammu juga!" Wajah Axel menunduk. Ia kemudian segera bergegas berdiri dari duduknya dan berlari menuju kamar.*** "Mom terlalu cerewet, padahal aku ingin cepat-cepat makan kue. Kalau begini, aku tetap saja nggak bakal kebagian," keluh Axel dalam hati. Setelah berganti pakaian, bocah lelaki berusia tujuh tahun tersebut berjalan dengan wajah cemberut. "Axel, kenapa,

DMCA.com Protection Status